Showing posts with label Etika Pendidik. Show all posts
Showing posts with label Etika Pendidik. Show all posts

Thursday, 3 September 2009

Batas Tanggungjawab Pendidik

Media Indonesia, 22 November 2007
Oleh Doni Koesoema A

KEKERASAN yang terus menerus terjadi dalam dunia pendidikan sudah sampai titik kulminasi yang sangat memprihatinkan. Sadisme dalam Kasus IPDN, penculikan Raisah, premanisme di SMA PL seolah belum cukup bagi para pendidik untuk bercermin.

Kini kriminalitas itu terjadi lagi, kali ini di sekolah negeri, lebih tertata dan terorganisasi. Tamparan demi tamparan itu semestinya membuat kita bertanya di mana batas tanggungjawab kita sebagai pendidik?"

Kerancuan akan makna tanggungjawab sebagai pendidik akan tetap melestarikan kultur kekerasan di dalam sekolah dan dalam masyarakat. Dalam kasus IPDN, mungkin batas tanggungjawab itu jelas, sebab kekerasan terjadi di dalam pagar kampus. Namun bagaimana dengan kasus penculikan Raisah? Bagaimana dengan kekerasan di PL? Bagaimana sekarang menyikapi kasus Geng di SMA 34? Apakah memang batas-batas tanggungjawab sebagai pendidik itu sudah sangat jelas sehingga pagar kampus dan pagar sekolah menjadi definisi bagi tanggungjawab setiap pendidik? Bisakah kita sebagai pendidik mengatakan bahwa kasus penculikan dan premanisme di PL itu terjadi di luar pagar sekolah, sehingga pendidik tidak bertanggungjawab dengan alasan tindakan kriminal adalah urusan polisi?


Yang membatasi definisi tanggungjawab seorang pendidik bukanlah pagar sekolah. Batasan morallah yang menjadi definisi esensial bagi tanggungjawab mereka sebagai pendidik. Karena itu, entah di dalam pagar sekolah maupun di luar sekolah, para pendidik tetap memiliki tanggungjawab moral untuk mengatasi persoalan kekerasan dalam dunia pendidikan.

Ketika moralitas menjadi dasar yang mendefinisikan tanggungjawab sebagai seorang pendidik, maka dua jenis orientasi tanggungjawab menjadi bagian penting dari kinerjanya.

Pertama, pendidik mengidentifikasikan tanggungjawab melalui prinsip dasar tidak melakukan tindakan yang merusak ( doing no harm ). Prinsip tanggungjawab ini sifatnya ex post facto . Ini berarti bahwa pendidik bertanggungjawab atas tindakan yang telah dilakukan. Karena itu, ia mesti mengevaluasi terus menerus apakah keputusan dan tindakan yang telah dilakukannya memiliki dampak merusak, baik itu dari segi moral, mental dan fisik (Jonsen, 1968; Starrats, 2004). Membiarkan kekerasan terjadi dalam lingkup sekolah sama saja menyetujui tindakan merusak.

Kedua, pendidik melangkah dari prinsip doing no harm menuju proactive responsibility. Ini berarti bahwa pendidik mesti menemukan niat-niat baik yang secara kelembagaan ingin direalisasikan demi berlangsungnya kinerja pendidikan, seperti, kualitas pembelajaran, relasi yang sehat antar individu sebagai warga negara, dll. Cakupan tanggungjawab yang demikian ini sifatnya antisipatif sebab terjadi sebelum tindakan itu sendiri

Dua orientasi moral atas tanggungjawab pendidik ini menuntut mereka untuk senantiasa menyadari sumber-sumber yang melahirkan tanggungjawab mereka selama ini. Jika dipahami melalui batasan moral, maka tanggungjawab pendidik bukanlah sekedar tugas-tugas yang secara formal didefinisikan melalui job descriptions lembaga, melainkan merupakan tanggungjawab penuh dirinya sebagai individu yang sekaligus secara formal adalah pendidik. Di sini memisahkan batas tanggungjawab antara sekolah dan masyarakat merupakan pengingkaran tanggungjawab moral diri sebagai pendidik.

Jika pemahaman akan tanggungjawab ini dipahami, pendidik tidak akan serta merta mengatakan bahwa kasus penculikan Raisah adalah urusan polisi, dan kekerasan senior PL atas yuniornya yang terjadi di luar batas sekolah bukanlah tanggungjawab sekolah. Kekerasan di SMA 34 terjadi karena pendidik melupakan tanggungjawab moralnya sehingga perilaku kekerasan yang terjadi di sekolah lepas dari cakupan tanggungjawabnya sebagai pendidik.

Para pendidik memiliki tanggungjawab secara moral untuk menciptakan sebuah iklim yang menghargai individu di manapun mereka berada. Jika kultur kekerasan ternyata ada di sekolah, sementara pihak sekolah membiarkan semua itu terjadi terus menerus, tanggungjawab moral mereka sebagai pendidik dipertanyakan. Jika kita sering berteriak lantang tentang krisis moral para pemimpin kita, apakah kita sebagai pemimpin pendidikan juga telah merefleksikan cakupan tanggungjawab moral kita dalam kasus maraknya perilaku kekerasan dalam lembaga pendidikan?

Para pendidik mestinya memahami bahwa tanggungjawab itu bukan sekedar jenis tanggungjawab terhadap (responsibility to), yang secara sempit di definisikan secara formal melalui struktur kelembagaan, seperti, tanggungjawab terhadap siswa, orang tua para staf guru, melainkan juga tanggungjawab untuk ( responsibility for ), yaitu tanggungjawab untuk menciptakan sebuah lingkungan belajar yang aman, nyaman dan teduh bagi berlangsungnya proses pembelajaran.

Lebih dari itu, para pendidik sesungguhnya memiliki tanggungjawab sebagai (responsibility as), yaitu, sebuah esensi tanggungjawab berdasarkan keluasan identitas dirinya. Pendidik bertanggungjawab sebagai sesama manusia, karena itu apa saja yang berkaitan dengan promosi kebaikan, keadilan, kehidupan dan penghargaan martabat manusia merupakan bagian dasar dari tanggungjawabnya.

Selain itu, pendidik bertanggungjawab sebagai administrator sekolah, yang menjaga agar visi kelembagaan tetap pada garis cita-citanya. Pendidik juga bertanggungjawab sebagai warganegara yang kebetulan menjadi pendidik, kepala sekolah, pengawas, dll. Tanggungjawabnya sebagai warga negara inilah yang membuat dirinya sebagai pendidik tidak dapat memisahkan cakupan kinerjanya sekedar dalam batasan formal-struktural tanggungjawabnya, apalagi batasan fisik tanggungjawab berdasarkan batas pagar sekolah.

Kekerasan demi kekerasan yang terjadi di dalam lingkup sekolah akan berkurang jika pendidik memahami lingkup tanggungjawabnya secara utuh. Namun kekerasan dalam sekolah akan terus terjadi dan tetap akan menampar tanggungjawab kita sebagai pendidik jika batasan tanggungjawab kita sebagai pendidik kita pahami sekedar batasan pagar sekolah.

Perilaku kekerasan itu dapat terkikis jika pendidik menyadari tanggungjawab moralnya. Batas tanggungjawab pendidik adalah nilai-nilai moral, yaitu, menghindari tindakan dan kebijakan yang merusak dan mengejar nilai-nilai kebaikan. Jika nilai-nilai moral itu bukan menjadi batas yang mendefinisikan tanggungjawab kita sebagai pendidik, kekerasan itu akan tetap terjadi dalam lembaga pendidikan kita.

Kita tahu, krisis kepemimpinan moral telah kronis menggerogoti sendi-sendi masyarakat kita. Namun jangan-jangan kita tidak pernah menyadari bahwa yang melahirkan mereka adalah kita sendiri, para pendidik negeri yang memahami batas tanggungjawabnya sekedar pada batasan pagar sekolah.



Doni Koesoema A.
Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Boston College Lynch School of Education, Amerika .

Wednesday, 2 September 2009

Guru Itu Kembali Ke Jalan

Artikel KOMPAS, 20 Februari 2004

Oleh Doni Koesoema A

Berita tentang 100.000 murid dan 7000 guru yang menggelar aksi mogok mengajar di Bangkinang, Riau, yang diberitakan harian ini (14/12) hampir selama seminggu berturut-turut ternyata tidak segera membangkitkan minat para pejabat terkait untuk segera mengatasinya. Apakah memang tuntutan mereka tidak layak untuk didengarkan? Apakah kasus ini layak dibiarkan begitu saja diterpa badai berita lebih akbar tentang Akbar?

Guru itu telah kembali ke jalan. Mereka telah meninggalkan kelas, meninggalkan siswa, meninggalkan tugas-tugas utamanya untuk memperjuangkan kemartabatan dan harga dirinya yang telah diinjak-injak oleh kekuasaan. Sepertinya ambang batas kesabaran para pendidik ini telah habis ketika hal terakhir yang dimilikinya, yaitu, harga dirinya sebagai guru dilecehkan. Mungkin mereka masih bisa tahan berdiri sebagai guru di tengah situasi krisis ekonomi bangsa. Namun, siapa dapat tetap tahan jika kemartabatan (dignity) mereka diinjak-injak? Kemartabatan bagi kita adalah adalah sadumuk bathuk sanyari bumi (setiap jengkal, bahkan jika hanya sekening dahipun) akan kita pertahankan mati-matian. Tampaknya rundung malang para guru di Kampar yang dikampar kemartabatan mereka telah sampai pada taraf ini.

Guru yang berjuang di jalanan memberikan dampak material yang tak bisa disepelekan begitu saja, yaitu, macetnya proses pendidikan di 560 sekolah, mulai dari SD sampai SLTA. Meski mogok ini dikatakan tidak ada unsur manipulasi politis, namun dampak-dampak politisnya sesungguhnya begitu besar. Mogok para guru mau tidak mau mesti bersifat politis. Tuntutan mencopot jabatan seorang Bupati adalah tuntutan politis.

Namun dari pengalaman kita menyaksikan bahwa demonstrasi para guru yang terjadi dalam skala yang begitu besar (misalnya, demonstrasi pada saat proses perancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan demonstrasi di Kampar) pada akhirnya jatuh sekedar pada simbolisme dan tidak memiliki dampak nyata sebab pemahaman strategis konseptual yang mereka usung lemah.

Kelemahan strategis konseptual ini terjadi karena kekurangcermatan membuat analisis persoalan. Ambillah contoh dalam kasus Kampar. Permasalahan muncul ketika seorang guru teladan tingkat nasional diusir dari ruang pertemuan oleh seorang bupati karena ia mempertanyakan proporsi anggaran APBD bagi pendidikan. Persoalan yang muaranya adalah politis, sebab berkaitan dengan transparansi penggunaan anggaran publik dari pihak pemerintah, semestinya ditindaklanjuti dalam kerangka politik, yaitu, menciptakan sistem kontrol publik yang ketat atas penggunaan dana-dana masyarakat dalam APBD bagi pendidikan. Namun apa yang diperjuangkan para guru adalah dicopotnya bupati dari jabatan publik yang dimilikinya, seolah dengan dicopotnya oknum pejabat tersebut persoalan akan selesai. Inilah kelemahan strategis-konseptual demonstrasi guru di Riau.

Dunia sekunder

Guru tidak akan turun ke jalan seandainya mereka tidak mengalami perasaan senasib seperti guru yang diusir oleh Bupati. Solidaritas ini berdasarkan pada pengalaman nyata yang dihidupi para guru di sekolah. Para guru turun ke jalan karena apa yang mereka alami, apa yang dialami rekan kerja mereka adalah benar-benar menyentuh pengalaman mereka sebagai guru. Karena itu mereka ingin mengubah dan memperjuangkan agar pengalaman pahit itu tidak terjadi lagi. Namun apakah pengalaman yang menjadi basis perjuangan itu sekedar urusan pribadi satu dengan pribadi lain saja, sehingga persoalan cukup diselesaikan dengan dicopotnya jabatan Bupati? Diagnosis permasalahan yang kurang cermat membuat cara pengobatan tidak efektif. Karena itu, perlulah klarifikasi permasalahan agar tuntutan para guru efektif.

J.B. Metz dalam Faith in History and Society(1980) memberikan dua ciri penting analisis situasi yang membantu kita menemukan langkah-langkah strategis agar sebuah perjuangan pembaharuan itu efektif. Pertama, analisis situasi mesti dilihat dalam kerangka sebuah jaringan yang lebih luas (world-wide scale). “Sekarang ini hubungan sosial-politik-ekonomi menjadi takterpisahkan satu sama lain, karena itu tak satu situasi pun dapat ditentukan secara nyata tanpa mempertimbangkan dimensi globalnya.” (1980:4) Karena itu, lanjut Metz, setiap usaha yang menginginkan hasil-hasil praktis, nyata, namun mengabaikan dimensi global permasalahan yang dihadapinya hanya akan menjadi perjuangan abstrak.

Kedua, apa yang sering kita acu dengan pengalaman dalam kenyataannya adalah sebuah dunia sekunder (meta-world), dengan kata lain, sebuah dunia yang dalam kenyataan intinya merupakan impresi dari berbagai macam sistem dan teori, dan karena itu hanya dapat dialami dan mungkin diubah melalui sistem dan teori itu sendiri. Jika kenyataan ini dilupakan, yang terjadi adalah praksis diterima tanpa sikap kritis. Sebuah praksis yang gagal mempertimbangkan kompleksitas struktur dunia yang kita alami sebagai dunia sekunder hanya akan muncul secara sporadis dan tidak efektif. Lebih dari itu, gerakan itu hanya akan menjadi gerakan simbolis atas realitas baru yang diperjuangkan, namun tidak dapat dari dalam dirinya sendiri menghasilkan perubahan nyata, bahkan gerakan itu berpotensi terserap oleh kekuatan sistem itu sendiri yang pada gilirannya menjadi kontra produktif bagi perjuangan yang telah dimulainya.

Langkah strategis

Kegiatan ekstra-aktifitas yang dilakukan para guru untuk turun ke jalan mesti disertai dengan langkah-langkah strategis agar perjuangannya tidak kembali jatuh pada gerakan simbolis semata yang malahan akan makin mempertahankan status quo. Ada beberapa langkah strategis yang bisa dibuat:

Pertama, para guru sudah saatnya membentuk sebuah lembaga independen yang bertujuan memperjuangkan hak-haknya sesuai dengan kapasitas profesional yang dimilikinya. Kasus di Kampar sebenarnya menunjukkan bahwa kekuatan politis guru tak bisa disepelekan begitu saja.

Kedua, tingkat perjuangan yang dilakukannya tak bisa hanya sekedar tindakan simbolis, dengan demo-demo di jalanan, melainkan perubahan struktur dan sistem. Dalam kasus di kabupaten Kampar, Riau, misalnya yang utama mesti diperjuangkan adalah kontrol publik atas penggunaan anggaran APBD bagi pendidikan, dll. Otonomi daerah bisa menjadi kesempatan untuk menjadikan lembaga pemerintahan berfungsi efektif dalam kerangka pemberdayaan potensi rakyat. Daya juang yang digalakkannya di satu sisi bersifat global, namun di lain pihak lokal, sehingga kinerja dan hasil bisa direfleksikan dan dicermati secara terus menerus.

Ketiga, lembaga ini dalam memperjuangkan hak-hak dan tujuannya bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain dalam masyarakat yang memiliki komitmen sama, sehingga menumbuhkan kekuatan-kekuatan demokratis di kalangan kelompok profesional.

Menyaksikan perjuangan para guru yang mesti keluar dari kelas dan memperjuangkan nasibnya di jalanan membuat hati kita terluka, sebab dari merekalah kita mengenyam kemajuan dan pendidikan kita saat ini. Janganlah kita menjadi bangsa yang tidak mengenal terimakasih. Dikamparnya martabat guru mesti selalu kita ingat sebagai catatan sejarah buruk dalam sejarah pendidikan kita. Karena itu kasus ini tidak layak dibiarkan begitu saja menguap ditelan hiruk pikuk berita yang lebih akbar.

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

Pendidikan Keagamaan