Kompas, 13 November 2014
Setelah
menunggu lama, publik tetap saja tidak menemukan satu pernyataan yang kuat
tentang gebrakan yang akan dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies
Baswedan untuk mendongkrak kualitas pendidikan. Padahal, gebrakan banyak
menteri lain luar biasa.
Revolusi
mental yang digagas Presiden Joko Widodo sesungguhnya adalah sebuah gerakan ke
dalam, yaitu perbaikan sikap diri sebagai individu, dan perbaikan evaluasi diri
sistem yang sudah rusak karena korup, tidak adil, dan malah bertentangan dengan
tujuan pendidikan nasional. Satu-satunya individu yang sekaligus mewakili
sistem pendidikan nasional sekarang adalah Anies. Sungguh mengherankan mengapa
Anies malah ragu bertindak?
Jika
Anies ragu-ragu, arah pendidikan nasional ke depan akan semakin runyam dan
tidak jelas. Padahal, posisi Anies sangatlah strategis dalam mengaktualisasikan
revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi.
Persoalan
pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, apabila kita petakan, sudah jelas
merujuk pada lima pokok persoalan yang sering dikaji para praktisi, akademisi,
dan pemerhati pendidikan. Lima tema itu adalah ujian nasional, Kurikulum 2013,
lunturnya nilai-nilai keragaman dalam pendidikan, kekerasan dalam pendidikan, dan
korupsi pendidikan.
Apabila
mau melakukan revolusi mental, sebagai awal, Anies bisa memilih salah satu dari
lima prioritas persoalan ini.
Ujian
nasional
Ujian
nasional (UN) jelas sebuah kebijakan yang akan berat disentuh Anies sebab di
sana ada Jusuf Kalla sebagai penggagas UN. Namun, persoalan ini sebenarnya
jelas ditilik dari sudut pandang moral. Sebuah kebijakan yang telah terbukti
tidak meningkatkan kualitas pendidikan nasional tidak pantas untuk dilanjutkan.
Masalahnya
adalah kita sering mencampurkan pilihan politis dengan pilihan moral. Jika
Anies memilih pilihan politis, artinya dia akan tunduk kepada Jusuf Kalla
sebagai penggagas UN. Ini berarti membiarkan bangsa ini semakin terpuruk
kualitas pendidikannya, bahkan di tingkat internasional. Jika berani mengambil
pilihan moral, ia akan segera menghentikan ujian nasional sebagai syarat
kelulusan, melakukan moratorium UN (bukankah sebelum menjadi menteri, Anies
juga menyuarakan moratorium UN?) dan untuk sementara, menyerahkan penilaian
kelulusan kepada guru dan sekolah.
Untuk
proses seleksi ke perguruan tinggi, Anies perlu kerja sama dengan perguruan
tinggi agar dihasilkan sistem seleksi yang sifatnya meritokratis, adil,
independen, dan terbuka bagi semua. Sistem seleksi jalur undangan yang sering
jadi sumber manipulasi nilai perlu dihentikan, digantikan dengan seleksi jalur
mandiri yang sungguh independen dan tidak diskriminatif pada penyandang
disabilitas.
Kurikulum
2013
Banyak
kajian tentang Kurikulum 2013 menunjukkan bahwa kurikulum ini tidak pantas diteruskan.
Bagaimana solusinya? Apakah upaya berbiaya triliunan rupiah tersebut akan
dibiarkan sia-sia?
Pilihan
politis atas hal ini tidak mudah. Namun, pilihan moral bisa menjadi
alternatifnya. Adalah semakin mencederai keadilan dan melanggar prinsip moral
apabila kita tahu sebuah program yang jelas-jelas buruk tetap kita biayai
dengan biaya negara. Sudah hilang uang banyak, hasil pun tidak ada.
Solusi
praktisnya adalah kembali saja dulu ke KTSP 2006, yang sudah ada buku yang
tersedia. Untuk itu, Anies hanya perlu membatalkan berbagai macam peraturan
yang mengatur Kurikulum 2013 serta mengevaluasinya untuk mencari yang perlu
dihilangkan dan yang perlu dilanjutkan. Konsep pedagogis, landasan filosofis,
dan sistem penilaian yang tidak relevan bisa dihilangkan, sedangkan kebutuhan
pelatihan guru diteruskan.
Lunturnya
nilai-nilai keragaman dan kebangsaan semakin nyata kita saksikan bahwa
sekolah-sekolah negeri yang mestinya menyemai benih-benih keragaman kini
mengutamakan kultur agama mayoritas. Kecenderungan intoleransi antaragama
meningkat dan ironisnya ini justru disemai dalam lembaga pendidikan.
Di
Jakarta, ada siswa dari kelompok agama tertentu yang tak boleh merayakan hari
besar agama di lingkungan sekolah. Yang lebih memprihatinkan adalah mulai
masuknya kelompok radikal teroris yang menunggangi paham agama untuk merekrut
anak-anak sekolah sebagai pelaku teror, pembuat bom.
Situasi
ini semakin menjadi-jadi dengan munculnya politisasi yang menyegregasi beragam
kebijakan sekolah. Para guru yang memiliki afiliasi politik tertentu berusaha
menanamkan paham-pahamnya dalam praktik pendidikan di sekolah. Jika sekolah
sudah disesaki dengan para politisi yang mau menanamkan ideologinya, fungsi
pendidikan sebagai proses pembentukan watak hilang karena yang terjadi adalah
indoktrinasi dan matinya berpikir kritis.
Matinya
kemampuan berpikir kritis akan membuat para siswa mudah dimobilisasi untuk
melakukan tindak kekerasan, bahkan atas nama agama.
Lunturnya
nilai-nilai keragaman ini hanya bisa dihentikan dengan cara bersinergi antara
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam
Negeri. Politisasi pendidikan yang melahirkan kebijakan pendidikan yang
diskriminatif terjadi karena otonomi daerah sehingga banyak peraturan daerah
pendidikan yang melanggar nilai-nilai Pancasila.
Di
antaranya fokus pada pengembangan keagamaan sempit dan mengutamakan ritual dan
simbol. Ini yang perlu diselesaikan dengan membangun kerja sama antara
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama sehingga tidak ada
peraturan dari Kementerian Agama yang bertentangan dengan kebijakan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, apalagi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Lunturnya
keragaman ini, apabila tak diselesaikan, akan menjadikan pendidikan sebagai tempat
berebut pengaruh dan kuasa dalam memperjuangkan ideologi sektarian politisi dan
teroris yang memanfaatkan kelemahan kebijakan pendidikan.
Kekerasan
Kekerasan
dalam pendidikan sudah berada pada tingkat darurat. Banyak siswa meninggal
karena kegiatan sekolah yang tidak terpantau dengan baik. Perundungan (bullying) dalam lembaga
pendidikan dan tawuran pelajar sampai sekarang tidak pernah kita garap serius.
Akibatnya, akan selalu muncul korban jiwa sia-sia. Zero tolerance terhadap kekerasan harus
menjadi fokus pengembangan kebijakan dalam pendidikan.
Korupsi
dalam lembaga pendidikan jelas melukai keadilan publik. Uang anggaran negara
yang semestinya dipergunakan sekolah untuk melayani dan menyediakan pendidikan
bermutu hilang dicuri para koruptor.
Laporan
ICW tentang korupsi pendidikan selama sepuluh tahun, yang jumlah kerugiannya
tidak mencapai Rp 1 triliun bukanlah representasi dari gurita korupsi yang
menghancurkan pendidikan kita.
Sekadar
gambaran, Dinas Pendidikan DKI, setelah dalam delapan bulan mengevaluasi
program pendidikan di DKI, akhirnya mengembalikan uang negara Rp 2,4 triliun
karena berbagai program pendidikan yang ada dianggap tidak relevan. Bahkan
setelah diselidiki, pada beberapa sekolah negeri di Jakarta indikasi korupsi
itu sangat jelas terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Beberapa
sekolah dipaksa mengembalikan uang ke negara yang besarnya ratusan juta sampai
miliaran rupiah.
Dana
pendidikan memang paling menarik bagi para koruptor untuk mencurinya karena di
sana tersedia banyak sekali ruang bebas untuk menjarah anggaran negara. Tentu,
hal seperti ini tak dilakukan sendirian, tetapi ada semacam sistem yang
terstruktur dan sistematis, mulai dari proses seleksi kepala sekolah, pengawas,
dan kepala dinas. Revolusi mental harus menghancurkan sistem pendidikan yang
korup seperti ini.
Jelas
bahwa tantangan pendidikan tidak mudah. Namun, ini semua tergantung dari Anies
dalam menempatkan dirinya sendiri. Apakah ia akan lebih memilih sebagai
politisi atau individu yang memiliki pilihan moral sekaligus menjadi
representasi kekuatan perubahan dalam pendidikan.
Jika
ia lebih memilih dirinya sebagai politisi, gebrakan pendidikan tidak akan
terlahir dalam pemerintah Jokowi ini, dan ini berarti Jokowi telah salah
memilih Mendikbud.
Namun,
apabila pertimbangan Presiden Jokowi memilih Anies adalah karena Anies memiliki
kredibilitas moral, dan dengan demikian, pilihan-pilihan morallah yang
diharapkan keluar dari sosok Anies sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan
Dasar Menengah, mestinya Anies tidak perlu ragu mengambil keputusan dan segera
melakukan gebrakan pendidikan.
Doni
Koesoema A. Pemerhati
Pendidikan