Thursday, 9 April 2015

Melindungi Profesi Guru



Oleh Doni Koesoema A.

Persoalan kekerasan dalam pendidikan sekarang ini sudah memasuki tahapan baru yang sangat krusial, yaitu pemidaan pendidik yang menegakkan aturan sekolah. Kasus pemolisian kepala sekolah SMAN 3 Jakarta oleh orang tua siswa pelaku penganiayaan pelajar mesti dibaca sebagai tanda bahaya bagi perlindungan profesi guru dan keberlanjutan pendidikan yang ramah anak di masa depan!

Kriminalisasi pendidik tidak pernah boleh terjadi di negeri yang sangat serius mau mencerdaskan anak-anak bangsa. Guru sebagai pendidik anak-anak bangsa mesti dilindungi profesinya dan didukung agar dapat menciptakan sekolah yang ramah anak dan anti-kekerasan. Dari kasus SMAN 3 kita bisa merefleksikan tiga hal penting agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa depan.

Tiga Refleksi

Pertama, perlunya komunikasi yang baik antara lembaga pendidikan dan orang tua. Pemidaan seorang kepala sekolah yang telah melakukan proses gelar perkara bersama dewan guru dan pengawas sekolah menunjukkan adanya ketidakpahaman publik, terutama orang tua siswa, terkait dengan tugas dan profesi seorang pendidik. Lembaga pendidikan kita mengalami kegagalan komunikasi antara orang tua dengan pihak sekolah dalam rangka pendidikan anak-anak yang dipercayakan kepada lembaga pendidikan.

Kedua, ketidaksiapan birokrasi dan instansi lebih tinggi dalam mendukung dan membela kemartabatan profesi guru. intervensi birokrasi, dalam hal ini kepala dinas, yang ikut campur urusan skorsing yang menjadi kewenangan unit sekolah, bahkan cenderung mempersalahkan Kepala Sekolah dan menafikan keputusan dewan guru yang memberi skorsing, jelas merupakan sebuah intervensi yang lebih mengutamakan kekuasaan ketimbang menjaga prinsip-prinsip moral pendidikan yang harusnya ditegakkan. Kepala Dinas mestinya mendukung sekolah yang ingin menciptakan sekolah ramah anak dan anti-kekerasan, terlebih menghadapi kasus kekerasan di SMAN 3 yang sudah membudaya.

Ketiga, pembelajaran publik tentang hukum yang melindungi profesi guru. Proses hukum yang sudah berjalan, harus diteruskan, karena setiap warga negara memiliki persamaan hak di depan hukum. Hukumlah yang menjamin keadilan dan kebenaran sebuah perkara meskipun ini akan membawa situasi pendidikan kita pada sebuah dilema. Di satu sisi, ketika pihak yang berwewenang tetap memproses persoalan ini sebagai delik hukum pidana, proses hukum ini akan menjadi intimidasi bagi para pendidik berintegritas untuk menegakkan aturan sekolah untuk memutus rantai kekerasan dalam pendidikan. Di lain pihak, proses ini harus tetap diteruskan agar publik belajar tentang bagaimana mereka dapat menghargai dan melindungi profesi guru yang memiliki aturan hukum yang melindungi martabat profesinya.

Perlindungan profesi

Penegak hukum dituntut untuk mampu mempergunakan pasal-pasal yang mengatur dan melindungi profesi guru, seperti UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, terutama pasal 14, yang menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; dan memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.

Kasus pengaduan orang tua siswa kepada Kepala Sekolah yang bersama Dewan Guru ingin menegakkan peraturan sekolah bisa menjadi momentum edukatif, baik bagi penegak hukum maupun orang tua, maupun birokrasi dalam meretas kekerasan dalam dunia pendidikan.

Kekerasan dalam dunia pendidikan tidak akan berhenti bila para pelaku kekerasan dibiarkan berkeliaran di lingkungan sekolah tanpa pernah memperoleh sanksi. Sekolah dalam artian tertentu adalah sebuah negara kecil, di mana hukum dan peraturan mesti ditegakkan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak orang lain. Ironisnya, para pendidik seringkali belum memahami, bahwa impunitas dalam dunia pendidikan justru akan membuat situasi kekerasan dalam pendidikan tidak tersentuh. Membiarkan pelaku kriminal, seperti penganiayaan, mengangkangi aturan sekolah jelas bukan sebuah proses pendidikan yang baik.

Komunikasi intensif

Profesi guru akan menjadi semakin bermartabat bila publik, terutama orang tua, menghargai jerih payah lembaga pendidikan yang ingin memutus rantai kekerasan di dalam dunia pendidikan. Orang tua dan sekolah mestinya lebih intensif membangun komunikasi satu sama lain sehingga salah pengertian tentang proses pendidikan tidak terjadi lagi.

Kekerasan dalam dunia pendidikan tidak akan berhenti bila tidak ada dukungan dari pimpinan. Ini berarti, pejabat di lingkungan pendidikan, seperti pengawas, kepala dinas, sampai menteri, harus memiliki suara yang sama dan konsisten dalam menegakkan peraturan. Bila seorang kepala sekolah yang menegakkan aturan untuk memutus rantai kekerasan dalam dunia pendidikan justru diancam dicopot dari jabatannya oleh Kepala Dinas, kiranya ini menjadi lonceng kematian bagi terciptanya lingkungan sekolah yang ramah anak.

Kita tidak boleh menganggap bahwa kasus SMAN 3 Jakarta hanyalah kasus kecil yang perlu diselesaikan di tingkat sekolah. Apalagi menanggap ini sebagai urusan pribadi individu yang terlibat. Urusan kekerasan yang sudah membudaya seperti di SMAN 3 hanya bisa diselesaikan bila ada kerjasama yang intensif antara orang tua, aparat penegak hukum, dan pemimpin sekolah.

Kita membutuhkan orang tua, polisi, dan kepala sekolah, birokrat yang memiliki integritas moral. Tanpa integritas moral, mustahil kekerasan dalam pendidikan akan terselesaikan. Lebih lagi, bila para guru pun bisa dengan mudah dipidanakan justru ketika harus menegakkan dan melaksanakan tugasnya, tentulah ini akan menjadi lonceng kematian bagi setiap usaha memutus rantai kekerasan di dalam lingkungan pendidikan.

Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan.

Sumber: KOMPAS, 26 Maret 2015

Pendidikan Keagamaan