Showing posts with label Pengembangan Profesional Guru. Show all posts
Showing posts with label Pengembangan Profesional Guru. Show all posts

Friday 28 November 2014

Guru Indonesia Tak Paham UU Guru


06 Oktober 2014 16:00 Wheny Hari Muljati




JAKARTA - Sebagian besar pendidik yang berprofesi sebagai guru belum memahami tentang Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD). Para guru tidak memahami dengan jelas hak dan kewajiban mereka. Ketidakpahaman guru terhadap UUGD tersebut akan berakibat pada kualitas hasil layanan guru pada para siswa.   Hal tersebut diungkapkan pengamat pendidikan Doni Koesoema Albertus kepada SH, Senin (6/10), terkait Hari Guru Internasional yang diperingati pada Minggu (5/10).    

“Guru-guru Indonesia yang tidak paham UU tentang profesi mereka akan terhambat pengembangan profesionalnya. Hal itu juga memengaruhi hasil layanan mereka pada siswa,” ucap Doni.   Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, mengatakan hal senada. Ketidakpahaman guru terhadap UUGD akan berpengaruh pada pengetahuan tentang hak dan kewajiban para guru sendiri. Rendahnya pengetahuan tentang hak dan kewajiban selanjutnya akan berpengaruh pada kualitas mereka dalam menjalankan profesinya.  

Retno mencontohkan, para guru umumnya tidak mengetahui bahwa Ayat 2 Pasal 35 UUGD mereduksi tugas guru. Tugas guru yang bermacam-macam seperti disebutkan pada ayat 1 pasal yang sama, direduksi menjadi hanya tugas tatap muka pada ayat 2.   “Ternyata, banyak guru belum tahu mengenai hal itu. Banyak guru yang tidak pernah membaca UUGD,” tutur Retno, akhir pekan silam.

Ia menyatakan, ketidakpahaman guru pada UUGD terungkap dalam Seminar Peringatan Hari Guru Internasional yang diselenggarakan di Kantor Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Kamis (2/10). Dalam acara tersebut, banyak guru yang mengaku tidak mengetahui peraturan perundangan yang mengatur diri mereka. Menurut Retno, para guru umumnya mengaku tahu ada UU tentang guru. Namun, ternyata kebanyakan dari mereka belum pernah membacanya.   “Oleh karena itu, tidak mengherankan para guru menganggap bahwa organisasi profesi guru hanya Persatuan Guru Republik Indonesia atau PGRI,” kata Retno.   

Hak Berorganisasi


Retno menyebutkan, para guru perlu memahami hak mereka berorganisasi. Jika organisasi guru tidak diperkuat, guru akan selalu dipolitisasi.   Ia mencontohkan, selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, guru sudah dipolitisasi untuk memenangkan partai tertentu yang berkuasa saat itu. Saat  ini, di era otonomi daerah, guru dipolitisasi birokrasi di daerah, terutama oleh para kepala daerah. 

“Hanya pindah pelaku politisasinya. Kalau saat desentralisasi, pelakunya birokrasi di daerah. Kalau sentralisasi, pelakunya adalah pemerintah pusat,” ujar Retno.   Menurut Retno, hal lain yang memperlemah organisasi guru adalah kenyataan bahwa organisasi  profesi guru ternyata tidak diurus guru. Padahal, UUGD mensyaratkan organisasi profesi guru harus dibentuk dan diurus guru. Ia mencontohkan, organisasi berskala nasional, PGRI dan IGI, justru tidak diurus guru. Ini menyalahi Pasal 1 Butir 13 UUGD yang menyatakan organisasi profesi guru adalah perkumpulan berbadan hukum yang didirikan dan diurus guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.      

“Pasal tersebut sekaligus mempertegas bahwa siapa pun yang bukan guru semestinya tidak boleh mengurus organisasi guru,” katanya.   Retno mengungkapkan, data menunjukkan bahwa organisasi guru selama ini malah diurus dan dipimpin birokrat pendidikan, mantan birokrat, bahkan oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jika organisasi guru tidak diurus para guru, organisasi guru tidak independen dan mandiri dan ini tidak sesuai ketentuan Pasal 41 yang menyebutkan bahwa guru dapat membentuk organisai profesi yang bersifat independen.     

“Seharusnya organisasi guru secara politis berperan mendorong dan memengaruhi kebijakan pendidikan, baik di level daerah maupun nasional,” ujar Retno.    Retno menyakini, jika organisasi guru kuat dan sehat, organisasi tersebut akan dapat mendorong para anggota menjadi guru pembelajar yang profesional dan kritis.   

Sumber : Sinar Harapan

Thursday 27 November 2014

Ini PR Pemerintah Pada Guru

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, mengungkapkan, masa depan Republik Indonesia berada di tangan guru-guru yang mengajar di kelas.

"Guru adalah pelukis masa depan Republik ini, sehingga cara kita menghargai guru adalah cara menghargai masa depan," kata Anies, di laman resmi Kemendikbud. 

Sementara Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Mutu dan Peningkatan Mutu Pendidikan Kemendikbud, Syawal Gultom, mengungkapkan, semenjak pembinaan guru pada 2004, kinerja guru belum maksimal.

Sejak 2004, guru dinyatakan sebagai sebuah profesi. Kemudian untuk mendongkrak kualitas, pada 2006 dilakukan sertifikasi. Lalu pada 2008 dibayarkan tunjangan profesi.

Guna meningkatkan kualitas para guru, Kemendikbud akan melanjutkan pendidikan dan pelatihan tatap muka. Selain itu dikembangkan pula diklat secara online bagi guru. Program tersebut akan berlangsung bagi 3,2 juta guru tersebar di 207 ribu sekolah di Indonesia.

Kendati demikian seperti dilaporkan Indonesiaberkibar.org, guru di Indonesia jumlahnya cukup memadai, namun distribusi dan mutunya masih rendah.

Hal itu dapat dibuktikan dari masih banyaknya guru belum sarjana, tapi mengajar di SMU atau SMK, dan guru yang tidak sesuai disiplin ilmu. Keadaan ini cukup memprihatinkan dengan jumlah lebih dari 50 persen di seluruh Indonesia. language: IN;">Berdasarkan laporan Teacher Employment and Deployment In Indonesia dari Bank Dunia, disebutkan, terdapat sekitar 1,44 juta guru SD, 680 ribu, dan 475 ribu guru SLTA di seluruh Indonesia.

Dari jumlah itu, sekitar 55 persen tenaga kerja guru berpendidikan D2. Sementara hanya 17 persen guru yang telah menyandang gelar sarjana (S1).

Data Kemendiknas 2010 juga menyebutkan, dari sisi kualitas guru terdapat 54 persen guru memiliki standar yang perlu ditingkatkan. language: IN;">Selain itu, jumlah guru yang demikian tidak diimbangi dengan sebaran yang merata. 21 persen sekolah di perkotaan kekurangan guru. Kemudian, 37 persen sekolah di perdesaan kekurangan guru. Sedangkan 66 persen sekolah di daerah terpencil kekurangan guru.

Pemerintah juga mempunyai pekerjaan rumah lainnya, yaitu tidak memiliki peraturan terkait bermunculannya lembaga pencetak guru. Pemerhati pendidikan Doni Koesoema A., mengingatkan pemerintah untuk membatasi Lembaga Pendidikan dan Tenaga Keguruan (LPTK), karena jumlahnya terlalu banyak.

“Itu jadi masalah. Saat ini terdapat sekitar 300 LPTK, jumlah mahasiswanya membengkak sekitar satu juta. Dan tiap tahun menghasilkan lulusan kurang lebih 200 ribu,” kata Doni, kepada Geotimes, beberapa waktu lalu.

Padahal formasi guru yang dibutuhkan tiap tahun adalah 60 ribu tenaga guru, akhirnya terdapat sekitar 350 ribu guru yang menganggur.

“Animo masyarakat yang tinggi terhadap profesi guru, tapi tidak diimbangi dengan peraturan ketat dari pemerintah,” kata Doni. 

Kini pemerintah harus meningkatkan kualitas guru dan mendistribusikannya secara merata.  

“Selamat Hari Guru Nasional 25 November 2014.”

Sumber: Geotimes

Tuesday 25 November 2014

Guru dan Pemerintah Harus Lakukan Ini

| Dika Irawan

Pemerintah diminta terus meningkatkan profesionalitas dan kesehjateraan para guru. Sementara guru juga harus berani mengubah dirinya agar menjadi lebih berkualitas.

Menurut pemerhati pendidikan, Doni Koesoema A., pemerintah memiliki tugas untuk membuat program yang dapat meningkatkan kualitas para guru. Salah satunya, dengan memperbanyak pendidikan dan pelatihan bagi para guru.

"Selama ini pelatihan kurang," kata Doni, di Yogyakarta, kepada Geotimes, Selasa (25/11).

Selanjutnya tugas lain yang diemban pemerintah adalah terkait kesehjateraan guru. Pemerintah wajib mensehjaterakan para  guru.

"Terutama guru honorer," katanya.

Menurut dia, harus ada standar minimal yang sama antara guru honorer dengan guru pegawai negeri sipil, sehingga tak ada kecemburuan antara guru yang bekerja di sekolah swasta dan negeri.

"Pemerintah harus pikirkan pula guru-guru di daerah terpencil," katanya.

Dalam menetapkan standar minimal bagi para guru, pemerintah pusat harus bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menyesuaikan ukuran kesehjateraan guru.

"Guru berbeda dengan buruh, mereka punya jam kerjanya sendiri," katanya.

Sementara itu, bagi para guru, Doni menilai guru harus berani mengubah diri, baik dalam cara mengajar maupun kulitas dirinya. Sebagian besar guru, kurang semangat mengajar dan mereka kurang kritis.

“Jarang guru yang rajin membaca koran maupun buku-buku,” katanya.

Kendati demikian, ia melihat kondisi tersebut tercipta tak lain karena padatnya jam pelajaran dan tuntutan ujian nasional. Hal itu membuat guru tidak memiliki waktu banyak bagi pengembangan dirinya.

"Guru harus memiliki komitmen mengajar yang kuat, sebab urusannya dengan anak didik. Guru sebagai profesi juga harus diapresiasi," kata Doni.

Sebelumnya dalam laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, mengungkapkan, masa depan Republik Indonesia berada di tangan guru-guru yang mengajar di kelas.

"Guru adalah pelukis masa depan Republik ini, sehingga cara kita menghargai guru adalah cara menghargai masa depan," katanya dalam keterangan tertulis menyambut Hari Guru Nasional (25/11).

Sementara Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Mutu dan Peningkatan Mutu Pendidikan Kemendikbud, Syawal Gultom, mengungkapkan, semenjak pembinaan guru pada 2004, kinerja guru belum maksimal.

Sejak 2004, guru dinyatakan sebagai sebuah profesi. Kemudian untuk mendongkrak kualitas, pada 2006 dilakukan sertifikasi. Lalu pada 2008 dibayarkan tunjangan profesi.

Guna meningkatkan kualitas para guru, Kemendikbud akan melanjutkan pendidikan dan pelatihan tatap muka. Selain itu dikembangkan pula diklat secara online bagi guru. Program tersebut akan berlangsung bagi 3,2 juta guru tersebar di 207 ribu sekolah di Indonesia.

Sumber: geotimes.co.id

Friday 24 October 2014

Mendesain Karir Guru


Oleh Doni Koesoema A. 

Indonesia belum memiliki kebijakan yang strategis tentang desain jalur karir guru. Bila didesain dengan baik, kesejahteraan dan kempetensi guru akan semakin meningkat. Salah satu tantangan besar pemerintahan baru adalah bagaimana mempertahankan dan menarik warga negara terbaik untuk memasuki profesi guru melalui desain jalur karir yang menarik.

Dibandingkan dengan profesi lain, profesi guru tidak menawarkan banyak mobilitas horisontal dan vertikal. Guru akan selamanya menjadi guru sampai pensiun. Secara horisontal, jarang sekali guru mengalami alih profesi kecuali dalam keadaan terpaksa. Guru tidak bisa memilih jalur karir lain karena latar belakang ilmu dan keterampilannya sangat khas. Apalagi bila disertai dengan niat dan panggilan untuk pengabdian. Kalau guru tidak tahan menjadi guru di sebuah unit pendidikan, paling jauh yang bisa dilakukan adalah pindah sekolah lain, namun tetap saja ia menjadi guru. Umumnya, betapapun sulit kehidupan sebagai guru, ia akan tetap bertahan dalam profesinya. 

Mobilitas Vertikal 

Secara vertikal, pengembangan jalur karir guru pun sangat terbatas. Dari guru novis, jalur yang terbuka baginya adalah jabatan struktural di unit sekolah, mulai dari pendamping OSIS, menjadi wakil kepala sekolah, sampai menduduki posisi kepemimpinan sekolah. Umumnya, mobilitas vertikal karir guru adalah pada fungsi kepemimpinan. Di luar itu tidak ada alternatif. Kalau guru masih mau mengembangkan karir, misalnya setelah menduduki jabatan Kepala Sekolah, karir yang terbuka baginya adalah sebagai pengawas.

Prospek karir seperti ini sangat membatasi berbagai macam kemungkinan pengembangan kompetensi profesional guru, baik sebagai guru pengampu mata pelajaran, maupun guru dengan spesialisasi khusus, seperti ahli literasi, kurikulum, pedagogi, penilaian dan penelitian.

Selain tidak adanya diversifikasi horizontal pengembangan karir guru, proses pematangan diri guru untuk masuk ke posisi kepemimpinan umumnya belangsung linear, mengikuti proses perjalanan waktu. Artinya, proses kenaikan tingkat yang terjadi seringkali dikaitkan terutama dengan kesenioritasan yang ditentukan dari kriteria lamanya mengajar. Akibat dari sistem ini adalah hilangnya dimensi meritokratis yang semestinya dapat menjaga kualitas layanan pendidikan.

Sistem meritokratis mempersyaratkan bahwa individu yang menduduki jabatan karir memiliki pengetahuan, keterampilan dan kompetensi. Sebaliknya, sistem pengembangan karir guru yang berdasarkan senioritas lebih mengutamakan banyaknya pengalaman. Padahal, banyaknya pengalaman bukanlah jaminan bagi akuisisi pengetahuan dan keterampilan sebagai manager dan pemimpin. Pemimpin sekolah memerlukan pengetahuan managerial dan kepemimpinan yang tidak diperoleh melalui pengandaian senioritas. Sebab, kesenioritasan tidaklah terkait dengan kapasitas dan kompetensi individu. Inkompetensi kepala sekolah semakin membuat sekolah membuat perubahan yang berarti.

Sistem senioritas, atau promosi “urut kacang“ ini justru akan mengganggu jalannya laju perubahan sebuah unit pendidikan. Sebab, semakin senior, umumnya semakin pro status quo dan anti perubahan. Pengalaman yang panjang bukanlah jaminan. Sebab, kompetensi profesional sebagai pemimpin itu membutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus. Tidak mengherankan banyak yang protes saat pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta melelang jabatan kepala sekolah.

Selama ini, jabatan kepala sekolah merupakan sebuah proses yang ditentukan melalui kesenioritasan, bukan karena kompetensi atau keterampilan. Lebih lagi, formasi jabatan kepala sekolah sangat terbatas, sedangkan mereka yang memasuki alur menuju jabatan kepala sekolah semakin hari semakin banyak mengingat untuk menjadi kandidat kepala sekolah yang dibutuhkan hanyalah kesenioritasan. Akhirnya, jabatan yang langka ini diperebutkan melalui cara-cara yang tidak halal dengan cara menyogok dan kolusi dengan pejabat yang berwewenang.

Di sekolah swasta, yang dikelola oleh Yayasan, kriteria penentuan pemilihan kepala sekolah pun masih berorientasi pada senioritas ketimbang profesionalitas. Bila Yayasan memiliki defisit dalam visi pendidikan, jabatan kepala sekolah pun diberikan pada individu yang dianggap dekat dengan Yayasan yang gampang diatur dan dikendalikan. Akibatnya, banyak kepala sekolah di sekolah swasta tidak memiliki otonomi dan kemandirian dalam mengambil kebijakan di unit pendidikan karena mereka hanya menjadi pelaksana tugas Yayasan. 

Mutatis mutandis dengan jalur karir guru. Mobilitas vertikal guru seringkali tidak ditentukan melalui kriteria objektif terkait pengetahuan, keterampilan dan kompetensi, melainkan karena senioritas meskipun tanpa dibarengi kualitas yang pantas. Tak mengherankan, suksesi kepemimpinan di sekolah tidak selalu dibarengi peningkatan layanan. Pergantian pimpinan tidak membawa perubahan. Bahkan sebaliknya, menambah banyak masalah.

Miskinnya alternatif mobilitas profesi guru membuat panggilan mulia ini tak banyak dilirik. Dengan sistem remunerasi yang rendah dan jalur karir terbatas, profesi guru akan semakin tidak menarik minat generasi muda.

Bila guru adalah kunci peningkatan kualitas pendidikan sebuah bangsa, mendesain jalur karir yang memungkinkan mereka memperoleh insentif remunerasi secara meritokratis adalah sebuah strategi yang baik. 

Jalur Karir 

Adanya standar gaji guru yang tinggi tentu saja dapat meningkatkan martabat profesi guru. Namun, bila sistem remunerasi ini tidak didesain dengan baik, negara tidak akan mendapat banyak manfaat dari meningkatnya kesejahteraan guru. Kebijakan sertifikasi guru yang lebih bersifat formal-terbatas daripada substansial berkelanjutan dalam menagih kompetensi profesional guru adalah salah satu contoh minimnya manfaat dari kebijakan ini.

Kualitas guru bukan hanya dapat ditingkatkan melalui sistem remunerasi yang baik, melainkan juga melalui kebijakan desain pengembangan karir yang menarik. Desain jalur perkembangan karir bisa menjadi sarana untuk mendesain kembali sistem remunerasi pendidik berbasis meritokrasi.

William A. Firestone (1994) melihat bahwa alternatif restrukturisasi gaji guru melalui sistem yang meritokratis bisa membantu pengembangan kinerja guru. Guru diapresiasi berdasarkan keterampilan dan pengetahuan khusus (knowledge and skilled-based pay), seperti keahlian di bidang pengajaran, penilaian dan evaluasi, kurikulum, dan perluasan jenis pekerjaan (job enlargement), seperti jam tambahan untuk mengurusi berbagai kegiatan pendidikan, seperti jam perwalian, kegiatan khusus untuk mengorganisir pertemuan orang  tua dengan pihak sekolah, dll, serta insentif kolektif.

Sistem remunerasi yang meritokratis dapat membedakan guru yang malas dengan yang rajin, yang asal mengajar dengan yang penuh komitmen. Remunerasi yang meritokratis bisa menjadi suber penguatan fundamen pendidikan nasional dalam rangka penyiapan tenaga pendidik yang berkualitas.

Penyiapan tenaga pendidik yang berkualitas di tingkat unit sekolah sampai di tingkat kepemimpinan manajerial organisasi bukan hanya akan memiliki sumbangan positif bagi kemajuan pendidikan nasional, melainkan juga akan berdampak besar pada percepatan transformasi pendidikan nasional dalam menanggapi tantangan zaman. 

Tiga Solusi 

Pemerintah bisa mendesain tiga jalur karir strategis bagi pengembangan guru. Jalur pertama adalah jalur kepemimpinan (leadership track). Para guru diarahkan dan dievaluasi berdasarkan jalur karir yang akan mereka tempuh untuk menduduki posisi kepemimpinan, baik itu sebagai kepala sekolah, pengawas atau kepala departemen pendidikan.

Jalur kedua adalah jalur pengajaran (teaching track). Ini berarti jalur karir yang berfokus pada keunggulan dalam pengajaran di kelas, di mana para guru dapat naik jenjang menjadi guru ahli (master teacher) sampai kepala guru ahli (principal master teacher). Pada posisi ini, guru sudah mampu menjadi rekan pembelajar bagi guru yang lain. Guru ahli ini juga bisa membantu berbagai pelatihan pengembangan di lingkungan pendidikan di tingkat kabupaten atau provinsi.

Jalur ketiga adalah jalur spesialis (specialist track). Jalur ini tersedia bagi mereka yang ingin mendalami hal-hal khusus dalam dunia pendidikan, seperti ahli dalam desain kurikulum dan pengajaran, ahli untuk anak-anak berkebutuhan khusus, peneliti dan konseling.

Ketiga desain jalur profesi guru ini mengandaikan bahwa pemerintah juga merestrukturasi sistem pendidikan dalam Lembaga Penyiapan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan proses rekrutmen pendidik dalam unit sekolah.

Mereka yang telah mencapai jalur karir tertentu harus mendapat apresiasi berupa remunerasi yang baik, sehingga jalur karir ini sungguh-sungguh mampu menjaga kreativitas dan komitmen para pendidik.

Pengembangan profesional guru yang berkelanjutan dengan sistem remunerasi yang jelas melalui prospek pengembangan karir yang baik akan menarik minat generasi muda untuk memeluk profesi sebagai guru. Untuk itu, pemerintahan baru perlu mendesain kembali jalur perjalanan karir guru secara sistematis agar profesi mulia ini semakin menjadi daya tarik generasi muda. 

Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan 

Artikel dimuat di Media Indonesia, 8 September 2014

Pendidikan Keagamaan