Oleh Doni Koesoema, A
Kelabu, itulah kenangan yang masih diingat tentang masa kecilnya. Ibunya pergi menghadap Sang Khalik ketika ia berumur beberapa bulan. Bapaknya adalah seorang gembala di sebuah dusun kecil, seorang pekerja keras yang tak sempat memikirkan pendidikan primer yang dibutuhkannya ketika ia tumbuh sebagai seorang bocah. Ia menerima didikan dari seorang asing yang menjadi ibu angkatnya. Namun setelah ibu asuh itu memiliki anak dari darah dagingnya sendiri, berakhirlah pendidikan yang ia terima. Si kecil malang bermasalalu kelabu itu adalah Friedrich Wilhelm August Fröbel (1782-1852). Dialah penggagas sistem sekolah bagi anak-anak usia dini yang kita kenal dengan Taman kanak-kanak (kindergarten system).
Di negeri kita, ada 23.5 juta anak bermasa lalu kelabu seperti Froebel. Namun Froebel masih lebih untung. Meski ia memiliki masa lalu kelabu, ia tetap memiliki akses pada pendidikan. Akses pada pendidikan membuka cakrawala hidup dan pandangannya sehingga terlahir sistem pendidikan bagi bagi anak-anak.
Anak indonesia lebih malang nasibnya. Situasi kemiskinan membuat mereka tak dapat menikmati sekolah. Menurut Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda(PLSP) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) ada sekitar 16 juta anak Indonesia yang buta huruf (Kompas,24/7).
Buntunya akses pada dunia pendidikan juga dapat dilihat secara implisit dalam laporan Unicef seperti dikutip AsiaNews (21/7) yang menyatakan bahwa 26% dari 90,2 juta anak di Indonesia tidak memiliki kartu identitas, baik berupa akta kelahiran maupun Kartu Tanda Penduduk (KTP). Anak-anak tanpa nama, tanpa negara, tanpa masa lalu ini ada sekitar 23.5 juta. Keberadaan mereka sebagai warga negara tidak diakui, masa lalu mereka terhapus dari catatan sejarah. Tanpa akta kelahiran dan KTP hak-hak asasi mereka dapat diperkosa seenaknya. Mereka bisa dijebloskan sebagai pekerja dibawah umur, diperas tenaganya tanpa dapat membela diri, diperdagangkan di pasar gelap, dan diadopsi secara tidak sah. Mereka juga tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, tak dapat mengklaim hak-haknya secara legal. Mereka tidak dapat memiliki akses pada pendidikan yang pada akhirnya akan menyingkirkan dan meminggirkan mereka dalam kehidupan sosial. Indonesia, l’infanzia ‘cancellata’ itulah judul besar yang ditulis oleh harian Avenire yang terbit di Italia (1/8) untuk menggambarkan terhapusnya catatan sejarah anak Indonesia yang tak memiliki identitas.
Kita tak bisa membiarkan situasi ini berlarut-larut. Kita tidak bisa membiarkan 23.5 juta anak Indonesia tidak beridentitas. Menurut laporan AsiaNews, anak-anak kita tidak memiliki identitas karena alasan ekonomis. Keluarga miskin tak dapat mencatatkan anaknya sebab mereka mesti merogoh kantong antara 5 ribu sampai 15 ribu rupiah untuk mendapatkan akta kelahiran atau KTP. Sementara jutaan anak tak dapat memiliki akses pada dunia pendidikan karena alasan kemiskinan, kita semakin pilu menyaksikan maraknya Taman Kanak-Kanak berbintang bintang lima yang tersebar di Jakarta yang untuk uang pangkal saja orang tua mesti merogoh uang saku antara 20 juta sampai 40 juta!
Karena itu sangat tepat jika Presiden Megawati dalam kesempatan Hari Anak Nasional mengkampanyekan pendidikan bagi semua dibarengi dengan pembuatan akta kelahiran. Inisiatif mulia ini patut didukung oleh semua rakyat Indonesia, namun terlebih para politisi dan pemerintah yang memiliki infrastruktur untuk proses administratif ini. Dibutuhkan kemauan politik yang kuat disertai tindakan nyata. Jika tidak, jangan heran jika kemudian orang mencibir, “Ah itu semua cuma omong kosong. Sama saja dengan para politisi yang lain yang hanya bisa omong dan tidak pernah dapat menepati janji.” Jika untuk membebaskan biaya pembuatan akta kelahiran dan KTP gratis saja pemerintah begitu lamban, apalagi untuk mewujudnyatakan program pendidikan bagi semua. Kita tidak ingin bahwa kampanye pendidikan untuk semua hanya menjadi pamflet politik.
Politik dan pendidikan
Kelabu, itulah kenangan yang masih diingat tentang masa kecilnya. Ibunya pergi menghadap Sang Khalik ketika ia berumur beberapa bulan. Bapaknya adalah seorang gembala di sebuah dusun kecil, seorang pekerja keras yang tak sempat memikirkan pendidikan primer yang dibutuhkannya ketika ia tumbuh sebagai seorang bocah. Ia menerima didikan dari seorang asing yang menjadi ibu angkatnya. Namun setelah ibu asuh itu memiliki anak dari darah dagingnya sendiri, berakhirlah pendidikan yang ia terima. Si kecil malang bermasalalu kelabu itu adalah Friedrich Wilhelm August Fröbel (1782-1852). Dialah penggagas sistem sekolah bagi anak-anak usia dini yang kita kenal dengan Taman kanak-kanak (kindergarten system).
Di negeri kita, ada 23.5 juta anak bermasa lalu kelabu seperti Froebel. Namun Froebel masih lebih untung. Meski ia memiliki masa lalu kelabu, ia tetap memiliki akses pada pendidikan. Akses pada pendidikan membuka cakrawala hidup dan pandangannya sehingga terlahir sistem pendidikan bagi bagi anak-anak.
Anak indonesia lebih malang nasibnya. Situasi kemiskinan membuat mereka tak dapat menikmati sekolah. Menurut Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda(PLSP) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) ada sekitar 16 juta anak Indonesia yang buta huruf (Kompas,24/7).
Buntunya akses pada dunia pendidikan juga dapat dilihat secara implisit dalam laporan Unicef seperti dikutip AsiaNews (21/7) yang menyatakan bahwa 26% dari 90,2 juta anak di Indonesia tidak memiliki kartu identitas, baik berupa akta kelahiran maupun Kartu Tanda Penduduk (KTP). Anak-anak tanpa nama, tanpa negara, tanpa masa lalu ini ada sekitar 23.5 juta. Keberadaan mereka sebagai warga negara tidak diakui, masa lalu mereka terhapus dari catatan sejarah. Tanpa akta kelahiran dan KTP hak-hak asasi mereka dapat diperkosa seenaknya. Mereka bisa dijebloskan sebagai pekerja dibawah umur, diperas tenaganya tanpa dapat membela diri, diperdagangkan di pasar gelap, dan diadopsi secara tidak sah. Mereka juga tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, tak dapat mengklaim hak-haknya secara legal. Mereka tidak dapat memiliki akses pada pendidikan yang pada akhirnya akan menyingkirkan dan meminggirkan mereka dalam kehidupan sosial. Indonesia, l’infanzia ‘cancellata’ itulah judul besar yang ditulis oleh harian Avenire yang terbit di Italia (1/8) untuk menggambarkan terhapusnya catatan sejarah anak Indonesia yang tak memiliki identitas.
Kita tak bisa membiarkan situasi ini berlarut-larut. Kita tidak bisa membiarkan 23.5 juta anak Indonesia tidak beridentitas. Menurut laporan AsiaNews, anak-anak kita tidak memiliki identitas karena alasan ekonomis. Keluarga miskin tak dapat mencatatkan anaknya sebab mereka mesti merogoh kantong antara 5 ribu sampai 15 ribu rupiah untuk mendapatkan akta kelahiran atau KTP. Sementara jutaan anak tak dapat memiliki akses pada dunia pendidikan karena alasan kemiskinan, kita semakin pilu menyaksikan maraknya Taman Kanak-Kanak berbintang bintang lima yang tersebar di Jakarta yang untuk uang pangkal saja orang tua mesti merogoh uang saku antara 20 juta sampai 40 juta!
Karena itu sangat tepat jika Presiden Megawati dalam kesempatan Hari Anak Nasional mengkampanyekan pendidikan bagi semua dibarengi dengan pembuatan akta kelahiran. Inisiatif mulia ini patut didukung oleh semua rakyat Indonesia, namun terlebih para politisi dan pemerintah yang memiliki infrastruktur untuk proses administratif ini. Dibutuhkan kemauan politik yang kuat disertai tindakan nyata. Jika tidak, jangan heran jika kemudian orang mencibir, “Ah itu semua cuma omong kosong. Sama saja dengan para politisi yang lain yang hanya bisa omong dan tidak pernah dapat menepati janji.” Jika untuk membebaskan biaya pembuatan akta kelahiran dan KTP gratis saja pemerintah begitu lamban, apalagi untuk mewujudnyatakan program pendidikan bagi semua. Kita tidak ingin bahwa kampanye pendidikan untuk semua hanya menjadi pamflet politik.
Politik dan pendidikan
Pendidikan memang selalu menjadi bahan dagangan bagi para politisi di mana saja. Justru karena kepentingannya yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, bidang ini menjadi rebutan banyak pihak, mulai dari para politisi, penerbit, sampai penjual buku. Dalam sejarah pendidikan di Italia misalnya, kita temukan sosok Il Duce Mussolini, yang berhasil mengkooptasi bidang pendidikan demi berseminya ideologi fasis bagi kepentingan politiknya. Partai Komunis Pembaharuan di Italia (Partito Comunista Rifondazione) beberapa waktu yang lalu juga melancarkan pendidikan untuk semua dan menentang berbagai macam Program pendidikan Morati yang dinilai lambat mengantisipasi keadaan. Di Indonesia, kita masih ingat bagaimana selama 30 tahun proses ideologisasi ini juga masuk di sekolah-sekolah kita dengan program penataran P4. Antara pendidikan dan kebijakan politik memiliki kaitan yang begitu erat. Tugas untuk memberikan kesempatan pendidikan bagi semua bukanlah hasil kerja orang perorangan melainkan tanggungjawab yang mesti dilakukan oleh negara. Hanya negaralah yang memiliki kemampuan berupa sarana dan prasarana untuk menciptakan situasi pendidikan yang memadai.
Program pembaharuan dalam bidang pendidikan, apapun bentuknya, hanya akan dapat terjadi jika para politisi memiliki kemauan politik dan langkah strategis efektif yang jelas. Kemauan politik dan langkah strategis yang efektif akan memiliki fondasi yang kokoh ketika mereka memiliki kesungguhan hati untuk pertama-tama menghargai hak-hak dasar warga negara, dan kemudian memberikan fasilitas dan sarana yang memadai bagi proses pendidikan bagi setiap warga negara. Sebab merupakan amanat suci pendiri bangsa bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Fenomena anak-anak tanpa identitas adalah sebuah cela bagi para politisi apapun affiliasi partai yang dimilikinya. Jutaan anak Indonesia tanpa identitas adalah sebuah tanda bahwa penghargaan kita pada anak-anak, yang oleh Presiden megawati dikatakan sebagai ‘pemilik hari esok bangsa’, masih berada pada level pemanis bibir semata.
Di dunia ini kita tidak sendirian memerangi keberadaan anak-anak tanpa identitas. Ada 19 negara lain yang oleh AsiaNews dilaporkan memiliki permasalahan serupa. Karena itu kerja sama internasional dalam hal ini juga mendesak untuk dikembangkan. Jual beli tenaga murah anak-anak di pasar gelap bukan hanya persoalan nasional, melainkan melibatkan jaringan perdagangan orang di tingkat mondial. Perbudakan terselubung, pencabutan hak untuk hidup layak, hak untuk memiliki sejarah hidup, dll, merupakan sebuah pelecehan bagi kemanusiaan secara keseluruhan.
Banyak anak memiliki masa lalu kelabu seperti dialami oleh Frobel. Namun jutaan anak mengalami masa lalu kelabu melebihi apa yang dialami oleh Frobel. Lingkaran setan yang pecah dalam memutus masa lalu kelabu Frobel adalah akses pada pendidikan. Akses pada dunia pendidikan membangkitkan empati dan keprihatinan untuk membaharui pendidikan bagi anak-anak yang tersistem dalam program negara.
Keterbukaan bagi semua warga untuk mengenyam pendidikan hanya dapat terjadi jika kemartabatan setiap orang dihargai dan masa lalu mereka diakui. Untuk ini, adalah sangat mendesak pemerintah segera bertindak untuk memberikan pelayanan gratis bagi setiap warga negara yang ingin memperoleh identitas bagi kemartabatan mereka. Program pendidikan bagi semua dan pencatatan akta kelahiran yang dicanangkan oleh Presiden Megawati adalah program yang mulia, sebab kehadiran anak-anak Indonesia tanpa identitas adalah sebuah cela bagi sejarah bangsa.
Doni Koesoema,A Penulis adalah mahasiswa universitas Gregoriana, Roma.
Artikel dimuat di KOMPAS, 05 Agustus 2004
No comments:
Post a Comment