Showing posts with label Indeks Integritas Sekolah. Show all posts
Showing posts with label Indeks Integritas Sekolah. Show all posts

Monday, 27 April 2015

Menilai Kejujuran

Doni Koesoema A.



Menumbuhkan nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan merupakan tantangan utama pendidikan. Inflasi nilai, contek-mencontek selama Ujian Nasional (UN), bocornya soal plus jawabannya, dan berbagai bentuk kecurangan lain menjadi tanda kegagalan lembaga pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran. Indeks Integritas Sekolah bisa menjadi solusi? Jawabannya adalah tidak!

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, memperkenalkan istilah baru kepada publik terkait kebijakan Ujian Nasional, yaitu Indeks Integritas Sekolah (IIS). Indeks integritas ini menjadi petunjuk sejauh mana sebuah sekolah memiliki tingkat kejujuran dalam melaksanakan UN. Indeks integritas ini bisa menjadi pertimbangan bagi Perguruan Tinggi dalam menyeleksi calon mahasiswa baru.

Di Kalangan para ahli psikometrik, konsep Indeks Integritas ini bukanlah hal baru. Kita bisa menyebut berbagai macam teori tentang indeks integritas ini, mulai dari teori klasik yang diawali oleh Bird (1927,1929), Crawford (1930), Dickenson (1945), Anikeef (1954). Teori tentang indeks integritas kemudian dikembangkan oleh banyak ahli psikometrik, Saupe (1960), Dunn, (1961), Angoff (1974), Holland (1996), Wollack (1997,2006) dan Sotaridona dan Meijer (2002,2003).

Teori tentang indeks integritas ini masih diperdebatkan. Masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan tergantung dari cara menghitung indeks dan variabel yang diperbandingkan. Teori awal yang dikembangkan Bird (1930), misalnya, kiranya sudah tidak cocok lagi dipakai karena hanya mendasarkan diri pada perbandingan distribusi jawaban salah antara peserta yang mencontek (copier) dan yang dicontek (source) untuk menentukan indeks integritas.

Teori yang dikembangan Crawford, Dickenson dan Anikeef masih berada di jalur yang sama, yaitu mempergunakan variabel jawaban salah. Teori ini kemudian dikembangkan dengan memasukkan variabel lain seperti distribusi jawaban benar, baik melalui analisis persamaan jawaban benar atau salah secara secara berurutan (string) (Hanson et al. and Angoff, 1974) dan acak (random). 

Berbagai macam teori indeks integritas, terutama yang klasik, tidak dapat diterapkan dalam konteks UN di Indonesia, karena UN di Indonesia bukan hanya ada satu varian soal, melainkan ada 20 varian soal. Teori sumber-pelaku sudah lama ditinggalkan karena tidak memiliki kekuatan memprediksi tingkat kejujuran.

Indeks integritas yang mempergunakan multi-variabel sering diacu untuk mengatasi kelemahan indeks integrasi sebelumnya (Angoff, 1974; Frary & Tideman, 1997). Angoff (1974), misalnya mempergunakan indeks multi variabel untuk menentukan level intergritas. Namun, penggunaan multi variabel ini pun masih banyak diperdebatkan oleh para ahli psikometrik terkait sisi praktikalitas dan efektifitasnya.

Bagi publik, terutama kalangan akademisi, tentu saja dasar pilihan teori yang dipakai Kemdikbud untuk menentukan indeks integritas sekolah perlu dipublikasi, atau paling tidak disosialisasikan, sehingga kalangan akademisi bisa meneliti dan menilai apakah analisis dan alat ukur yang dipakai oleh Kemdikbud dapat dipertanggungjawabkan. 

Integritas Tes 

Indeks Integritas Tes kiranya lebih tepat dipakai sebagai ungkapan ketimbang Indeks Integritas Sekolah, karena seluruh diskursus tentang teori indeks integritas hanya mengukur indeks kejujuran sebuah tes (Ujian Nasional) dan tidak dapat dipakai untuk menyimpulkan perilaku jujur sebuah sekolah secara umum. Fungsi indeks integritas selalu terbatas. Karena itu, adalah keliru menggeneralisir hasil indeks integritas tes untuk menilai kualitas kejujuran sebuah sekolah. 

Rahasia? 

Sistem pelaporan skor IIS dalam UN 2015 pun dipertanyakan. Nilai IIS tidak akan dipublikasi kepada masyarakat, melainkan hanya menjadi informasi yang diberikan pada sekolah dan Perguruan Tinggi. Pembatasan pemberian informasi publik ini membuat kita bertanya, apakah IIS merupakan rahasia negara, seperti soal UN yang bukan konsumsi publik?

Indeks integritas sekolah dipakai untuk memberitahu sekolah tentang skor nilai kejujuran sehingga sekolah dapat mengevaluasi diri dalam menanamkan nilai kejujuran ini. Kiranya informasi yang sama juga dibutuhkan oleh orang tua dan masyarakat di mana mereka menyekolahkan anak-anaknya.

Bila secara teoretis IIS sesungguhnya tidak mengukur kualitas kejujuran sekolah, atau kejujuran seluruh anggota sekolah, melainkan hanya menilai sejauh mana dalam UN siswa satu dan yang lainnya saling mencontek melalui perbandingan data statistik jawaban benar dan salah dengan mempergunakan kerangka teori tertentu, di mana kerangka teori ini pun masih diperdebatkan di kalangan para ahli psikometrik, kiranya terlalu berlebihan menganggap hasil evaluasi IIS sebagai rahasia negara. Publik punya hak memperoleh informasi tentang kerangka teoretis, tujuan dan hasil dari sebuah proses evaluasi pendidikan yang diadakan oleh Negara yang memengaruhi para pemangku kepentingan pendidikan, terutama orang tua.

Menilai kejujuran sekolah tidak dapat dilakukan melalui analisis statistik jawaban benar dan salah dalam sebuah ujian di mana kerangka teori yang menjadi landasannya masih banyak diperdebatkan di kalangan ahli psikometrik sendiri. Kejujuran merupakan sikap hidup yang perlu dilatih dan dibiasakan, didukung dengan lingkungan budaya, struktur dan peraturan yang mendukung bertumbuhnya nilai penghargaan terhadap kebenaran. Sikap ini tidak dapat dinilai melalui indeks integritas sekolah yang sifatnya terbatas.

Kejujuran sebuah sekolah hanya bisa dinilai dari sejauh mana anggota-anggota sekolah itu melaksanakan nilai-nilai kejujuran semenjak mereka datang memasuki pintu gerbang sekolah sampai pulang, melalui contoh, teladan, pemberian ruang bagi praksis kejujuran yang didukung oleh aturan-aturan sekolah yang konsisten diterapkan, seperti menghilangkan budaya dan aturan katrol nilai, membuat peraturan dan sanksi tegas tentang perilaku mencontek, menghapuskan peraturan tentang Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang sering menjadi sumber ketidakjujuran guru dalam menilai siswa, dan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan sekolah.

Hal-hal ini kiranya lebih mendesak diperjuangkan dan diterapkan dalam lembaga pendidikan kita ketimbang memperkenalkan istilah baru kerangka teorinya masih diperdebatkan, tujuan, konsep, metodenya dipertanyakan, dan sistem pelaporannya tertutup dan menafikan kontrol publik.

Indeks Integritas Sekolah bukan hal fundamental yang dibutuhkan bangsa ini. 

Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan. 

Opini dimuat di KOMPAS, 22 April 2015

Sumber:Kompas

Monday, 20 April 2015

Pengamat Nilai Indeks Integritas Tak Relevan untuk Menilai Kejujuran



Senin, 20 April 2015 16:42 


WARTA KOTA, SENAYAN-Pengamat Pendidikan Doni Koesoema menyebutkan indeks integritas yang diutarakan oleh pemerintah tidak relean digunakan untuk menilai kejujuran di sekolah.

Ia mengatakan, UN adalah segelintir kecil dari proses pembelajaran panjang yang ada di sekolah. Doni mengkritisi, sikap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang bersikeras menyisipkan indeks integritas justru memperlihatkan pemerintah tidak paham pendidikan dasar dan menengah.

“Indeks integritas menunjukkan bahwa orang Kemdikbud tidak paham persoalan kejujuran di sekolah. Indeks integritas yang dipahami sekarang secara ilmu psikometrik bahkan masih diperdebatkan,” ungkapnya ketika dihubungi Minggu (19/4/2015) sore.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggunakan indeks integritas untuk melihat tingkat kejujuran siswa dalam menjalankan Ujian Nasional (UN) 2015. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, meyakini indeks integritas bisa dipakai untuk melihat kejujuran para pelajar per daerah yang mengikuti UN. Artinya, jika ada daerah yang diam-diam melakukan kecurangan baik dengan bocoran maupun mencontek, bisa diukur dengan indeks integritas.

Menurut Doni, indeks integritas hanya bisa digunakan untuk menilai integritas per satu kelas. Jika hasilnya dibandingkan antara satu dengan kelas lain hal itu menjadi tidak relevan, apalagi jika diakumulasikan dengan daerah lain, katanya. Ia menegaskan, mengukur kejujuran tidak bisa dilakukan dengan indeks integritas.

Menurut Doni, alangkah baiknya jika pemerintah tidak menjadikan hasil UN sebagai penentu apapun. Baik dalam SNMPTN maupun SBMPTN. Sebab tidak akan adil bagi anak-anak, dengan melihat fakta indeks integritas yang ada.

Doni menambahkan, jika PTN tidak memahami sistem asesmen pendidikan ini akan berdampak panjang pada mutu dan kualitas mahasiswa.

“UN sebaiknya tidak dipakai sebagai syarat melanjutkan ke jenjang berikutnya. Karena ini yang membuat UN tetap bisa dimanipulasi atau berpotensi kecurangan tetap terjadi,” tegasnya.

Ia berharap, pemerintah mengembalikan fungsi UN sebagai pemetaan hasil belajar, bukan digunakan untuk pertimbangan masuk PTN. (Agustin Setyo Wardani)

Sumber: Warta Kota



Thursday, 16 April 2015

Penerapan Indeks Integritas Sekolah dianggap Mengada-ada

JAKARTA - Penerapan Indeks Integritas Sekolah di seluruh sekolah oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun ini diharapkan mampu membuat sekolah bisa jujur dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Sayangnya, Indeks Integritas Sekolah tersebut tidak ada parameter dalam mengukur nilai-nilai kejujuran sekolah. 

"Sosialisasi juga di penghujung UN. Selain itu, Indeks Integritas Sekolah tidak terlihat memaparkan nilai kejujuran sebuah sekolah," kata Anggota Dewan Pertimbangan Serikat Federasi Guru Indonesia (SFGI), Doni Koesoema dalam jumpa pers kebocoran soal UN 2015, di gedung Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLHK), Jakarta, Rabu (15/4).

Ia mengatakan, sampai saat ini Indeks Integritas Sekolah dalam dunia psikometrik masih diperdebatkan. Sebab, metode, situasi, dan cara-cara siswa mencontek berbeda-beda. Hal ini menimbulkan hasil pada indeks integritasnya berbeda-beda, ketika dilakukan kalkulasi hasil. "Sedangkan yang dijelaskan oleh Kemendikbud itu tidak ada logiknya dan tidak bisa ditarik kesimpulannya," ujarnya.

Secara umum, kata Doni, pengukuran bisa dilakukan dengan menghitung jumlah jawaban yang salah. "Tetapi, bila terdapat 20 soal, tidak bisa," ucapnya. Pasalnya, membutuhkan konsep lain atau strategi pengumpulan data statistik untuk menentukan sejauh mana siswa satu mencontek siswa lainnya.

"Jadi, ide Indeks Integritas Sekolah ini absurd dan membebankan kepada masyarakat dan sistem pelaporan juga tidak transparan," katanya. Selain itu, gabungan dari hasil tes diruang-ruang kelas sekolah, tidak bisa dikonversi dan ditumpuk menjadi kejujuran sebuah sekolah. Apalagi, menjadi kejujuran sebuah daerah atau provinsi.

Donie menyarankan kepada Kemendukbud, jika ingin meningkatkan kejujuran di sekolah, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, pemerintah harus mengubah aturan-aturan atau peraturan yang membuat budaya tidak jujur itu muncul, misalnya kebijakan tentang Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), ada mata pelajaran tertentu yang diharuskan mendapatkan 7 di KKM.

Kedua adalah sistem katrol nilai yang banyak terjadi di sekolah-sekolah, dengan memberikan nilai oleh oknum guru kepada siswa. "Hal ini terjadi karena otentisitas pembelajaran tidak dihargai. Meskipun ada sekolah tertentu ketika nilainya rendah dia tegas, bila mendapat nol ya nol dan lima ya lima," tegasnya.

Ia melanjutkan, sebelum adanya Indeks Integritas ini, ada berapa sekolah yang menindak tegas para muridnya yaitu ketika ada yang ketahuan menyontek, akan segera dikeluarkan dari sekolah dan ada pula yang memberi teguran. "Jadi ada banyak kebijakan budaya sekolah yang sudah menerapkan nilai-nilai kejujuran. Saya rasa Indeks Integritas itu terlalu mengada-mengada, sebagai penilai kejujuran," pungkasnya.

Menanggapi itu, Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, Indek Integritas Sekolah ini mengukur tingkat kejujuran saat menjalankan ujian di sebuah sekolah. Bila sekolah mendapatkan angka 90, Artinya 90 persen siswanya menjalankan ujian dengan jujur dan ada 10 persen menunjukan pola kerja sama atau kecurangan. "Itu bahasa sederhananya, karenanya nanti indeks rangenya antara 0 - 100. Makin tinggi indeksnya, makin jujur pelaksanaan ujian di sekolah tersebut," kata dia.

Untuk rumusannya, jelas Mantan Rektor Universitas Paramadina Jakarta ini, akan diungkapkan setelah UN 2015 selesai. Sementara, saat ini pihaknya memiliki data sekolah Indeks Integritasnya diatas nilai 90 ada 52 Kabupaten atau 10 persen dari semua daerah Indonesia diantaranya DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.

Oleh karena itu, Anies mengimbau kepada masyarakat untuk jujur dalam melihat kecurangan UN. Karena nantinya ada reward dan punisment dari pemerintah. "Bahwa laporan tersebut mengenai jujuran dan bukan semata-mata keberhasilan nilai akademis, tapi nilai kejujuranya," pungkasnya.

Sumber: Radarpena

Pendidikan Keagamaan