Oleh Doni Koesoema, A
"Pemerintah melalui aparatur negaranya, tidak dapat melarikan diri dari tanggungjawabnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa seperti diamanatkan oleh para pendiri bangsa dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Keputusan politik di bidang pendidikan yang lebih berpihak pada dunia pendidikan merupakan tanda adanya orientasi politik yang berkomitmen pada kehidupan bangsa. Dibutuhkan kebijakan politik yang kuat agar negara tetap berada dalam jalurnya sebagai penanggungjawab utama hidup matinya dunia pendidikan. Tak berlebihanlah bila masyarakat mengharapkan, melalui dukungan penuh pemerintah, bahwa lembaga pendidikan menemukan kembali semangat aslinya sebagai lembaga yang mendidik rakyat. Bukan lembaga yang malahan mendodosi (menggerogoti) rakyat."
Prolog
Siapapun yang terlibat dalam dunia pendidikan merasakan adanya semacam ketidakpastian dengan sistem pendidikan yang kita miliki saat ini. Kecepatan laju ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta kemajuan di bidang informatika membuat kinerja lembaga pendidikan megap-megap dalam memenuhi panggilan tugasnya. Ada ketegangan antara dimensi formatif humanistis pendidikan dan dimensi teknis praktis yang dimiliki para alumni untuk dapat memasuki dunia kerja. Kemajuan teknologi-informasi ternyata lebih cepat dibandingkan dengan kesiapan lembaga pendidikan dalam mencermati kurikulum, metode dan sarana yang dimilikinya agar menghasilkan orang-orang yang siap memasuki dunia kerja.
Singkatnya, tidak ada kontinuitas antara teori yang diterima di sekolah dengan praktek yang dibutuhkan di tempat kerja. Pertanyaan pertama yang langsung muncul adalah 'bagaimana dunia pendidikan tetap mempertahankan eksistensinya di dunia yang berlari seperti sekarang ini?"
Dalam situasi ini yang dipertanyakan bukan hanya relevansi pendidikan bagi para alumni dalam kerangka persiapan mereka memasuki dunia kerja berupa pembekalan teoritis-praktis-teknis sesuai dengan tuntutan jaman dan teknologi, melainkan juga relevansi dimensi struktural pedagogis-didaktis, berupa teknik pengajaran, kurikulum, metode, tempat belajar, dll.
Namun lebih dari itu, reformasi apapun yang dilakukan dalam bidang pendidikan tanpa memperhatikan dimensi teleologis pendidikan, hanya akan menghasilkan sebuah proses memutar, gerakan jalan di tempat, terjerumus dalam sebuah perilaku reaktif karena sempitnya wawasan. Degradasi kemanusiaan merupakan konsekuensi logis reformasi pendidikan yang digarap serampangan.
Tulisan ini menganalisis secara khusus persoalan seputar tegangan antara dunia pendidikan berhadapan dengan tuntutan masyarakat, kepentingan industri, tantangan akan persaingan di era pasar bebas. Dunia pendidikan tidak dapat menutup mata atas tantangan dari dunia luar yang dibebankan di pundaknya. Sudah selayaknya dunia pendidikan menanggapi secara aktif dan arif jika tidak tak ingin kehilangan relevansinya dalam masyarakat.
Situasi-situasi menuju krisis
Dunia pendidikan tak dapat berdiam diri melihat berbagai macam perubahan dalam masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung menyentuh eksistensinya. Proses perubahan secara mendalam biasanya berawal dari kesadaran kritis atas posisi dunia pendidikan terhadap perubahan dunia yang makin kompleks. Karena itu, pemahaman atas situasi dan latar belakang permasalahan merupakan sebuah evaluasi yang realistis.
Jika kita telusur lebih mendalam, ada beberapa situasi yang menghantar dunia pendidikan semakin memasuki situasi kritis ketika berhadapan dengan tuntutan ekonomi pasar.
Pertama, laju modernisasi teknologi menghasilkan berbagai macam modalitas baru dalam hal penguasaan teknologi. Ini semua berawal dari revolusi teknologi dan informasi yang setiap hari menawarkan inovasi dan temuan baru. Penemuan baru di bidang teknologi dan informasi semakin membuat jarak antara dunia pendidikan dan kebutuhan masyarakat, khususnya, kebutuhan akan tersedianya tenaga kerja yang melek teknologi dan paham mengolah informasi.
Yang sering dikeluhkan adalah bahwa lulusan di sekolah kita, baik yang di sekolah menengah maupun di perguruan tinggi, tidak memiliki kapasitas dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk memasuki dunia kerja. Persoalan kurikulum, metode pengajaran, prasarana praktek, Link and Match (keterpautan dan kesepadanan) dalam lembaga pendidikan, dll, menjadi sangat aktual untuk dibahas.
Kedua, di balik pemenuhan akan kebutuhan pasar demi mengantisipasi persaingan bebas muncul pula kekhawatiran lain, yaitu hilangnya dimensi humaniora pendidikan. Hilangnya dimensi humaniora pendidikan bisa ditelaah dari dua sisi, a) berkaitan dengan dampak-dampak teknologi informasi dalam kerangka perkembangan pendidikan, b) berkaitan cara berpikir baru untuk menilai kinerja sebuah lembaga. Kriteria baru ini mau tak mau mengubah cara pandang masyarakat dalam menilai kinerja lembaga pendidikan.
Dampak-dampak nyata kemajuan teknologi-informasi bagi dunia pendidikan adalah adanya gejala buta huruf fungsional. Kemajuan teknologi informasi melalui media cetak seperti, koran, majalah, buku,dll, dan media elektronik (televisi, internet, perangkat multimedia, dll) di satu sisi memberi manusia informasi alternatif, menawarkan jutaan imajinasi, dll, namun di lain pihak menghasilkan gejala buta huruf jenis baru, yaitu, buta huruf fungsional. Buta huruf fungsional adalah sebuah keadaan di mana kapasitas dan kemampuan manusia paling mendasar dalam berekspresi dan berpikir menjadi mandeg. Di lain pihak, cara baru mengukur daya kerja sebuah lembaga dalam masyarakat yang memasuki masa post industri kita temukan dari refleksi Jean-Francis Lyotard yang mulai melihat adanya pergeseran atas perubahan status ilmu. Efisiensi dan efektifitas merupakan ciri masyarakat modern dengan teknologi maju. Dalam masyarakat post industri, tulisnya, kriteria untuk menilai daya hasil sebuah lembaga adalah kinerjanya (performativity). "Pendidikan mau tak mau terpengaruh oleh kriteria paling dominan yang ada dalam masyarakat, yaitu, kemampuannya bertindak secara efisien dan efektif (performativity)1." Kinerja berarti maksimalisasi masukan(input) dan keluaran(output). Jika kinerja lembaga pendidikan dipahami secara sempit sekedar sebagai proses persiapan tenaga kerja bagi kepentingan pasar, degradasi kemanusiaanlah yang akan kita tuai.
Ketiga , dunia pendidikan kita semakin kelabakan ketika krisis ekonomi menerpa negeri ini sejak pertengahan 90-an. Lesunya dunia industri membuat banyak perusahaan menaikkan harga-harga untuk menghidupi dirinya. Banyak perusahaan menghentikan usahanya. Pemutusan hubungan kerja adalah akibat dan sekaligus momok bagi kebanyakan karyawan. Krisis ekonomi membawa banyak korban, terutama orang-orang kecil, kaum miskin dan orang-orang sederhana. Termasuk di antara mereka adalah para guru. Karena itu mulai muncullah demonstrasi para guru yang terjadi di mana-mana. Sesuatu yang tidak pernah terjadi selama kita mengenyam kemerdekaan.
Belum habis carut marut dunia pendidikan kita terobati pemerintah menerapkan kebijakan privatisasi Perguruan Tinggi Negeri pada 1999. Sejak saat itu, dunia pendidikan di negeri kita semakin lumpuh. Semakin banyak anak-anak dari keluarga miskin tidak dapat memperoleh pendidikan tinggi berkualitas karena privatisasi PTN.
Inilah situasi dramatis yang dihadapi dunia pendidikan kita. Situasi ini membuat banyak kalangan mempertanyakan kembali sistem pendidikan yang kita miliki selama ini. Ada yang merindukan kembali model pendidikan klasik yang menekankan dimensi humaniora, di mana pertumbuhan pribadi secara penuh dan integral merupakan tujuan utama pendidikan. Pendidikan memerlukan sentuhan humaniora agar menghasilkan orang-orang yang memiliki kreativitas, daya seni, daya cipta, daya rasa, kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, dll, bukan sekedar transformasi ilmu atau penguasaan ketrampilan teknis belaka. Namun ada yang realistis melihat urgensi pendidikan model teknokrasi yang memberi bekal ketrampilan langsung bagi siswa agar siap memasuki persaingan kerja.
Kenyataan ini mendorong dunia pendidikan pada dua macam krisis sekaligus, yaitu krisis dari dalam dan dari luar. Krisis dari lembaga pendidikan lebih berkaitan dengan dimensi filosofis-pedagogis-didaktis dalam mengadopsi tuntutan dunia luar. Sedangkan krisis dari luar berkaitan independensi teknologi informasi, yang tak hanya berpengaruh terhadap kinerja lembaga pendidikan, melainkan mempengaruhi kualitas masukan yang diterima lembaga pendidikan.
Kebijakan reaksioner
Dunia pendidikan kita bukannya tidak menyadari adanya krisis ini. Negara sebagai instansi yang mengemban amanat rakyat untuk menyelenggarakan pendidikan tidak menutup mata akan kenyataan ini. Proyek sekolah inpres, program wajib belajar, program pengentasan angka buta huruf, perubahan kurikulum pendidikan nasional, revisi atas Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 1989, diperkenalkannya program Link and Match , kurikulum muatan lokal, privatisasi PTN, dll, merupakan sebuah sikap tanggap atas berbagai macam persoalan yang terjadi dalam dunia pendidikan.
Namun sayang, tanggapan pemerintah atas berbagai persoalan dalam dunia pendidikan terkesan lebih bersifat reaksioner ketimbang visioner. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam meningkatkan kualitas dunia pendidikan hanya didasarkan pada sikap reaktif, kaget, bingung, bahkan sekedar memenuhi kepentingan dan kebutuhan praktis sesaat. Keluhan bahwa ganti menteri ganti kebijakan, ganti buku pelajaran, dll adalah afirmasi atas situasi ini.
Di tengah krisis mendalam ini, pemerintah sepertinya lengah, bingung dan tidak tahu lagi bagaimana mengurai benang kusut carut marut dunia pendidikan yang kita miliki. Sikap reaktif berawal dari sempitnya horizon pendidikan dan tak adanya visi jangka jauh. Suburnya sikap instan ingin cepat lihat hasil seolah-olah dunia pendidikan dapat ditata dan diubah dalam satu atau dua tahun membuat pemerintah hanya mengambil keputusan yang sekedar memenuhi kebutuhan sesaat. Mentalitas instan seperti ini mengabaikan kompleksitas permasalahan, sekaligus menunjukkan kemalasan berpikir yang termanifestasi dengan gejala simplifikasi persoalan.
Contoh penyederhanaan itu misalnya demikian. Pendidikan kita ditengarai menghasilkan orang-orang yang tidak siap memasuki dunia kerja. Karena itu, satu-satunya cara untuk memperbaikinya adalah mempersiapkan sekolah-sekolah kita agar menghasilkan orang-orang yang siap memasuki dunia kerja. Bagaimana caranya? Diperkenalkan program Link and Match. P rogram Link and Match dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud, sekarang berubah menjadi Mendiknas) Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro (1993-1998) yang mengaitkan berbagai macam program dan kurikulum di sekolah dengan tuntutan yang dibutuhkan perusahaan. Link and Match lantas menjadi bahasa baru.
Sikap reaktif tanpa disertai visi yang jernih alih-alih menjernihkan persoalan malahan mempercepat kehancuran dunia pendidikan. Program Link and Match yang secara massif diterapkan, baik pada lembaga pendidikan tingkat menengah dan tinggi, bahkan pada tingkat dasarpun ada pula yang berusaha menerapkannya, lebih didasari pada kesalahan visi dalam memandang relasi keseluruhan antara dunia pendidikan dengan kepentingan pasar. Dibalik kesalahan visi ini adalah kekeliruan dalam memandang tujuan pendidikan. Sikap reaktif semakin menjauhkan dunia pendidikan dari permasalahan esensial yang mesti dihadapinya.
Langkah pertama yang harus dibuat dalam mengurai benang kusut yang terjadi dalam dunia pendidikan kita adalah memetakan permasalahan dan menganalisis pengandaian-pengandaian yang selama ini kita miliki. Pembaharuan apapun yang dilakukan untuk mengembalikan lagi fungsi pendidikan kita sekarang ini mesti berangkat dari analisis atas model pendidikan, pengandaian-pengandaian yang ada dibalik setiap kebijakan, serta situasi konkret yang dihadapi dunia pendidikan kita dewasa ini. Dari sini kita pelan-pelan menelusur akar permasalahan sehingga kita bisa menemukan sebuah solusi alternatif. Diagnosis yang keliru membuat proses pengobatan keliru. Kekhilafan dalam diagnosis hanya akan menghasilkan korban. Dalam kerangka pendidikan, kesalahan diagnosis akan membawa banyak korban dalam taraf yang masif, mulai dari siswa, guru, orang tua, masyarakat.
Pendidikan dan kepentingan pasar
Persoalan pertama yang kita hadapi adalah adanya tegangan antara dimensi humanistis pendidikan dan tuntutan praktis kepentingan pasar (baca, kepentingan tenaga profesional dalam dunia industri dan teknologi). Ada tegangan antarpendidikan manusia vs pelatihan untuk ekonomi pasar. Ada ketimpangan atau ketidakterkaitan antara keluaran (output) suatu lembaga pendidikan dengan tuntutan yang ada dalam dunia kerja. Dunia kerja membutuhkan masukan (input) berupa orang-orang yang memiliki kemampuan profesional teknis agar mereka tetap dapat menjaga keberlangsungan roda produksinya di tengah persaingan bebas.
Dunia industri, perusahaan jasa, dll, akan macet jika tidak disertai kehadiran tenaga-tenaga profesional yang menyokong eksistensi mereka. Dari mana mereka memperoleh tenaga-tenaga profesional ini? Tenaga-tenaga profesional ini hanya dapat dipenuhi dari lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Karena itu secara struktural dunia industri dan jasa mesti memiliki hubungan erat dengan lembaga pendidikan jika ingin tetap hidup. Dunia industri memperoleh sumber-sumber personalia yang handal dan terampil dari lembaga pendidikan. Karena itu, hubungan antara dunia industri dan dunia pendidikan adalah mutlak.
Sebaliknya, meskipun lembaga pendidikan merupakan satu-satunya tempat di mana perusahaan memperoleh sumber tenaga profesional yang dapat diandalkan, tidak berarti bahwa tujuan pendidikan secara mutlak adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dalam kerangka ini, hubungan antara dunia pendidikan dengan dunia industri menjadi relatif karena pendidikan memiliki tujuan lebih luas daripada sekedar memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkan pasar.
Ada dua tujuan yang perlu dipertimbangkan peranannya dalam dunia pendidikan. Yang pertama adalah pendidikan yang memiliki tujuan lebih filosofis ( philosophical ), mengarahkan dirinya untuk mengkontemplasikan dan menemukan gagasan-gagasan umum. Yang lainnya memiliki tujuan lebih mekanik berupa pengetahuan praktis terapan terhadap dunia di luar dirinya.
Pendidikan yang memiliki tujuan filosofis menganggap bahwa kegiatan belajar itu bernilai di dalam dirinya sendiri karena kondisi alamiah manusia menuntut agar dirinya senantiasa belajar secara terus menerus tentang banyak hal, tentang diri, lingkungan, keterbatasan dan kemungkinan dari keberadaannya. Belajar dan mencari ilmu merupakan salah satu proses aktualisasi diri manusia yang autentik. Bahkan seandainya tidak memiliki kepentingan praktis atas kepemilikian ilmu itu sendiri. Menjadi orang yang berilmu sudah merupakan nilai di dalam dirinya sendiri.
Meminjam kata-kata Henry Newman, " pengetahuan.itu bernilai karena karena ia ada dan hadir dalam diri kita, meskipun ia sama sekali tidak dipergunakan untuk satu kepentinganpun, atau bahkan jika tak diarahkan demi tujuan tertentu. 2"
Keinginan mencari ilmu adalah tanda kesempurnaan keluhuran manusia yang secara alamiah dibekali oleh Sang Pencipta dengan akal budi. "Kita semua terdorong untuk mencari ilmu setinggi langit karena setiap usaha dalam mengejar kesempurnaan merupakan perilaku luhur ( exellent ), sedangkan kesalahan, kekeliruan, ketidaktahuan, keterkecohan ( to be deceived ) merupakan cacat dan perendahan martabat ( disgrace )."
Selain itu, "ada pengetahuan yang diinginkan meski tak ada hasil apapun dari kepemilikan pengetahuan ini, ia menjadi semacam harta karun di dalam dirinya sendiri, cukuplah bila dianggap sebagai upah atas kerja keras bertahun-tahun."
Rupanya pemahaman akan tujuan pendidikan yang integral seperti inilah yang tidak disadari para pengambil keputusan ketika menerapkan program Link and Match dengan memperkenalkan Pendidikan Sistem Ganda (PSG).
Pendidikan Sistem Ganda, sering secara populer disebut dengan model belajar sambil magang kerja, merupakan suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja dan terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu 3.
Tidak ada yang salah dengan Pendidikan Sistem Ganda. Yang salah adalah kedok ideologis dan kerancuan visi pendidikan dibalik program ini. Link and match digembar-gemborkan sebagai sebuah keharusan yang mesti diterapkan di seluruh jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Link and match lantas menjadi jargon populer. Semua orang mengucapkannya. Berbagai macam kerja sama yang terjadi antara sekolah dan dunia usaha lantas segera diberi label Link and Match. Orang tak bisa membedakan antara Link and Match dengan promosi gratis dan publikasi produk dengan sasaran kaum terpelajar. Inilah kekerasan terselubung dunia industri yang dibiarkan begitu saja merangsek dunia pendidikan kita.
Di Madiun misalnya, ketika perusahaan Telkom menggelar acara pawai kebudayaan, konser, pengenalan produk-produk terbaru telkom melalui pameran terbuka yang melibatkan berbagai instansi pendidikan baik di dalam maupun luar negeri, kegiatan inipun lantas dicatut sebagai realisasi Link and Match . Orang semakin rancu melihat apa yang sesungguhnya di link dan apa yang di match.
Program mata pelajaran muatan lokal seperti tercantum dalam PP No. 28 Tahun 1990 yang diterapkan di jenjang pendidikan dasar pun tak luput dari jargon Link and Match ini. Mata pelajaran muatan lokal pun juga dilihat dalam kerangka mempersiapkan ketrampilan kerja siswa pada tingkat dasar begitu ia lulus.
Di daerah Bantul, misalnya di Kasongan, kerajinan tradisional yang terkenal dan secara ekonomis menghidupi banyak warga serta meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) adalah keramik. Semestinya muatan lokal yang diberikan adalah pengetahuan dan ketrampilan tentang seni keramik. Namun ternyata mata pelajaran muatan lokal yang diberikan adalah ketrampilan mengetik, elektronika dan pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK). Karena ketidakcocokan atas pemberian materi muatan lokal ini, sekolah dasar itu lantas segera dikritik sebagai tidak Link and Match dalam program pendidikannya.
Berharap bahwa pendidikan kita ikut serta mempersiapkan para alumninya untuk memasuki dunia kerja merupakan sebuah harapan yang wajar. Sebab, jika pendidikan dipahami sebagai proses pertumbuhan seorang pribadi dalam totalitasnya, termasuk keberadaannya pada masa kini maupun kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan dalam hidupnya, kehadiran sebuah lembaga pendidikan yang mempersiapkan para alumninya terjun ke masyarakat dengan membekalinya berbagai macam kemampuan yang dibutuhkan sehingga kemampuan dan bakat-bakat yang dimilikinya bertumbuh, mempersiapkan para alumni dengan ketrampilan dan kecakapan merupakan sebuah sikap bijak yang mesti dikembangkan oleh setiap lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan tinggi yang responsif terhadap kemajuan iptek, memiliki sumbangan yang besar untuk menciptakan kinerja yang semakin baik bagi sebuah sistem sosial. Untuk ini ia harus tetap terus menerus mampu menyediakan orang-orang yang memiliki berbagai macam ketrampilan ( skills ) yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sebab hanya dengan demikian masyarakat mampu melanggengkan dirinya dan mempertahankan kohesi internalnya.
Karena itu, menciptakan sebuah kebijakan dalam dunia pendidikan agar tetap relevan kehadirannya dalam masyarakat merupakan sebuah tuntutan yang mendesak. Namun, reformasi pendidikan tidak dapat efektif jika sekedar mendasarkan diri pada sikap reaktif, horison pendidikan terbatas serta kesalahan dalam mendiagnosis permasalahan. Dunia pendidikan memiliki fungsi lebih esensial dalam proses humanisasi daripada sekedar sebuah pabrik robot yang siap mencetak tenaga kerja profesional yang dibutuhkan pasar. Menganggap bahwa tujuan pendidikan semata-mata demi memenuhi kebutuhan praktis sesaat, atau bahkan dunia pendidikan mesti 'menghambakan diri pada kepentingan dunia industri' membuat dunia pendidikan kehilangan relevansi dalam mengemban amanat kemanusiaan, meningkatkan harkat hidup, dan membantu manusia memaksimalkan berbagai macam potensi dan talenta yang dimilikinya.
Mengaitkan kriteria kemajuan pendidikan dengan dimensi eksternal dunia material merupakan perwujudan ketidakpahaman dalam memahami keluhuran sebuah karya pendidikan. Intuisi Antonio Gramsci (1891-1937) tentang situasi pendidikan di Italia pada awal abad-19 dimana mulai terjadi konflik kepentingan antara lembaga pendidikan dan dunia industri membenarkan kenyataan ini. "Tidak ada situasi eksternal dan kondisi material yang dapat memuaskan sebuah kinerja pendidikan. Sebab, karya pendidikan adalah sebuah kenyataan etis, sebuah peristiwa intelektual yang menyentuh kemampuan manusiawi pada tingkatan yang lebih tinggi, dan karena itu tidak dapat begitu saja dengan mudah merupakan cerminan mekanistis suatu masyarakat. 4"
Dunia pendidikan bukanlah sekedar cerminan kebutuhan material masyarakat, melainkan juga sebuah kinerja terus menerus, sebuah usaha pembaharuan yang membutuhkan penegasan berkesinambungan sebab yang terlibat di dalamnya adalah manusia itu sendiri. Manusialah yang mestinya menjadi orientasi pendidikan, bukan kepentingan pasar. Untuk inilah reformasi di bidang pendidikan merupakan kerja keras yang tidak mudah.
"Perjuangan melawan sekolah model kuno memang dibenarkan, namun gerakan pembaharuan atasnya tidaklah semudah seperti yang dibayangkan, sebab pembaharuan tidak berkaitan dengan program yang tersistematis, melainkan berkaitan dengan manusia, bukan manusia yang sejak awal menjadi guru ( maestri ), melainkan seluruh kompleksitas permasalahan sosial di mana manusia merupakan ekspresinya. 5"
Kerancuan dalam visi pendidikan membawa akibat degradasi kemanusiaan. Lembaga pendidikan bukanlah pabrik yang menciptakan orang-orang yang nantinya diletakkan di salah satu fungsi mesin besar industri, seperti sebuah rantai, mur, atau tombol yang membuat seluruh mesin berfungsi. Karena itu, pertama-tama yang perlu dijernihkan adalah pemahaman visi tentang pendidikan dalam relasinya dengan kepentingan pasar. Dunia industri dalam artian tertentu memang mutlak memiliki kaitan dengan dunia pendidikan, namun tidak demikian halnya dengan dunia pendidikan.
Kinerja lembaga pendidikan dan dampak teknologi
Perubahan situasi masyarakat menghasilkan cara-cara baru dalam menaksir kualitas kerja sebuah lembaga. Perubahan status pengetahuan dalam masyarakat post-industri mau tak mau mempengaruhi juga cara masyarakat menilai kinerja sebuah lembaga pendidikan.
Jean-François Lyotard menganalisis perubahan status pengetahuan ketika masyarakat memasuki era post-industri dan kebudayaan memasuki jaman post-modern 6. Pada era ini pengetahuan memperoleh legitimasi terutama melalui kriteria kinerja yang dimilikinya. Pengetahuan menjadi legitim jika bertujuan meningkatkan kekuasaan melalui kinerja yang dimilikinya berupa proses pencarian kemungkinan hasil terbaik yang didasarkan pada kriteria masukan/keluaran. ( the best possible input/output equation ).
Pendidikan sebagai salah satu bidang yang berurusan dengan transmisi pengetahuan tak luput dari kriteria ini. Kualitas sebuah pendidikan hanya bisa diukur dari kriteria dominan yang ada, yaitu, kriteria daya hasil yang dilihat melalui kinerjanya. Maka yang menjadi kriteria umum adalah bagaimana sekolah mendidik dan mengajar masukan (siswa) yang mereka terima sehingga menghasilkan keluaran yang baik dan maksimal. Jadi sekolah dinilai berdasarkan kriteria input/output yang diharapkan memiliki relevansi dalam menanggapi tuntutan masyarakat.
Usaha untuk menghasilkan orang yang memiliki kecakapan teknologi dan siap kerja di tengah tuntutan masyarakat global merupakan salah satu saja dari keseluruhan tujuan pendidikan manusia. Aristoteles (384-322 SM), misalnya, membedakan tiga tujuan pendidikan sebagai sebuah disiplin pengetahuan, yaitu a) pengetahuan sebagai disiplin teoritis, b)pengetahuan sebagai disiplin praktis dan c) pengetahuan sebagai disiplin produktif. Kinerja yang diukur dengan kriteria kecakapan kerja dan melek teknologi termasuk bagian dari pengetahuan sebagai disiplin produktif. Dikatakan produktif karena tujuan ( telos ) yang dimiliknya adalah untuk menghasilkan sesuatu (seperti benda-benda seni, lukisan, artifak, dll) yang mengandaikan adanya ketrampilan teknis tertentu.
Di masa lalu pendidikan diarahkan agar siswa sampai pada penemuan kebenaran melalui kontemplasi. Pencarian kebenaran menurut Aristoteles merupakan dari disiplin teoritis sebab kegiatan tertinggi yang dapat dilakukan oleh manusia adalah mencari kebenaran melalui kontemplasi. Tujuan ( telos ) dalam disiplin teoritis adalah dengan melalui kontemplasi si pelajar mencari dan menemukan pengetahuan demi kepentingan pengetahuan itu sendiri.
Di lain pihak, pencarian kebenaran pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri hanyalah akan menjadi sikap egois yang tak memiliki dampak langsung pada kehidupan sosial jika tidak diimbangi dengan hadirnya disiplin praktis sebuah pendidikan. Kontemplasi atas kebenaran mesti menjadi panduan dalam proses penataan kehidupan bersama. Karena itu, Aristoteles mengintegralkan kepentingan praktis tujuan pendidikan. Disiplin praktis terarah pada kebijaksanaan harian yang berurusan erat dengan dimensi etis dan politis. Di sinilah kontemplasi memperoleh jembatan dalam rangka kehidupan masyarakat. Kebijaksanaan praktis yang dimotivasi terutama oleh nilai-nilai etis dan politis memungkinkan proses pendarahdagingan kebenaran dalam kerangka hidup bersama.
Sayangnya, di era post-industri legitimasi pengetahuan rupanya tidak lagi didasarkan pada kebenaran, melainkan pada peningkatan kekuasaan melalui kinerja yang dimilikinya. Masyarakat yang memasuki era komputer membutuhkan orang-orang yang mampu bekerja dalam bahasa komputer. Ilmu yang berkembangpun tak jauh dari 'bahasa' teknologi yang ada, seperti sains komputer, ahli sibernetik, dll. Mereka yang tidak produktif dan efektif akan dengan sendirinya tersingkir dari laju masyarakat.
Lembaga pendidikan akan dilirik banyak orang ketika menawarkan sebuah keluaran yang mampu bekerja dan masuk dalam sistem bahasa informatika. Di sinilah Lyotard melihat mulai lenyapnya narasi humanis-idealis yang dulu menjadi monopoli negara. "Gagasan bahwa pembelajaran selalu ada dalam kontrol negara sebagai otak dan pikiran masyarakat makin hari akan makin tidak relevan seiring dengan meningkatnya kekuatan prinsip-prinsip yang menentangnya yang menganggap bahwa masyarakat akan eksis dan mengalami kemajuan hanya jika pesan-pesan yang beredar di dalamnya merupakan informasi yang kaya dan dapat dengan mudah dikodifikasi. 7"
Jika analisis Lyotard benar, lembaga pendidikan dalam masyarakat post-industri akan memiliki defisit dan timpang dalam strategi kerjanya sebab pendidikan hanya dilihat dari tujuan produktifnya semata. Yang terancam adalah idealisme pendidikan yang ingin menekankan integrasi pendidikan dalam tiga dimensinya seperti direfleksikan oleh Aristoteles, yaitu, pribadi kontemplatif yang mampu mendarahdagingkan kebenaran pengetahuan dalam kerangka tindakan politis-etis lewat tindakan produktifnya.
Kriteria dengan model input-output seperti ini sebenarnya tolok ukur yang ambigu dan relatif tergantung pada masukan dan keluaran macam apa yang diinginkan. Walau demikian, kriteria yang mengukur kualitas lembaga pendidikan berdasarkan kinerja tetaplah relevan dengan catatan tidak meredusirnya hanya pada dimensi produktif semata. Peredusiran seperti ini jelas mempermiskin sebuah kenyataan tentang manusia dan peranan penting lembaga pendidikan.
Kinerja pendidikan yang baik mesti memperhatikan pertumbuhan tiga dimensi penting seperti direfleksikan oleh Aristoteles, yaitu, siswa yang mampu menemukan kebenaran, mampu menerapkan dan melaksanakan dalam terang kehidupan praktis (dimensi etis dan politis) dan memiliki kemampuan teknis-produktif yang terinspirasi dari kebenaran itu. Hanya dengan cara seperti inilah sebuah masyarakat bisa melanggengkan keutuhannya, sebab berisi manusia yang hidup, bukan hanya robot-robot yang bekerja tanpa otak tanpa hati dan tanpa panduan moral.
Matinya budaya baca tulis
Selain adanya tegangan antara tujuan lembaga pendidikan dengan tuntutan pelatihan demi ekonomi pasar, kemajuan teknologi informasi ternyata secara sistematis dan struktural memperlemah kemampuan-kemampuan dasariah manusia.
Kemajuan teknologi informasi melalui media cetak seperti, koran, majalah, buku,dll, dan media elektronik (televisi, internet, perangkat multimedia, dll) di satu sisi memberi manusia informasi alternatif, menawarkan jutaan imajinasi, dll, namun di lain pihak menghasilkan gejala buta huruf jenis baru, yaitu, buta huruf fungsional.
Buta huruf fungsional adalah sebuah keadaan di mana kapasitas dan kemampuan manusia paling mendasar dalam berekspresi dan berpikir menjadi mandeg. Membanjirnya informasi membuat kemampuan membaca, menulis, menghitung, dan mengingat lumpuh. Para pelajar menjadi semakin pasif dan miskin perbendaharaan kata. Melimpahnya data memposisikan manusia sebagai sekedar keranjang sampah informasi semata sehingga kemampuannya untuk mengolah data dan membuat refleksi secara sistematis dan tergarap dengan baik makin menurun. Pasifitas adalah dampak nyata dari kemajuan teknologi ini.
Fenomena ini tidak terjadi tak hanya di negeri kita, namun juga di Eropa, sebuah zona di mana pendidikan telah menjadi tradisi selama berabad-abad.
"Jika abad 19 bisa disebut sebagai abad kehadiran sekolah-sekolah ( scolarizzazione ), abad 20, menurut beberapa pengamat, berresiko menjadi sebuah jaman yang ditandai dengan matinya kemampuan membaca dan kemampuan menulis, 8" ujar pemerhati pendidikan Maria Cavallieri dalam harian La Repubblica 17 Januari 1999.
Di negeri kita, kebiasaan baca tulis ini bahkan belum sempat berkembang. Secara sinis bisa dikatakan kita tidak mengalami kematian budaya baca tulis, sebab budaya membaca dan menulis yang kita miliki belum sempat hidup namun masyarakat sudah terlanjur diterjang oleh keganasan media elektronik yang memandulkan kebiasaan membaca dan menulis.
Kenyataan ini dapat dibaca dengan jelas melalui data yang dikeluarkan oleh National Labour Survey pada tahun 2000 yang membahas tentang daya jangkau orang Indonesia terhadap media massa. Dari tahun 1993-2000 terdapat peningkatan signifikan dalam masyarakat (berusia lebih dari 10 tahun) atas kebiasaan menonton televisi, yaitu dari 64.77% (1993) meningkat menjadi 87.97% (2000). Sedangkan mereka yang mendengarkan radio semakin menurun, dari 63.59% (1993) menjadi 43.72%(2000). Yang lebih parah adalah penurunan drastis pada minat baca (koran dan majalah), yaitu, dari 23.31% (1993) sampai 17.47% (2000).
Matinya budaya baca dan budaya tulis membuat masyarakat kita terjerumus sekedar menjadi masyarakat penonton yang dijejali berbagai macam data, imajinasi, yang kebenaran dan keakuratannya tak dapat diandalkan. Masyarakat menjadi tak tahu lagi mana yang isu, fitnah, berita sungguhan, kejadian sungguhan atau rekaan,dll. Masyarakat global yang ditunjang dengan internet menghantar kita memasuki era baru yang disebut 'masyarakat informasi'. Dengan adanya internet, bank data, dll, tidak ada lagi 'rahasia intelektual'. Ilmu pengetahuan menjadi semacam 'data publik' yang dengan mudah diakses oleh siapapun. Masyarakat belajar dari milyaran data yang disodorkan lewat internet.
Di satu sisi, akses pada pengetahuan semakin mudah, namun di lain pihak kita juga kesulitan untuk mendefinisikan batas-batas berkaitan dengan penyebaran data tersebut. Siapa pemimpin, siapa pengikut, siapa pengguna siapa pembuat, ada semacam anonimitas dalam dunia internet. Simulasi, dunia maya yang ditawarkan internet bisa membuat orang terkecoh, salah data, dan kemampuannya memandang kenyataan berpotensi terdistorsi. Dalam situasi ini mendesak adanya etika media dan penegakan etika di kalangan para intelektual agar degradasi kemanusiaan dapat dihindari.
Krisis ekonomi dan privatisasi PTN
Privatisasi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) adalah contoh lain kebijakan reaksioner yang dilakukan pemerintah. Korban kebijakan reaksioner atas privatisasi ini adalah orang-orang miskin, matinya cabang ilmu yang tidak menghasilkan banyak uang, makin jauhnya universitas pengabdian pada masyarakat. Privatisasi membuat Universitas menjadi menara gading.
Privatisasi PTN sesungguhnya berawal krisis ekonomi yang mendera bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 90-an dan memuncak pada tahun 1997. Krisis ekonomi memaksa bangsa Indonesia bekerja sama dengan lembaga keuangan internasional (IMF). IMF mau memberikan pinjaman dengan syarat adanya pencabutan beberapa subsidi di sektor publik. Semenjak itu terjadi berbagai macam kenaikan harga, seperti tarif listrik, bahan bakar minyak, yang lantas diikuti melmabungnya berbagai macam kebutuhan harian masyarakat. Bagi dunia pendidikan, dampak paling nyata adalah Privatisasi PTN.
Privatisasi PTN dituangkan dalam peraturan pemerintah P P 61/1999 dan PP 153/2000 yang mengubah status Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara. Privatisasi berarti berarti pencabutan subsidi pendidikan secara bertahap selama 5 tahun terhitung sejak tahun 1999. Semenjak itu Perguruan tinggi dituntut mencari dana secara mandiri untuk membiayai pendidikannya.
Dampak langsung dari kebijakan ini antara lain, melambungnya biaya pendidikan tinggi di universitas negeri, semakin jauhnya harapan orang miskin untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi yang bermutu. Di Universitas Gadjah Mada, misalnya, pada tahun 2002 terdapat sekurang-kurangnya 1000 calon mahasiswa yang mengundurkan diri karena ketidakmampuan membiayai ongkos pendidikan. Universitas yang terkenal dengan visi kerakyatannya itupun tak bisa berbuat lain selain menaikkan biaya sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) akibat dicabutnya subsidi pemerintah tersebut.
Dalam kerangka kemajuan ilmu, privatisasi PTN membawa dampak lain bagi nasib bidang studi yang tidak menghasilkan uang, seperti, sejarah, filsafat,teologi, antropologi, sosiologi, dll. Bidang-bidang ilmu yang makin laku, sebab menghasilkan banyak uang dan cukup aktual dengan yang dibutuhkan dunia industri dalam masyarakat kapitalis, misalnya, informatika, akuntansi-keuangan, ilmu hukum perdagangan, ilmu bisnis dan manajemen, akan semakin dipenuhi banyak mahasiswa.
Privatisasi PTN yang memiliki maksud baik untuk membuat setiap perguruan tinggi negeri semakin mandiri
dalam kerangka kerja ilmunya, ternyata menyimpan bara ketidakadilan sosial, melanggengkan kemiskinan, dan mencabut-hak-hak orang miskin atas pendidikan tinggi yang semestinya disediakan oleh negara. Sebab, kemandirian ternyata dipahami sekedar sebagai pembebasan universitas untuk mencari uang demi melaksanakan roda pendidikannya. Maka tak mengherankan jika Universitas makin menjadi menara gading dan makin jauh dari pengabdian masyarakat.
Privatisasi semakin membuat Universitas kehilangan otonomi, baik dalam kinerja intelektual, maupun penelitian. Sebab hanya proyek penelitian yang laku dijual di pasar sajalah yang akan menjadi ladang garapan para akademisi. Ilmu-ilmu yang tak menghasilkan uang seperti, filsafat, sosiologi, antropologi, teologi, sejarah, arkeologi, dll makin kurang peminat. Universitas makin kehilangan identitasnya sebagai sebuah tempat yang mengklaim memberikan pengajaran universal 9.
Kedok ideologis dibalik privatisasi PTN adalah persaingan dan pasar bebas. Namun yang terjadi sesungguhnya adalah lepasnya tanggungjawab negara dalam memberikan pelayanan publik paling esistensial demi kelanggengan sebuah negara. Tugas negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti amanat agung yang terdapat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, dan tugas negara untuk menjamin dipenuhi hak-hak warga negara atas pengajaran (UUD 1945 pasal 31) inilah yang ingin dihapus dalam kebijakan privatisasi PTN.
Epilog
Situasi pendidikan yang carut marut seperti ini menuntut sebuah reformasi sistemis di bidang pendidikan. Berhadapan dengan persoalan dalam dunia pendidikan yang begitu kompleks dibutuhkan semangat pembaharuan, bukan semangat mempertahankan status quo . Kita tidak bisa memandang pembaharuan dalam ruang tertutup dan menostalgiakan sekolah di masa lalu yang sesungguhnya tidak ada lagi.
Di mana pun, penelaahan tentang situasi pendidikan mesti diletakkan dalam kerangka kehidupan sosial yang lebih luas. Sebab meskipun pendidikan menempatkan para siswa dalam sebuah ruang kelas tertutup, apa yang mereka pelajari menembus batas-batas dinding tembok sekolah mereka, apa yang mereka pelajari memiliki dampak langsung bagi kelanggengan sebuah masyarakat dan negara. Pendidikan memiliki visi terarah ke masa depan. Karena itu, persoalan tentang pendidikan tidak dapat dilihat sekedar sebagai persoalan yang terjadi dalam dunia pendidikan itu sendiri. Reformasi bidang pendidikan sebenarnya lebih merupakan pekerjaan yang lebih kental dengan muatan politis dan kultural. Karena itu, reformasi bidang pendidikan mesti dijiwai dengan reformasi politik dan kultural. Proyek politik-kultural suatu pemerintahan dalam bidang pendidikan akan menentukan hidup matinya sebuah lembaga pendidikan.
Ada beberapa alternatif yang bisa kita ajukan menghadapi kompleksitas permasalahan tegangan antara pendidikan manusia dengan tuntutan pelatihan kerja bagi ekonomi global.
Pertama, dalam memandang keterkaitan antara pendidikan manusia dengan kebutuhan nyata yang diharapkan oleh pasar, diperlukan sebuah visi yang jernih tentang relasi antara lembaga pendidikan dengan lembaga bisnis. Lembaga bisnis memiliki relasi yang cukup esistensial dengan dunia pendidikan, namun tidak sebaliknya. Pendidikan memiliki tujuan yang lebih luhur dibandingkan sekedar tanggapan untuk memenuhi kebutuhan atas permintaan pasar. Karena itu, kebijakan Link and Match hanya dapat diterapkan secara parsial-proporsional sesuai dengan relevansi setiap bidang ilmu dalam kerangka kemajuan teknologi industri dan informasi.
Meskipun dunia pendidikan tidak selalu harus memiliki kaitan dengan apa yang dituntutkan oleh pasar, sikap responsif aktif terbuka dan proporsional dalam mengantisipasi kemajuan teknologi merupakan conditio sine qua non yang mesti segera dipertimbangkan dalam model pedagogis-didaktisnya. Masyarakat kita akan makin terbiasa dengan model pembelajaran yang memanfaatkan multimedia (gambar-suara-gerakan). Pemanfaatan teknologi multimedia bagi pendidikan merupakan sebuah kemendesakan yang tak dapat ditunda.
Kedua , lembaga pendidikan tidak dapat hidup secara independen terlepas dari kaitannya dengan negara dan masyarakat. Fakta bahwa lembaga pendidikan kita menghasilkan orang-orang yang tidak siap masuk pada dunia kerja, menjelaskan kenyataan bahwa lembaga pendidikan kita agak tertinggal dalam hal struktur dan infrastruktur dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Lembaga pendidikan dengan kekuatannya sendiri tidak dapat memperbaiki infrastruktur yang dimilikinya tanpa dukungan kuat dari negara. Pendidikan membutuhkan pembiayaan yang mahal. Negara tidak bisa membiarkan lembaga pendidikan mengemis ke sana kemari pada dunia bisnis untuk menyambung nafasnya hari demi hari, sementara milyaran uang negara hasil pajak rakyat dikorupsi dan dikemplang oleh para pengusaha hitam!
Karena itu, kebijakan Link and Match paling mendesak bukanlah Link and Match antara dunia pendidikan dengan dunia industri. Link and Match yang strategis adalah keterkaitan dan kesepadanan antara kebijakan pemerintah yang disejajarkan dengan tujuan jangka panjang pendidikan nasional selaras dengan kebutuhan nyata yang ada dalam dunia pendidikan. Kalau banyak sekolah-sekolah inpres mulai ambruk, yang perlu di link adalah kebijakan pemerintah dalam memperbaiki sarana-sarana pendidikan ini, sehingga dunia pendidikan memiliki kesepadanan dalam melaksanakan misi pendidikannya bagi masyarakat. Karena itu, yang perlu di integralkan adalah konsistensi kebijakan pemerintah bagi berkembang dan bertumbuhnya dunia pendidikan. Link and Match kebijakan pemerintah dengan dunia pendidikan sangat mendesak untuk segera diwujudnyatakan.
Pemerintah melalui aparatur negaranya, tidak dapat melarikan diri dari tanggungjawabnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa seperti diamanatkan oleh para pendiri bangsa dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Keputusan politik di bidang pendidikan yang lebih berpihak pada dunia pendidikan merupakan tanda adanya orientasi politik yang berkomitmen pada kehidupan bangsa. Dibutuhkan kebijakan politik yang kuat agar negara tetap berada dalam jalurnya sebagai penanggungjawab utama hidup matinya dunia pendidikan. Tak berlebihanlah bila masyarakat mengharapkan, melalui dukungan penuh pemerintah, bahwa lembaga pendidikan menemukan kembali semangat aslinya sebagai lembaga yang mendidik rakyat. Bukan lembaga yang malahan mendodosi (menggerogoti) rakyat.
Ketiga, dunia pendidikan semakin hari semestinya semakin meningkatkan kinerjanya. Tolok ukur kinerja pendidikan berdasarkan maksimalisasi hasil antara masukan dan keluaran tetap merupakan kriteria yang relevan untuk mengukur sejauh mana pendidikan yang kita lakukan memang efektif dan efisien. Namun kriteria kinerja ini tidak dapat dipersempit sekedar formasi masukan dan keluaran yang siap terjun dalam dunia kerja yang dibutuhkan masyarakat, lebih dari itu, kriteria kinerja dilihat dalam kerangka lebih luas, yaitu, dalam kerangka pendidikan dan pertumbuhan manusia secara penuh pribadi-per pribadi. Maka ukuran yang dipakai adalah sejauh mana pendidikan kita mampu membuat setiap pribadi bertumbuh dalam keseluruhan dimensi hidupnya baik secar kualitatif maupun kuantitatif (intelektual, moral, teknis, emosi, dll). Adanya kasus katrol nilai ebtanas merupakan salah satu contoh bahwa dunia pendidikan belum dapat menilai kinerja pendidikan di lingkungannya sendiri secara meyakinkan. Jika membuat penilaian atas hal-hal kuantitatif-terukur seperti, menentukan hasil ebtanas saja lembaga pendidikan kita tidak bisa, bagaimana menentukan kriteria lain yang lebih mendasar seperti menilai pertumbuhan budi pekerti seoarang siswa misalnya? Jangan bicara soal budi pekerti jika membuat evaluasi nilai ebtanas saja tidak becus!
Tiga hal di atas merupakan syarat-syarat mendasar yang semestinya dipertimbangkan jika kita ingin memulai sebuah reformasi pendidikan yang benar-benar memiliki visi. Kita tahu, memperbaiki dunia pendidikan bukanlah pekerjaan rumah setahun dua tahun. Reformasi pendidikan semestinya merupakan sebuah usaha konsisten, terarah, dan berkesinambungan dengan tolok ukur jangka pendek dan jangka panjang yang dapat dievaluasi dan diteruskan oleh siapapun yang memegang tampuk pemerintahan. Kita menantikan sebuah pemerintahan yang benar-benar dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dalam kehidupan nyata, bukan malahan menjerumuskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa, itulah amanat luhur para pendiri Republik ini ketika mereka membangun negeri Republik Indonesia.
Artikel dimuat dalam buku Pendidikan Manusia Indonesia, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2004, hlm. 196 - 216.
Referensi
1.Jean-Francis Lyotard, The Postmodern condition : a report on knowledge, University of Minnesota Press , Mineapolis,(1979), hlm.47
2.John Henry Cardinal Newman, The Idea of University defined and illustrated , Longmans, London , 1907, hlm.104
3.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Konsep Sistem Ganda pada Pendidikan Menengah Kejuruan di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
4.Lorenzo Capitani dan Roberto Villa (editor), dalam Scuola, intellettuali e identità nazionale nel pensiero di Antonio Gramsci , Penerbit Gamberetti, Roma, 1997, hlm 13
5.Antonio Gramsci, Quaderni del Carcere (Vol III), edisi kritis Institut Gramsci, oleh Valentino Gerratana, Torino. Enaudi, 2001, Quaderno 12 (1932:Per la storia degli intellettuali ), hlm.1542
6.Jean-Francis Lyotard, Op.cit . hlm. 3
7.Lyotard. J.F., Op.cit hlm 5
8.Lorenzo Capitani dan Roberto Villa (editor), Op.cit hlm. 18.
9.Newman, J.H., op.cit . hlm 20