Showing posts with label Tantangan MEA. Show all posts
Showing posts with label Tantangan MEA. Show all posts

Wednesday, 25 May 2016

Untuk Hadapi MEA, Pemerintah Harus Perbaharui Sistem Pendidikan



Jakarta, NU Online. Dalam rangka Hari Pendidikan Nasional dan sekaligus memprediksi serta menyiapkan langkah dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Forum Temu Kebangsaan Orang Muda menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Tantangan Dunia Pendidikan Menghadapi MEA” di Griya Gus Dur, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (03/5). 

Hadir sebagai pembicara adalah pemerhati serta penulis buku-buku pendidikan, Doni Koesoema A dan praktisi pendidikan, Jimmy Paat. 

Mengawali paparannya, Doni Koesoema mengajak peserta diskusi untuk berkaca pada kemunduran perusahaan Nokia seperti dikatakan CEO-nya Stephen Elop, “We didn’t do anything wrong, but somehow, we lost (Kami tidak melakukan kesalahan, tetapi entah bagaimana bisa kalah).” 

Nokia sempat menjadi perusahaan besar yang dikelola dengan manajemen yang baik, tetapi bisa mundur. “Kalau sesuatu yang dikelola dengan baik saja bisa mundur, bagaimana dengan sesuatu yang dikelola asal-asalan?” kata Doni yang kemudian mengaitkannya dengan dunia pendidikan Indonesia dewasa ini. 

Menurut Doni, pendidikan abad 21 harus memuat aspek-aspek pengetahuan, keterampilan, karakter, metakognisi (kemampuan untuk mengontrol ranah atau aspek kognitif), dan spiritualitas. Doni mengatakan, dalam menyiapkan MEA, masyarakat Indonesia perlu menyiapkan kemampuan berbahasa asing dan kompetensi di bidang tertentu. Bahasa asing yang dimaksud Doni tidak hanya bahasa Inggris, tetapi juga bahasa asing di negara lain, misalnya bahasa Tagalog di Filipina. 

Sementara kompetensi adalah kemampuan yang diperlukan sesuai standar yang berlaku di seluruh negara ASEAN. Pemerintah, menurut Doni, perlu menyiapkan langkah pembaharuan dengan mempersiapkan struktur kurikulum agar dapat bersaing di era global. Kurikulum yang diajarkan adalah untuk menyiapkan generasi muda dengan pengalaman belajar, membentuk serta memperkuat karakter dan kemampuan untuk bisa bersaing di masa mendatang. 

Kemampuan berkomunikasi, berpikir kreatif, kepemimpinan juga harus ada. Kurikulum harusnya menyiapkan siswa untuk itu karena kalau tidak, siswa akan menghadapi kesulitan. 

Sementara Jimmy Paat mendorong para siswa untuk memiliki rasa cinta terhadap pendidikan seperti yang contohkan Ki Hajar Dewantara. Di era MEA pendidikan juga harus menyiapkan siswa untuk menghargai produk lokal, tidak justru berbangga-bangga dengan menjadi konsumen dari produk-produk asing. (Kendi Setiawan/Mahbib)

Sistem Pendidikan Pesantren Lebih Siap Hadapi Tantangan MEA

Jumat, 13 Mei 2016 12:00 Wawancara  

Pendidikan karakter dinilai tepat untuk mengembangkan kepribadian siswa. Salah satu pemerhati pendidikan yang juga mengembangkan pendidikan karakter adalah Doni Koesoema A.

Dikaitkan dengan dunia pesantren dalam menghadapi tantangan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan pendidikan karakter, Master Pendidikan lulusan Boston College Lynch School of Education, AS ini memprediksi pola dunia pesantren akan lebih siap. Berikut wawancara Kontributor NU Online Kendi Setiawan dengan Doni. 

Pak Doni, Anda kan dikenal aktif mengembangkan pendidikan karakter. Sebenarnya pendidikan karakter di Indonesia sudah seperti apa? 

Pendidikan karakter itu sebenarnya sudah banyak dipraktikkan di sekolah-sekolah kita. Cuma sering kali apa yang sudah dilaksanakan ini belum disadari sebagai bagian pembentukan nilai. Maka orang selalu bingung, kita ini sudah melaksanakan pendidikan karakter atau belum. 

Nah, dengan menyadari kembali pendidikan karakter, orang harus tahu dasar-dasarnya apa, agar dia bisa memperbaiaki. Selama ini memang sudah ada, namun karena sering kali tidak dievaluasi dan direfleksi, sehingga orang tidak tahu apakah ini sudah benar, apakah program-program yang dilakukan itu sudah benar-benar membentuk karakter atau tidak. Itu yang kurang digali. Itu yang sejauh pengamatan saya. 

Ada bebarapa pertentangan terhadap pendidikan karakter, ada yang tidak setuju. Misalnya saya pernah menjumpai praktisi pendidikan, dia lebih menyukai Matematika atau eksakta saja. Itu bagaimana? 

Jadi mereka itu tidak suka pendidikan karakter karena mereka salah  memahamai konsep pendidikan karakter. Dia pikir untuk belajar Matematika itu nggak ada kaitannya dengan pendidikan karakter. Padahal justru Matematika itu banyak pendidikan karakternya. Di sekolah di luar negeri misalkan Matematika, anak itu kalau mengerjakan harus pakai pulpen.  Kenapa di Indoensia malah pakai pensil misalnya anak-anak SD? Sementara di luar mereka wajib pakai pulpen supaya nggak bisa dihapus dan guru bisa tahu cara berpikirnya. Itu kan membentuk cara berpikir yang lurus dan guru bisa mengevaluasi. Di situ sebenarnya ada pembentukan karakter. Nah berarti ada kekeliruan dalam memahami pendidikan karakter sehingga orang menganggap Matematika, IPA, Sains itu nggak ada kaitannya dengan pendidikan karakter, dan ini salah menurut saya.

Harusnya ada justru misalnya Matematika pendidikan karakter itu ada di sini.  Kalau saya punya pendapat bahwa dua tambah dua empat itu benar, saya harus mempertahankan pendapat saya bahwa itu benar. Tapi kalau saya kemudian tahu bahwa pendapat saya salah, saya harus berani mengubah bahwa pendapat saya salah. Itu pendidikan karakter ada di sana. 

Saya beberapa kali mendengar Anda menyebut pondok pesantren bagus sebagai tempat pendidikan. Itu dari mana asumsinya, padahal Anda bukan warga Muslim? 

Saya tahu itu karena saya pernah banyak juga bekesplorasi di tempat-tempat itu (pondok pesantren). Saya pernah di Tebuireng, kunjungan ke sana lalu melihat pendidikan di pesantren. Lalu ke Samanera yang di Borobudur, bahkan menginap di sana sampai satu minggu, ikut doa-doa mereka. Saya rasa pondok pesantren benar-benar membentuk individu dengan budaya yang kuat.

Kemudian keterikatan dengan lingkungan setempat sebagai proses pembelajaran itu ada. Saya nggak menemukan pondok pesantren ada pagarnya. Di banyak pondok pesantren yang ada itu terintegrasi dengan masyarakat. Beda di seminari misalnya di Martoyudan, itu kan ada pagarnya, tapi di ponpes itu kebanyakan nggak.

Waktu saya di Bima memang ada pagarnya. Tetapi, mereka relatif bergaul dengan masyarakat. Jadi saya rasa ponpes model pembelajaran yang menurut saya bagus, Karena di sana kan kiai-kiai, artinya menginterpretasikan ajaran-ajaran agama itu lebih kontekstual, jadi arahnya tidak ideologis saja. Dan itu yang membuat pesantren maju dan bisa menjadi role model untuk proses pendidikan. 

Kalau dikaitkan dengan tantangan MEA, pendidikan pesantren itu bagaimana? Apa ada perbedaan dengan sistem pendidikan di tempat lain? 

Menurut saya harusnya membedakan, karena di pesantren individu dibekali oleh kekuatan spiritual yang bagus. Lalu kontak budaya dan kontak dengan masyarakat yang kuat, itu sebenarnya bisa menjadi modal.

Di sisi ekonominya di pondok pesantren memang perlu bagaimana memberdayakan ekonomi masyarakat. Dan saya rasa ini akan mengubah bangsa ini akan lebih cepat maju. Saya melihat begini, di masjid-masjid ada banyak, istilahnya, arus uang. Tetapi kalau di masjid ada kas, misalnya di Tangerang (tempat tinggal Doni), dipakai untuk membangun gapura. Padahal di sekitarnya banyak orang miskin.

Nah, saya membayangkan seandainya di setiap masjid, mereka punya perhatian terhadap pemberdayaan ekonomi orang-orang miskin, bangsa ini akan cepat maju, naik kelas. Dan proses pendidikan di pesantren akan membantu karena sejak awal mereka sudah dekat dengan masyarakat, mengenal siapa masyarakat di sekitar, anak-anak di sekitar pesantren tahu siapa yang miskin siapa yang bisa dibantu. 

Kalau sistem pendidikannya sendiri bagaimana di pondok pesantren menghadapi tantangan MEA? 

Kalau saya sistem enggak paham secara khusus. Tapi saya lihat pondok pesantren lebih ke pendidikan yang dinamis. Mereka memang selain kekuatan nilai-ilai tradisional, lalu kitab yang dilatihkan dengan model menghapal, kemudian terbatinkan, diwujudkan melalui praktik. Itu bagi saya bisa menjadi modal yang bisa dipindahkan, misalkan menghadapi tantangan di luar kan kita harus tahu apa yang ada di dalam masyarakat, apa yang dibutuhkan kan akan mencari cara yang lebih baik untuk mengantisipasinya. Dan di era MEA ini, tentu yang dibutuhkan kemampuan bahasa. Di pesantren bahasanya bagus. Itu kan menurut saya luar biasa. 

(Kendi Setiawan)
Sumber: NU Online

Pendidikan Keagamaan