Showing posts with label Kekerasan Pendidikan. Show all posts
Showing posts with label Kekerasan Pendidikan. Show all posts

Monday, 24 August 2015

Libatkan TNI, Tujuan Ospek Harus Jelas


Mengajarkan Bela Negara
29 Juli 2015 9:06 WIB Category: Semarang Metro Dikunjungi: kali A+ / A-

SEMARANG, suaramerdeka.com – Pelibatan TNI dalam ospek mahasiswa baru guna mengajarkan bela negara menurut pengamat pendidikan Doni Koesoema, perlu dilihat terlebih dulu tujuan dari ospek tersebut.

“Jika ada pelibatan TNI, perlu diketahui apa tujuannya,” ungkap Doni seperti dilansir dari Radio Idola, Rabu (29/7).

Ia menambahkan, “kalau diberi tugas terkait TNI dan memberikan wawasan kebangsaan itu bagus. Nantinya dalam lima hari ospek, kemudian ada waktu bagi TNI selama tiga jam. Nah, itu porsinya tepat,” imbuhnya.

Yang terpenting, diungkapkan Doni, “perguruan tinggi harus mengetahui ideologi-ideologi yang ada di kampus. Kampus nantinya harus menyeleksi organisasi kampus. Demikian itu yang bisa dijadikan bekal untuk bela negara. Tidak boleh ada satupun organisasi kampus yang akan mengancam NKRI,” tandas Doni.

(Er Maya/CN19/SMNetwork)

Sumber:Suara Merdeka

Wednesday, 5 August 2015

Pengamat : Ospek Ala Militer Berbahaya



KBR, Jakarta - Pengamat pendidikan Doni Koesoema menyebut pelibatan TNI dalam ospek kampus akan berakibat buruk. Sebab, pendekatan militer akan membuat siswa atau mahasiswa terbiasa dengan kekerasan. Bahkan, kata dia, hukuman fisik tidak terbukti membentuk pribadi yang disiplin.

 "Melatih anak-anak dengan ala militer itu tidak ada kaitannya dengan kehidupan akademik. Itu sangat berbahaya nanti. Kita nggak pakai otak tapi pakai otot. Padahal universitas kan pakai otak," jelas Doni, Senin (27/7/2015). 

Doni menambahkan, TNI atau Kepolisian bisa saja dilibatkan dalam Ospek dengan materi tentang keamanan mahasiswa atau siswa dari tindak kriminal. 

Sebelumnya, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M Nassir mengusulkan melibatkan TNI dalam Ospek perguruan tinggi tahun depan. Dia mengatakan TNI akan mengajarkan nasionalisme. 

Editor: Malika

Sumber: Portal KBR


FSGI:MOS Tanggungjawab Sekolah, Bukan OSIS!



KBR, Jakarta- Federasi Serikat Guru Independen (FSGI) menyebut perpeloncoan dalam Masa Orientasi Siswa adalah kesalahan sekolah. Anggota Dewan Pertimbangan FSGI, Doni Koesoema, mengatakan kepala sekolah dan guru harus mengawasi panitia OSIS dalam menyelenggarakan acara perkenalan sekolah tersebut. Sebab acara MOS itu seharusnya  adalah tanggungjawab kepala sekolah dan guru, bukan tugas Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).
"Seharusnya itu ada di kepala sekolah tanggungjawabnya, dan diserahkan kepada guru. Lalu kemudikan OSIS membantu sekolah. Untuk itu seluruh kegiatan OSIS diawasi, dilihat dan dikontrol guru dan kepala sekolah. Maka kepala sekolah harus memastikan harus tahu detail kegiatan perdetiknya, apa yang dilakukan OSIS," ujarnya melalui program KBR Pagi, Senin (03/08).


"Kalau misalnya memperkenalkan kegiatan ekstra, dia hanya memperkenalkan saja. Bahkan kalau ada bentak-bentak kekerasan itu ngga boleh," tambahnya.
Sebelumnya, pelaksanaan masa orientasi siswa (MOS) di sebuah sekolah di Bekasi Jawa Barat diduga memakan korban jiwa, seorang siswa baru. Evan Christopher Situmorang, diduga meninggal setelah mengikuti kegiatan MOS di sekolahnya.


Menurut keluarganya, Evan mulai sakit-sakitan setelah diminta berjalan sejauh 4 km saat masa pengenalan itu. Orang tua Evan mengatakan, sang anak kerap diminta aneh-aneh selama mengikuti MOS di sekolah barunya, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Flora, Perumahan Pondok Ungu, Kota Bekasi. Misalnya membuat nasi belatung kecap, memberi warna uban, hingga kewajiban menggunakan pakaian yang ditentukan.


Editor: Dimas Rizky
Sumber:

http://portalkbr.com/08-2015/fsgi__mos_tanggungjawab_sekolah__bukan_osis_/74384.html



Thursday, 9 April 2015

Melindungi Profesi Guru



Oleh Doni Koesoema A.

Persoalan kekerasan dalam pendidikan sekarang ini sudah memasuki tahapan baru yang sangat krusial, yaitu pemidaan pendidik yang menegakkan aturan sekolah. Kasus pemolisian kepala sekolah SMAN 3 Jakarta oleh orang tua siswa pelaku penganiayaan pelajar mesti dibaca sebagai tanda bahaya bagi perlindungan profesi guru dan keberlanjutan pendidikan yang ramah anak di masa depan!

Kriminalisasi pendidik tidak pernah boleh terjadi di negeri yang sangat serius mau mencerdaskan anak-anak bangsa. Guru sebagai pendidik anak-anak bangsa mesti dilindungi profesinya dan didukung agar dapat menciptakan sekolah yang ramah anak dan anti-kekerasan. Dari kasus SMAN 3 kita bisa merefleksikan tiga hal penting agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa depan.

Tiga Refleksi

Pertama, perlunya komunikasi yang baik antara lembaga pendidikan dan orang tua. Pemidaan seorang kepala sekolah yang telah melakukan proses gelar perkara bersama dewan guru dan pengawas sekolah menunjukkan adanya ketidakpahaman publik, terutama orang tua siswa, terkait dengan tugas dan profesi seorang pendidik. Lembaga pendidikan kita mengalami kegagalan komunikasi antara orang tua dengan pihak sekolah dalam rangka pendidikan anak-anak yang dipercayakan kepada lembaga pendidikan.

Kedua, ketidaksiapan birokrasi dan instansi lebih tinggi dalam mendukung dan membela kemartabatan profesi guru. intervensi birokrasi, dalam hal ini kepala dinas, yang ikut campur urusan skorsing yang menjadi kewenangan unit sekolah, bahkan cenderung mempersalahkan Kepala Sekolah dan menafikan keputusan dewan guru yang memberi skorsing, jelas merupakan sebuah intervensi yang lebih mengutamakan kekuasaan ketimbang menjaga prinsip-prinsip moral pendidikan yang harusnya ditegakkan. Kepala Dinas mestinya mendukung sekolah yang ingin menciptakan sekolah ramah anak dan anti-kekerasan, terlebih menghadapi kasus kekerasan di SMAN 3 yang sudah membudaya.

Ketiga, pembelajaran publik tentang hukum yang melindungi profesi guru. Proses hukum yang sudah berjalan, harus diteruskan, karena setiap warga negara memiliki persamaan hak di depan hukum. Hukumlah yang menjamin keadilan dan kebenaran sebuah perkara meskipun ini akan membawa situasi pendidikan kita pada sebuah dilema. Di satu sisi, ketika pihak yang berwewenang tetap memproses persoalan ini sebagai delik hukum pidana, proses hukum ini akan menjadi intimidasi bagi para pendidik berintegritas untuk menegakkan aturan sekolah untuk memutus rantai kekerasan dalam pendidikan. Di lain pihak, proses ini harus tetap diteruskan agar publik belajar tentang bagaimana mereka dapat menghargai dan melindungi profesi guru yang memiliki aturan hukum yang melindungi martabat profesinya.

Perlindungan profesi

Penegak hukum dituntut untuk mampu mempergunakan pasal-pasal yang mengatur dan melindungi profesi guru, seperti UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, terutama pasal 14, yang menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; dan memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.

Kasus pengaduan orang tua siswa kepada Kepala Sekolah yang bersama Dewan Guru ingin menegakkan peraturan sekolah bisa menjadi momentum edukatif, baik bagi penegak hukum maupun orang tua, maupun birokrasi dalam meretas kekerasan dalam dunia pendidikan.

Kekerasan dalam dunia pendidikan tidak akan berhenti bila para pelaku kekerasan dibiarkan berkeliaran di lingkungan sekolah tanpa pernah memperoleh sanksi. Sekolah dalam artian tertentu adalah sebuah negara kecil, di mana hukum dan peraturan mesti ditegakkan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak orang lain. Ironisnya, para pendidik seringkali belum memahami, bahwa impunitas dalam dunia pendidikan justru akan membuat situasi kekerasan dalam pendidikan tidak tersentuh. Membiarkan pelaku kriminal, seperti penganiayaan, mengangkangi aturan sekolah jelas bukan sebuah proses pendidikan yang baik.

Komunikasi intensif

Profesi guru akan menjadi semakin bermartabat bila publik, terutama orang tua, menghargai jerih payah lembaga pendidikan yang ingin memutus rantai kekerasan di dalam dunia pendidikan. Orang tua dan sekolah mestinya lebih intensif membangun komunikasi satu sama lain sehingga salah pengertian tentang proses pendidikan tidak terjadi lagi.

Kekerasan dalam dunia pendidikan tidak akan berhenti bila tidak ada dukungan dari pimpinan. Ini berarti, pejabat di lingkungan pendidikan, seperti pengawas, kepala dinas, sampai menteri, harus memiliki suara yang sama dan konsisten dalam menegakkan peraturan. Bila seorang kepala sekolah yang menegakkan aturan untuk memutus rantai kekerasan dalam dunia pendidikan justru diancam dicopot dari jabatannya oleh Kepala Dinas, kiranya ini menjadi lonceng kematian bagi terciptanya lingkungan sekolah yang ramah anak.

Kita tidak boleh menganggap bahwa kasus SMAN 3 Jakarta hanyalah kasus kecil yang perlu diselesaikan di tingkat sekolah. Apalagi menanggap ini sebagai urusan pribadi individu yang terlibat. Urusan kekerasan yang sudah membudaya seperti di SMAN 3 hanya bisa diselesaikan bila ada kerjasama yang intensif antara orang tua, aparat penegak hukum, dan pemimpin sekolah.

Kita membutuhkan orang tua, polisi, dan kepala sekolah, birokrat yang memiliki integritas moral. Tanpa integritas moral, mustahil kekerasan dalam pendidikan akan terselesaikan. Lebih lagi, bila para guru pun bisa dengan mudah dipidanakan justru ketika harus menegakkan dan melaksanakan tugasnya, tentulah ini akan menjadi lonceng kematian bagi setiap usaha memutus rantai kekerasan di dalam lingkungan pendidikan.

Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan.

Sumber: KOMPAS, 26 Maret 2015

Friday, 24 October 2014

Strategi Pendidikan Antikekerasan

Oleh Doni Koesoema A. 

Konflik fisik dan kebijakan menjadi ciri pendidikan kita. Terjadinya perundungan di sekolah, maraknya tawuran pelajar antar satu sekolah dengan sekolah lain yang tak jarang merenggut korban jiwa, dan konflik kebijakan, seperti dikeluarkannya 13 siswa SMAN 70 Jakarta akibat perilaku bullying, mengajak kita untuk bercermin menemukan strategi terbaik untuk mengatasi perilaku kekerasan dalam pendidikan.

Masih segar dalam benak kita kematian Pandian Prawirodirya Arfiand, siswa SMAN 3 Jakarta setelah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler pecinta alam. Tak lama sesudah itu, Arfiand Caesar Al Irhami menyusul akibat mengikuti kegiatan yang sama. Oka Wira Satya juga meninggal sia-sia karena tawuran. Kekerasan demi kekerasan terjadi dalam lembaga pendidikan kita. Yang terbaru adalah kasus bullying di SMAN 70. 

Prioritas utama 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus segera bertindak dan menjadikan ini sebagai prioritas, bila kita tidak ingin lembaga pendidikan berubah menjadi tempat-tempat penyiksaan dan pembunuhan. Lembaga pendidikan tidak pernah boleh menjadi lembaga yang menguatkan perilaku kekerasan dalam diri siswa, baik di dalam lingkungan maupun di luar sekolah.

Persoalan kekerasan dalam pendidikan tidak bisa diatasi secara parsial dengan melihatnya kasus per kasus. Darurat kekerasan ini sudah menjadi masalah sistemik yang melahirkan kultur kekerasan dalam lingkungan pendidikan. Pelaku penganiayaan Arfiand, misalnya, sudah pernah diperingatkan atas perbuatan kekerasan yang pernah dibuatnya. Namun sayangnya, sistem komunikasi dan cara pengelolaan kegiatan pendidikan di sekolah tidak didesain untuk segera mendeteksi adanya perilaku kekerasan dan prosedur penanganannya.

Kasus Oka menunjukkan akar persoalan lain yang tidak kalah serius. Tawuran terpicu hanya karena pelaku mengidentifikasi musuh dari pakaian seragamnya. Rupanya, pakaian seragam bisa menjadi sumber terpicunya tawuran. Tentu, pemaknaan bahwa seseorang berseragam tertentu yang kemudian diidentifikasi sebagai musuh dan menjadi pemicu tawuran tidak berdiri sendiri. Ia ada dalam konteks konstelasi pengetahuan umum pelaku, bahwa seragam itulah yang membedakan diri mereka dengan yang lain. Seragam telah mengotak-ngotakkan dan membedakan, menentukan batas identitas yang jelas antara kami dan mereka.

Kasus di SMAN 70, yang membuat pihak sekolah mengeluarkan kebijakan mengembalikan siswa pelaku perundungan ke orang tua memiliki akar kekerasan berbeda. Di sekolah ini, kultur senioritas yang terjadi. Tindakan kekerasan pun tidak lagi dilakukan di lingkungan sekolah, tapi di luar sekolah. Kuatnya perilaku kekerasan ini bahkan bisa membungkam korban untuk tidak melaporkan kepada pihak sekolah. Ada ketidakpercayaan pada pihak sekolah untuk melaporkan perilaku kekerasan karena akan berakibat fatal bagi korban dalam proses pendidikan selanjutnya.

Kekerasan sudah menjadi laten dan kurikulum tersembunyi. Hal seperti ini seringkali tidak dapat terdeteksi. Kekerasan dalam pendidikan sudah menjadi kultur yang tak mampu diatasi, bahkan oleh pemimpin sekolah sekalipun. Bila kekerasan sudah menjadi cara bertindak, untuk tidak mengatakan budaya, solusi punitif bagi penanggungjawab dan pelaku sesungguhnya tidak akan menyelesaikan persoalan.

Kecenderungan pemerintah untuk mengambil kebijakan reaktif mencopot jabatan kepala sekolah, memecat guru, mengeluarkan siswa, dan menyerahkan mereka kepada aparat penegak hukum bisa menjadi sebuah sebuah kebijakan tanpa makna. Berbagai cara ini tetap tidak dapat menjawab pertanyaan, mengapa kekejaman antarteman dan sesama siswa bisa terjadi di luar kontrol dan kendali guru atau orang dewasa yang mestinya bertanggungjawab pada keamanan dan keselamatan siswa. Kultur pendidikan apa yang sedang kita bangun di sekolah-sekolah kita?

Perundungan dalam lembaga pendidikan selalu melibatkan banyak pihak dan faktor, seperti lingkungan sekolah, corak relasional antara individu dalam lingkungan pendidikan, ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan, lemahnya komunikasi dengan orang tua, rapuhnya sistem pendidikan dan aturan untuk menjaga dan melindungi keamanan siswa. Karena perilaku perundungan begitu kompleks, kiranya penyelesaian persoalan kekerasan dalam pendidikan juga harus komprehensif, menyeluruh dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. 

Lima Strategi 

Borba (2012) melihat bahwa cara-cara yang paling baik untuk mengatasi kekerasan dalam pendidikan adalah membereskan akar persoalan utama yaitu menumbuhkan rasa penghargaan satu sama lain dalam lingkungan pendidikan. Hanya dengan berfokus pada prinsip penghargaan bahwa individu itu berharga, bermartabat, dan tidak pernah boleh dirusak dan diperalat apapun alasannya, kita dapat mengembangkan kultur pendidikan yang ramah dan bersahabat. Untuk itu, menurut Borba, ada beberapa hal yang harus dilakukan.

Pertama, sekolah perlu membuat kebijakan anti-perundungan dan kekerasan. Setiap individu (pemimpin sekolah, staf guru, karyawan, orang tua, siswa dan anggota komunitas sekolah, mestinya memahami dengan jelas apa saja yang mereka harapkan dari kebijakan anti-perundungan dan apa konsekuensi-konsekuensi mereka pikul terhadap persoalan ini. Komunitas sekolah harus mampu mengidentifikasi di mana titik lemah perilaku perundungan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan. Kebijakan yang mengelompokkan, memisahkan dan membedakan individu berdasarkan ikatan primordial, seperti agama, suku, ras, kemampuan akademis, merupakan benih-benih awal tumbuhnya perilaku kekerasan.

Kedua, mendidik seluruh pemangku kepentingan (guru, staf, siswa dan orang tua) agar dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan. Mereka perlu dilatih untuk mengenali perilaku kekerasan dan tanda-tanda seseorang menjadi korban perundungan. Mereka harus mengerti jenis-jenis perilaku perundungan, seperti kekerasan fisik, verbal, relasional, seksual, dan digital/saiber. Orang tua perlu diajar tentang tanda-tanda perundungan, pencegahan, dan cara mengatasinya. Kegiatan ini hanya mungkin bila seluruh pelaku di unit sekolah menyadari pentingnya program-program ini dan berani mendesain sebuah pendekatan yang cocok untuk situasi unik kekerasan di sekolah mereka.

Ketiga, menciptakan prosedur untuk melaporkan perilaku perundungan dan kekerasan. Sekolah perlu membuat kebijakan tentang bagaimana sistem untuk menerima laporan akan tindakan kekerasan dan sistem untuk melindungi para pelapor. Studi menunjukkan bahwa ketika perilaku kekerasan itu diawasi, dan staf secara konsisten menindaklanjuti setiap laporan tentang kekerasan, perilaku ini akan berkurang. Para saksi perilaku kekerasan akan merasa nyaman melaporkan bila ada prosedur yang jelas dan mereka memiliki rasa percaya kepada para pendidik di sekolah. Sayangnya, di sekolah kita masih ada banyak siswa tidak mau melaporkan perilaku kekerasan karena merasa tidak nyaman, tidak aman, sebab pendidik kurang memiliki kredibilitas yang mampu melindungi pelapor.

Keempat, guru dan siswa harus belajar bagaimana menyikapi perilaku kekerasan untuk mengantisipasinya. Keterampilan menghadapi kasus kekerasan pendidikan dibutuhkan. Sebab, guru seringkali tahu ada perilaku kekerasan, namun tidak tahu harus berbuat apa. Kematian Ringgo, anak Sekolah Dasar, misalnya menunjukkan bahwa guru tidak tanggap terhadap laporan siswa lain ketika terjadi perilaku kekerasan. Kematian Arfiand menunjukkan bahwa saksi yang melihat korban perundungan di depan matanya pun tak mampu berbuat banyak selain membiarkan saja. Oka menjadi korban tawuran akibat seragam yang dikenakannya. Dan korban bullying di SMAN 70 tidak berani melapor karena takut hidupnya di sekolah semakin terancam bila ia melapor.

Kelima, salurkan kecenderungan agresif dalam diri individu dalam keterampilan yang dapat diterima. Perundungan dan kekerasan adalah sebuah perilaku yang dipelajari sejak kecil. Beberapa riset menunjukkan bahwa perilaku kekerasan ini semakin meningkat ketika anak memasuki usia delapan tahun. Mengubah perilaku kekerasan yang terwariskan sejak kecil tidaklah mudah. Namun, dengan berbagai latihan, pendampingan, individu dapat diajak untuk menyadari kecenderungan perilaku kekerasan dalam dirinya dengan kegiatan yang positif, mengajarkan dan memberikan pengalaman agar mereka dapat berempati dengan orang lain, mampu menguasai diri, dan mengajarkan cara-cara penyelesaian persoalan secara damai dan dialogis.

Mencegah perilaku kekerasan secara utuh, menyeluruh dan komprehensif memang sulit. Namun inilah satu-satunya cara yang harus dilakukan agar tidak jatuh lagi korban jiwa-jiwa muda yang sia-sia. Hanya dengan memasang spanduk, poster, seminar, dan memberi himbauan saja tidak akan menyelesaikan persoalan kekerasan dalam pendidikan. Apalagi memecat guru, kepala sekolah atau mengeluarkan siswa. Ini semua tidak akan menyelesaikan akar persoalan pendidikan di sekolah kita.

Kekerasan dalam pendidikan lebih terkait dengan bagaimana pendidik mampu mengubah perilaku tidak hormat menjadi sikap positif, saling menghargai keberadaan individu yang unik dan berbeda. Ini hanya mungkin bila seluruh pemangku kepentingan, seperti guru dan orang tua memiliki keterampilan membaca tanda-tanda kekerasan dalam lingkungan mereka. Pengetahuan, disertai keterampilan yang memadai, akan membantu para pendidik untuk mengantisipasi maraknya budaya kekerasan dalam pendidikan.

Kultur ini hanya bisa dibentuk bila seluruh individu yang terlibat dalam lembaga pendidikan menyadari pentingnya penghargaan terhadap masing-masing individu apapun keadaan dan perbedaannya. 

Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan 

Artikel dimuat di Media Indonesia, 29 September 2014


Pendidikan Keagamaan