"Kasus kejahatan seksual di JIS dan meninggalnya mahasiswa STIP adalah fakta terbaru betapa kekerasan dalam pendidikan senantiasa mengancam masa depan dan kehidupan anak-anak kita," ujar Doni Koesoema dari Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), saat jumpa pers di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Selasa (29/4/2014).
Kekerasan lain yang merenggut nyawa terjadi juga pada mahasiswa Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang pada masa orientasi serta kasus tawuran siswa SMAN 6 dan SMAN 70 di Jakarta. Banyaknya tunas bangsa yang meninggal sia-sia dalam tawuran, menurut Doni, menjadi indikasi bahwa pemerintah SBY-Boediono gagal melaksanakan amanat Pasal 28 Ayat 2 UUD 1945.
Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada 2013, sebut Doni, menunjukkan angka tawuran mencapai 112 kasus dengan korban tewas 20 pelajar.
Dari 1.026 responden anak (SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA) yang tersebar di 9 provinsi, 87,6 persen responden mengaku mengalami tindak kekerasan di sekolah. Doni berharap, pemerintah mampu mengurangi dan menghilangkan kekerasan di lingkungan pendidikan. Caranya, dengan membuat kebijakan pendidikan yang memprioritaskan keamanan dan kenyamanan di lingkungan sekolah.
Selain itu, lanjut Doni, regulasi juga perlu dibenahi terkait sanksi yang konsisten dan ketat. Sanksi untuk sekolah yang terbukti memiliki kasus kekerasan, sebut dia, mulai dari penurunan nilai akreditasi, pencopotan pimpinan sekolah, hingga pencabutan izin operasional lembaga pendidikan bila tetap membiarkan terjadinya aksi kekerasan.
"Pemerintah perlu mengadakan kajian yang tuntas disertai kebijakan pendidikan yang komprehensif agar kekerasan di lingkungan pendidikan, yang kemudian mengorbankan anak, tidak terjadi lagi," ujar Doni.
Sumber: Kompas.com
Penulis | : Arimbi Ramadhiani |
Editor |
: Palupi Annisa Auliani |