Oleh Doni Koesoema A
Memprihatinkan! Mengawali tahun ajaran baru dan bulan puasa, tawuran di beberapa sekolah negeri Jakarta muncul lagi.
Tawuran
menunjukkan lemahnya kepemimpinan, kultur sekolah, dan ketidakhadiran
negara (dalam bentuk ketidakberdayaannya aparat kepolisian) dalam
menyikapi persoalan serius ini. Pendidikan karakter dalam konteks
tawuran tidak bisa diatasi dengan imbauan, pembuatan kesepakatan damai
antarsiswa atau sekolah, tetapi dengan pendekatan yang lebih
komprehensif dan komitmen dari banyak pihak. Maka, kultur pendidikan
karakter yang nyaman dan aman (caring community) di sekolah tidak bisa
ditawar lagi!
Tanggung jawab minim
Tradisi
tawuran di SMA yang sudah terjadi bertahun-tahun menunjukkan minimnya
kesadaran dan tanggung jawab pemimpin sekolah terhadap lembaga
pendidikan yang dikelolanya. Memang, di sisi lain tawuran pelajar sering
terjadi selepas jam sekolah, bahkan pada sore hari, sehingga secara
lokalitas sudah di luar batas pagar sekolah.
Mengapa terjadi
terus-menerus? Berkelanjutannya aksi tawuran ini karena para pemimpin
sekolah kurang memiliki rasa tanggung jawab atas persoalan penting di
sekolahnya. Tidak bisa pemimpin sekolah hanya berujar, ”Kejadian itu di
luar lingkup sekolah, maka kami tidak ikut bertanggung jawab!” Sikap
seperti ini mengerdilkan tanggung jawab pemimpin pendidikan dalam
membentuk karakter siswa.
Pendekatan ritual, yang menekankan
pembuatan kesepakatan damai antarpihak sekolah yang berselisih, tidak
akan efektif karena perubahan untuk pembentukan karakter tidak cukup
hanya mengandalkan selembar kertas yang ditandatangani bersama. Yang
dibutuhkan adalah pembelajaran bersama antarsekolah dan antarsiswa
tentang pentingnya membangun sikap damai dan menghargai individu itu
sebagai makhluk bermartabat, bukan benda atau barang yang bisa dirusak
setiap saat.
Kultur sekolah lemah
Selain
unsur kepemimpinan, pendidikan karakter yang efektif akan terjadi
ketika setiap individu dalam lembaga pendidikan merasa aman dan nyaman
bersekolah. Tanpa perasaan itu, prestasi akademis siswa akan menurun.
Siswa juga tidak dapat belajar dengan baik karena selalu dihantui rasa
waswas, apakah mereka akan selamat saat berangkat atau pulang sekolah.
Perasaan
aman dan nyaman akan muncul bila setiap individu yang menjadi anggota
komunitas sekolah merasa dihargai, dimanusiakan, dan dianggap bernilai
kehadirannya dalam lingkungan pendidikan. Masalahnya adalah, budaya
kekerasan telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat kita, menggerus
kultur sekolah dengan wujud yang berbeda. Misalnya, ketika lembaga
pendidikan menerapkan sistem katrol nilai, di sini telah terjadi
ketidakadilan dan pelecehan terhadap kinerja individu. Mereka yang gigih
belajar dan mendapatkan nilai baik, tidak berbeda dengan yang tidak
gigih belajar, malas, karena mereka dikatrol sehingga nilainya juga
baik.
Kultur sekolah ini sesungguhnya bertentangan dengan prinsip
penghargaan terhadap individu. Individu telah dimanipulasi sebagai alat
pemenangan nama baik sekolah melalui sistem katrol. Dengan demikian,
sekolah seolah-olah memberi citra bahwa pendidikan di sekolah itu baik
dan ini terbukti dari kelulusan atau kenaikan kelas 100 persen.
Menghargai
individu sesuai dengan harkat dan martabatnya, serta menghargai sesuai
dengan jasa dan usahanya dalam belajar, merupakan sebentuk praktik
keadilan. Praksis keadilan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan akan
membuat individu itu nyaman dan semakin termotivasi dalam meningkatkan
keunggulan akademik. Ketika kebanggaan pada kualitas akademis
berkurang, siswa mencari pembenaran dengan penghargaan diri palsu di
luar, termasuk tawuran.
Ketidakhadiran negara
Fenomena
tawuran menjadi indikasi jelas bahwa negara tidak hadir, bahkan
cenderung membiarkan dan mengafirmasi kekeliruan pemahaman bahwa bila
suatu tindak kejahatan dilakukan bersama-sama, maka hal ini dapat
dibenarkan.
Ketika aparat kepolisian hanya diam saja berhadapan
dengan kegarangan siswa yang membawa golok, rantai, dan bambu runcing di
jalanan, saat itulah sebenarnya aparat kepolisian menelanjangi diri
dan menunjukkan bahwa negara absen.
Pendidikan karakter yang
efektif mensyaratkan peran serta komunitas di luar sekolah sebagai
rekan strategis dalam pengembangan pendidikan. Karena itu, peran serta
komunitas, seperti media, orangtua, aparat kepolisian, pejabat
pemerintah, dalam upaya mengikis perilaku tawuran sangatlah diperlukan.
Negara seharusnya tetap hadir dan menjadi pendidik masyarakat untuk
menaati ketertiban dan hukum.
Untuk mengatasi persoalan tawuran dan menghentikan rantai kekerasan, kiranya ada beberapa solusi.
Pertama,
kehadiran negara sangat diperlukan agar pendidikan karakter yang
dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan semakin efektif. Untuk
mengatasi tawuran pelajar, ketegasan aparat sangat diperlukan karena
kebiasaan tawuran itu membahayakan diri dan orang lain. Kepolisian harus
bekerja sama dengan sekolah untuk mengembangkan budaya tertib hukum
dan taat aturan. Sikap reaktif, menangkap pelajar yang terlibat
tawuran, memang dibutuhkan, tetapi sikap preventif- edukatif melalui
kerja sama dengan pihak sekolah lebih penting karena akan mengatasi
persoalan pada akarnya.
Kedua, sikap tegas pemerintah. Pemerintah
juga perlu bersikap tegas terhadap unsur kepemimpinan sekolah, baik
itu di sekolah negeri maupun swasta. Pimpinan sekolah yang sekolahnya
selalu terlibat tawuran perlu diganti karena kepemimpinan mereka
terbukti tidak efektif.
Namun, pemerintah juga perlu hati-hati
mengganti unsur kepala sekolah karena di dalam lingkungan sekolah pun
bisa jadi ada persaingan tidak sehat yang memanfaatkan tawuran sebagai
usaha memancing di air keruh demi kepentingan pribadi.
Peran komunitas sekolah
Ketiga,
pendidikan karakter akan efektif kalau seluruh komunitas sekolah
merasa dilibatkan. Ini berarti, mulai dari penjaga keamanan, tukang
kebun, pegawai kantin sekolah, guru, karyawan nonpendidikan, staf guru,
kepala sekolah, dan lain lain, harus mengerti tugas dan tanggung jawab
mereka, terutama yang terkait dengan pengembangan kultur cinta damai
dalam lembaga pendidikan.
Perilaku kekerasan terhadap fisik orang
lain merupakan bentuk nyata tidak dihargainya individu sebagai pribadi
yang bernilai dan berharga. Pendidikan mestinya mengajarkan bahwa
setiap individu itu berharga dan bernilai dalam dirinya sendiri.
Siapa
pun tidak pernah boleh memanipulasi dan mempergunakan bahkan merusak
tubuh orang lain dengan alasan apa pun. Tawuran pelajar merupakan tanda
bahwa penghargaan terhadap tubuh di lingkungan pendidikan kita masih
lemah. Padahal, penghargaan terhadap tubuh ini merupakan salah satu
pilar keutamaan bagi pengembangan pendidikan karakter yang utuh dan
menyeluruh.
Doni Koesoema A Pemerhati Pendidikan
Kompas, 31 Juli 2012