Showing posts with label Uang Kuliah Tunggal. Show all posts
Showing posts with label Uang Kuliah Tunggal. Show all posts

Thursday 26 May 2016

Polemik Mahalnya Uang Kuliah Perguruan Tinggi



Oleh: Suadi

Akses mengenyam pendidikan tinggi se­tingkat universi­tas, institut, sekolah ting­gi dan sejenisnya masih terhambat ma­hal­nya biaya kuliah. Terlebih kebijakan biaya ku­liah di per­guruan tinggi negeri (PTN) yang disebut uang kuliah tung­­gal (UKT) yang memungkinkan ha­nya mahasiswa be­rasal dari golongan kaya membayar le­bih mahal. Akibatnya adalah akses pen­didikan tinggi terbuka le­bar bagi si kaya, namun meng­ham­bat bagi si miskin. Ter­lebih wacana penghapu­san pe­ne­tapan batas atas biaya kuliah di PTN yang di­anggap men­do­rong PTN mem­be­rat­kan ma­hasiswa dengan menetap­kan UKT mahal.

Berdasarkan data UKT tahun 2013 dan 20­14, sebanyak 50 persen mahasiswa di PTN berbadan hukum membayar uang ku­liah di atas Rp 4 juta - Rp 10 juta per semes­ter. Bahkan ada yang membayar Rp 47,5 juta per semester (koran Kompas, 4 Fe­bruari 2016). Keberpihakan kepada orang kaya semakin kentara dengan adanya ke­bijakan jalur mandiri di PTN di mana meng­alami peningkatan kuota 10 persen dalam pene­ri­ma­an mahasiswa baru yang membuka ak­ses luas bagi orang berduit yang tidak lolos SNMPTN dan SBMPTN untuk menikmati pendi­dikan perguruan tinggi negeri.

Selama ini PTN membuka tiga jalur penerimaan mahasiswa ba­ru: jalur unda­ngan atau disebut Seleksi Nasional Masuk Per­­guruan Tinggi (SNMPTN) yang mem­per­gunakan nilai rapor dan kriteria nilai seko­lah lain yang menjadi bahan pertim­ba­ngan. Kuota penerimaan mahasiswa jalur ini men­ca­pai 40 persen. Kemudian jalur tes tertulis atau SBMPTN dengan kuota 30 persen. Terakhir jalur mandiri dengan kuota 30 persen, di mana seb­elum­nya 20 persen.

PTN menjadi pilihan favorit bagi ma­sya­rakat. Selain biaya ku­liah dianggap lebih terjangkau, fasilitas lengkap, plus jaminan tenaga pendidik dosen dan pro­fesor yang berkualitas. Sebuah prestise ter­sendiri bisa kuliah dan lulus di PTN. Na­mun sayang, di Indonesia hanya ada 78 PTN. Selebihnya, yaitu 4.000 lebih adalah per­guruan tinggi swasta (PTS). Se­men­tara biaya kuliah perguruan tinggi swasta rata-rata lebih mahal dan tidak semua orang bisa ke sana, terutama maha­siswa dari kalangan menengah ke bawah.

Akses Adil Pendidikan Tinggi

Menurut Doni Koesoema A. (kompas, 6 Februari 2016), se­lek­si masuk PTN harus adil. Ia menjabarkan keadilan akses pen­didikan dengan mengutamakan kalangan miskin dengan catatan punya kapasitas dan jaminan kemampuan kecerdasan yang baik. Ia menambahkan, sebaiknya kuota jalur undangan cukup 5 persen sebagai cerminan kandidat mahasiswa terbaik, berbakat dan istimewa. Kemudian jalur mandiri 10 persen, dan sisanya sebagai bagian terbesar yaitu 85 persen sebagai wa­­ha­na bersaing secara adil bagi masya­ra­kat luas dari berba­gai kalangan, terutama me­nengah ke bawah sebagai repre­sentasi po­pulasi terbesar di negeri ini.

Sulit mengatakan pendidikan harus mu­rah jika diukur de­ngan parameter dari ber­bagai sisi, terutama aspek kebutuhan peningkatan kualitas tenaga pendidik do­sen, fasilitas, infras­truk­tur bangunan dan peningkatan program perguruan tinggi ter­kait. Di PTS, tentu dibebani menggaji do­sen dengan mahal per SKS (satuan kredit se­mester). Jika tidak digaji mahal, dosen ber­sangkutan lebih memilih PTS lain de­ngan tawaran gaji menggiurkan, itu sudah fenomena umum. Sementara, PTS ti­dak akan berkembang bila meng­an­dal­kan dosen-dosen de­ngan kuafilikasi rendah, apa­lagi cuma tamatan S1.
Maka, mau tidak mau harus menggaji dosen dengan mahal de­ngan konsekuensi menarik biaya kuliah mahal dari maha­siswa. Itu belum lagi biaya membangun bangunan, fasilitas pen­dukung dan staf pegawai administrasi untuk menunjang kelancaran aktivitas perkuliahan. Di PTS, semua komponen pem­biayaan dilalukan secara mandiri, tanpa intervensi peme­rin­tah. Semuanya serba dikelola sendiri.

Kecenderungan di PTS adalah: sema­kin maju, terkenal dan bo­nafit, maka biaya kuliah semakin mahal. Kepercayaan ma­sya­­rakat terhadap PTS terbayar manakala lu­lusan-lulusannya mudah diterima di bur­sa kerja, mudah mencari kerja, diper­ca­ya ber­bagai institusi dan memiliki kualitas ter­jamin. 

Tentu itu tidak murah, butuh mo­dal mahal, terutama unsur dosen-dosen pendidik berkualitas dengan gaji tinggi. Karena sudah hukum alam bahwa kesejah­te­raan ikut memperkuat pro­fesional dan lo­yalitas. Makin mapan dan sejahtera, maka dosen makin serius dan menetap me­ngajar di PTS tersebut.
Demikian pula, makin tidak jelas gaji dan karir masa depan, ma­ka dosen-dosen pun mencari PTS lain yang lebih men­jan­ji­­kan. Karena dosen juga manusia yang pu­nya keluarga, anak, istri yang butuh naf­kah ditanggungnya.
Oleh karena itu, PTS merupakan pi­lihan alternatif terakhir. Me­mang banyak orang-orang kuliah di PTS dari keluarga tidak mam­pu dengan mensiasati kuliah sambil kerja. Kuliah kelas pagi atau kelas siang, kemudian disambung bekerja mulai siang hingga malam. Atau sebaliknya. Tapi tidak semua jenis pe­kerjaan bisa di­barengi nyambi kuliah. Dan tidak semua ma­hasiswa pintar membagi waktu antara ker­ja dan kuliah dan bisa-bisa nilai kuliah je­blok dan menjadi mahasiswa abadi alias tidak kunjung tamat.

Meski begitu, PTN masih menjadi favorit. Meskipun sistem UKT mahal, namun bila diterapkan kuota SBMPTN de­ngan subsidi silang, maka mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah bisa menikmati pendidikan tinggi.

Pemerintah juga banyak membuka ke­sempatan dengan prog­ram beasiswa se­perti Bidikmisi, beasiswa Unggulan, Dik­ti, dan lain-lain. Bahkan beasiswa tersebut juga berlaku bagi mahasiswa yang kuliah di PTS seperti beasiswa dikti. Jadi, masih banyak peluang bagi masyarakat mene­ngah ke bawah untuk mendapatkan pendi­di­kan tinggi. Tinggal kerja keras dan me­raih kesempatan tersebut dengan serius dan banyak bertanya.

Pentingnya Pendidikan

Pendidikan sangat penting membuka pros­pek cerah bagi masa depan seseorang. Mes­kipun pendidikan tinggi tidak men­ja­min sukses dan kaya, namun pendidikan men­jamin kapasitas intelektual dan ber­guna bagi masyarakat. Bahkan hasil pene­litian Bank Dunia pada 1996 menge­mu­ka­kan adanya korelasi jumlah penduduk ber­gelar sarjana dengan tingkat kese­jah­teraan masyarakat suatu negara.
Kita bisa melihat jumlah sarjana Indone­sia yang hanya sekitar 7-8 juta dari se­luruh tenaga kerja produktif yang men­ca­­pai 122 juta orang. Artinya, persentase jum­lah sarjana Indo­ne­sia masih sangat ren­dah dibandingkan jumlah tamatan SD, SMP dan SMA.

Kita berharap skema penerimaan ma­hasiswa baru di PTN lebih adil dengan kuota berpihak kepada masyarakat luas dan PTS menemukan cara solutif agar da­pat menampung dan mengakomodasi ma­hasiswa dengan tidak membebani uang ku­liah mahal tetapi juga tanpa mengor­ban­kan kualitas. ***

Penulis alumnus UMSU, Mahasiswa S2 Universitas Negeri Semarang

Sumber: Analisa Daily

Sunday 14 June 2015

Evaluasi Uang Kuliah Tunggal Ditargetkan Selesai Juni Ini


Senin, 01 Juni 2015 | 03:25 WIB


TEMPO.CO, Jakarta -Kepala Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Illah Sailah menargetkan pembahasan evaluasi uang kuliah tunggal selesai Juni ini. “Juni akan selesai, karena harus secepatnya. Sebentar lagi tahun ajaran baru,” katanya saat dihubungi Minggu 31 Mei 2015. 

Ia mengatakan evaluasi dilakukan karena ada banyak masukan tentang cara pembayaran uang kuliah. Uang kuliah tunggal adalah sistem pembayaran dimana biaya kuliah mahasiswa perguruan tinggi negeri selama satu masa studi, yaitu delapan semester minimal, dibagi rata per semester.

Jadi tidak ada lagi uang pangkal dalam jumlah besar yang harus dibayarkan pada awal masa belajar lalu per semesternya mahasiswa membayar dalam jumlah kecil. “Ada yang sempat merasa keberatan dengan sistem ini,” katanya.

Illah mengatakan kementerian sedang mengevaluasi apakah sistem pembayaran uang kuliah itu dikembalikan ke sistem yang menggunakan uang pangkal seperti yang sebelumnya. Dengan sistem uang pangkal, maka siswa memang akan membayar uang kuliah persemester dengan jumlah yang lebih kecil, namun saat ada kegiatan seperti praktek laboratorium, siswa akan diminta membayar untuk keperluan itu. “Intinya dua cara itu sama saja jumlahnya,” kata Illah.

Selain mengevaluasi cara pembayaran itu, kementerian pun mengevaluasi jumlah uang kuliah tunggal itu. Apakah akan naik sesuai dengan inflasi, ataukah jumlahnya sama seperti yang sebelumnya. “Prinsipnya, kami akan membandingkan mana konsep yang akan meringankan mahasiswa,” katanya.

Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia Doni Koesoema setuju UKT perlu dievaluasi. Ia menyarankan adanya transparansi komponen uang kuliah tunggal. Menurut dia, banyak perguruan tinggi negeri yang asal memberikan angka tanpa memberikan penjelasan lanjut pembayaran uang itu.

“Ada mahasiswa yang harus bayar untuk keperluan meja dan kursi juga. Padahal, fasilitas itu harusnya sudah dibayarkan negara kepada universitas,” kata Doni.

Ia pun meminta agar dievaluasi dalam hal pembayaran Ia banyak mendengar keluhan dari orang tua yang merasa keberatan dengan sistem pembayaran uang kuliah tunggal itu.

“Karena uang kuliah itu dipukul rata, maka jumlahnya sangat tinggi,” katanya. 

MITRA TARIGAN 

Sumber: Tempo.co.id

Friday 29 May 2015

Kemenristek Dikti : UKT Tetap Ada Tapi Direvisi


















Jakarta - Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), Illah Sailah mengatakan, terkait penghentian program uang kuliah tunggal (UKT) yang diberitakan tidak sesuai.

Kemristekdikti tidak memberhentikan program tersebut, tetapi akan dilakukan evaluasi.
Illah menyebutkan, ada Permendikbud No 55/2013 tentang UK, sehingga dalam surat edaran Menristekdikti yang dikirimkan kepada perguruan tinggi negeri bernomor 01/M/SE/2015 tentang Evaluasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang terbit pada 20 Mei 2015 lalu, ada peraturan tentang penundaan UKT, bukan pemberhentian tetapi evaluasi.

"Evaluasi UKT tidak hanya dilakukan tahun ini akan dilakukan setiap tahun "papar Illah, saat dikonfirmasi, Kamis (28/5).

Pemerhati pendidikan, Doni Koesoema mengatakan, setuju jika UKT dievaluasi. Hal ini karena di beberapa kampus ditemukan hal-hal tidak masuk dalam persyaratan UKT masuk dalam tanggungan mahasiswa.

"Evaluasi dilakukan agar ada kejelasan biaya apa yang dibayar mahasiswa dan mana yang tidak." ujar Doni.

Sejauh ini, Doni menilai tidak ada kejelasan biaya yang harus dibayar oleh siswa. Namun, Dia menyayangkan keputusan evaluasi UKT yang dilakukan dipertengahn karena membingungkan siswa akan biaya yang harus dibayar."

"Seharusnya tidak dievalusi disaat seperti ini. Akan membuat mahasiswa bingung berapa biaya harus dibayarkannya," papar Doni.

Doni menyarankan, evaluasi harus melibatkan mahasiswa, bukan hanya pihak kampus. Evaluasi harus memperhitungkan biaya operasional, dan kegiatan kampus lainnya.

Sementara Mantan Mendikbud Mohammad Nuh mengatakan, perubahan Permen tentang UKT, seharusnya tidak dilakukan mendekati jadwal penerimaan mahasiswa baru.

Hal ini terkait penyesuaian PTN akan kuota penerima UKT. Ia menyarankan, jika pemerintah ingin melaksanakan moratorium tentang UKT, dilakukan tahun depan.


Maria Fatima Bona/FQ


Sumber: BeritaSatu

Pendidikan Keagamaan