REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat pendidikan, Doni Koesoema
mengatakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) hanya
buang-buang energi, untuk mengeluarkan kebijakan indeks integritas.
"Daripada
sibuk dan buang-buang energi untuk indeks integritas, lebih baik
Kemendikbud fokus melakukan perbaikan pada sistem Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM). Jika, ingin membangun kejujuran dalam pendidikan,"
ujarnya kepada Republika, Selasa (14/4).
Ia menegaskan, indeks
integritas tidak akan berpengaruh besar pada tingkat kejujuran
pendidikan. Tapi, justru menimbulkan rasa kecurigaan dan keraguan
terhaap sekolah dan pemerintah. Apalagi, orang tua tidak diberitahukan
dengan detail bagaimana proses penilaian indeks integritas.
Padahal,
orang tua yang lebih merasa khawatir karena anak-anak mereka yang
mengenyam pendidikan. Sehingga, sudah sepatutnya orang tua lah yang
harus lebih dahulu mengetahuinya.
Menurutnya, pemerintah harus
ingat kembali apa tujuan adanya indeks integritas itu. Kejujuran adalah
nilai yang sangat penting dalam pendidikan. Oleh karena itu, pemerintah
khususnya Kemendikbud harus benar-benar matang menanamkan kejujuran.
"Terpenting,
nilai kejujuran jangan hanya dinilai dari jawaban ujian para siswa.
Karena, setiap anak memilki kemapuan yang berbeda-beda. Dan, jika
digeneralisasikan maka, hanya menimbulkan diskriminasi bagi para siswa."
Sumber: Republika Online
Wednesday 15 April 2015
Minim Juknis dan Fasilitas, Pelaksanaan UN Online Diragukan
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA --
Pelaksanaan Ujian Nasional Computer Based Test (CBT) segera dilaksanakan dalam
waktu beberapa pekan lagi sebelum UN reguler. Namun, persiapannya masih
dianggap kurang.
"Apakah Kemendikbud telah
mempersiapkan hal itu dengan matang," ujar pengamat pendidikan Doni
Koesoema Albertus, Rabu (11/3).
Meski dilihat dari pelaksanaannya UN
CBT membuat anggaran lebih hemat karena tidak perlu lagi mengeluarkan anggaran
untuk percetakan soal-soal UN, tapi urgensi ketersediaan fasilitas yang
dipertanyakan. Berikut minimnya petunjuk teknis pelaksaan serta pelatihan dari
Kemendikbud.
Mengingat, lanjut ia, banyak sekolah
yang masih ragu dan siswa pun khawatir dengan pelaksanaan UN CBT ini.
Khususnya, jika terjadi kesalahan teknis saat pelaksanaan UN CBT.
"Tentunya, hal itu akan sangat
berdampak pada psikologis siswa, yang cemas jika terjadi kesalahan teknis pada
saat UN CBT. Selain itu, masih banyak sekolah yang mengakui, belum paham secara
mendalam terkait teknis UN CBT ini," katanya.
Menurutnya, pelaksanaan UN CBT
sebaiknya dilaksanakan pada tahun depan. Melihat dari kesiapan sekolah-sekolah
yang akan lebih siap dan mumpuni pada tahun depan. Waktu persiapan UN CBT yang
dilaksanakan tahun ini sangat pendek, sehingga rentan terjadi masalah.
Jangan sampai, kata ia, pelaksanaan
UN CBT berakhir seperti pelaksanaan Kurikulum 2013 yang dipaksakan dan berakhir
pada permasalahan yang kini terjadi.
"Maka dari itu, pemerintah
harus berhati-hati dalam bertindak, upayakan kesalahan jangan terjadi untuk
kedua kalinya," ulasnya.
Meskipun begitu, apabila pelaksanaan
UN CBT berhasil dan berdampak baik. Maka, itu adalah perubahan yang baik dan
dari sisi anggaran pun akan lebih rendah. Lagi pula, kata ia, sudah seharusnya
Indonesia berubah dan jangan menggunakan kertas yang hanya akan berakhir pada
pemborosan.
"Untuk mencapai hal itulah, PR
pemerintah sangat banyak. Dari fasilitas, perawatan, kestabilan, dan keamanan
UN CBT. Jangan sampai, fasilitas ditinggalkan begitu saja ketika UN usai
dilaksanakan tanpa perawatan dan akan kembali repot ketika pelaksanan UN CBT berikutnya,"
paparnya.
Thursday 9 April 2015
Melindungi Profesi Guru
Oleh Doni Koesoema A.
Persoalan kekerasan dalam pendidikan sekarang ini sudah memasuki tahapan baru yang sangat krusial, yaitu pemidaan pendidik yang menegakkan aturan sekolah. Kasus pemolisian kepala sekolah SMAN 3 Jakarta oleh orang tua siswa pelaku penganiayaan pelajar mesti dibaca sebagai tanda bahaya bagi perlindungan profesi guru dan keberlanjutan pendidikan yang ramah anak di masa depan!
Kriminalisasi pendidik tidak
pernah boleh terjadi di negeri yang sangat serius mau mencerdaskan anak-anak
bangsa. Guru sebagai pendidik anak-anak bangsa mesti dilindungi profesinya dan
didukung agar dapat menciptakan sekolah yang ramah anak dan anti-kekerasan.
Dari kasus SMAN 3 kita bisa merefleksikan tiga hal penting agar kejadian serupa
tidak terjadi lagi di masa depan.
Tiga Refleksi
Pertama, perlunya komunikasi yang
baik antara lembaga pendidikan dan orang tua. Pemidaan seorang kepala sekolah
yang telah melakukan proses gelar perkara bersama dewan guru dan pengawas
sekolah menunjukkan adanya ketidakpahaman publik, terutama orang tua siswa,
terkait dengan tugas dan profesi seorang pendidik. Lembaga pendidikan kita
mengalami kegagalan komunikasi antara orang tua dengan pihak sekolah dalam
rangka pendidikan anak-anak yang dipercayakan kepada lembaga pendidikan.
Kedua, ketidaksiapan birokrasi
dan instansi lebih tinggi dalam mendukung dan membela kemartabatan profesi
guru. intervensi birokrasi, dalam hal ini kepala dinas, yang ikut campur urusan
skorsing yang menjadi kewenangan unit sekolah, bahkan cenderung mempersalahkan
Kepala Sekolah dan menafikan keputusan dewan guru yang memberi skorsing, jelas
merupakan sebuah intervensi yang lebih mengutamakan kekuasaan ketimbang menjaga
prinsip-prinsip moral pendidikan yang harusnya ditegakkan. Kepala Dinas
mestinya mendukung sekolah yang ingin menciptakan sekolah ramah anak dan
anti-kekerasan, terlebih menghadapi kasus kekerasan di SMAN 3 yang sudah
membudaya.
Ketiga, pembelajaran publik
tentang hukum yang melindungi profesi guru. Proses hukum yang sudah berjalan,
harus diteruskan, karena setiap warga negara memiliki persamaan hak di depan
hukum. Hukumlah yang menjamin keadilan dan kebenaran sebuah perkara meskipun
ini akan membawa situasi pendidikan kita pada sebuah dilema. Di satu sisi, ketika
pihak yang berwewenang tetap memproses persoalan ini sebagai delik hukum
pidana, proses hukum ini akan menjadi intimidasi bagi para pendidik
berintegritas untuk menegakkan aturan sekolah untuk memutus rantai kekerasan
dalam pendidikan. Di lain pihak, proses ini harus tetap diteruskan agar publik
belajar tentang bagaimana mereka dapat menghargai dan melindungi profesi guru
yang memiliki aturan hukum yang melindungi martabat profesinya.
Perlindungan profesi
Penegak hukum dituntut untuk
mampu mempergunakan pasal-pasal yang mengatur dan melindungi profesi guru, seperti
UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, terutama pasal 14, yang menyatakan
bahwa, dalam melaksanakan
tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan
intelektual; dan memiliki
kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan,
penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah
pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Kasus pengaduan orang tua siswa
kepada Kepala Sekolah yang bersama Dewan Guru ingin menegakkan peraturan
sekolah bisa menjadi momentum edukatif, baik bagi penegak hukum maupun orang
tua, maupun birokrasi dalam meretas kekerasan dalam dunia pendidikan.
Kekerasan dalam dunia pendidikan
tidak akan berhenti bila para pelaku kekerasan dibiarkan berkeliaran di
lingkungan sekolah tanpa pernah memperoleh sanksi. Sekolah dalam artian
tertentu adalah sebuah negara kecil, di mana hukum dan peraturan mesti
ditegakkan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak orang lain. Ironisnya, para
pendidik seringkali belum memahami, bahwa impunitas dalam dunia pendidikan
justru akan membuat situasi kekerasan dalam pendidikan tidak tersentuh. Membiarkan
pelaku kriminal, seperti penganiayaan, mengangkangi aturan sekolah jelas bukan
sebuah proses pendidikan yang baik.
Komunikasi intensif
Profesi guru akan menjadi semakin
bermartabat bila publik, terutama orang tua, menghargai jerih payah lembaga
pendidikan yang ingin memutus rantai kekerasan di dalam dunia pendidikan. Orang
tua dan sekolah mestinya lebih intensif membangun komunikasi satu sama lain
sehingga salah pengertian tentang proses pendidikan tidak terjadi lagi.
Kekerasan dalam dunia pendidikan
tidak akan berhenti bila tidak ada dukungan dari pimpinan. Ini berarti, pejabat
di lingkungan pendidikan, seperti pengawas, kepala dinas, sampai menteri, harus
memiliki suara yang sama dan konsisten dalam menegakkan peraturan. Bila seorang
kepala sekolah yang menegakkan aturan untuk memutus rantai kekerasan dalam
dunia pendidikan justru diancam dicopot dari jabatannya oleh Kepala Dinas,
kiranya ini menjadi lonceng kematian bagi terciptanya lingkungan sekolah yang
ramah anak.
Kita tidak boleh menganggap bahwa
kasus SMAN 3 Jakarta hanyalah kasus kecil yang perlu diselesaikan di tingkat
sekolah. Apalagi menanggap ini sebagai urusan pribadi individu yang terlibat.
Urusan kekerasan yang sudah membudaya seperti di SMAN 3 hanya bisa diselesaikan
bila ada kerjasama yang intensif antara orang tua, aparat penegak hukum, dan
pemimpin sekolah.
Kita membutuhkan orang tua,
polisi, dan kepala sekolah, birokrat yang memiliki integritas moral. Tanpa
integritas moral, mustahil kekerasan dalam pendidikan akan terselesaikan. Lebih
lagi, bila para guru pun bisa dengan mudah dipidanakan justru ketika harus
menegakkan dan melaksanakan tugasnya, tentulah ini akan menjadi lonceng
kematian bagi setiap usaha memutus rantai kekerasan di dalam lingkungan
pendidikan.
Doni Koesoema A. Pemerhati
Pendidikan.
Sumber: KOMPAS, 26 Maret 2015
Friday 28 November 2014
Revolusi Mental Dimulai dari Guru
27 November 2014 14:41 Wheny Hari Muljati Pendidikan
JAKARTA – Jalan utama mewujudkan revolusi mental
bangsa, salah satunya adalah melalui pendidikan. Guru merupkan salah satu unsur
penting pendidikan, sehingga revolusi mental harus didahului perubahan mental
para guru.
Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Mohammad Abduhzen, mengatakan hal ini kepada SH, Rabu (26/11). “Para guru harus mengubah pola pikir terhadap profesinya, terhadap muridnya, dan terhadap pembelajaran yang diampunya,” ujar Abduhzen terkait revolusi mental guru dalam memperingati Hari Guru Nasional setiap 25 November.
Revolusi mental berarti guru mampu mengubah pola pikir, mampu menyadari bahwa profesinya merupakan jalan hidup, bentuk pengabdian kepada Tuhan melalui pengabdian kepada manusia. “Jadi, guru harus memiliki landasan spiritual terkait profesinya,” ucap Abduhzen.
Guru perlu memahami bahwa siswa sebagai manusia yang menyimpan berbagai potensi (homo potens). Dengan begitu, guru harus mampu memfasilitasi para siswa agar dapat mengalami proses tumbuh kembang menurut kodrat mereka. Juga, bahwa proses pembelajaran harus menjadi proses yang menyenangkan.
“Dalam pembelajaran, guru dan murid harus senang. Pelatihan penting untuk mendorong perubahan pola pikir guru terkait profesinya, muridnya, dan pembelajarannya,” tutur Abduhzen.
Visi Moral
Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Mohammad Abduhzen, mengatakan hal ini kepada SH, Rabu (26/11). “Para guru harus mengubah pola pikir terhadap profesinya, terhadap muridnya, dan terhadap pembelajaran yang diampunya,” ujar Abduhzen terkait revolusi mental guru dalam memperingati Hari Guru Nasional setiap 25 November.
Revolusi mental berarti guru mampu mengubah pola pikir, mampu menyadari bahwa profesinya merupakan jalan hidup, bentuk pengabdian kepada Tuhan melalui pengabdian kepada manusia. “Jadi, guru harus memiliki landasan spiritual terkait profesinya,” ucap Abduhzen.
Guru perlu memahami bahwa siswa sebagai manusia yang menyimpan berbagai potensi (homo potens). Dengan begitu, guru harus mampu memfasilitasi para siswa agar dapat mengalami proses tumbuh kembang menurut kodrat mereka. Juga, bahwa proses pembelajaran harus menjadi proses yang menyenangkan.
“Dalam pembelajaran, guru dan murid harus senang. Pelatihan penting untuk mendorong perubahan pola pikir guru terkait profesinya, muridnya, dan pembelajarannya,” tutur Abduhzen.
Visi Moral
Pengamat pendidikan, Doni Koesoema Albertus mengatakan, revolusi mental guru terutama terkait visi-misi dirinya sebagai individu pendidik. Motivasi individu yang kuat dan kokoh akan membuat guru tetap berkomitmen mengajar dan mendidik siswa, meskipun sistem, struktur, dan kebijakan belum berpihak padanya.
“Revolusi mental guru harus mengarah kepada pembentukan jati diri guru sebagai sosok teladan moral,” kata Doni.
Revolusi mental harus dimulai dari individu guru, apa pun tingkatan unit mengajarnya, mulai dari tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga tingkat dasar dan menengah. “Harus simultan dan serentak,” ucap Doni.
Ia mengatakan, revolusi mental individu guru juga perlu dilakukan serentak, dengan perubahan struktural berupa reformasi kebijakan. Reformasi kebijakan harus dimulai dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Ini agar Kemendikbud lebih terbuka, komunikatif, dan dialogis.
“Mereka harus mau mendengarkan para pemangku kepentingan agar kebijakan pendidikan berjalan baik,” ujar Doni.
Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Henny Supolo mengatakan, ada beberapa hal yang perlu dimiliki guru. Guru harus memiliki kesenangan belajar dari berbagai sumber, mempunyai wawasan keragaman, mengutamakan kepentingan siswa, mengakomodasi keunikan siswa, tidak menoleransi kekerasan, menolak menjadi bagian korupsi di dunia pendidikan, serta mampu memberdayakan dirinya sendiri.
Dalam seminar penguatan organisasi, para guru memperlihatkan terbatasnya pemahaman mengenai hak mereka dalam berorganisasi. “Padahal, melalui organisasi langkah guru justru bisa lebih efektif,” kata Henny.
Sumber : Sinar Harapan
Menunggu Gebrakan Pendidikan
Kompas, 13 November 2014
Setelah menunggu lama, publik tetap saja tidak menemukan satu pernyataan yang kuat tentang gebrakan yang akan dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan untuk mendongkrak kualitas pendidikan. Padahal, gebrakan banyak menteri lain luar biasa.
Revolusi mental yang digagas Presiden Joko Widodo sesungguhnya adalah sebuah gerakan ke dalam, yaitu perbaikan sikap diri sebagai individu, dan perbaikan evaluasi diri sistem yang sudah rusak karena korup, tidak adil, dan malah bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Satu-satunya individu yang sekaligus mewakili sistem pendidikan nasional sekarang adalah Anies. Sungguh mengherankan mengapa Anies malah ragu bertindak?
Jika Anies ragu-ragu, arah pendidikan nasional ke depan akan semakin runyam dan tidak jelas. Padahal, posisi Anies sangatlah strategis dalam mengaktualisasikan revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi.
Persoalan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, apabila kita petakan, sudah jelas merujuk pada lima pokok persoalan yang sering dikaji para praktisi, akademisi, dan pemerhati pendidikan. Lima tema itu adalah ujian nasional, Kurikulum 2013, lunturnya nilai-nilai keragaman dalam pendidikan, kekerasan dalam pendidikan, dan korupsi pendidikan.
Apabila mau melakukan revolusi mental, sebagai awal, Anies bisa memilih salah satu dari lima prioritas persoalan ini.
Ujian nasional
Ujian nasional (UN) jelas sebuah kebijakan yang akan berat disentuh Anies sebab di sana ada Jusuf Kalla sebagai penggagas UN. Namun, persoalan ini sebenarnya jelas ditilik dari sudut pandang moral. Sebuah kebijakan yang telah terbukti tidak meningkatkan kualitas pendidikan nasional tidak pantas untuk dilanjutkan.
Masalahnya adalah kita sering mencampurkan pilihan politis dengan pilihan moral. Jika Anies memilih pilihan politis, artinya dia akan tunduk kepada Jusuf Kalla sebagai penggagas UN. Ini berarti membiarkan bangsa ini semakin terpuruk kualitas pendidikannya, bahkan di tingkat internasional. Jika berani mengambil pilihan moral, ia akan segera menghentikan ujian nasional sebagai syarat kelulusan, melakukan moratorium UN (bukankah sebelum menjadi menteri, Anies juga menyuarakan moratorium UN?) dan untuk sementara, menyerahkan penilaian kelulusan kepada guru dan sekolah.
Untuk proses seleksi ke perguruan tinggi, Anies perlu kerja sama dengan perguruan tinggi agar dihasilkan sistem seleksi yang sifatnya meritokratis, adil, independen, dan terbuka bagi semua. Sistem seleksi jalur undangan yang sering jadi sumber manipulasi nilai perlu dihentikan, digantikan dengan seleksi jalur mandiri yang sungguh independen dan tidak diskriminatif pada penyandang disabilitas.
Kurikulum 2013
Banyak kajian tentang Kurikulum 2013 menunjukkan bahwa kurikulum ini tidak pantas diteruskan. Bagaimana solusinya? Apakah upaya berbiaya triliunan rupiah tersebut akan dibiarkan sia-sia?
Pilihan politis atas hal ini tidak mudah. Namun, pilihan moral bisa menjadi alternatifnya. Adalah semakin mencederai keadilan dan melanggar prinsip moral apabila kita tahu sebuah program yang jelas-jelas buruk tetap kita biayai dengan biaya negara. Sudah hilang uang banyak, hasil pun tidak ada.
Solusi praktisnya adalah kembali saja dulu ke KTSP 2006, yang sudah ada buku yang tersedia. Untuk itu, Anies hanya perlu membatalkan berbagai macam peraturan yang mengatur Kurikulum 2013 serta mengevaluasinya untuk mencari yang perlu dihilangkan dan yang perlu dilanjutkan. Konsep pedagogis, landasan filosofis, dan sistem penilaian yang tidak relevan bisa dihilangkan, sedangkan kebutuhan pelatihan guru diteruskan.
Lunturnya nilai-nilai keragaman dan kebangsaan semakin nyata kita saksikan bahwa sekolah-sekolah negeri yang mestinya menyemai benih-benih keragaman kini mengutamakan kultur agama mayoritas. Kecenderungan intoleransi antaragama meningkat dan ironisnya ini justru disemai dalam lembaga pendidikan.
Di Jakarta, ada siswa dari kelompok agama tertentu yang tak boleh merayakan hari besar agama di lingkungan sekolah. Yang lebih memprihatinkan adalah mulai masuknya kelompok radikal teroris yang menunggangi paham agama untuk merekrut anak-anak sekolah sebagai pelaku teror, pembuat bom.
Situasi ini semakin menjadi-jadi dengan munculnya politisasi yang menyegregasi beragam kebijakan sekolah. Para guru yang memiliki afiliasi politik tertentu berusaha menanamkan paham-pahamnya dalam praktik pendidikan di sekolah. Jika sekolah sudah disesaki dengan para politisi yang mau menanamkan ideologinya, fungsi pendidikan sebagai proses pembentukan watak hilang karena yang terjadi adalah indoktrinasi dan matinya berpikir kritis.
Matinya kemampuan berpikir kritis akan membuat para siswa mudah dimobilisasi untuk melakukan tindak kekerasan, bahkan atas nama agama.
Lunturnya nilai-nilai keragaman ini hanya bisa dihentikan dengan cara bersinergi antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri. Politisasi pendidikan yang melahirkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif terjadi karena otonomi daerah sehingga banyak peraturan daerah pendidikan yang melanggar nilai-nilai Pancasila.
Di antaranya fokus pada pengembangan keagamaan sempit dan mengutamakan ritual dan simbol. Ini yang perlu diselesaikan dengan membangun kerja sama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama sehingga tidak ada peraturan dari Kementerian Agama yang bertentangan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, apalagi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Lunturnya keragaman ini, apabila tak diselesaikan, akan menjadikan pendidikan sebagai tempat berebut pengaruh dan kuasa dalam memperjuangkan ideologi sektarian politisi dan teroris yang memanfaatkan kelemahan kebijakan pendidikan.
Kekerasan
Kekerasan dalam pendidikan sudah berada pada tingkat darurat. Banyak siswa meninggal karena kegiatan sekolah yang tidak terpantau dengan baik. Perundungan (bullying) dalam lembaga pendidikan dan tawuran pelajar sampai sekarang tidak pernah kita garap serius. Akibatnya, akan selalu muncul korban jiwa sia-sia. Zero tolerance terhadap kekerasan harus menjadi fokus pengembangan kebijakan dalam pendidikan.
Korupsi dalam lembaga pendidikan jelas melukai keadilan publik. Uang anggaran negara yang semestinya dipergunakan sekolah untuk melayani dan menyediakan pendidikan bermutu hilang dicuri para koruptor.
Laporan ICW tentang korupsi pendidikan selama sepuluh tahun, yang jumlah kerugiannya tidak mencapai Rp 1 triliun bukanlah representasi dari gurita korupsi yang menghancurkan pendidikan kita.
Sekadar gambaran, Dinas Pendidikan DKI, setelah dalam delapan bulan mengevaluasi program pendidikan di DKI, akhirnya mengembalikan uang negara Rp 2,4 triliun karena berbagai program pendidikan yang ada dianggap tidak relevan. Bahkan setelah diselidiki, pada beberapa sekolah negeri di Jakarta indikasi korupsi itu sangat jelas terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Beberapa sekolah dipaksa mengembalikan uang ke negara yang besarnya ratusan juta sampai miliaran rupiah.
Dana pendidikan memang paling menarik bagi para koruptor untuk mencurinya karena di sana tersedia banyak sekali ruang bebas untuk menjarah anggaran negara. Tentu, hal seperti ini tak dilakukan sendirian, tetapi ada semacam sistem yang terstruktur dan sistematis, mulai dari proses seleksi kepala sekolah, pengawas, dan kepala dinas. Revolusi mental harus menghancurkan sistem pendidikan yang korup seperti ini.
Jelas bahwa tantangan pendidikan tidak mudah. Namun, ini semua tergantung dari Anies dalam menempatkan dirinya sendiri. Apakah ia akan lebih memilih sebagai politisi atau individu yang memiliki pilihan moral sekaligus menjadi representasi kekuatan perubahan dalam pendidikan.
Jika ia lebih memilih dirinya sebagai politisi, gebrakan pendidikan tidak akan terlahir dalam pemerintah Jokowi ini, dan ini berarti Jokowi telah salah memilih Mendikbud.
Namun, apabila pertimbangan Presiden Jokowi memilih Anies adalah karena Anies memiliki kredibilitas moral, dan dengan demikian, pilihan-pilihan morallah yang diharapkan keluar dari sosok Anies sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah, mestinya Anies tidak perlu ragu mengambil keputusan dan segera melakukan gebrakan pendidikan.
Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan
Setelah menunggu lama, publik tetap saja tidak menemukan satu pernyataan yang kuat tentang gebrakan yang akan dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan untuk mendongkrak kualitas pendidikan. Padahal, gebrakan banyak menteri lain luar biasa.
Revolusi mental yang digagas Presiden Joko Widodo sesungguhnya adalah sebuah gerakan ke dalam, yaitu perbaikan sikap diri sebagai individu, dan perbaikan evaluasi diri sistem yang sudah rusak karena korup, tidak adil, dan malah bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Satu-satunya individu yang sekaligus mewakili sistem pendidikan nasional sekarang adalah Anies. Sungguh mengherankan mengapa Anies malah ragu bertindak?
Jika Anies ragu-ragu, arah pendidikan nasional ke depan akan semakin runyam dan tidak jelas. Padahal, posisi Anies sangatlah strategis dalam mengaktualisasikan revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi.
Persoalan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, apabila kita petakan, sudah jelas merujuk pada lima pokok persoalan yang sering dikaji para praktisi, akademisi, dan pemerhati pendidikan. Lima tema itu adalah ujian nasional, Kurikulum 2013, lunturnya nilai-nilai keragaman dalam pendidikan, kekerasan dalam pendidikan, dan korupsi pendidikan.
Apabila mau melakukan revolusi mental, sebagai awal, Anies bisa memilih salah satu dari lima prioritas persoalan ini.
Ujian nasional
Ujian nasional (UN) jelas sebuah kebijakan yang akan berat disentuh Anies sebab di sana ada Jusuf Kalla sebagai penggagas UN. Namun, persoalan ini sebenarnya jelas ditilik dari sudut pandang moral. Sebuah kebijakan yang telah terbukti tidak meningkatkan kualitas pendidikan nasional tidak pantas untuk dilanjutkan.
Masalahnya adalah kita sering mencampurkan pilihan politis dengan pilihan moral. Jika Anies memilih pilihan politis, artinya dia akan tunduk kepada Jusuf Kalla sebagai penggagas UN. Ini berarti membiarkan bangsa ini semakin terpuruk kualitas pendidikannya, bahkan di tingkat internasional. Jika berani mengambil pilihan moral, ia akan segera menghentikan ujian nasional sebagai syarat kelulusan, melakukan moratorium UN (bukankah sebelum menjadi menteri, Anies juga menyuarakan moratorium UN?) dan untuk sementara, menyerahkan penilaian kelulusan kepada guru dan sekolah.
Untuk proses seleksi ke perguruan tinggi, Anies perlu kerja sama dengan perguruan tinggi agar dihasilkan sistem seleksi yang sifatnya meritokratis, adil, independen, dan terbuka bagi semua. Sistem seleksi jalur undangan yang sering jadi sumber manipulasi nilai perlu dihentikan, digantikan dengan seleksi jalur mandiri yang sungguh independen dan tidak diskriminatif pada penyandang disabilitas.
Kurikulum 2013
Banyak kajian tentang Kurikulum 2013 menunjukkan bahwa kurikulum ini tidak pantas diteruskan. Bagaimana solusinya? Apakah upaya berbiaya triliunan rupiah tersebut akan dibiarkan sia-sia?
Pilihan politis atas hal ini tidak mudah. Namun, pilihan moral bisa menjadi alternatifnya. Adalah semakin mencederai keadilan dan melanggar prinsip moral apabila kita tahu sebuah program yang jelas-jelas buruk tetap kita biayai dengan biaya negara. Sudah hilang uang banyak, hasil pun tidak ada.
Solusi praktisnya adalah kembali saja dulu ke KTSP 2006, yang sudah ada buku yang tersedia. Untuk itu, Anies hanya perlu membatalkan berbagai macam peraturan yang mengatur Kurikulum 2013 serta mengevaluasinya untuk mencari yang perlu dihilangkan dan yang perlu dilanjutkan. Konsep pedagogis, landasan filosofis, dan sistem penilaian yang tidak relevan bisa dihilangkan, sedangkan kebutuhan pelatihan guru diteruskan.
Lunturnya nilai-nilai keragaman dan kebangsaan semakin nyata kita saksikan bahwa sekolah-sekolah negeri yang mestinya menyemai benih-benih keragaman kini mengutamakan kultur agama mayoritas. Kecenderungan intoleransi antaragama meningkat dan ironisnya ini justru disemai dalam lembaga pendidikan.
Di Jakarta, ada siswa dari kelompok agama tertentu yang tak boleh merayakan hari besar agama di lingkungan sekolah. Yang lebih memprihatinkan adalah mulai masuknya kelompok radikal teroris yang menunggangi paham agama untuk merekrut anak-anak sekolah sebagai pelaku teror, pembuat bom.
Situasi ini semakin menjadi-jadi dengan munculnya politisasi yang menyegregasi beragam kebijakan sekolah. Para guru yang memiliki afiliasi politik tertentu berusaha menanamkan paham-pahamnya dalam praktik pendidikan di sekolah. Jika sekolah sudah disesaki dengan para politisi yang mau menanamkan ideologinya, fungsi pendidikan sebagai proses pembentukan watak hilang karena yang terjadi adalah indoktrinasi dan matinya berpikir kritis.
Matinya kemampuan berpikir kritis akan membuat para siswa mudah dimobilisasi untuk melakukan tindak kekerasan, bahkan atas nama agama.
Lunturnya nilai-nilai keragaman ini hanya bisa dihentikan dengan cara bersinergi antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri. Politisasi pendidikan yang melahirkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif terjadi karena otonomi daerah sehingga banyak peraturan daerah pendidikan yang melanggar nilai-nilai Pancasila.
Di antaranya fokus pada pengembangan keagamaan sempit dan mengutamakan ritual dan simbol. Ini yang perlu diselesaikan dengan membangun kerja sama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama sehingga tidak ada peraturan dari Kementerian Agama yang bertentangan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, apalagi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Lunturnya keragaman ini, apabila tak diselesaikan, akan menjadikan pendidikan sebagai tempat berebut pengaruh dan kuasa dalam memperjuangkan ideologi sektarian politisi dan teroris yang memanfaatkan kelemahan kebijakan pendidikan.
Kekerasan
Kekerasan dalam pendidikan sudah berada pada tingkat darurat. Banyak siswa meninggal karena kegiatan sekolah yang tidak terpantau dengan baik. Perundungan (bullying) dalam lembaga pendidikan dan tawuran pelajar sampai sekarang tidak pernah kita garap serius. Akibatnya, akan selalu muncul korban jiwa sia-sia. Zero tolerance terhadap kekerasan harus menjadi fokus pengembangan kebijakan dalam pendidikan.
Korupsi dalam lembaga pendidikan jelas melukai keadilan publik. Uang anggaran negara yang semestinya dipergunakan sekolah untuk melayani dan menyediakan pendidikan bermutu hilang dicuri para koruptor.
Laporan ICW tentang korupsi pendidikan selama sepuluh tahun, yang jumlah kerugiannya tidak mencapai Rp 1 triliun bukanlah representasi dari gurita korupsi yang menghancurkan pendidikan kita.
Sekadar gambaran, Dinas Pendidikan DKI, setelah dalam delapan bulan mengevaluasi program pendidikan di DKI, akhirnya mengembalikan uang negara Rp 2,4 triliun karena berbagai program pendidikan yang ada dianggap tidak relevan. Bahkan setelah diselidiki, pada beberapa sekolah negeri di Jakarta indikasi korupsi itu sangat jelas terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Beberapa sekolah dipaksa mengembalikan uang ke negara yang besarnya ratusan juta sampai miliaran rupiah.
Dana pendidikan memang paling menarik bagi para koruptor untuk mencurinya karena di sana tersedia banyak sekali ruang bebas untuk menjarah anggaran negara. Tentu, hal seperti ini tak dilakukan sendirian, tetapi ada semacam sistem yang terstruktur dan sistematis, mulai dari proses seleksi kepala sekolah, pengawas, dan kepala dinas. Revolusi mental harus menghancurkan sistem pendidikan yang korup seperti ini.
Jelas bahwa tantangan pendidikan tidak mudah. Namun, ini semua tergantung dari Anies dalam menempatkan dirinya sendiri. Apakah ia akan lebih memilih sebagai politisi atau individu yang memiliki pilihan moral sekaligus menjadi representasi kekuatan perubahan dalam pendidikan.
Jika ia lebih memilih dirinya sebagai politisi, gebrakan pendidikan tidak akan terlahir dalam pemerintah Jokowi ini, dan ini berarti Jokowi telah salah memilih Mendikbud.
Namun, apabila pertimbangan Presiden Jokowi memilih Anies adalah karena Anies memiliki kredibilitas moral, dan dengan demikian, pilihan-pilihan morallah yang diharapkan keluar dari sosok Anies sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah, mestinya Anies tidak perlu ragu mengambil keputusan dan segera melakukan gebrakan pendidikan.
Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
Kompas, Selasa, 15 April 2005 Doni Koesoema A “Gereja, lembaga karismatis per eccellenza, mengadopsi metode yang lebih demokratis untuk memi...
-
BASIS, Nomor 07-08, Tahun ke- 5 5, Juli-Agustus 2006, hlm 62-68 Doni Koeseoema, A Keluarga sebagai locus educationis telah la...
-
Doni Koesoema A. Pendidikan karakter pertama kali dicetuskan oleh pedagog Jerman F.W.Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter yang menekank...