Thursday 3 September 2009

Quo Vadis Pendidikan di Indonesia?

Kompas, Selasa 26 oktober 2004

Oleh Doni Koesoema A


Pertanyaan pada judul tulisan ini tetap relevan dan aktual untuk diajukan, terlebih pasca pelantikan para menteri yang tergabung dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Carut marut dunia pendidikan kita jelas merupakan tantangan berat yang mesti dipikul Menteri Pendidikan Nasional (mendiknas) Bambang Sudibyo begitu ia dilantik.


Terlepas dari pro kontra proses pemilihan Bambang Sudibyo sebagai mendiknas, kita memiliki sedikit titik terang ke mana arah pendidikan nasional kita kiranya akan dibawa pada masa kepemimpinannya, seperti yang diucapkannya dihadapan para wartawan, “Saya akan membawa pendidikan sebagai proses pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Setidaknya itu akan termanifestasi dalam tiga hal, yakni penguasaan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), estetika, dan etika," kata Bambang Sudibyo (Kompas, 22/10).


Pendidikan yang membentuk manusia Indonesia seutuhnya oleh mendiknas setidak-tidaknya dipahami dengan mengandaikan tridimensi pertumbuhan, yaitu, kemampuan teknis, kepekaan akan nilai-nilai keindahan, dan kapasitas moral. Membentuk manusia Indonesia seutuhnya dengan species seperti ini jelas tidaklah mencukupi, sebab manusia tidak dapat diredusir keberadaannya secara parsial dengan 3 indikasi terbatas ini.


Meskipun demikian, jika tridimensi ini sungguh-sungguh diwujudnyatakan dalam praksis, kita boleh berharap akan segera terlihat perubahan suasana dalam locus pendidikan kita. Sekolah-sekolah kita akan terasa lebih hidup dan manusiawi, sebab menghasilkan orang-orang yang berintegritas. Di tengah membanjirnya informasi dan diciptakannya berbagai macam perangkat teknologi, yang kita butuhkan adalah mempersiapkan orang-orang yang dapat mengoperasikannya. Di tengah rendahnya kualitas hiburan yang ditawarkan oleh media, televisi, dll, kita memerlukan orang yang memiliki pemahaman hidup lebih utuh yang terwujud dalam berbagai macam kegiatan berkesenian. Di tengah runtuhnya nilai-nilai kemanusiaan kita membutuhkan orang-orang yang memiliki integritas moral tinggi agar masyarakat kita makin beradab.


Ketidakadilan sosial


Proses pendidikan tidak dapat dipisahkan keberadaannya dari kultur yang melingkupinya. Antara sekolah dan kultur memiliki hubungan yang timbal balik. Di satu sisi, kualitas pendidikan akan menciptakan kultur baru dalam masyarakat dan sebaliknya, kultur dalam masyarakat akan semakin memberi orientasi baru suatu karya pendidikan. Proses dialektis antara pendidikan dan kebudayaan tak dapat dihindarkan jika pendidikan itu ingin tetap aktual keberadaannya dalam masyarakat. Namun dari proses dialektis ini muncul persoalan kritis dalam dunia pendidikan, yaitu ketidakadilan sosial. Pertanyaan yang perlu ditelaah secara kritis adalah, “bagaimana menjamin kualitas pendidikan tanpa mereproduksi keadilan sosial?”


Pertanyaan ini semakin memperjelas bahwa tridimensi-orientasi pendidikan yang disampaikan mendiknas tidaklah mencukupi. Agar tidak timpang pendidikan kita perlu memiliki visi sosial yang kuat. Harus diakui, bahwa pendidikan kita selama ini memiliki orientasi elitis. Mereka yang memiliki fasilitas akan semakin mudah memperoleh akses pada banyak hal, seperti kualitas pendidikan, kemampuan teknologi, lapangan kerja dll. Sedangkan anak-anak dari kaum miskin papa hanya dapat menerima nasibnya untuk memasuki sekolah kelas pinggiran dengan kualitas pinggiran. Jika sudah lulus lingkup kerja mereka pun juga tidak akan jauh-jauh dari kelas pinggiran. Pendidikan kita menghasilkan ketimpangan sosial dan ketidakadilan sosial.


Yang menjadi masalah adalah sulitnya mendamaikan dua pendekatan yang berbeda, yaitu, pendekatan teknis demi kepentingan praktis sesaat dan pendekatan estetis-etis demi kepentingan formatif yang sifatnya tidak terlalu praktis. Mengarahkan pendidikan hanya demi memenuhi tuntutan lapangan kerja membuat sekolah tak beda dengan pabrik robot. Ini jelas bertentangan dengan esensi pendidikan itu sendiri yang ingin semakin memartabatkan manusia dengan pengembangan berbagai macam kemampuan, bakat, talenta yang dimilikinya secara maksimal.


Antonio Gramsci telah lama meramalkan bahwa dominasi sekolah profesional atas sekolah formatif akan menghasilkan krisis pendidikan. Dalam Quaderni 12, dengan tegas ia menyingkap tabir pelanggengan ketimpangan sosial ini. “Pada masa ini, karena krisis mendalam produksi kultural dan konsep tentang hidup manusia, semakin terbuktilah fenomena degenerasi progresif di mana sekolah profesional yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan praktis sesaat menang atas sekolah formatif yang tak memiliki kepentingan praktis langsung. Aspek paling paradoksal situasi ini adalah bahwa jenis sekolah baru (baca, sekolah profesional) yang digembar-gemborkan sebagai demokratis ternyata tak hanya bertujuan melanggengkan perbedaan sosial, melainkan mengkristalkannya dalam bentuk yang makin solid.”


Sekolah kita rapuh


Sekolah di Indonesia tidak hanya terkesan elitis dan melanggengkan ketimpangan sosial, melainkan dalam dirinya sendiri ternyata rapuh. Sekolah kita tidak hanya rapuh dari segi fisik (banyak sekolah proyek inpres yang dimulai tahun 80-telah mulai ambruk), namun sekolah kita juga rapuh berhadapan dengan kekerasan dari luar yang merangsek eksistensinya, mulai dari cara-cara yang halus melalui metode pembelian buku-buku serta berbagai macam bisnis yang mengatasnamakan kepentingan sekolah, sampai cara paling kasar, pengerahan massa, penggusuran sekolah, serta penutupan kegiatan belajar mengajar dengan cara menembok pintu gerbang sekolah. Sekolah kita tak berdaya berhadapan dengan kultur lain, yaitu, kultur kekerasan.


Mempertanyakan kembali arah pendidikan kita dalam situasi kultural-politis seperti sekarang ini menjadi semakin aktual dan mendesak mengingat pemerintahan baru telah bertekad untuk bekerja keras dan bersatu padu untuk mengatasi persoalan bangsa secara bersama. Tentu tidak kebetulan kabinet pemerintahan sekarang ini disebut dengan Kabinet Indonesia Bersatu, yang dari namanya saja telah mengindikasikan adanya sinergi dan kebersatuan dalam melaksanakan amanat rakyat.


Jika kita inginkan suatu solusi yang integral dan realistis atas pertanyaan di atas, sudah semestinya diperlukan pembaharuan dalam bidang pendidikan yang secara esensial bersifat kultural sekaligus politis. Ini berarti dibutuhkan suatu analisis mendalam tentang peranan intelektual dalam masyarakat kita sekaligus pertanyaan kritis tentang proyek politik pemerintah dalam kerangka pendidikan. Dibuthkan suatu proyek politik-kultural integral yang tak sekedar perubahan teknis atau pedagogis semata. Fakta-fakta yang ada dalam dunia pendidikan lebih merupakan kenyataan yang merengkuh dimensi moral-politis, ketimbang kecenderungan perubahan berdasarkan naluri mekanistis.


Pembaharuan di bidang pendidikan tidak akan terjadi tanpa dibarengi pembaharuan di bidang politik dan hukum. Merobohkan tembok yang dibuat untuk mengebiri hak warga negara dalam menerima pendidikan sebenarnya tidaklah sulit. Namun untuk merobohkan tembok itu, pemerintah memerlukan perangkat hukum yang kuat dan effektif, dengan aparat yang memiliki kepekaan nurani tajam akan adanya ketidakadilan. Tak seorangpun di negeri ini memiliki hak untuk mengebiri hak warga negara untuk memperoleh pendidikan.


Situasi pendidikan kita tak akan beranjak jauh jika pintu gerbang menuju jalan kesejahteraan dan kemakmuran itu tetap ‘ditembok’ oleh nurani sempit para petualang politik, estetika rendahan pecinta kekerasan, dan gelegar moral para pemasung kebenaran. Namun rupanya, situasi inilah yang kita miliki sekarang ini. Maka menjadi mendesak bagi pemerintahan sekarang, terlebih bagi mendiknas untuk merenungkan judul artikel ini.


Quo vadis pendidikan di Indonesia?

Doni Koesoema A, Penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma

Pendidikan Keagamaan