Saturday 15 September 2007

Kurikulum Berubah Lagi?

Oleh Doni Koesoema, A

Dulu ketika diperkenalkan model pembelajaran yang bernama Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) di sekolah-sekolah, tak berapa lama kemudian muncul parodi atas CBSA, yaitu, Cah Bodho Soyo Akeh (baca, jumlah anak yang bodoh semakin banyak). Begitu ada istilah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), muncul ekpresi lain Masyarakat Bayar Sendiri. Dan sekarang ketika pemerintah memperkenalkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), banyak guru berseloroh, kurikulum KaTeSiaPe? (Menurut siapa?)

Seloroh itu tentu saja sekedar parodi. Namun parodi ini merepresentasikan kenyataan sesungguhnya yang dihadapi oleh para guru di tingkat satuan pendidikan. Korban pertama KTSP adalah para guru bidang studi. Dengan keluarnya KTSP, para guru bidang studi dikejar-kejar agar membuat sendiri kurikulum tiap mata pelajaran bagi sekolahnya. Banyak waktu habis untuk seminar dan pertemuan guru bidang studi demi merencanakan kurikulum seperti yang diharapkan dalam KTSP.

Tanpa persiapan

Proses pembuatan dan perencanaan kurikulum yang menyibukkan para guru bidang studi ketika proses pendidikan tahunan telah berjalan jelas membuat proses belajar mengajar terganggu. Para guru tidak konsentrasi mengajar karena selalu berpikir tentang pembuatan silabus, program, indikator, dll. Otonomi guru dalam mengaplikasikan indikator dari kompetensi dasar lebih banyak dialami sebagai penambahan beban pengisian kolom administratif yang lebih banyak buang waktu sia-sia. KTSP diluncurkan tanpa persiapan memadai.

Kekurangsiapan aplikasi KTSP, lebih terlihat nyata di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), khususnya berkaitan dengan proses pemetaan materi dari mata pelajaran yang terintegrasi, seperti IPA dan IPS. Hal ini tidak hanya membuat guru mata pelajaran pusing tujuh keliling, mengingat, misalnya, standar isi materi IPA terpadu versi KTSP tersebar tidak merata dari kelas satu sampai kelas tiga dalam buku versi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004. Pembuatan standar isi dan kompetensi dasar tampaknya tidak memperhatikan sebaran materi yang terdapat dalam kurikulum sebelumnya. Pemetaan materi antar kelas yang diintegrasikan akan mempengaruhi pengaturan, alokasi waktu mengajar dan kuantitas pekerjaan guru bidang studi.

Dari segi kompetensi, para guru merasa tidak siap sebab selama ini mereka mengampu satu mata pelajaran tertentu. Sekarang mereka mesti mampu mengajarkan semuanya. Guru IPA mesti bisa menguasai sekaligus Biologi, Kimia, dan Fisika! Kuota yang hanya 4 jam pelajaran seminggu untuk mata pelajaran terpadu juga membuka peluang bagi beberapa guru bidang studi untuk kehilangan pekerjaan!

Keputusan pemerintah yang bersikap keras kepala untuk mengadakan Ujian Nasional tahun 2007 semakin membuat pembaharuan kurikulum lewat KTSP menjadi mandul dan semakin menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam memperbaiki carut marut pendidikan di negeri kita. Pertanyaan pokoknya adalah jika KTSP memberikan keluasan bagi otonomi sekolah di tingkat satuan pendidikan, standar penilaian juga semestinya menjadi hak otonom sekolah, sebab merekalah yang menentukan indikator dan memilih proses serta materi melalui program belajar di kelas. Karena itu, UN merupakan sebuah keputusan yang kontraproduktif bagi peningkatan kualitas pembelajaran.

Pada saat pemerintah menerapkan KBK saja, para guru sempat kedodoran untuk mempersiapkan materi UN bagi siswa, sebab depdiknas memberikan kisi-kisi UN sekitar 2 bulan sebelumnya. Jelas saja para guru pontang-panting sebab selama 2 bulan mesti mendalami lagi materi agar siswa tidak mengalami kegagalan selama UN. Penentuan kisi-kisi UN oleh pemerintah jika ditilik dari tujuan KTSP adalah sebuah inkonsistensi. Sekolah yang telah merancang program pembelajaran semestinya juga menentukan standar penilaiannya. Secara didaktis tidak masuk akan meminta siswa mengerjakan soal-soal yang di dalam sekolahnya sendiri tidak diajarkan.

Dampak negatif UN lainnya adalah bahwa UN akan tetap membuat tiap sekolah lebih konsentrasi untuk memperdalam mata pelajaran yang diujiannasionalkan daripada membuat anak didik cerdas dan mampu berpikir kreatif berhadapan dengan materi pembelajaran yang diterimanya.

Mengingat tidak adanya persiapan teknis, kekeliruan prosedur, kesalahan pedagogis, serta inkonsistensi struktural dalam UN, UN yang akan dilakukan pada tahun 2007 tidak akan mampu menaikkan kualitas pendidikan nasional, selain menjadi sebuah proyek yang kental muatan politisnya daripada edukatifnya berupa pemborosan anggaran negara untuk sesuatu yang tidak berguna!

Beban administrasi

KTSP merupakan sebuah program pembaharuan kurikulum yang mencoba memberikan ruang bagi otonomi sekolah secara lebih luas. Namun, untuk menerapkannya butuh berbagai macam persiapan,seperti, proses sosialisasi dan pelatihan mengingat para guru tidak pernah belajar bagaimana membuat kurikulum sendiri. Demi mengejar target pihak sekolah akhirnya banyak memilih mengikuti model yang ditawarkan pemerintah, mengerjakan KTSP asal-asalan, atau meniru materi KBK 2004 yang telah ada dengan penyesuaian administratif di sana sini. Singkatnya, asal syarat administratif terpenuhi.

Tak heran jika ada seorang guru berseloroh selepas mengikuti seminar yang diadakan depdiknas, “susah-susah kita datang untuk mendengarkan seminar tentang KTSP, kita nggak dapat-apa apa. Kenapa kita selalu dibebani tugas administrasi yang menyita energi dan merugikan proses belajar siswa?”

Dengarkanlah!

Para penanggungjawab pendidikan yang dipercaya republik ini untuk memperbaiki dunia pendidikan semestinya mendengarkan keluhan tak terdendar para guru ini. Mereka adalah orang yang berdedikasi tinggi bagi pendidikan di negeri ini. Namun karena tidak ada kehendak politik dari pemerintah untuk memperbaiki dunia pendidikan, orang-orang yang berjasa itu seperti dianggap angin lalu. Padahal, keluhan dan jeritan hati mereka adalah keluhan dan jeritan hati bangsa ini. Untuk itu para politisi dan pengambil kebijakan pendidikan semestinya mendengarkan mereka!

Pembaharuan pendidikan mempersyaratkan sebuah dialog dewasa dan adil antara pihak-pihak yang berkepentingan, seperti, guru, sekolah, pemerintah, dll. KTSP yang kini diplesetkan dengan kata, ‘katesiape’ sesungguhnya merupakan lambang ketidakberdayaan guru yang selama ini diperlakukan tidak adil dan menjadi obyek kekuasaan.

Jika pemerintah tidak mau mendengarkan mereka, dan tetap ngotot dengan agendanya sendiri, tentu nanti pemerintah sendiri yang akan menanggung resiko atas kredibilitas kinerja politiknya. Rakyat sendiri nanti yang akan menilai dan mengadilinya. Guru hanya meminta satu hal agar kinerjanya sebagai pendidik bangsa dihargai, bukan dijadikan proyek politik, apalagi dilecehkan. Para guru sudah lama lelah dan muak untuk disuguhi parodi reformasi yang mengatasnamakan pembaharuan pendidikan.

Doni Koesoema, A Mahasiswa jurusan pedagogi sekolah dan pengembangan profesional pada fakultas ilmu pendidikan Universitas Salesian, Roma. Artikel ini pernah diterbitkan di KOMPAS, Jumat, 29 September 2006.

Pendidikan Keagamaan