Thursday, 3 September 2009

Pendidikan Anak : Bukan Sekedar Mesin Reproduksi Kultur Sosial

BASIS, Nomor 07-08, Tahun ke- 5 5, Juli-Agustus 2006, hlm 62-68

Doni Koeseoema, A

Keluarga sebagai locus educationis telah lama menjadi bahan permenungan bagi para filsuf dan pemikir pendidikan. Paling tidak ada dua arus besar pemikiran berkaitan dengan peranan keluarga dalam kerangka pendidikan anak. Yang pertama, aliran antifamiliarisme dengan tokoh utamanya Plato. Kedua, familiarisme dengan juru bicara utamanya Aristoteles.

Fenomena adanya keluarga yang melemparkan tanggungjawab pendidikan anak-anak mereka pada lembaga sekolah merupakan satu dari ribuan data tentang praksis pendidikan dalam masyarakat. Mempertanyakan kembali peranan keluarga dalam kerangka pendidikan anak dalam relasinya dengan lembaga edukatif lain bisa berarti mempertanyakan kembali asumsi-asumsi dasar pemikiran Plato dan Aristoteles serta para pengikutnya, melihatnya dalam kerangka modernitas, menemukan sisi-sisi lemah dan kuat pendekatan tersebut, mengintegrasikan dan mengaktualisasikannya dalam konteks dunia pendidikan di Indonesia.

Tulisan ini mencoba mengulas persoalan filosofis seputar peranan keluarga dalam kerangka pendidikan anak dalam relasinya dengan lembaga pendidikan lain. Di sini keluarga dipahami pertama-tama dari sudut pandang pedagogi, yaitu, sejauh mana keberadaan keluarga memfasilitasi pertumbuhan atau malahan menghalangi pertumbuhan pribadi.

Pedagogi dan pendidikan

Mungkin kita akan heran menemukan kenyataan bahwa persoalan pendidikan yang kita hadapi sesungguhnya memiliki akar pada masalah teoritis-filosofis, daripada praksis pendidikan itu sendiri.

Pendidikan (educatio) merupakan kenyataan manusiawi yang menjangkarkan dirinya pada fakta, tindakan, dan pengalaman. Semua mata bisa melihatnya. Pendidikan ada di mana saja, di rumah, di sekolah, di jalan, di televisi, di internet, di mana-mana. Tindakan edukatif ini bersifat umum dan ada dalam setiap kesempatan.

Berbeda halnya dengan pedagogi. Pedagogi terdapat bukan dalam praksis, tapi dalam teori. Teori berbicara tentang cara-cara untuk memahami pendidikan, bukan cara-cara mempraktekkannya. Bidang cakupannya ada dalam refleksi kritis atas praksis pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, fungsi pokok pedagogi bukanlah bermaksud untuk menggantikan praksis, melainkan menerangi, membimbing, membantu, dan jika mungkin menutup lobang-lobang kelemahan untuk menyempurnakan praksis.

Kelemahan dalam pemahaman teoritis bisa memandulkan praksis pendidikan itu sendiri, sebab tanpa penerangan teoritis praksis seperti seorang buta berjalan tanpa tuntunan. Di lain pihak, mengutamakan pemahaman teoritis saja bisa diibaratkan seorang pengendara mobil sedang membaca peta, tapi tidak turun langsung ke jalan melalui mana ia ingin menuju. Dan karena itu, ia tetap ada di tempat dan tidak efektif.

Kultur pedagogi mendasarkan dirinya pada pengalaman historis praksis pendidikan, karena sifatnya historis. Melalui analisis kritis atas pengalaman praksis pendidikan, pedagogi memiliki kemungkinan menentukan tujuan melalui mana sebuah praksis pendidikan diarahkan.

Dalam kerangka ini, pedagogi yang diajukan Plato dan Aristoles merupakan dua contoh ekstrem pendekatan teoritis tentang posisi keluarga dalam konteks pendidikan.

Antifamiliarisme Plato

Plato, misalnya, sama sekali tidak percaya pada fungsi pedagogis keluarga. Karena itu ia lebih menyerahkan persoalan pendidikan itu di tangan negara. Baginya, keluarga bukanlah tempat yang valid dan ideal bagi sebuah proses pendidikan karena kaum lelaki dewasa telah begitu tersedot perhatiannya demi kehidupan publik (menjadi politisi dalam arti luas), sedangkan kaum perempuan lebih disibukkan dengan urusan domestik yang sifatnya kuratif, memberi makan, minum, yang lebih cocok disebut sebagai tindakan memiara (anatrophè), daripada tindakan mendidik anak (paidéia).

Dalam diskursus hukumnya, Plato menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk generasi muda menjadi orang-orang yang berkarakter utama, dengan menumbuhkan di dalam dirinya cinta dan keinginan sempurna untuk menjadi warga negara melalui mana ia mampu memerintah dan taat sebagaimana sudah layak dan sepantasnya untuk melakukannya. Setiap kegiatan formatif yang cenderung untuk mencari kekayaan atau sekedar menumbuhkan kekuatan fisik tanpa mau melihat dimensi kebijaksanaan dan keadilan ia anggap sebagai proses pendidikan tingkat rendahan yang tak layak dilakukan oleh manusia bebas. Proses pembentukan seperti ini tidak layak disebut dengan pendidikan. (Leggi, I, 644a).

Secara antropologis Plato melihat bahwa setiap orang tidak dapat mencukupi dirinya sendiri. Karena itu lahirlah negara. “Negara terbentuk karena setiap dari kita tidak dapat mencukupi dirinya sendiri, kita memiliki kekurangan dalam banyak hal”. Kebutuhan-kebutuhan ini lantas melahirkan 3 kelas warga negara yang berbeda, yaitu, kalangan pengusaha, tentara penjaga, dan pemimpin yang sempurna dalam mengatur urusan negara secara bijaksana. Tujuan pendidikan Plato lebih mengarah pada proses pembentukan sosok politisi filsuf yang mampu menginkarnasikan keadilan dan kebaikan dalam kehidupan bersama. Karena itu, pendidikan tak lain adalah kinerja politik itu sendiri.

Melihat pentingnya dimensi politis pendidikan Plato mengusulkan bahwa penanggung jawab pendidikan publik adalah negara yang dilaksanakan oleh seorang fungsionaris utama yang dipilih oleh negara berdasarkan ketentuan hukum. Kriteria pengurus pendidikan itu antara lain, mereka haruslah pribadi yang memiliki kematangan karakter dan terkenal karena keutamaannya, mampu dan memiliki kemungkinan untuk meraih kebaikan yang ideal. Karena itu, berbeda dengan tradisi kultur yunani sebelumnya yang membiarkan anak-anak mengenyam pendidikan dalam keluarga, Plato membubarkan institusi keluarga sebagai instansi pendidikan anak dan menggantikannya dengan peranan negara.

Reformasi yang diajukan oleh Plato sangatlah revolusioner pada jamannya mengingat secara umum masyarakat Yunani membatasi peranan kaum perempuan pada batas-batas dinding rumah dan memberikan kepada mereka sekedar hal-hal yang berurusan dengan dimensi kuratif, makan, minum, dan pemeliharaan anak, sementara menjauhkan mereka dari kegiatan kebudayaan, seluk beluk persiapan perang dan partisipasi politik. Tidak mengherankan, pola pendidikan ala Plato lebih bersifat spartan, di mana keseimbangan proses pendidikan, yaitu, fisik, mental, karakter, lebih diutamakan.

Garis pemikiran pedagogi antifamiliarisme Plato muncul kembali pada saat sejarah pedagogi mengalami revolusi kopernikan dengan ditemukannya ‘anak-anak’ yang menjadi pokok perhatian utama pedagogi. Puerocentrisme yang merayakan spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat di awal abad 19 banyak menimba inspirasi dari pedagogi negatif naturalnya J.J.Rousseau (1712-1778).

Kodrat manusia itu baik. Namun kodrat itu rusak di tangan manusia. Terlebih pretensi pendidik dalam mendewasakan anak-anak lewat pemaksaan kriteria orang dewasa membatasi kebebasan dan malahan membatasi pertumbuhan anak. Dalam Emile, Rousseau menegaskan bahwa “segala hal diciptakan oleh Pencipta itu baik adanya, namun semuanya menjadi semakin rusak karena tangan manusia.”

Hal yang sama berlaku bagi pedagogi anak. Gambaran bahwa dalam diri anak terdapat sosok pribadi dewasa tersembunyi adalah menyalahi kodrat. Pretensi adultisme pendidik harus dijauhkan dari diri anak agar anak menemukan kebebasan sesuai dengan kodratnya sehingga mampu bertumbuh dengan lebih sempurna. Anak mesti dipandang sebagai anak dengan kekhasannya, bukan dilihat sebagai orang dewasa yang mesti dipaksa menjalankan peran dan mempelajari nilai-nilai yang hanya berlaku bagi orang dewasa.

Karena itu, bagi Rousseau, tujuan utama pendidikan adalah untuk menjaga dimensi kebebasan si anak, dengan cara membiarkannya bergerak dan bermain secara bebas, membiarkan spontanitas dalam setiap permainan dan dalam tindakannya. Untuk merealisasikan tujuan individualnya, sejauh mungkin anak-anak dihindarkan dari intervensi edukatif yang membatasi.

Tujuan pertumbuhan individu mendahului tujuan sosial, karena itu anak mesti dijauhkan dari situasi masyarakat, dari keluarga karena keluarga akan menjadi momok yang membahayakan bagi kelembutannya. Anak juga mesti dijauhkan dari masyarakat yang menjadi sumber pembelajaran tentang ketidakadilan, karena masyarakat mendasarkan dirinya pada perbedaan, bukan persamaan.

Deklarasi paling jelas dan tegas tentang antifamilirisme pendidikan tampil dalam diri pemikir jerman, Gustav Wyneken (1875-1964) yang menyatakan bahwa, “antara keluarga dan pendidikan merupakan dua hal yang sama sekali tidak berhubungan. Keluarga merupakan sebuah lembaga yang berfungsi untuk melanggengkan keturunan spesies manusia,…dari sudut lain, merupakan sebuah lembaga yang mengorganisasi konsumsi,…seandainya orang tua mencintai anak-anak mereka, mereka tidak mencintai keremajaan yang ada di dalam diri mereka.” (Schule und Jugendkultur, 1919,13).

Antifamiliarisme pendidikan juga tampil dalam diri para pemikir sekolah Frankfurt (Adorno, Horkheimer, Marcuse), para psikiatri seperti R. Laing, D. Cooper, dan psikososiolog G. Mendel yang semakin menambah panjang jajaran pemikir pedagogi antifamiliarisme. Mendel, misalnya, malahan menganggap bahwa keluarga merupakan halangan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi yang sehat. Demikian juga ia melihat adanya kecenderungan egoisme dari faktor-faktor genetis yang ada dalam diri manusia yang terwariskan lewat keluarga yang cenderung menjadi penghalang proses pendidikan bagi setiap subyek yang belajar (educandi).

Tampaknya, visi pedagogi antifamiliarisme sepanjang sejarah pedagogi masih memiliki basis dan fondasi yang tetap menarik untuk direfleksikan dalam kerangka pedagogi pendidikan. Namun garis ini bukannya tanpa tandingan.

Familiarisme Aristoteles

Lain halnya dengan Aristoteles. Bagi pemikir Stagirit ini keluarga (oikos) merupakan inti pokok fondasi masyarakat (polis). Karena itu, hidup matinya masyarakat akan banyak tergantung pada proses pendidikan yang terjadi di dalam keluarga.

Bagi Aristoteles, liquidasi lembaga keluarga yang diajukan oleh Plato merupakan sesuatu yang artifisial. Masyarakat tidak bisa langgeng tanpa adanya keluarga. Dan sebaliknya, keluarga tidak dapat bertumbuh tanpa dukungan dari masyarakat. Lebih lagi, bagi Aristoteles, Plato telah keliru dalam menentukan tujuan pendidikan. Paidea yang bertujuan untuk membentuk warganegara yang baik dengan melalui proses pendidikan massal lewat sentralisasi negara mematikan dimensi otonomi pribadi.

Pedagogi Aristoteles lebih dekat dengan pendekatan modern tentang formasi permanen setiap subyek yang belajar melalui mana dimensi otonomi dalam mengambil keputusan bagi hidupnya merupakan tolok ukur berhasil tidaknya sebuah pendidikan. Ada dimensi etis yang menekankan kebebasan dan tanggungjawab dalam proses pendidikan. Baginya, tujuan pendidikan adalah pembentukan manusia-manusia yang menjadi warga negara otonom, yang dengan kehendak bebasnya mampu memilih para pemimpin yang akan mengatur kehidupan masyarakat. Pedagoginya lebih bersifat demokratis daripada statalis.

Bagi Aristoteles, pedagogi yang baik tidak dapat bersifat preventif, dalam arti bersifat menyaring dan menyeleksi para kader pemimpin di masa depan. Pendidikan baginya merupakan sebuah proses dinamis pembentukan diri terus menerus untuk menjadi sosok pribadi yang berkualitas, terlebih secara moral (on going formation).

Aristoteles tidak sekedar membuka jalan-jalan pedagogis dalam membentuk tiap pribadi menjadi ‘orang yang baik’, atau menjadi ‘warga negara yang baik’, melainkan juga memberikan peluang bagi mereka yang ‘tidak baik’ untuk tetap dapat hidup berdampingan secara damai dalam kerangka demokrasi, jika tata cara kehidupan bersama ini telah menjadi habitus baginya.

Garis pemikiran familiarisme semakin menemukan realisasi konkret secara politis di jaman romawi kuno. Model pendidikan pater familias telah menjadi fondasi kokoh bagi berlangsungnya tata kehidupan masyarakat roma. Dalam sistem pater familias, keluarga memiliki kedudukan sentral dalam pendidikan anak. Sang ayah memiliki kekuasaan tertinggi atas seluruh urusan rumah, anak, istri, budak, milik pribadi, bahkan sampai menentukan hidup mati mereka.

Dalam sistem pater familias, proses pendidikan terutama lebih menekankan dimensi praktis-imitatif di mana sang anak sejak kecil telah dibiasakan untuk melihat dan merasakan bagaimana sang ayah melakukan tugas-tugas publiknya. Tradisi politik dan sosial berkaitan erat dengan peranan orang tua dalam pendidikan kebudayaan anak-anaknya. Selain itu, sampai si anak berumur tujuh tahun, tugas utama pendidik dipercayakan pada ibu. Ibu memiliki peranan penting dalam pendidikan anak. Karena itu, mereka tidak sekedar taat pada otoritas suaminya, tapi juga aktif terlibat dalam pendidikan anak.

Sikap dasar pendidik pada masa romawi kuno bisa dipadatkan dalam ungkapan Giovenale, maxima debetur puero reverentia (rasa hormat tertinggi seharusnya diberikan terhadap anak-anak).

Prioritas keluarga bagi pendidikan bernafaskan nilai-nilai kristiani hadir lewat pemikiran Santo Thomas Aquinas (1224-1274), yang menekankan bahwa kehadiran keluarga bukanlah sekedar untuk melanggenggkan spesies umat manusia (nutritio), melainkan juga bertanggungjawab atas pendidikan anak (geniti educatio). Pendidikan terutama diarahkan pada penyempurnaan akal budi manusia melalui pengajaran (ratio perfectior ad instruendum) yang memuncak pada pendidikan bagi jiwa (instructione quantum ad animam).

Pada masa humanisme rinascimento Jan Amos Komensky (1529-1670) melengkapi pedagogi dengan dengan pemahaman baru tentang pentingnya pendidikan diri secara terus menerus yang mesti dimulai sejak kecil. “Tak seorangpun dapat percaya bahwa dia dapat menjadi manusia, jika tidak bertindak seperti manusia, yaitu, dididik sesuai dengan nilai-nilai yang membuatnya menjadi manusia.” Pendidikan demikian ini mesti dimulai sejak kecil. Tugas ini secara natural merupakan tanggungjawab orang tua.

Mengingat bahwa orang tua yang dapat, mampu serta memiliki banyak waktu untuk mendidik anak begitu jarang, ia mengusulkan agar didirikan banyak sekolah bagi kaum muda di setiap kampung, setiap desa dan setiap tempat di mana anak-anak muda dapat menimba ilmu. Mengingat konteks historis masa itu di mana akses pada sekolah masih langka ide Komensky sangatlah revolusioner dan profetis.

Bertentangan dengan antifamiliarisme pendidikan ala Rousseau, Johann Heinrich Pestalozzi (1746-1827) merupakan sosok lain yang menekankan dimensi real intervensi sebuah pendidikan. Dasar pengalaman edukatifnya adalah praksis. Jika Rousseau lewat Emile nya bisa banyal berteori tentang metode dan sistem pendidikan yang natural dan spontan, tetaplah apa yang direfleksikan Rousseau tidak memiliki basis kokoh dalam kenyataan. Kisah itu hanya ada dalam novel, bahkan cara hidup Rousseau yang menitipkan anak-anaknya di panti asuhan menunjukkan adanya inkonsistensi atas garis pemikirannya tentang pendidikan yang hanya bersifat imajinatif-ideal. Pada kenyataannya ia sendiri gagal mendidik anak-anaknya.

Perbedaan khas Pestalozzi dari Rousseau adalah bahwa Pestalozzi secara faktual benar-benar merupakan pendidik. Ia mendidik anak-anak yang terpinggirkan, mereka adalah mahluk nyata yang berdarah dan berdaging, yang hidupnya jauh dari perhatian masyarakat. Karena itu, baginya pendidikan merupakan fakta yang berasal dari pengalaman, bukan dari sebuah roman ata imajinasi belaka, melainkan inheren dalam kehidupan masyarakat terutama dalam keluarga dan masyarakat sipil. Ia menyentuh pendidikan bagi mereka yang terpinggirkan yang dalam masa Rousseau hal ini tidak pernah mendapatkan perhatian.

Masih banyak pemikir lain yang sungguh menekankan peranan keluarga dalam pendidikan anak, seperti Frobel lewat taman kanak-kanaknya, Hegel dengan trasformasi cinta dalam keluarga yang diobjektivasi lewat anak-anak mereka, Macchiavelli yang menganalisis bahwa perbedaan kualitas tiap keluarga tidak sekedar berasal dari pewarisan keturunan darah melainkan melalui perbedaan cara-cara mendidik anak dalam tiap keluarga, dll.

Pemikiran familiarisme yang pro keluarga dalam kerangka pendidikan tampaknya tidak akan pernah kering sebagai sumber inspirasi bagi para pendidik untuk memetakan dan memperdalam corak relasional sesungguhnya yang terjadi antara keluarga dalam kerangka proses pertumbuhan dan perkembangan anak didik dalam relasinya dengan masyarakat dan negara.

Pengalaman Indonesia

Tampaknya ada kecenderungan dalam dunia pendidikan di Indonesia untuk melihat gejala semakin banyaknya lepas tanggungjawab orang tua dalam kerangka pendidikan anak hanya dalam relasi antar lembaga. Yaitu, keluarga dan sekolah dilihat dalam kerangka kerja sama kelembagaan di mana aspek kewajiban dan tanggungjawab satu sama lain yang lebih ditekankan. Namun, unsur-unsur ini dilihat dilihat dalam kaca mata ekonomis saja.

Keluarga dipandang sebagai lembaga hukum yang dalam kerangka pendidikan berhadapan dengan lembaga sosial lain. Corak analisis relasional yang sekedar melihat dari sisi yuridis kelembagaan membuat tujuan dasar pendidikan terabaikan, sebab meredusir perananan instansi pendidikan (sekolah, keluarga, Negara, lembaga kursus dll) dalam kerangka melulu demi kepentingan ekonomis. Pola pemikiran yuridis seperti ini memiliki dampak yang tidak kecil bagi proses pendidikan.

Salah satu dampak nyata adalah bahwa keluarga dipandang sekedar sebagai tukang bayar bagi pelayanan sekolah. Lepas dari itu, antara sekolah dan rumah tidak ada hubungan lagi. Orang tua bayar biaya pendidikan, sekolah terima uang. Di sini gagasan keluarga sebagai lembaga sosialisasi nilai terabaikan.

Pihak sekolahpun tidak pernah memiliki keinginan untuk melihat dimensi valorial yang bisa disumbangkan keluarga bagi pendidikan anak di sekolah. Lebih parah lagi adalah hilangnya dimensi nilai pembentukan karakter siswa dalam kinerja mereka. Dalam iklim pasar global, pendidikan pun telah dikomersilkan sehingga sekolah dengan pretensi ideal pendidikannya telah berubah menjadi tukang tagih, debt collector yang menodong orang-orang tua kaya yang tak memiliki waktu dan tenaga untuk mendidik anak lewat bisnis pendidikan.

Dua pendekatan, baik pedagogi antifamiliarisme dan familiarisme, telah membuka mata kita betapa pendidikan merupakan sebuah lapangan realitas mahaluas dan kompleks. Mungkin kita bisa setuju dengan salah satu atau dua pendekatan di atas. Namun yang jelas, setiap opsi yang kita pilih mengandaikan asumsi tertentu berkaitan dengan prinsip dasar pendidikan.

Menganalisis secara kritis peranan orang tua dan sekolah dalam kerangka pedagogi pendidikan anak tidak bisa berangkat dari data-data dan praksis pendidikan itu sendiri. Yang semestinya kita mulai adalah menjernihkan pemahaman kita tentang prinsip-prinsip dasar dan tujuan pendidikan itu sendiri, sembari menyadari bahwa setiap keputusan yang kita ambil mau tidak menyertakan asumsi tertentu yang sifatnya parsial sektorial lewat opsi yang kita pilih. Karena itu, memahami pokok persoalann pedagogis dibalik fenomena ‘orang tua ndandakke anaknya ke sekolah’, dengan alasan ‘telah bayar mahal’, merupakan langkah awal yang penting.

Dalam kerangka pengembangan pedagogi pendidikan dalam keluarga, baiklah kita ingat beberapa percikan ide yang bisa kita jadikan bahan refleksi kritis.

Pertama, proses pendidikan yang melibatkan berbagai macam kapasitas dan kemampuan manusiawi yang ada dalam diri anak didik terutama bertujuan untuk mengembangkan kepribadiannya sehingga menjadi pribadi yang bertumbuh secara sempurna.

Pendidikan yang dipahami sebagai proses pertolongan individu dan sosial demi perkembangan pribadi bagi hidupnya sendiri dan bagi orang lain, secara pribadi maupun komuniter, yang memusatkan dirinya terutama pada formasi pribadi agar semakin mampu menumbuhkan unsur kesadaran, solidaritas, kebebasan dan tanggungjawab dalam seluruh proses historis perkembangan dirinya sebagai manusia semestinya diletakkan dalam kerangka formasi yang lebih luas, yaitu, sebuah kegiatan yang secara inheren membawa proses penyempurnaan dari apa yang secara alamiah masih belum sempurna.

Karena itu, yang mesti selalu dikritisi adalah gagasan-gagasan kita sendiri tentang pendidikan, bukan terutama praksis pendidikannya. Jika pendidikan dipahami secara integral dalam kerangka perkembangan pribadi yang berproses menuju ke kesempurnaan dalam relasinya dengan lingkungan material dan non-material, melalui pendampingan individu dan lembaga yang bertujuan untuk mengembangkan unsur keilmuan, pematangan kepribadian dan pembentukan karakter moral dewasa, peningkatan ketrampilan, dll, pendidikan yang integral semestinya memiliki visi humanisme universal. Dalam arti mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan yang bisa menjadi berkat bagi pribadi dan bagi semua orang.

Untuk ini, personalisme Mounier, misalnya bisa menjadi alternatif, di mana pribadi menjadi pangkal dan tujuan setiap proses pendidikan. Pribadi merupakan individu yang tidak dengan mudah ditundukkan keberadaannya pada otoritas negara (statalisme, antifamiliarisme Plato) yang merampok otonominya, atau ditundukkan pada kepentingan keluarga (familiarisme Aristotelian) dalam kerangka kehidupan politik (menganggap anak didik sebagai proyek politik demi stabilitas suatu masyarakat). Personalisme Mounier merupakan sebuah pembelaan diri terhadap desakan individualisme yang merajalela dalam masyarakat. Karena itu, personalisme bisa memberikan alternatif yang baik ditengah gejala statalisme, familiarisme, antifamiliarisme dan individualisme. Dalam kerangka pedagogi pribadi anak didik merupakan individu yang independen yang bukan menjadi milik (properti) Negara atau keluarga, atau sekedar mesin reproduksi kultur sosial.

Kedua, tanggungjawab pendidikan tidak bisa dipahami melalui sudut pandang sektorial, mengingat bahwa corak relasional proses pendidikan melibatkan jalinan-jalinan relasional yang kompleks. Karena itu, setiap instansi pendidikan semesti memahami fungsi dan peranannya. Orang tua tidak bisa mengklaim sebagai satu-satunya agen tunggal dalam pendidikan anak. Juga mereka tidak dapat sekedar bertanggungjawab secara ekonomis, seolah mereka sekedar membeli jasa sekolah demi mereparasi dan membentuk anak-anak mereka. Mau tidak mau, keluarga masih memiliki peran penting dalam proses sosialisasi nilai bagi diri anak sebab bersama keluargalah anak-anak mengenali dimensi valorial bagi hidup mereka.

Di lain pihak, instansi pendidikan lain seperti sekolah tidak dapat berpretensi netral atau acuh tak acuh dalam kinerja edukatifnya dengan memusatkan diri pada dimensi instruksional pengajaran (teaching), sementara lalai pada dimensi pembentukan nilai moral anak didik. Mereka tidak bisa mengatakan bahwa pembentukan karakter anak didik adalah tugas para orang tua, bukan bagian dari bagian eksistensial kinerja mereka. Ekonomisme, prinsi-prinsip dagang dalam dunia pendidikan merusak setiap proses formasio yang hanya melahirkan instabilitas, pendangkalan kultur, dan pemiskinan makna eksistensial manusia dan meredusirnya melulu sebagai homo economicus.

Manusia merupakan mahluk kompleks (homo complexus) yang didalamnya bertemu berbagai macam antinomi. Di satu sisi manusia adalah mahluk bijaksana (homo sapiens), namun di lain pihak juga mahluk yang mengalami defisit akal (homo demens), manusia teknis (homo faber) sekaligus manusia yang suka bermain (homo ludens), manusia yang lekat dengan pengalaman (homo empiricus), sekaligus manusia yang kaya imaginasi (homo imaginarius), dll.

Tampaknya, sistem pendidikan kita seringkali mengajarkan hal-hal yang sifatnya lebih sektorial fragmentaris daripada mengetengahkan situasi hidup yang memang kompleks. Mengutamakan satu sisi bisa malah membuat timpang proses pendidikan itu sendiri. Tidak mengherankan jika Edgar Morin membidik dimensi kompleksitas kenyataan hidup manusia sebagai materi yang mesti diajarkan oleh setiap pendidik di masa depan. Mengajarkan kondisi manusia yang nyata dalam kerangka pendidikan merupakan sebuah tantangan yang tak dapat diabaikan.

Ketiga, menganggap bahwa dengan sekolah semua persoalan sosial bisa diselesaikan merupakan pandangan yang keliru. Benar bahwa tanpa proses pendidikan yang baik masyarakat tidak akan stabil, sebab ada defisit dalam hal akuisisi nilai-nilai non material sebuah kebudayaan. Namun kelirulah menganggap bahwa lembaga pendidikan, seperti sekolah, merupakan tempat ‘ndandakke’ siswa agar menjadi pribadi yang baik. Sekolah bukanlah panasea yang bisa mengobati segala macam penyakit.

Karena itu tepat kritik, Jacques Maritain (1882-1973) yang menganalisis tujuh kekeliruan dasar dalam pendidikan modern dengan mengatakan bahwa salah satu kekeliruan dalam pendidikan modern adalah anggapan bahwa setiap hal dapat dipelajari melalui pengajaran. Sekolah, bukanlah lembaga serba bisa yang bertanggungjawab bagi proses pendidikan seluruh anak didik. Lingkungan di luar dunia pendidikan justru memiliki pengaruh esensial dan memiliki dimensi formatif lebih kuat bagi proses penyempurnaan diri seorang pribadi.

Epilog

Pendidikan merupakan fakta yang kompleks, yang memiliki jalur relasional yang bercabang, antara masyarakat sebagai lembaga politik, keluarga sebagai lembaga sosial dan lembaga hukum, antara sekolah sebagai salah satu pelayan bidang pendidikan, dan kebudayaan sebagai tempat bertemunya pergulatan ideal-real dalam proses menyejarah suatu masyarakat.

Pedagogi akan tetap memberikan pencerahan dan sikap kritis atas berbagai macam praksis pendidikan, dan praksis pendidikan jika direfleksikan akan semakin memperkaya khasanah pemikiran sebuah pedagogi. Sikap kritis, keterbukaan atas kompleksitas kenyataan, penegasan corak relasional antar lembaga, kebijakan praktis relasi antara sekolah dan rumah dalam kerangka pendidikan semestinya diletakkan dalam kerangka idealisme tujuan dasar pendidikan. Tanpa memiliki idealisme bagi tujuan pendidikan kita, setiap praksis pendidikan yang cenderung mencari pemecahan masalah praktis akan menemukan kebuntuan dan gagal mengenyam kemajuan sebab tanpa gambaran yang jelas tentang idealisme pendidikan, kita, meminjam istilah Kartini, masih tetap tinggal dalam kegelapan. Pedagogi yang baik akan menerangi praksis yang baik dan efektif. Dengannya kita bisa merasakan kuatnya impian Kartini yang menginginkan bahwa bangsa ini segera keluarga dari kegelapan menuju terang, agar dapat berjalan dan menuju tujuan pendidikan dengan lebih percaya diri.

Generasi Penjual Rujak

KOMPAS, 27 Juni 2006
Doni Koesoema, A

Sari tidak lulus Ujian Nasional (UN) tingkat SMA tahun lalu. Nilainya jatuh pada mata pelajaran bahasa inggris. Tiga bulan ia ikut kursus persiapan ujian perbaikan. Setelah lulus ia ingin mencari kerja untuk membantu keluarga. Namun apa daya, ijasah tidak dapat segera diterima. Sari akhirnya berjualan rujak. Inilah salah satu kisah tragis anak bangsa yang menjadi korban UN.

Masih banyak Sari-sari lain di negeri ini. Sari tidak sendirian, sebab tahun lalu, banyak temannya yang tidak lulus. Kata pemerintah, UN dipakai untuk proses standardisasi dan perbaikan mutu pendidikan. Namun apa yang telah diperbuat pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan di sekolahnya Sari? Apakah pemerintah membantu menyediakan sarana pendidikan, berupa tape, misalnya, sebab sekolahnya tidak memiliki lab bahasa, dan karena itu, pada saat ujian bahasa inggris banyak siswa tidak lulus? Ataukah pemerintah telah berusaha membantu meningkatkan kualitas guru bahasa inggris dengan memberikan pelatihan tambahan?

Cukup sudah

Data-data hasil UN tahun-tahun sebelumnya sebenarnya telah dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah untuk memetakan kualitas pendidikan secara nasional. Karena, itu cukup sudah dengan UN. Sekarang saatnya pemerintah bekerja. Anggaran dana pendidikan yang rencananya akan ditingkatkan semestinya dipakai untuk program perbaikan kualitas ini.

Mengingat adanya disparitas kualitas pendidikan antar daerah, program peningkatan mutu pendidikan semestinya mendasarkan diri pada prinsip-prinsip keadilan. Dalam kerangka ini, prinsip keadilan yang ditawarkan John Rawls masih relevan (Rawls, 1993).

Prinsip pertama yang diajukan Rawls adalah bahwa setiap orang memiliki klaim yang sama atas hak-hak dasar dan kebebasan. Konstitusi kita mengekspresikan salah satu hak dasar ini dengan kalimat, ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ dan ‘menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pengajaran’.

Terbukanya akses pendidikan bagi semua warga Negara merupakan conditio sine qua non dihargainya nilai kebebasan dan keadilan. Dengannya, meminjam istilah Rawls, kebebasan politik dan kebebasan setiap orang untuk bergerak dari tingkat sosial satu ke tingkat yang lain dapat dijamin secara fair.

Selama masih ada warga Negara yang tidak dapat memperoleh akses pendidikan, bahkan di tingkat yang paling dasar, Negara merupakan instansi yang paling bertanggungjawab atas ketidakadilan ini. Tanpa dijaminnya kebutuhan dasar ini, partisipasi warga dalam iklim demokrasi yang memungkinkan terjadinya pergerakan sosial ke atas semakin jauh dari harapan. Yang miskin akan semakin miskin. Yang tak berdaya akan semakin terperdaya.

Dalam masyarakat demokratis, politik merupakan merupakan ekspresi kepercayaan publik yang berupa amanah untuk menyejahterakan warganya, termasuk peningkatan kualitas pendidikan dan penguatan civil society (terbukanya peluang yang sama bagi setiap warga Negara untuk aktif secara politis). Tanpa usaha ini, politik telah berubah menjadi wahana penguasaan sumber-sumber alam dan sosial bagi kepentingan segelintir orang.

Karena itu, akses pendidikan bagi semua warga Negara merupakan prioritas dasar sebab dengannya dijamin persamaan. Persamaan dalam mengenyam pendidikan memungkinkan setiap warga menghayati kebebasannya sehingga mereka mampu berperanserta secara aktif dalam kehidupan demokratif yang semakin mengukuhkan kemartabatan mereka sebagai manusia.

Bukan pukul rata

Klaim atas persamaan, lanjut Rawls, bukan berarti bahwa semua dipukul rata. Model kebijakan pukul rata seperti ini alih-alih menjadi dalih keadilan malahan menutup mata atas realitas ketidakadilan lain yaitu kenyataan tentang adanya perbedaan akses atas sumber-sumber alam dan sosial yang diterima dari setiap orang sejak lahir. Kita tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan apakah kita ingin terlahir dalam keluarga yang kaya raya atau miskin papa, menjadi bangsawan atau gelandangan.

Kenyataan adanya perbedaan akses atas sumber-sumber alam dan sosial membuat Rawls mengajukan prinsip keadilan yang kedua, yaitu, bahwa perbedaan sosial dan ekonomi masih dapat diterima sejauh kebijakan itu memenuhi dua persyaratan. Pertama, terbuka peluang bagi setiap orang untuk maju.

Kedua, perbedaan perlakuan diijinkan sejauh demi kemaslahatan pihak-pihak yang paling tidak diuntungkan dalam masyarakat (the least advantaged members of society) karena keterbatasan sumber-sumber alam dan sosial yang mereka terima secara alamiah.

Kebijakan pukul rata dalam dunia pendidikan, seperti, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), standardisasi nilai kelulusan lewat perangkat Ujian Nasional, sudah semestinya ditinggalkan sebab kebijakan ini selain melukai nilai keadilan juga menutup mata terhadap realitas adanya perbedaan akses natural-sosial yang diterima setiap orang semenjak mereka lahir.

Prioritas pendidikan

Di tengah amukan bencana alam, rapuhnya bangunan-bangunan sekolah, makin banyaknya orang miskin yang tak mampu menyekolahkan anak-anak mereka pemerintah ditantang untuk membuat prioritas, bukan hanya untuk membangun kembali sekolah-sekolah kita yang telah roboh (Aceh, Nias, Waghete, Bantul, Jogja, Klaten, dll), namun juga menjadikan dunia pendidikan sebagai keprihatinan utama dalam setiap kebijakan politisnya.

Uang rakyat janganlah dipakai untuk proyek sia-sia yang melukai keadilan. Perbaikan mutu pendidikan semestinya mempertimbangkan nilai-nilai keadilan yang melindungi pihak-pihak yang paling lemah dalam masyarakat (anak-anak orang miskin, para siswa korban bencana, anak cacat dan yatim piatu, dll). Bagi mereka inilah pemerintah semestinya memberikan hati dan tenaganya.

Kisah seperti dialami Sari tak boleh terulang lagi. Sari adalah ‘sari’ bangsa. Kita tidak ingin bangsa ini disebut sebagai bangsa yang hanya bisa menghasilkan generasi penjual rujak. Kita tidak ingin para pemimpin kita mengkhianati cita-cita para pendiri bangsa yang telah merelakan jiwa dan raganya demi membuka pintu gerbang emas kemerdekaan agar rakyatnya makin sejahtera.

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Penilaian Pendidikan

KOMPAS, Kamis, 8 juni 2006
Doni Koesoema, A

Banyak kalangan, seperti orang tua, intelektual, pendidik, anggota parlemen dan masyarakat, mempertanyakan makna Ujian Nasional (UN). Berhadapan dengan disparitas kultur akademis, ketersediaan tenaga guru, sarana, prasarana pendidikan, dll,UN alih-alih memecahkan persoalan peningkatan mutu pendidikan malah menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Karena itu banyak yang mengusulkan agar UN dihapuskan saja.

Namun yang dihadapi oleh dunia pendidikan bukanlah persoalan sekedar ‘nasional’ atau ‘lokal’ semata. Sistem penilaian yang dipraktekkan dalam dunia pendidikan, seperti, ujian, evaluasi, pemeringkatan, pengisian rapor, dll, telah lama dipersoalkan tingkat keabsahan (validity) dan tingkat keandalannya (affidability) sebagai tolok ukur hasil suatu proses pendidikan. Jadi, modus operandi dalam menilai sebuah kinerja pendidikan itu sendirilah yang dipertanyakan.

Docimologi

Berbagai macam ketidakakuratan dan ketidaktepatan dalam menilai suatu hasil pendidikan melahirkan studi khusus yang oleh H. Piéron (1963) disebut docimologi (dari kata Yunani, dokimàzo, menilai, dan logòs, diskursus sistematis dan ilmiah). Docimologi merupakan suatu studi kritis yang mempelajari persoalan seputar tata cara penilaian hasil-hasil suatu intervensi pendidikan.

Tata cara penilaian suatu proses pendidikan biasanya dipengaruhi oleh gambaran manusia macam apa yang menjadi titik pijaknya. Sayangnya, antropologi UN inilah yang biasanya luput dari bahasan para anggota parlemen (politisi) dan birokrat pemerintah ketika menghadapi polemik seputar UN.

Dalam kerangka menilai perkembangan peserta didik, misalnya, semakin disadari bahwa gambaran manusia mekanis yang diredusir pada kemampuan akademis tak mampu menjawab integritas manusia sebagai pribadi yang dikaruniai berbagai macam fasilitas, pikiran, budi, kehendak, emosi, dll. Model quantifikasi hasil pendidikan dalam jumlah nilai dianggap terlalu meredusir makna pendidikan dan gambaran tentang manusia yang melatarbelakanginya.

Karena itulah mulai dikembangkan suatu cara penilaian di mana akuisisi ilmu dipahami bukan dalam artian ‘banyaknya’ jumlah gagasan, pengetahuan yang dapat dipahami dan diterima oleh peserta didik, melainkan sejauh mana pengetahuan itu mengubah sikap, perilaku yang koheren dengan konsep sebuah sekolah yang mendidik. (J.M.Prellezo-L.Calonghi,1997,1159)

Populisme murahan

Penilaian hasil pendidikan dalam lingkup nasional melalui UN dalam batas-batas tertentu masih bisa dipakai sejauh diterapkan dalam kerangka evaluasi dan perbaikan secara struktural, bukan dalam kerangka evaluasi kinerja individu. Karena itu, banyaknya kritik yang muncul berkaitan dengan ‘pemaksaan’ pelaksanaan UN 2006 tidak bisa dijadikan alasan untuk menghapuskan begitu saja UN. Para politisi yang membabibuta meminta UN segera dihapuskan tanpa memberikan alternatif bisa jatuh pada sikap populisme murahan.

Sebaliknya, sikap pemerintah yang ngotot agar UN tetap dijalankan tanpa memberikan pertimbangan yang valid dan sah, tanpa ada tindak lanjut dalam kebijakan pendidikan post-UN, bahkan bersikap tuli atas masukan dari banyak pihak bisa dicap sekedar melakukan politik bagi-bagi uang. Dana 238 milyard untuk UN bukanlah jumlah yang sedikit!

Pendidikan merupakan sebuah intervensi sosial demi tujuan tertentu yang ingin diraih. Setiap keputusan intervensif dalam bidang pendidikan mesti memperhatikan dan melihat dampak-dampak atas intervensi tersebut dalam konteks yang lebih fundamental. Membuat suatu program bagi intervensi pendidikan namun tidak mau mempertimbangkan dampak-dampaknya merupakan perilaku yang tidak bertanggungjawab.

Salah satu dampak UN yang paling eksistensial adalah digantikannya makna pribadi menjadi sekumpulan barang produksi yang dapat distandardisasi.

Hilangnya pribadi

Ujian Nasional yang dipakai sebagai tolok ukur kelulusan siswa merupakan program yang tidak menghargai keunikan pribadi. UN telah meredusir kekayaan pribadi menjadi sekedar barang produksi yang bisa distandardisasi. Dalam UN yang diutamakan adalah hasil akhir, bukan proses. Akibatnya, individu kehilangan nilainya sebagai pribadi yang unik dan tak tergantikan (person). Lewat UN dimensi etis individu tidak diakui lagi. Individu menjadi materi tanpa ikatan sejarah yang bisa dilipat-lipat seperti kardus sehingga menjadi kotak-kotak kosong yang sama.

Selain itu, proses penilaian UN tidak mengacu pada sekumpulan nilai (set of value) melainkan pada efektifitas dan efisiensi, yaitu, sejauh mana seseorang mempergunakan sumber-sumber pengetahuan yang tersedia baginya. Dengan adanya disparitas sumber-sumber pengetahuan yang ada, entah karena keterbatasan dana, sarana, tenaga guru, dll, UN yang berpretensi membuat ‘penyamaan’ telah menjadi alat untuk menyebarkan ketidakadilan.

Karena pribadi itu unik dan tak tergantikan yang dianugerahi dengan banyak bakat, talenta, dan kreatifitas, juga kebebasan dalam mengembangkan dirinya secara penuh, penilaian kelulusan yang semata-mata mendasarkan diri pada standardisasi akademis merupakan pelecehan atas integritas harkat dan martabat mereka.

Kemampuan akademis memang merupakan batu pijakan (corner stone) bagi dunia pendidikan. Namun pertumbuhan karakter adalah fondasi bagi hidup seseorang. Pendidikan semestinya memberikan tolok ukur penilaiannya pada sikap perilaku yang baik (good doing) bukan sekedar mencetak orang-orang sesuai dengan spesifikasi kuantitatif yang dipaksakan.

Menerapkan kriteria ekonomi lewat efisiensi dan efektivitas bagi tolok ukur sebuah proses pendidikan membuat banyak hal yang bernilai dalam diri pribadi hilang, seperti, kesadaran sebagai satu warga (citizenship), ketulusan dan kejujuran (honesty), rasa hormat, persahabatan, penghargaan atas perbedaan, jerih payah, kerja keras, ketekunan, dll.

Pribadi-pribadi dengan kriteria inilah yang sekarang ini sangat kita butuhkan agar masyarakat kita dapat hidup berdampingan dengan damai, tidak gampang berkelahi atau adu otot, melainkan mampu menghargai keanekaragaman dalam kesatuan. Padahal, kebhinekaan yang ika inilah sesungguhnya kekayaan tak ternilai bangsa kita.

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Politik Guru

KOMPAS, Selasa, 23 mei 2006
Oleh Doni Koesoema, A

Pendidikan merupakan sebuah proses politik. Relasi guru dengan pihak lain, entah itu dalam lingkup mikro (di dalam kelas) maupun makro (di luar kelas), merupakan relasi kekuasaan. Di dalamnya guru berjumpa dengan banyak pihak, seperti, kepala sekolah, komite sekolah, dewan guru, karyawan, yayasan, orang tua, lembaga-lembaga non pemerintah, birokrat, politisi, masyarakat, dll. Hubungan antar kelompok ini tidaklah imun dari praktek kekuasaan. Relasi ini terstruktur dan terbentuk melalui sebuah sistem yang menyangga sistem kekuasaan satu sama lain. Dalam kerangka inilah kinerja guru sungguh menjadi sebuah pergulatan politik par exellence.

Ginsburg (1996) mendefinisikan politik sebagai “kontrol atas alat-alat produksi, reproduksi, konsumsi dan akumulasi daya-daya material dan simbolis.” Proses ini tidak terbatas pada arena kekuasaan oleh negara. Dunia pendidikan menjadi contoh ideal proses politik sebab jaringan relasi sosial yang dimilikinya berhubungan langsung dengan kategori sumber-sumber material maupun non-material tersebut. Ketidakadilan atas distribusi sumber-sumber daya ini biasanya ditentukan oleh praksis politik dan corak relasi kekuasaan yang ada.

Marginalisasi guru

Persoalan seputar efektifitas Ujian Nasional, inkonsistensi aturan pemerintah tentang otonomi guru dalam proses pendidikan, perbaikan kurikulum tanpa menyertakan proses pra-formasi yang mempersiapkan secara matang tenaga pendidik, dll, hanyalah salah satu dari banyak corak relasi kekuasaan yang memangkas kinerja dan otonomi guru. Berhadapan dengan perubahan kurikulum, guru tak pernah dijadikan rekan dialog. Kalau toh ada dialog, dialog terjadi hanyalah dari sisi teknis pelaksanaan, bukan dari segi visi antropologi-filosofis yang memberikan semacam visi fundamental pendidikan nasional kita.

Sebaliknya, proses politik yang terjadi di negeri ini adalah justru upaya-upaya untuk meminggirkan guru dari bidang kerjanya. Guru dibuat sedemikian rupa sehingga berada dalam posisi marginal, baik secara sosial, ekonomi, politik, maupun professional. Pemberangusan otonomi guru oleh negara pada gilirannya membatasi kinerja potensial sebagai guru sebagai agen transformasi.

Jika guru mesti berjuang untuk memperoleh kembali kontrol atas bidang kerjanya, usaha ini tidaklah bisa dibuat secara sambil lalu, atau secara spontanitas, seperti misalnya, demonstrasi turun ke jalan seperti pernah terjadi dalam kasus Kampar. Atau berjuang seorang diri seperti ibu Nurlaila yang mesti berhadapan dengan aparat hukum ketika kinerja profesionalnya sebagai guru digusur kekerasan otot petugas tramtib. Guru mesti dapat memadukan tenaga dan terlibat dalam suatu aksi politik yang terencana dan teratur rapi. Namun ini mengandaikan bahwa para guru itu melek dan aktif secara politik. Perilaku dan kemampuan ini tidak bisa terjadi secara kebetulan. Karena itu, pendidikan politik semestinya menjadi bagian dari program pendidikan guru.

Posisi strategis guru sebagai aktor politik dan agen trasformasi dalam dunia pendidikan inilah yang membuat kekuasaan politik ingin selalu ikut campur dalam ‘menjinakkan’ kinerja guru. Guru yang dimahkotai mitos ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ selalu diharapkan memahami kinerjanya yang mengatasi kepentingan politik. Karena itu, salah satu otonomi dan kinerja guru ini perlu dipotong agar para guru tetap berada dalam situasi apolitik.

Guru sesungguhnya bisa kembali merenggut kinerja politiknya yang dirampok oleh negara, entah dalam lingkup mikro maupun makro.

Mikro dan makro

Dalam lingkup mikro (relasi kekuasaan guru-murid dalam kelas) para guru bisa memulai dengan mengembangkan suasana dialogis dan demokratis. Perlu dipraktekkan suatu cara pengajaran yang di satu sisi mampu membawa siswa pada tujuan pengajaran, di lain sisi membuat siswa menemukan makna dan kegembiraan dalam belajar. Kelas semestinya menjadi sebuah ruang di mana proses belajar memperkaya siswa akan nilai-nilai hidup, menghargai perbedaan dan sekaligus cinta pada kegiatan belajar itu sendiri. (Brophy, 1983,1988). Guru juga bisa menerapkan cara pengajaran yang berwibawa lewat ketegasan prinsip dan transparansi sistem perilaku. Para siswa umumnya mengharapkan bahwa guru menjadi figur kekuasaan yang mampu menciptakan situasi stabil dengan tata perilaku yang standard. (Brantilinger, 1993, Mets, 1978).

Dalam lingkup makro (relasi kekuasaan guru dengan sistem kekuasaan lain), yang paling mendesak adalah masuknya kurikulum tentang kesadaran politik dalam kerangka proses formasi tenaga guru. Guru dengan demikian tidak sekedar dipersiapkan melalui kemampuan teknis-praktis tata cara pengajaran dalam menjalankan kurikulum, melainkan juga mampu secara kreatif dan kritis menyadari dan menumbuhkan dimensi politis atas kinerjanya.

Dalam level nasional, independensi organisasi guru semestinya dipertahankan agar kekuasaan negara tidak dengan mudah ikut campur. Independensi ini tak akan dapat terjadi jika rasa solidaritas satu sama lain masih lemah. Kasus Kampar, misalnya, hanya menimbulkan geliat di Kampar saja. Kasus Ibu guru Nurlaila hanya bergema di Jakarta, padahal kasus serupa banyak terjadi di tempat lain. Soliditas dan solidaritas guru adalah bagian dari proses pertumbuhan kesadaran politik guru itu sendiri.

Pendidikan memang merupakan proses politik, dan guru sesungguhnya aktor utama dari proses politik ini. Sebagai aktor politik, guru mampu mentransformasi situasi masyarakat menjadi sebuah dunia yang lebih baik.

Mati hidupnya dunia pendidikan memang tidak tergantung semata-mata pada kinerja politik guru, namun kesadaran politik guru atas kinerjanya adalah kondisi yang dibutuhkan agar proses trasformasi dalam masyarakat berjalan secara efektif. Guru memang ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ yang kinerjanya mengatasi sekat-sekat politik, namun mitos ini menjadi tiada guna ketika dengannya pelan-pelan otonomi dan kebebasan guru dikebiri. Karena itu, para guru lebih baik segera menyadari diri sebagai aktor politik daripada sekedar menjadi pahlawan tanpa tanda jasa yang dengannya membuat mereka lena atas kinerja politiknya.

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Cendekia, Politisi dan Krisis Identitas

KOMPAS, 01 November 2005
Oleh. Doni Koesoema, A

Masalah BBM, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (menkominfo), Sofyan A Djalil, bukanlah masalah pemerintah SBY-JK, tetapi masalah bangsa (Kompas, 12/10/2005). Ia mengkritik keras wacana Effendi Gazali lewat tulisannya Bersama Kita Bisa (Menderita) sebagai sebuah insinuasi atas kebijakan pemerintah yang seakan-akan menzalimi rakyatnya. Karena itu, mengutip menkominfo, ‘we have to choose the lesser of two evils”. Dan ia mengharapkan agar ‘ilmuwan bersikap fair dan broad minded’.

Memang benar bahwa para politisi dan cendekia semestinya bersatu dan bahu-membahu dalam mengatasi persoalan bangsa. Namun mengatakan bahwa masalah BBM bukanlah masalah pemerintah SBY-JK, malahan menunjuk suatu entitas absurd yang disebut dengan ‘masalah bangsa’ bisa dituduh sebagai sebuah eskapisme politis.

Masalah bangsa menjadi makin parah ketika para politisi ternyata juga merupakan bagian dari kelompok elite yang disebut cendekia. Intelektualisme politisi merupakan ancaman besar bagi sebuah masyarakat yang menghargai nilai-nilai demokrasi. Terlebih kalau pragmatisme politik-ekonomi lantas menjadi satu-satunya acuan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Pendidikan kontemporer, menurut Jacques Maritain ((1882-1973), karena bersifat parsial dan mendewakan spesialisasi, memiliki kelemahan dalam membangun fondasi kokoh sebuah masyarakat demokrasi. Dalam bukunya, Pendidikan berada di simpang jalan (1943), ia menengarai kesalahan-kesalahan dalam pendidikan kontemporer yang mengakibatkan hilangnya rasa integralitas seorang pribadi. Dua diantaranya adalah pragmatisme dan intelektualisme.


Pragmatisme intelektual


Kritik Maritain atas pragmatisme intelektual tidak mengacu pada perilaku partisipasipatif atas kehidupan sosial, sebuah aspek yang oleh para filsuf dianggap sebagai hal-hal yang fundamental dan positif bagi hidup sosial setiap manusia, melainkan menukik langsung pada prinsip yang mendasarinya, yaitu, bahwa kegiatan berpikir terjadi karena ada persoalan yang muncul dalam kehidupan praktis yang harus dihadapi dan harus segera dipecahkan.

“Adalah sebuah penghinaan mendefinisikan pemikiran manusia sebagai sebuah organ untuk menjawab berbagai macam rangsangan atas situasi lingkungan nyata. Terminologi seperti ini hanya tepat untuk menggambarkan pengetahuan dan reaksi binatang, sehingga berpikir secara persis dengan definisi seperti ini mengukuhkan cara berpikir khas untuk binatang tanpa rasio,” tulis Maritain.

Manusia mempergunakan daya penalarannya bukan sekedar sebagai jawaban atas rangsangan dari luar, melainkan tertuju pada suatu nilai, yaitu, kebenaran. Kebenaran inilah yang perlu diverifikasi, baik secara rasional maupun lewat pengalaman, bukan melalui kegunaan praktisnya semata. Hidup itu sendiri memiliki tujuan yang membuat hidup itu sendiri semakin layak dihayati. Pragmatisme mengaburkan kebenaran yang mesti menjadi acuan setiap ilmuwan. Pragmatisme intelektual semakin efektif menggoyahkan sendi-sendi demokrasi ketika dibarengi dengan intelektualisme politisi.

Intelektualisme politisi

Intelektualisme, lanjut Maritain, merupakan konsekuensi logis pola pikir yang mendewakan fungsi praktis dan sosial pengetahuan manusia. Kegiatan intelektual manusia tidak dilihat sebagai sebuah pejiarahan luas untuk mencari kebenaran, melainkan diredusir pada pengetahuan yang semakin lama semakin khusus dan terspesialisasi. Intelektualisme modern termanifestasi dalam pemahaman bahwa kesempurnaan pendidikan tercapai ketika anak didik memiliki spesialisasi akademis dan kemampuan teknis.


Kelemahan dasar model berpikir spesialisasi ini adalah mencetak manusia sempurna yang kenal betul akan tugas-tugas khususnya namun tidak memiliki kemampuan dan kepekaan dalam menilai sesuatu yang berada diluar bidang spesialisasinya.

“Kultus spesialisasi memiskinkan manusia dan melukai martabatnya,” kritik Maritain.

Dalam kerangka politik, pemiskinan manusia ini merupakan hal yang fatal bagi pembentukan masyarakat sosial yang demokratis. Masyarakat yang demokratis membutuhkan cendekia yang terbuka, luas horisonnya, bukan sebuah jiwa yang tertutup pada spesialisasinya saja.

Dihitung secara matematis dan ekonomis, menaikkan harga BBM memang sebuah keputusan yang secara rasional gamblang paling menguntungkan dan praktis. Menghapus subsidi BBM dan menaikkan harga BBM akan menjaga keberlangsungan APBN yang sehat dan menjamin nilai rupiah, mengurangi penyelundupan dan pengoplosan BBM, dll. Dana kompensasi langsung BBM bagi orang miskin mungkin memang diperlukan. Namun untuk apa keberlangsungan APBN jika uang negara masih dengan mudah dijarah sehingga proyek padat karya dan perbaikan infrastruktur yang dianggarkan tetap menjadi ladang empuk korupsi? Untuk apa dana kompensasi kalau hanya menjadi kesempatan bagi mereka yang berkuasa untuk memanipulasi data dan menjarah kembali uang negara?

Yang dibutuhkan rakyat adalah keadilan, di mana para penyelundup BBM yang merugikan negara dihukum; transparansi keuangan, di mana para manipulator dana compensasi diproses di pengadilan. Yang diminta dari rakyat adalah jaminan sosial secara terstruktur dan legal bagi mereka yang kurang beruntung (bukan sekedar aksidental dengan memberi kartu keluarga miskin!).

Kebijakan kenaikan harga BBM mengindikasikan bahwa aristokrasi ekonomi di Indonesia telah sampai pada tahap yang membahayakan sendi-sendi demokrasi dan keadilan sosial.

Intelektualisme politisi seperti ini membawa kehidupan politik di ambang kehancuran, sebab kehidupan politik yang semestinya menjadi kinerja bersama seluruh warga, di mana masyarakat sipil mengemban peran sebagai pengawal kebijakan publik, akhirnya hanya dipegang oleh sekelompok kecil politisi spesialis.
Kelompok kecil teknokrat politik-ekonomi yang menentukan hidup mati semua orang.

Krisis solidaritas

Pragmatisme intelektual ditambah dengan fenomena intelektualisme politisi akan menghasilkan krisis solidaritas. Krisis solidaritas menggerogoti tatanan kehidupan sosial masyarakat. Krisis solidaritas terjadi karena warga semakin menyadari bahwa para politisi alih-alih memiliki sense of crisis, malah jatuh pada eskapisme politis. Kompleksitas masalah BBM yang dipicu oleh kebijakan politik ekonomi pemerintah digeneralisir sebagai masalah bangsa, bukan karena kekeliruan analisis pemerintah dalam mengatur negara. Eskapisme politis menyepelekan efektifitas struktur kekuasaan politik dalam menentukan kebijakan publiknya.

Cuci tangan atas keputusan politik yang diambil bukanlah perilaku terpuji seorang demokrat. Para politisi (baca, pemerintah, pembuat hukum, dan pegawai pengadilan) dalam sebuah masyarakat demokratis bekerja pertama-tama untuk melayani melayani republik (baca=hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, di sini termasuk BBM). Sebab, dari kodrat kekuasaan yang dimilikinya, setiap keputusan politik yang mereka ambil akan memiliki dampak nyata bagi setiap warga negara.

Masalah BBM mungkin memang merupakan masalah bangsa. Namun keputusan menaikkan harga BBM yang berimbas pada meroketnya harga-harga, sulitnya mendapat pasokan gas, dll, merupakan tetap menjadi tanggungjawab politik pemerintahan SBY-JK.

Masyarakat akan tetap berpikir bahwa kebijakan pemerintah telah menzalimi dan melukai martabat warganya, jika dengan keputusan politiknya, pemerintahan SBY-JK tidak dapat mempertanggungjawabkan transparansi keuangan dan kelancaran penyaluran dana kompensasi bagi rakyat miskin, menjamin stabilitas kehidupan sosial ekonomi di dalam masyarakat serta perbaikan berbagai macam infrastruktur yang dijanjikan setelah mengambil keputusan politiknya, yang menurut Sofyan A DJalil. “we have to choose the lesser of two evils”.

Mungkin sekaranglah saat yang tepat mengatakan pada pemerintah bahwa sebagai warga kita juga berhak mengatakan, “‘we have to choose the lesser of two evils”. Apakah pemerintah memang mau lari dari tanggungjawab politik, atau rakyat harus terus mendendangkan tembang duka dengan judul Bersama Kita Bisa (Menderita).

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Kemartiran sebagai Pedagogi Rohani

KOMPAS, 10 Oktober 2005
Oleh Doni Koesoema, A

Terorisme di Indonesia pada kenyataannya bukan merupakan karakter bangsa Indonesia melainkan lebih merupakan konflik politik dan ekonomi yang mempergunakan agama dan memanfaatkan orang-orang beriman. Analisis K.H. Hasyim Muzadi dalam seminar Islam in a pluralistic Society, yang diadakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Tahta Suci Vatikan (KBRI-TSV) di auditorium Yohanes Paulus II, Universitas Kepausan Urbaniana, Roma,(30/9), mengingatkan kita betapa kecerobohan dalam menggeneralisir akar permasalahan terorisme bisa berakibat fatal dalam kerangka membangun dialog persaudaraan antar umat beriman, terlebih lagi dalam menakar kesejatian pengalaman iman.

K.H.Hasyim Muzadi juga menegaskan bahwa persentase kelompok teroris dibandingkan dengan umat beriman yang memiliki kehendak baik untuk membangun persaudaraan sejati sangatlah kecil. Demikian juga Rm. Thomas Michel sebagai anggota dewan penasehat kepausan untuk urusan dialog antar agama, misalnya, memaparkan bahwa sejak reformasi 1998 telah hadir sekitar 465 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), baik lokal maupun internasional yang bekerja dalam membangun perdamaian di daerah konflik (peacebuilding Ngo’s) yang memiliki ciri lintas agama.

Karena itu, konflik yang menciptakan teror yang bermula dari sikap salah interpretasi, baik atas ajaran agama maupun simbol agama, merupakan bagian yang kecil saja yang kadang tidak selalu menghadirkan teror. Namun yang signifikan, ujar K.H. Hasyim Muzadi, adalah ketika salah tafsir dan penyalahgunaan agama dan simbol agama ini berbenturan dengan kepentingan politik, ketidakadilan, rendahnya mutu pendidikan, kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi.

Selama para politisi masih berkelahi untuk mempertahankan kekuasaannya, alih-alih mempergunakan kewenangan untuk melayani rakyat, selama keadilan tak dapat ditemukan di pengadilan, selama dunia pendidikan ditelantarkan, negeri kita akan menjadi sekam membara yang mudah disulut kelompok teroris untuk menghanguskan keberadaban negeri ini.

Bom bunuh diri jilid II di Bali mengingatkan kita betapa ternyata pedagogi rohani yang keliru dalam memaknai kemartiran bisa berakibat fatal bagi keberlangsungan hidup manusia. Dalam sebuah negara yang sistem keamanannya masih kedodoran seperti di negeri kita, di mana di setiap tempat para teroris bisa berpesta pora dan melakukan aksinya tanpa perlu melukai diri sendiri, di mana kaum teroris dengan mudah melancarkan aksinya tanpa halangan ketatnya penjagaan petugas keamanan, bom bunuh diri di Bali hanya menyiratkan satu pesan : keyakinan iman akan kemartiran itu telah ada pada level personal yang tak bisa dibendung oleh satu instansi manapun! Membunuh semakin banyak orang seolah sebuah keyakinan integral akan keselamatan. Seolah ingin mengatakan bahwa baik pengebom maupun korban adalah jiwa-jiwa yang mati syahid, sehingga layak langsung menerima mahkota surgawi. Betapa ironisnya pedagogi kerohanian seperti ini.

Pedagogi rohani

Pedagogi macam apa yang bisa diwariskan dan ditanamkan pada anak didik kita dalam situasi seperti ini?

Dalam masyarakat yang mengakui keesaan Tuhan sebagai sang sumber hidup, anak didik semestinya belajar memahami bahwa kemartiran sesungguhnya merupakan ekpresi terdalam sebuah keyakinan iman yang fondasi utamanya adalah penghargaan atas hidup itu sendiri. Kemartiran sejati bukanlah bom bunuh diri yang mengajak orang lain mati suci, seolah diri adalah Tuhan, sang penentu hidup mati orang lain. Kemartiran sejati adalah kesediaan untuk memberikan diri secara total bagi berlangsungnya kehidupan orang lain secara pribadi maupun sebagai sebuah masyarakat.

Kemartiran Riyanto, pemuda NU yang menyelamatkan umat kristen yang sedang beribadah, kemartiran Romo Dewanto yang melindungi jemaat di Gereja Suai, Timor-Timur, kemartiran Munir sang pembela orang-orang hilang, dll, merupakan contoh kemartiran lokal yang sesungguhnya menjadi saksi bahwa kemartiran otentik seperti ini dapat terwujud di negeri kita dan bukanlah impian semata. Teladan kemartiran seperti ini bukanlah sebuah ide di atas awang-awang yang tidak memiliki relevansi dan dampak berhadapan dengan berbagai macam krisis multi dimensi yang dihadapi oleh bangsa kita.

Bagi sebuah masyarakat yang semakin beradap, memupuk sebuah keyakinan dalam diri setiap anak didik bahwa nilai-nilai luhur religiusitas, seperti pengorbanan diri, jerih payah dan pelayanan total demi kepentingan orang banyak, kejujuran, belaskasih, pengampunan, merupakan bagian dari keluhuran nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya masih ada, masih relevan, dan masih dapat diraih dalam menciptakan sebuah masyarakat yang semakin menghargai kemartabatan setiap orang sebagai sesama ciptaan Tuhan.

Pembela kehidupan

Tepatlah, jika K.H. Hasyim Muzadi mengatakan bahwa terorisme bukanlah karakter bangsa kita. Jika terorisme akhir-akhir ini mencoreng muka kita sehingga kita menjadi bangsa yang tidak memiliki kepribadian, atau malahan dicap sebagai bangsa yang menyemai teroris, mungkin baik jika kita kembali bercermin pada para pahlawan kemanusiaan, para martir kita seperti Riyanto, Romo Dewanto, Munir, dan masih banyak lagi yang menjalani kemartiran tersembunyi yang tak perlu secara gegap gempita dirayakan sebab hidup manusia itu sendiri akan menjadi saksi paling jujur atas kesahihan kemartiran seseorang.

Teladan para pembela hidup dan kemartabatan manusia ini semestinya menjadi pedagogi rohani bagi setiap orang dalam memurnikan keaslian pengalaman imannya dalam masyarakat yang mengakui keesaan Tuhan, di mana keadilan dan keberadaban manusia merupakan jaminan nyata dan bukti dihargainya keluhuran hidup manusia itu sendiri di hadapan Tuhan dan sesama. Semoga!

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Gereja dan Demokrasi

Kompas, Selasa, 15 April 2005
Doni Koesoema A

“Gereja, lembaga karismatis per eccellenza, mengadopsi metode yang lebih demokratis untuk memilih pemimpinnya.” Demikian salah satu komentar yang dikutip dari harian Avenire (17/4) untuk memaparkan salah satu fakta paling menonjol dalam konklaf pertama di millenium ketiga.

Masuknya ide-ide demokratis yang ditetapkan secara transparan melalui Konstitusi Apostolis Universi Dominici Gregis (UDG) (22 februari 1996) ini tak lepas dari sentuhan tangan almarhum Paus Yohanes Paulus II yang telah memperbaharui proses dan prosedur pemilihan penggantinya secara jelas.

Pada artikel no.62, almarhum Yohanes Paulus II menghapus cara pemilihan secara aklamasi atau berdasarkan inspirasi (per acclamationem seu inspirationem) atau proses pemilihan berdasarkan kompromi (per compromissum). Ia menegaskan bahwa “Proses pemilihan Paus sekarang ini dan kemudian hari akan ditentukan secara unik melalui pemungutan suara (per scrutinium)” di mana keabsahan pemilihan Paus akan ditentukan melalui terpenuhinya dua pertiga suara berdasarkan jumlah (kardinal) pemilih yang hadir.

Memperoleh 2/3 suara dari 115 kardinal tanpa melalui saat-saat kampanye tentu pekerjaan yang tidak mudah. Terlebih dengan adanya kebijakan isolasi total para kardinal selama konklaf sehingga mereka tidak memiliki satu kontakpun dengan dunia luar, baik melalui koran, televisi, radio, dan alat komunikasi lainnya sampai mereka memilih penerus tahta Santo Petrus yang ke 265.

Di tengah terabasan simoni (politik uang), di tengah hamburan janji palsu yang kerap keluar dari mulut para kandidat politik menjelang pemilihan, Gereja Katolik, menawarkan kepada dunia suatu alternatif demokrasi melalui struktur dan sistem kelembagaan yang dimilikinya selama hampir 20 abad yang terbukti bisa proaktif dan sigap dalam menyesuaikan derap dan arus jaman.

Pemilihan pemimpin yang demokratis tidak lagi ditentukan bukan melalui aklamasi sehingga siapa yang bersuara keras mampu menggiring suara mayoritas. Juga tidak melalui intuisi di mana model ‘kira-kira’ atau ‘senang tidak senang’ menjadi bahan pertimbangan. Bukan pula berdasarkan kompromi atau bagi-bagi kue kekuasaan. Demokrasi model inilah yang ingin disingkirkan Almarhum Paus Yohanes Paulus II dalam proses pemilihan penggantinya.

Demokrasi yang ada dalam benak Yohanes Paulus II merupakan penggabungan antara pilihan rasional real seluruh pemilih dan pilihan spiritual personal berdasarkan intuisi hati serta kesadaran nurani bening. Hanya dengan cara seperti inilah proses demokrasi selama konklaf mampu memilih pemimpin yang berjiwa melayani, tanggap akan situasi jaman, kokoh di tengah badai persoalan di setiap jaman.

Strategi vatikan

Untuk menghasilkan output pemimpin ideal Vatikan memiliki strategi demokrasi yang agak khas. Strategi ini merupakan proses-proses dan tata cara yang menghantar setiap kandidat berada dalam situasi fisik, batin dan rohani yang dewasa dalam melakukan pemilihan.

Strategi itu antara lain. Pertama, kegiatan selama masa berkabung. Pada masa ini para kandidat memiliki kesempatan untuk secara bersama-sama mendiskusikan situasi aktual Gereja serta tantangannya pada masa kini, tanpa satupun mengacu pada nama-nama. Ini sekaligus untuk memperkuat sensibilitas kegembalaan universal yang mesti disandang dengan wafatnya Paus sebelumnya.

Kedua, kerahasiaan dalam seluruh proses. Setiap pihak yang terlibat dalam proses konklaf, entah secara langsung maupun tidak langsung dituntut untuk mengucapkan janji dan sumpah untuk tidak membocorkan berbagai macam informasi yang diterima sebelum maupun selama proses konklaf berlangsung.

Ketiga, setiap tindakan pembocoran atas rahasia, penyadapan, usaha suap, dikenakan hukuman ekskomunikasi secara otomatis (latae sententiae) di mana hukuman atau pelepasan atasnya hanya dapat diberikan oleh Paus yang akan terpilih.

Keempat, iklim spiritual yang mendukung berupa perayaan ritus peribadatan selama konklaf. Iklim spiritual sudah dimulai pada hari pertama masa berkabung yang diawali dengan perayaan ekaristi pemakaman Paus. Selam konklaf juga disediakan Imam yang menerima pengakuan dari para kardinal yang akan memilih Paus.

Kelima, kebijakan extra omnes. Pada hari pertama kardinal memasuki Kapel Sistina untuk memulai proses pemilihan, diserukan agar semua hal lain yang tidak ada kepentingan dengan proses konklaf ditinggalkan, termasuk pamrih, kepentingan, dan agenda pribadi. Extra omnes ini ditandai dengan isolasi total komunikasi antara cardinal pemilih dengan dunia luar.

Karena itu, selama proses pemilihan para kardinal tidak diperkenankan berhubungan dengan dunia luar, selain berkanjang dalam doa untuk memilih Paus yang dikehendaki Allah bagi penggembalaan Gereja Universal. Tidak ada kontak telpon, koran, radio, televisi, dan bahkan tempat sekitar kapel Sistina telah diblokir sehingga telpon genggam tidak berfungsi.

Strategi inilah yang membuat proses demokratisasi pemilihan Paus menjadi begitu istimewa. Karena itu, model pemilihan pemimpin seperti ini bisa dijadikan alternatif model pemilihan secara demokrasi. Sebuah proses demokrasi yang tidak sekedar mempersyaratkan kejernihan moral para calon pemimpin, lebih dari itu, keyakinan iman bahwa panggilan menjadi pemimpin tak lain adalah sebuah pelayanan bagi kemanusiaan yang dipercayakan Tuhan kepadanya.

Fenomena dan praksis demokrasi seperti ini bukan sekedar menjadi bukti bahwa Gereja merupakan sebuah lembaga kharismatis per eccellenza yang tidak sekedar latah dalam memaknai praksis demokrasi, melainkan sebuah komunitas yang para petingginya peka dalam membaca tanda-tanda jaman, yang di lubuk hati dan jiwanya selalu bergema seruan bahwa kekuasaan itu bukan untuk kesewenangan, melainkan demi kemaslahatan kemanusiaan.

Doni Koesoema, A penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

Pendidikan Keagamaan