Oleh Doni Koesoema A.
Persoalan kekerasan dalam
pendidikan sekarang ini sudah memasuki tahapan baru yang sangat krusial, yaitu
pemidaan pendidik yang menegakkan aturan sekolah. Kasus pemolisian kepala
sekolah SMAN 3 Jakarta oleh orang tua siswa pelaku penganiayaan pelajar mesti
dibaca sebagai tanda bahaya bagi perlindungan profesi guru dan keberlanjutan
pendidikan yang ramah anak di masa depan!
Kriminalisasi pendidik tidak
pernah boleh terjadi di negeri yang sangat serius mau mencerdaskan anak-anak
bangsa. Guru sebagai pendidik anak-anak bangsa mesti dilindungi profesinya dan
didukung agar dapat menciptakan sekolah yang ramah anak dan anti-kekerasan.
Dari kasus SMAN 3 kita bisa merefleksikan tiga hal penting agar kejadian serupa
tidak terjadi lagi di masa depan.
Tiga Refleksi
Pertama, perlunya komunikasi yang
baik antara lembaga pendidikan dan orang tua. Pemidaan seorang kepala sekolah
yang telah melakukan proses gelar perkara bersama dewan guru dan pengawas
sekolah menunjukkan adanya ketidakpahaman publik, terutama orang tua siswa,
terkait dengan tugas dan profesi seorang pendidik. Lembaga pendidikan kita
mengalami kegagalan komunikasi antara orang tua dengan pihak sekolah dalam
rangka pendidikan anak-anak yang dipercayakan kepada lembaga pendidikan.
Kedua, ketidaksiapan birokrasi
dan instansi lebih tinggi dalam mendukung dan membela kemartabatan profesi
guru. intervensi birokrasi, dalam hal ini kepala dinas, yang ikut campur urusan
skorsing yang menjadi kewenangan unit sekolah, bahkan cenderung mempersalahkan
Kepala Sekolah dan menafikan keputusan dewan guru yang memberi skorsing, jelas
merupakan sebuah intervensi yang lebih mengutamakan kekuasaan ketimbang menjaga
prinsip-prinsip moral pendidikan yang harusnya ditegakkan. Kepala Dinas
mestinya mendukung sekolah yang ingin menciptakan sekolah ramah anak dan
anti-kekerasan, terlebih menghadapi kasus kekerasan di SMAN 3 yang sudah
membudaya.
Ketiga, pembelajaran publik
tentang hukum yang melindungi profesi guru. Proses hukum yang sudah berjalan,
harus diteruskan, karena setiap warga negara memiliki persamaan hak di depan
hukum. Hukumlah yang menjamin keadilan dan kebenaran sebuah perkara meskipun
ini akan membawa situasi pendidikan kita pada sebuah dilema. Di satu sisi, ketika
pihak yang berwewenang tetap memproses persoalan ini sebagai delik hukum
pidana, proses hukum ini akan menjadi intimidasi bagi para pendidik
berintegritas untuk menegakkan aturan sekolah untuk memutus rantai kekerasan
dalam pendidikan. Di lain pihak, proses ini harus tetap diteruskan agar publik
belajar tentang bagaimana mereka dapat menghargai dan melindungi profesi guru
yang memiliki aturan hukum yang melindungi martabat profesinya.
Perlindungan profesi
Penegak hukum dituntut untuk
mampu mempergunakan pasal-pasal yang mengatur dan melindungi profesi guru, seperti
UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, terutama pasal 14, yang menyatakan
bahwa, dalam melaksanakan
tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan
intelektual; dan memiliki
kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan,
penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah
pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Kasus pengaduan orang tua siswa
kepada Kepala Sekolah yang bersama Dewan Guru ingin menegakkan peraturan
sekolah bisa menjadi momentum edukatif, baik bagi penegak hukum maupun orang
tua, maupun birokrasi dalam meretas kekerasan dalam dunia pendidikan.
Kekerasan dalam dunia pendidikan
tidak akan berhenti bila para pelaku kekerasan dibiarkan berkeliaran di
lingkungan sekolah tanpa pernah memperoleh sanksi. Sekolah dalam artian
tertentu adalah sebuah negara kecil, di mana hukum dan peraturan mesti
ditegakkan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak orang lain. Ironisnya, para
pendidik seringkali belum memahami, bahwa impunitas dalam dunia pendidikan
justru akan membuat situasi kekerasan dalam pendidikan tidak tersentuh. Membiarkan
pelaku kriminal, seperti penganiayaan, mengangkangi aturan sekolah jelas bukan
sebuah proses pendidikan yang baik.
Komunikasi intensif
Profesi guru akan menjadi semakin
bermartabat bila publik, terutama orang tua, menghargai jerih payah lembaga
pendidikan yang ingin memutus rantai kekerasan di dalam dunia pendidikan. Orang
tua dan sekolah mestinya lebih intensif membangun komunikasi satu sama lain
sehingga salah pengertian tentang proses pendidikan tidak terjadi lagi.
Kekerasan dalam dunia pendidikan
tidak akan berhenti bila tidak ada dukungan dari pimpinan. Ini berarti, pejabat
di lingkungan pendidikan, seperti pengawas, kepala dinas, sampai menteri, harus
memiliki suara yang sama dan konsisten dalam menegakkan peraturan. Bila seorang
kepala sekolah yang menegakkan aturan untuk memutus rantai kekerasan dalam
dunia pendidikan justru diancam dicopot dari jabatannya oleh Kepala Dinas,
kiranya ini menjadi lonceng kematian bagi terciptanya lingkungan sekolah yang
ramah anak.
Kita tidak boleh menganggap bahwa
kasus SMAN 3 Jakarta hanyalah kasus kecil yang perlu diselesaikan di tingkat
sekolah. Apalagi menanggap ini sebagai urusan pribadi individu yang terlibat.
Urusan kekerasan yang sudah membudaya seperti di SMAN 3 hanya bisa diselesaikan
bila ada kerjasama yang intensif antara orang tua, aparat penegak hukum, dan
pemimpin sekolah.
Kita membutuhkan orang tua,
polisi, dan kepala sekolah, birokrat yang memiliki integritas moral. Tanpa
integritas moral, mustahil kekerasan dalam pendidikan akan terselesaikan. Lebih
lagi, bila para guru pun bisa dengan mudah dipidanakan justru ketika harus
menegakkan dan melaksanakan tugasnya, tentulah ini akan menjadi lonceng
kematian bagi setiap usaha memutus rantai kekerasan di dalam lingkungan
pendidikan.
Doni Koesoema A. Pemerhati
Pendidikan.
Sumber: KOMPAS, 26 Maret 2015