Saturday, 18 August 2012

Telah terbit buku : Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh

Judul: Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh
Penulis: Doni Koesoema A.
Penerbit: Kanisius Yogyakarta
Tahun: 2012


“Saat ini banyak sekolah mulai memikirkan dan menyelenggarakan pendidikan karakter dengan berbagai bentuk yang berbeda. Dalam usaha untuk mencari bentuk pendidikan karakter yang lebih menyeluruh dan utuh, tulisan sdr. Doni Koesoema ini memberikan banyak gagasan, masukan dan alternatif dalam merencanakan pendidikan karakter. Doni menjelaskan arti, dasar, filosofi, dan berbagai metode pendidikan karakter yang integral. Analisis persoalan dalam pendidikan karakter dibahas mendalam. Yang tidak kalah penting, juga  dibicarakan bagaimana menilai dan mengukur keberhasilan pendidikan karakter, yang sering menjadi kesulitan di lapangan. Singkatnya, tulisan ini banyak memberikan kekayaan pada pembaca yang berminat dalam pendidikan karakter di Indonesia.”

Paul Suparno, S.J., guru besar pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

“Karakter adalah dasar dari segala bentuk keberhasilan. Tanpa karakter maka kekayaan, jabatan, dan kekuasaan yang dimiliki seseorang bukanlah keberhasilan. Oleh sebab itu pendidikan karakter sangatlah penting bagi bangsa. Bahkan karakter adalah inti dari pendidikan yang kita tanamkan pada siswa. Kegagalan menanamkan karakter pada siswa akan mendatangkan bencana. Di sinilah pentingnya buku Doni Koesoema ini. Buku ini membahas permasalahan pendidikan karakter sejak teori sehingga praksisnya. Buku ini sangat komprehensif membahas tentang Pendidikan Karakter dan merupakan buku yang sangat layak untuk dijadikan referensi bagi para pendidik yang ingin mengajarkan dan menanamkan karakter bangsa pada anak didiknya.”
  
Satria Dharma, Ketua Umum Ikatan Guru Independen 

“Pendidikan karakter telah menjadi gerakan nasional. Ada kerinduan untuk merevitalisasi pendidikan karakter dalam praksis pendidikan kita. Dalam rangka revitalisasi itu, sudah ada banyak buku dan telaah yang membahas tentang pendidikan karakter. Namun semua itu dirasa masih kurang. Buku sumber tentang pendidikan karakter masih langka. Buku Mas Doni tentang Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh memperkaya wacana dan praksis kita tentang pendidikan karakter. Buku ini pantas dibaca oleh para pendidik, orang tua, pemerhati pendidikan dan masyarakat umum agar revitalisasi pendidikan karakter berjalan dengan lebih baik.”

Fasli Jalal, Mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional.

Wednesday, 15 August 2012

Memutus Rantai Tawuran Pelajar

Oleh Doni Koesoema A

Memprihatinkan! Mengawali tahun ajaran baru dan bulan puasa, tawuran di beberapa sekolah negeri Jakarta muncul lagi.

Tawuran menunjukkan lemahnya kepemimpinan, kultur sekolah, dan ketidakhadiran negara (dalam bentuk ketidakberdayaannya aparat kepolisian) dalam menyikapi persoalan serius ini. Pendidikan karakter dalam konteks tawuran tidak bisa diatasi dengan imbauan, pembuatan kesepakatan damai antarsiswa atau sekolah, tetapi dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan komitmen dari banyak pihak. Maka, kultur pendidikan karakter yang nyaman dan aman (caring community) di sekolah tidak bisa ditawar lagi!

Tanggung jawab minim

Tradisi tawuran di SMA yang sudah terjadi bertahun-tahun menunjukkan minimnya kesadaran dan tanggung jawab pemimpin sekolah terhadap lembaga pendidikan yang dikelolanya. Memang, di sisi lain tawuran pelajar sering terjadi selepas jam sekolah, bahkan pada sore hari, sehingga secara lokalitas sudah di luar batas pagar sekolah.

Mengapa terjadi terus-menerus? Berkelanjutannya aksi tawuran ini karena para pemimpin sekolah kurang memiliki rasa tanggung jawab atas persoalan penting di sekolahnya. Tidak bisa pemimpin sekolah hanya berujar, ”Kejadian itu di luar lingkup sekolah, maka kami tidak ikut bertanggung jawab!” Sikap seperti ini mengerdilkan tanggung jawab pemimpin pendidikan dalam membentuk karakter siswa.

Pendekatan ritual, yang menekankan pembuatan kesepakatan damai antarpihak sekolah yang berselisih, tidak akan efektif karena perubahan untuk pembentukan karakter tidak cukup hanya mengandalkan selembar kertas yang ditandatangani bersama. Yang dibutuhkan adalah pembelajaran bersama antarsekolah dan antarsiswa tentang pentingnya membangun sikap damai dan menghargai individu itu sebagai makhluk bermartabat, bukan benda atau barang yang bisa dirusak setiap saat.

Kultur sekolah lemah

Selain unsur kepemimpinan, pendidikan karakter yang efektif akan terjadi ketika setiap individu dalam lembaga pendidikan merasa aman dan nyaman bersekolah. Tanpa perasaan itu, prestasi akademis siswa akan menurun. Siswa juga tidak dapat belajar dengan baik karena selalu dihantui rasa waswas, apakah mereka akan selamat saat berangkat atau pulang sekolah.

Perasaan aman dan nyaman akan muncul bila setiap individu yang menjadi anggota komunitas sekolah merasa dihargai, dimanusiakan, dan dianggap bernilai kehadirannya dalam lingkungan pendidikan. Masalahnya adalah, budaya kekerasan telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat kita, menggerus kultur sekolah dengan wujud yang berbeda. Misalnya, ketika lembaga pendidikan menerapkan sistem katrol nilai, di sini telah terjadi ketidakadilan dan pelecehan terhadap kinerja individu. Mereka yang gigih belajar dan mendapatkan nilai baik, tidak berbeda dengan yang tidak gigih belajar, malas, karena mereka dikatrol sehingga nilainya juga baik.

Kultur sekolah ini sesungguhnya bertentangan dengan prinsip penghargaan terhadap individu. Individu telah dimanipulasi sebagai alat pemenangan nama baik sekolah melalui sistem katrol. Dengan demikian, sekolah seolah-olah memberi citra bahwa pendidikan di sekolah itu baik dan ini terbukti dari kelulusan atau kenaikan kelas 100 persen.

Menghargai individu sesuai dengan harkat dan martabatnya, serta menghargai sesuai dengan jasa dan usahanya dalam belajar, merupakan sebentuk praktik keadilan. Praksis keadilan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan akan membuat individu itu nyaman dan semakin termotivasi dalam meningkatkan keunggulan akademik. Ketika kebanggaan pada kualitas akademis berkurang, siswa mencari pembenaran dengan penghargaan diri palsu di luar, termasuk tawuran.

Ketidakhadiran negara

Fenomena tawuran menjadi indikasi jelas bahwa negara tidak hadir, bahkan cenderung membiarkan dan mengafirmasi kekeliruan pemahaman bahwa bila suatu tindak kejahatan dilakukan bersama-sama, maka hal ini dapat dibenarkan.

Ketika aparat kepolisian hanya diam saja berhadapan dengan kegarangan siswa yang membawa golok, rantai, dan bambu runcing di jalanan, saat itulah sebenarnya aparat kepolisian menelanjangi diri dan menunjukkan bahwa negara absen.

Pendidikan karakter yang efektif mensyaratkan peran serta komunitas di luar sekolah sebagai rekan strategis dalam pengembangan pendidikan. Karena itu, peran serta komunitas, seperti media, orangtua, aparat kepolisian, pejabat pemerintah, dalam upaya mengikis perilaku tawuran sangatlah diperlukan. Negara seharusnya tetap hadir dan menjadi pendidik masyarakat untuk menaati ketertiban dan hukum.

Untuk mengatasi persoalan tawuran dan menghentikan rantai kekerasan, kiranya ada beberapa solusi.

Pertama, kehadiran negara sangat diperlukan agar pendidikan karakter yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan semakin efektif. Untuk mengatasi tawuran pelajar, ketegasan aparat sangat diperlukan karena kebiasaan tawuran itu membahayakan diri dan orang lain. Kepolisian harus bekerja sama dengan sekolah untuk mengembangkan budaya tertib hukum dan taat aturan. Sikap reaktif, menangkap pelajar yang terlibat tawuran, memang dibutuhkan, tetapi sikap preventif- edukatif melalui kerja sama dengan pihak sekolah lebih penting karena akan mengatasi persoalan pada akarnya.

Kedua, sikap tegas pemerintah. Pemerintah juga perlu bersikap tegas terhadap unsur kepemimpinan sekolah, baik itu di sekolah negeri maupun swasta. Pimpinan sekolah yang sekolahnya selalu terlibat tawuran perlu diganti karena kepemimpinan mereka terbukti tidak efektif.
Namun, pemerintah juga perlu hati-hati mengganti unsur kepala sekolah karena di dalam lingkungan sekolah pun bisa jadi ada persaingan tidak sehat yang memanfaatkan tawuran sebagai usaha memancing di air keruh demi kepentingan pribadi.

Peran komunitas sekolah

Ketiga, pendidikan karakter akan efektif kalau seluruh komunitas sekolah merasa dilibatkan. Ini berarti, mulai dari penjaga keamanan, tukang kebun, pegawai kantin sekolah, guru, karyawan nonpendidikan, staf guru, kepala sekolah, dan lain lain, harus mengerti tugas dan tanggung jawab mereka, terutama yang terkait dengan pengembangan kultur cinta damai dalam lembaga pendidikan.

Perilaku kekerasan terhadap fisik orang lain merupakan bentuk nyata tidak dihargainya individu sebagai pribadi yang bernilai dan berharga. Pendidikan mestinya mengajarkan bahwa setiap individu itu berharga dan bernilai dalam dirinya sendiri.

Siapa pun tidak pernah boleh memanipulasi dan mempergunakan bahkan merusak tubuh orang lain dengan alasan apa pun. Tawuran pelajar merupakan tanda bahwa penghargaan terhadap tubuh di lingkungan pendidikan kita masih lemah. Padahal, penghargaan terhadap tubuh ini merupakan salah satu pilar keutamaan bagi pengembangan pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh.

Doni Koesoema A Pemerhati Pendidikan

Kompas, 31 Juli 2012

Pendidikan Keagamaan