Saturday, 15 September 2007

Bangsa Yang Mendidik Dirinya Sendiri

Doni Koesoema A.

Masyarakat modern akan berdiri kokoh dan stabil bukan karena kehadiran para eksekutor, melainkan para profesor (para guru). Simbol kekuatan sebuah bangsa tidak didasarkan pada banyaknya guillotine, melainkan pada kualitas dan kuantitas kalangan cerdik pandai yang dimilikinya. Ernest Gellner menyebutnya dengan istilah doctorat d’éta[1] (1983;34). Karena itu, monopoli legitim atas dunia pendidikan saat ini menjadi sangat penting daripada monopoli perilaku kekerasan (violence). Singkatnya, sebuah bangsa akan kokoh jika ia memiliki dua hal. Pertama, dapat mendidik dirinya sendiri. Kedua, cinta damai.

Jika analisis Gellner tepat, banyaknya kalangan cerdik pandai akan berdampak pada turunnya tingkat kekerasan (fisik dan non-fisik) dalam masyarakat. Meningkatnya intelegensi sebuah bangsa akan dibarengi dengan turunnya perilaku kekerasan dalam menyelesaikan berbagai macam konflik sosial yang ada dalam masyarakat. Masyarakat akan lebih terbuka dalam dialog daripada bergegas menghunus pedang.

Merajut makna atau hampa

Dalam masyarakat pramodern proses pendidikan terbatas pada lingkup keluarga dan komunitas kecil yang sangat homogen secara kultural. Meski terbatas secara spasial, proses ini penting bagi sosialisasi dan pewarisan adat istiadat suatu komunitas. Pribadi menemukan tempatnya yang khas dalam komunitas kecil melalui keikutsertaan mereka dalam berbagai macam upacara adat, pelaksanaan ritus keagamaan, dll. Dengan cara inilah sebuah masyarakat melanggengkan dirinya secara terus-menerus.
Sebaliknya, masyarakat modern memiliki cara sosialisasi yang lebih rumit dan kompleks. Proses pembelajaran bagi individu tidak lagi dilakukan oleh keluarga. Pendidikan melibatkan pihak-pihak lain di luar ikatan keluarga, suku atau komunitas tertentu. Apa yang diperoleh melulu lewat keluarga tidak mencukupi buat persiapan hidup dalam masyarakat modern yang membutuhkan spesialisasi, kompetensi dan ketrampilan teknis tertentu.

Makna keberadaan seseorang ditentukan dari kapasitasnya untuk memasuki dunia kerja yang berbeda dengan latar belakang primordial di mana ia lahir dan dibesarkan. Dengan tegas Gellner mengatakan bahwa “the level of literacy and technical competence, in a standardized medium, a common conceptual currency, which is required of members of this society if they are to be employable and enjoy full and effektif moral citizenship[2]…”(Gellner,1983;34). Tingkatan literasi dan kompetensi teknis memungkinkan manusia menemukan makna keberadaan dirinya dalam arus dinamika masyarakan modern.

Rendahnya kualitas pendidikan dalam sebuah masyarakat, meski bukan faktor utama, berpotensi mendorong tumbuhnya perilaku kekerasan. Tingkat pendidikan yang rendah menyingkirkan orang-orang pada dunia kerja. Padahal inilah satu-satunya cara dalam memaknai hidupnya dalam masyarakat. Krisis eksistensial dalam lingkup kehidupan sosial jika tidak segera diantisipasi dapat mendiseminasi hubungan sosial yang polanya zero-sum game.

Pendidikan yang gagal melahirkan manusia-manusia yang gagal, yaitu, manusia yang gagal menegakkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Kebodohan menjadi salah satu sumber yang melahirkan kekerasan. Barang siapa hanya memiliki palu, ia akan membuat semua orang menjadi paku. Karena itu meningkatkan kualitas pendidikan merupakan syarat mutlak kalau negeri ini ingin berdiri tegak secara bermartabat. Jika tidak, di masa-masa mendatang akan semakin sering kita jumpai masyarakat yang suka menghunus pedang untuk menebas leher sesamanya.

Formalitas tanpa isi

Pendapat Ernest Gellner bahwa akses pada pendidikan dan kehidupan kultural sangat berpengaruh bagi proses pemaknaan diri seseorang tampaknya klop dengan situasi masyarakat kita. Identitas dan keberadaan seorang pribadi seringkali dikaitkan dengan kualitas pendidikan dan luasnya lingkup budaya yang dijelajahinya. “kemampuan bekerja, kemartabatan, rasa aman dan penghargaan diri sebagai pribadi bagi sebagaian besar orang saat ini tergantung pada kualitas pendidikannya; batas-batas dunia yang dihirupnya secara moral dan profesional akan ditentukan oleh ruang lingkup pendidikan yang diterimanya. Karena itu, pendidikan seseorang merupakan investasi dirinya yang sangat berharga sebab inilah yang membentuk identitas dirinya. Manusia modern tidak setia pada monarki, tanah air, atau keyakinan imannya..., melainkan pada kebudayaan.” (Gellner,1983;36)

Kenyataan bahwa identitas pribadi banyak ditentukan oleh kualitas pendidikan dan ‘cara pandang dunia’ yang dimiliki membuat banyak orang berlomba-lomba memperoleh identitas formal agar eksistensi mereka diakui. Masyarakat cenderung mencari jalan pintas dalam memperoleh gelar akademik, entah dengan cara beli skripsi atau beli gelar. Rendahnya tanggungjawab moral dan keilmuan para intelektual menyumbangkan perilaku kekerasan tak kalah dahsyatnya bagi kehancuran masyarakat. Banyaknya sarjana aspal yang menduduki jabatan publik membelenggu mekanisme kerja masyarakat modern lewat perilakunya yang korup. Profesionalitas kerja menjadi rusak karena banyak jabatan penting dipegang oleh mereka yang boleh menduduki jabatan tapi tidak mampu bekerja sesuai kompetensi keilmuan untuk tugas tersebut. Ungkapan Gelner, bahwa stabilitas sebuah negara banyak ditentukan oleh para guru dan profesor bisa jadi benar seandainya kualitas dan tanggungjawab moral-keilmuan dijunjung tinggi.

Pendidikan yang mengedepankan damai, tanpa kekerasan mestinya menjadi perhatian kita. Sayangnya, sejak dulu hingga sekarang, dunia pendidikan kita pun tak luput dari cengkeraman perilaku kekerasan. Siswa terancam oleh kehadiran guru yang otoriter. Guru merasa tertekan karena tuntutan kurikulum. Kepala sekolah takut membuat inovasi dan terobosan baru di sekolah karena ancaman akreditasi sekolah,dll. Jika hampir semua proses pendidikan yang ada diam-diam menyemai benih kekerasan, doctorat d’éta hanya akan menjadi impian kita semata. Dunia pendidikan kita tidak dapat bangkit karena di dalamnya sendiri perilaku kekerasan masih merajalela. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan. Murid tak akan berbeda jauh dari gurunya.

Bung Karno membidik dengan tepat bagaimana pentingnya meningkatkan kualitas guru untuk meretas jalur kekerasan ini. Dalam sambutan yang berjudul “Menjadi goeroe dimasanya kebangunan” di hadapan para guru Taman Siswa ia berbicara tentang sebuah bangsa yang mendidik dirinya sendiri. Tumpuan pendidikan ada di pundak para guru. “Onderwijst is een voorplanting (pendidikan merupakan sebuah proses penanaman). Guru yang sifat hakikatnya hijau akan “beranak” hijau, guru yang sifat hakikatnya hitam akan “beranak hitam”. Saya tidak mau masuk ke dalam golongannya orang-orang yang mengatakan, bahwa guru bisa ‘main komedi’ kepada anak-anak: di muka anak-anak dengan muka yang angker hanya mengasih pengajaran, pengajaran yang termuat dalam lessontes saja, tetapi di belakang anak-anak itu berjiwa lain, berjiwa fasis atau anarkis atau nasionalis atau komunis, bertindak seperti orang yang tak berani membunuh nyamuk atau bertindak seperti bandit…tidak, guru tidak bisa ‘main komedi’, guru tidak bisa mendurhakai ia punya jiwa sendiri. Guru hanya bisa mengajarkan apa dia-itu sebenarnya. Men kan niet onderwijzen wat men wil, men kan niet onderwijzen wat men weet, men kan allen onderwijzen wat man is. (manusia tidak bisa mengajarkan sesuatu sekehendak hatinya, manusia tidak bisa mengajarkan apa yang tidak dimilikinya, manusia hanya bisa mengajarkan apa yang ada padanya[3]). (Di bawah bendera revolusi,1964:614).

Kapan bangsa ini mulai kembali pada visi Founding Fathers untuk merealisasikan cita-cita sebagai bangsa yang mendidik dirinya sendiri?

****
Doni Koesoema,A Penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.
Artikel dimuat di harian KOMPAS, 15 November 2003

[1] Lihat, Ernest Gellner, Nations and Nationalism, Blackwell, Oxford UK and Cambridge USA, 1983, hlm.34
[2] Gellner, Ibid, hlm.34
[3] Soekarno,Ir.,Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1964. Hlm 614

No comments:

Pendidikan Keagamaan