Thursday 3 September 2009

Pendidikan Anak : Bukan Sekedar Mesin Reproduksi Kultur Sosial

BASIS, Nomor 07-08, Tahun ke- 5 5, Juli-Agustus 2006, hlm 62-68

Doni Koeseoema, A

Keluarga sebagai locus educationis telah lama menjadi bahan permenungan bagi para filsuf dan pemikir pendidikan. Paling tidak ada dua arus besar pemikiran berkaitan dengan peranan keluarga dalam kerangka pendidikan anak. Yang pertama, aliran antifamiliarisme dengan tokoh utamanya Plato. Kedua, familiarisme dengan juru bicara utamanya Aristoteles.

Fenomena adanya keluarga yang melemparkan tanggungjawab pendidikan anak-anak mereka pada lembaga sekolah merupakan satu dari ribuan data tentang praksis pendidikan dalam masyarakat. Mempertanyakan kembali peranan keluarga dalam kerangka pendidikan anak dalam relasinya dengan lembaga edukatif lain bisa berarti mempertanyakan kembali asumsi-asumsi dasar pemikiran Plato dan Aristoteles serta para pengikutnya, melihatnya dalam kerangka modernitas, menemukan sisi-sisi lemah dan kuat pendekatan tersebut, mengintegrasikan dan mengaktualisasikannya dalam konteks dunia pendidikan di Indonesia.

Tulisan ini mencoba mengulas persoalan filosofis seputar peranan keluarga dalam kerangka pendidikan anak dalam relasinya dengan lembaga pendidikan lain. Di sini keluarga dipahami pertama-tama dari sudut pandang pedagogi, yaitu, sejauh mana keberadaan keluarga memfasilitasi pertumbuhan atau malahan menghalangi pertumbuhan pribadi.

Pedagogi dan pendidikan

Mungkin kita akan heran menemukan kenyataan bahwa persoalan pendidikan yang kita hadapi sesungguhnya memiliki akar pada masalah teoritis-filosofis, daripada praksis pendidikan itu sendiri.

Pendidikan (educatio) merupakan kenyataan manusiawi yang menjangkarkan dirinya pada fakta, tindakan, dan pengalaman. Semua mata bisa melihatnya. Pendidikan ada di mana saja, di rumah, di sekolah, di jalan, di televisi, di internet, di mana-mana. Tindakan edukatif ini bersifat umum dan ada dalam setiap kesempatan.

Berbeda halnya dengan pedagogi. Pedagogi terdapat bukan dalam praksis, tapi dalam teori. Teori berbicara tentang cara-cara untuk memahami pendidikan, bukan cara-cara mempraktekkannya. Bidang cakupannya ada dalam refleksi kritis atas praksis pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, fungsi pokok pedagogi bukanlah bermaksud untuk menggantikan praksis, melainkan menerangi, membimbing, membantu, dan jika mungkin menutup lobang-lobang kelemahan untuk menyempurnakan praksis.

Kelemahan dalam pemahaman teoritis bisa memandulkan praksis pendidikan itu sendiri, sebab tanpa penerangan teoritis praksis seperti seorang buta berjalan tanpa tuntunan. Di lain pihak, mengutamakan pemahaman teoritis saja bisa diibaratkan seorang pengendara mobil sedang membaca peta, tapi tidak turun langsung ke jalan melalui mana ia ingin menuju. Dan karena itu, ia tetap ada di tempat dan tidak efektif.

Kultur pedagogi mendasarkan dirinya pada pengalaman historis praksis pendidikan, karena sifatnya historis. Melalui analisis kritis atas pengalaman praksis pendidikan, pedagogi memiliki kemungkinan menentukan tujuan melalui mana sebuah praksis pendidikan diarahkan.

Dalam kerangka ini, pedagogi yang diajukan Plato dan Aristoles merupakan dua contoh ekstrem pendekatan teoritis tentang posisi keluarga dalam konteks pendidikan.

Antifamiliarisme Plato

Plato, misalnya, sama sekali tidak percaya pada fungsi pedagogis keluarga. Karena itu ia lebih menyerahkan persoalan pendidikan itu di tangan negara. Baginya, keluarga bukanlah tempat yang valid dan ideal bagi sebuah proses pendidikan karena kaum lelaki dewasa telah begitu tersedot perhatiannya demi kehidupan publik (menjadi politisi dalam arti luas), sedangkan kaum perempuan lebih disibukkan dengan urusan domestik yang sifatnya kuratif, memberi makan, minum, yang lebih cocok disebut sebagai tindakan memiara (anatrophè), daripada tindakan mendidik anak (paidéia).

Dalam diskursus hukumnya, Plato menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk generasi muda menjadi orang-orang yang berkarakter utama, dengan menumbuhkan di dalam dirinya cinta dan keinginan sempurna untuk menjadi warga negara melalui mana ia mampu memerintah dan taat sebagaimana sudah layak dan sepantasnya untuk melakukannya. Setiap kegiatan formatif yang cenderung untuk mencari kekayaan atau sekedar menumbuhkan kekuatan fisik tanpa mau melihat dimensi kebijaksanaan dan keadilan ia anggap sebagai proses pendidikan tingkat rendahan yang tak layak dilakukan oleh manusia bebas. Proses pembentukan seperti ini tidak layak disebut dengan pendidikan. (Leggi, I, 644a).

Secara antropologis Plato melihat bahwa setiap orang tidak dapat mencukupi dirinya sendiri. Karena itu lahirlah negara. “Negara terbentuk karena setiap dari kita tidak dapat mencukupi dirinya sendiri, kita memiliki kekurangan dalam banyak hal”. Kebutuhan-kebutuhan ini lantas melahirkan 3 kelas warga negara yang berbeda, yaitu, kalangan pengusaha, tentara penjaga, dan pemimpin yang sempurna dalam mengatur urusan negara secara bijaksana. Tujuan pendidikan Plato lebih mengarah pada proses pembentukan sosok politisi filsuf yang mampu menginkarnasikan keadilan dan kebaikan dalam kehidupan bersama. Karena itu, pendidikan tak lain adalah kinerja politik itu sendiri.

Melihat pentingnya dimensi politis pendidikan Plato mengusulkan bahwa penanggung jawab pendidikan publik adalah negara yang dilaksanakan oleh seorang fungsionaris utama yang dipilih oleh negara berdasarkan ketentuan hukum. Kriteria pengurus pendidikan itu antara lain, mereka haruslah pribadi yang memiliki kematangan karakter dan terkenal karena keutamaannya, mampu dan memiliki kemungkinan untuk meraih kebaikan yang ideal. Karena itu, berbeda dengan tradisi kultur yunani sebelumnya yang membiarkan anak-anak mengenyam pendidikan dalam keluarga, Plato membubarkan institusi keluarga sebagai instansi pendidikan anak dan menggantikannya dengan peranan negara.

Reformasi yang diajukan oleh Plato sangatlah revolusioner pada jamannya mengingat secara umum masyarakat Yunani membatasi peranan kaum perempuan pada batas-batas dinding rumah dan memberikan kepada mereka sekedar hal-hal yang berurusan dengan dimensi kuratif, makan, minum, dan pemeliharaan anak, sementara menjauhkan mereka dari kegiatan kebudayaan, seluk beluk persiapan perang dan partisipasi politik. Tidak mengherankan, pola pendidikan ala Plato lebih bersifat spartan, di mana keseimbangan proses pendidikan, yaitu, fisik, mental, karakter, lebih diutamakan.

Garis pemikiran pedagogi antifamiliarisme Plato muncul kembali pada saat sejarah pedagogi mengalami revolusi kopernikan dengan ditemukannya ‘anak-anak’ yang menjadi pokok perhatian utama pedagogi. Puerocentrisme yang merayakan spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat di awal abad 19 banyak menimba inspirasi dari pedagogi negatif naturalnya J.J.Rousseau (1712-1778).

Kodrat manusia itu baik. Namun kodrat itu rusak di tangan manusia. Terlebih pretensi pendidik dalam mendewasakan anak-anak lewat pemaksaan kriteria orang dewasa membatasi kebebasan dan malahan membatasi pertumbuhan anak. Dalam Emile, Rousseau menegaskan bahwa “segala hal diciptakan oleh Pencipta itu baik adanya, namun semuanya menjadi semakin rusak karena tangan manusia.”

Hal yang sama berlaku bagi pedagogi anak. Gambaran bahwa dalam diri anak terdapat sosok pribadi dewasa tersembunyi adalah menyalahi kodrat. Pretensi adultisme pendidik harus dijauhkan dari diri anak agar anak menemukan kebebasan sesuai dengan kodratnya sehingga mampu bertumbuh dengan lebih sempurna. Anak mesti dipandang sebagai anak dengan kekhasannya, bukan dilihat sebagai orang dewasa yang mesti dipaksa menjalankan peran dan mempelajari nilai-nilai yang hanya berlaku bagi orang dewasa.

Karena itu, bagi Rousseau, tujuan utama pendidikan adalah untuk menjaga dimensi kebebasan si anak, dengan cara membiarkannya bergerak dan bermain secara bebas, membiarkan spontanitas dalam setiap permainan dan dalam tindakannya. Untuk merealisasikan tujuan individualnya, sejauh mungkin anak-anak dihindarkan dari intervensi edukatif yang membatasi.

Tujuan pertumbuhan individu mendahului tujuan sosial, karena itu anak mesti dijauhkan dari situasi masyarakat, dari keluarga karena keluarga akan menjadi momok yang membahayakan bagi kelembutannya. Anak juga mesti dijauhkan dari masyarakat yang menjadi sumber pembelajaran tentang ketidakadilan, karena masyarakat mendasarkan dirinya pada perbedaan, bukan persamaan.

Deklarasi paling jelas dan tegas tentang antifamilirisme pendidikan tampil dalam diri pemikir jerman, Gustav Wyneken (1875-1964) yang menyatakan bahwa, “antara keluarga dan pendidikan merupakan dua hal yang sama sekali tidak berhubungan. Keluarga merupakan sebuah lembaga yang berfungsi untuk melanggengkan keturunan spesies manusia,…dari sudut lain, merupakan sebuah lembaga yang mengorganisasi konsumsi,…seandainya orang tua mencintai anak-anak mereka, mereka tidak mencintai keremajaan yang ada di dalam diri mereka.” (Schule und Jugendkultur, 1919,13).

Antifamiliarisme pendidikan juga tampil dalam diri para pemikir sekolah Frankfurt (Adorno, Horkheimer, Marcuse), para psikiatri seperti R. Laing, D. Cooper, dan psikososiolog G. Mendel yang semakin menambah panjang jajaran pemikir pedagogi antifamiliarisme. Mendel, misalnya, malahan menganggap bahwa keluarga merupakan halangan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi yang sehat. Demikian juga ia melihat adanya kecenderungan egoisme dari faktor-faktor genetis yang ada dalam diri manusia yang terwariskan lewat keluarga yang cenderung menjadi penghalang proses pendidikan bagi setiap subyek yang belajar (educandi).

Tampaknya, visi pedagogi antifamiliarisme sepanjang sejarah pedagogi masih memiliki basis dan fondasi yang tetap menarik untuk direfleksikan dalam kerangka pedagogi pendidikan. Namun garis ini bukannya tanpa tandingan.

Familiarisme Aristoteles

Lain halnya dengan Aristoteles. Bagi pemikir Stagirit ini keluarga (oikos) merupakan inti pokok fondasi masyarakat (polis). Karena itu, hidup matinya masyarakat akan banyak tergantung pada proses pendidikan yang terjadi di dalam keluarga.

Bagi Aristoteles, liquidasi lembaga keluarga yang diajukan oleh Plato merupakan sesuatu yang artifisial. Masyarakat tidak bisa langgeng tanpa adanya keluarga. Dan sebaliknya, keluarga tidak dapat bertumbuh tanpa dukungan dari masyarakat. Lebih lagi, bagi Aristoteles, Plato telah keliru dalam menentukan tujuan pendidikan. Paidea yang bertujuan untuk membentuk warganegara yang baik dengan melalui proses pendidikan massal lewat sentralisasi negara mematikan dimensi otonomi pribadi.

Pedagogi Aristoteles lebih dekat dengan pendekatan modern tentang formasi permanen setiap subyek yang belajar melalui mana dimensi otonomi dalam mengambil keputusan bagi hidupnya merupakan tolok ukur berhasil tidaknya sebuah pendidikan. Ada dimensi etis yang menekankan kebebasan dan tanggungjawab dalam proses pendidikan. Baginya, tujuan pendidikan adalah pembentukan manusia-manusia yang menjadi warga negara otonom, yang dengan kehendak bebasnya mampu memilih para pemimpin yang akan mengatur kehidupan masyarakat. Pedagoginya lebih bersifat demokratis daripada statalis.

Bagi Aristoteles, pedagogi yang baik tidak dapat bersifat preventif, dalam arti bersifat menyaring dan menyeleksi para kader pemimpin di masa depan. Pendidikan baginya merupakan sebuah proses dinamis pembentukan diri terus menerus untuk menjadi sosok pribadi yang berkualitas, terlebih secara moral (on going formation).

Aristoteles tidak sekedar membuka jalan-jalan pedagogis dalam membentuk tiap pribadi menjadi ‘orang yang baik’, atau menjadi ‘warga negara yang baik’, melainkan juga memberikan peluang bagi mereka yang ‘tidak baik’ untuk tetap dapat hidup berdampingan secara damai dalam kerangka demokrasi, jika tata cara kehidupan bersama ini telah menjadi habitus baginya.

Garis pemikiran familiarisme semakin menemukan realisasi konkret secara politis di jaman romawi kuno. Model pendidikan pater familias telah menjadi fondasi kokoh bagi berlangsungnya tata kehidupan masyarakat roma. Dalam sistem pater familias, keluarga memiliki kedudukan sentral dalam pendidikan anak. Sang ayah memiliki kekuasaan tertinggi atas seluruh urusan rumah, anak, istri, budak, milik pribadi, bahkan sampai menentukan hidup mati mereka.

Dalam sistem pater familias, proses pendidikan terutama lebih menekankan dimensi praktis-imitatif di mana sang anak sejak kecil telah dibiasakan untuk melihat dan merasakan bagaimana sang ayah melakukan tugas-tugas publiknya. Tradisi politik dan sosial berkaitan erat dengan peranan orang tua dalam pendidikan kebudayaan anak-anaknya. Selain itu, sampai si anak berumur tujuh tahun, tugas utama pendidik dipercayakan pada ibu. Ibu memiliki peranan penting dalam pendidikan anak. Karena itu, mereka tidak sekedar taat pada otoritas suaminya, tapi juga aktif terlibat dalam pendidikan anak.

Sikap dasar pendidik pada masa romawi kuno bisa dipadatkan dalam ungkapan Giovenale, maxima debetur puero reverentia (rasa hormat tertinggi seharusnya diberikan terhadap anak-anak).

Prioritas keluarga bagi pendidikan bernafaskan nilai-nilai kristiani hadir lewat pemikiran Santo Thomas Aquinas (1224-1274), yang menekankan bahwa kehadiran keluarga bukanlah sekedar untuk melanggenggkan spesies umat manusia (nutritio), melainkan juga bertanggungjawab atas pendidikan anak (geniti educatio). Pendidikan terutama diarahkan pada penyempurnaan akal budi manusia melalui pengajaran (ratio perfectior ad instruendum) yang memuncak pada pendidikan bagi jiwa (instructione quantum ad animam).

Pada masa humanisme rinascimento Jan Amos Komensky (1529-1670) melengkapi pedagogi dengan dengan pemahaman baru tentang pentingnya pendidikan diri secara terus menerus yang mesti dimulai sejak kecil. “Tak seorangpun dapat percaya bahwa dia dapat menjadi manusia, jika tidak bertindak seperti manusia, yaitu, dididik sesuai dengan nilai-nilai yang membuatnya menjadi manusia.” Pendidikan demikian ini mesti dimulai sejak kecil. Tugas ini secara natural merupakan tanggungjawab orang tua.

Mengingat bahwa orang tua yang dapat, mampu serta memiliki banyak waktu untuk mendidik anak begitu jarang, ia mengusulkan agar didirikan banyak sekolah bagi kaum muda di setiap kampung, setiap desa dan setiap tempat di mana anak-anak muda dapat menimba ilmu. Mengingat konteks historis masa itu di mana akses pada sekolah masih langka ide Komensky sangatlah revolusioner dan profetis.

Bertentangan dengan antifamiliarisme pendidikan ala Rousseau, Johann Heinrich Pestalozzi (1746-1827) merupakan sosok lain yang menekankan dimensi real intervensi sebuah pendidikan. Dasar pengalaman edukatifnya adalah praksis. Jika Rousseau lewat Emile nya bisa banyal berteori tentang metode dan sistem pendidikan yang natural dan spontan, tetaplah apa yang direfleksikan Rousseau tidak memiliki basis kokoh dalam kenyataan. Kisah itu hanya ada dalam novel, bahkan cara hidup Rousseau yang menitipkan anak-anaknya di panti asuhan menunjukkan adanya inkonsistensi atas garis pemikirannya tentang pendidikan yang hanya bersifat imajinatif-ideal. Pada kenyataannya ia sendiri gagal mendidik anak-anaknya.

Perbedaan khas Pestalozzi dari Rousseau adalah bahwa Pestalozzi secara faktual benar-benar merupakan pendidik. Ia mendidik anak-anak yang terpinggirkan, mereka adalah mahluk nyata yang berdarah dan berdaging, yang hidupnya jauh dari perhatian masyarakat. Karena itu, baginya pendidikan merupakan fakta yang berasal dari pengalaman, bukan dari sebuah roman ata imajinasi belaka, melainkan inheren dalam kehidupan masyarakat terutama dalam keluarga dan masyarakat sipil. Ia menyentuh pendidikan bagi mereka yang terpinggirkan yang dalam masa Rousseau hal ini tidak pernah mendapatkan perhatian.

Masih banyak pemikir lain yang sungguh menekankan peranan keluarga dalam pendidikan anak, seperti Frobel lewat taman kanak-kanaknya, Hegel dengan trasformasi cinta dalam keluarga yang diobjektivasi lewat anak-anak mereka, Macchiavelli yang menganalisis bahwa perbedaan kualitas tiap keluarga tidak sekedar berasal dari pewarisan keturunan darah melainkan melalui perbedaan cara-cara mendidik anak dalam tiap keluarga, dll.

Pemikiran familiarisme yang pro keluarga dalam kerangka pendidikan tampaknya tidak akan pernah kering sebagai sumber inspirasi bagi para pendidik untuk memetakan dan memperdalam corak relasional sesungguhnya yang terjadi antara keluarga dalam kerangka proses pertumbuhan dan perkembangan anak didik dalam relasinya dengan masyarakat dan negara.

Pengalaman Indonesia

Tampaknya ada kecenderungan dalam dunia pendidikan di Indonesia untuk melihat gejala semakin banyaknya lepas tanggungjawab orang tua dalam kerangka pendidikan anak hanya dalam relasi antar lembaga. Yaitu, keluarga dan sekolah dilihat dalam kerangka kerja sama kelembagaan di mana aspek kewajiban dan tanggungjawab satu sama lain yang lebih ditekankan. Namun, unsur-unsur ini dilihat dilihat dalam kaca mata ekonomis saja.

Keluarga dipandang sebagai lembaga hukum yang dalam kerangka pendidikan berhadapan dengan lembaga sosial lain. Corak analisis relasional yang sekedar melihat dari sisi yuridis kelembagaan membuat tujuan dasar pendidikan terabaikan, sebab meredusir perananan instansi pendidikan (sekolah, keluarga, Negara, lembaga kursus dll) dalam kerangka melulu demi kepentingan ekonomis. Pola pemikiran yuridis seperti ini memiliki dampak yang tidak kecil bagi proses pendidikan.

Salah satu dampak nyata adalah bahwa keluarga dipandang sekedar sebagai tukang bayar bagi pelayanan sekolah. Lepas dari itu, antara sekolah dan rumah tidak ada hubungan lagi. Orang tua bayar biaya pendidikan, sekolah terima uang. Di sini gagasan keluarga sebagai lembaga sosialisasi nilai terabaikan.

Pihak sekolahpun tidak pernah memiliki keinginan untuk melihat dimensi valorial yang bisa disumbangkan keluarga bagi pendidikan anak di sekolah. Lebih parah lagi adalah hilangnya dimensi nilai pembentukan karakter siswa dalam kinerja mereka. Dalam iklim pasar global, pendidikan pun telah dikomersilkan sehingga sekolah dengan pretensi ideal pendidikannya telah berubah menjadi tukang tagih, debt collector yang menodong orang-orang tua kaya yang tak memiliki waktu dan tenaga untuk mendidik anak lewat bisnis pendidikan.

Dua pendekatan, baik pedagogi antifamiliarisme dan familiarisme, telah membuka mata kita betapa pendidikan merupakan sebuah lapangan realitas mahaluas dan kompleks. Mungkin kita bisa setuju dengan salah satu atau dua pendekatan di atas. Namun yang jelas, setiap opsi yang kita pilih mengandaikan asumsi tertentu berkaitan dengan prinsip dasar pendidikan.

Menganalisis secara kritis peranan orang tua dan sekolah dalam kerangka pedagogi pendidikan anak tidak bisa berangkat dari data-data dan praksis pendidikan itu sendiri. Yang semestinya kita mulai adalah menjernihkan pemahaman kita tentang prinsip-prinsip dasar dan tujuan pendidikan itu sendiri, sembari menyadari bahwa setiap keputusan yang kita ambil mau tidak menyertakan asumsi tertentu yang sifatnya parsial sektorial lewat opsi yang kita pilih. Karena itu, memahami pokok persoalann pedagogis dibalik fenomena ‘orang tua ndandakke anaknya ke sekolah’, dengan alasan ‘telah bayar mahal’, merupakan langkah awal yang penting.

Dalam kerangka pengembangan pedagogi pendidikan dalam keluarga, baiklah kita ingat beberapa percikan ide yang bisa kita jadikan bahan refleksi kritis.

Pertama, proses pendidikan yang melibatkan berbagai macam kapasitas dan kemampuan manusiawi yang ada dalam diri anak didik terutama bertujuan untuk mengembangkan kepribadiannya sehingga menjadi pribadi yang bertumbuh secara sempurna.

Pendidikan yang dipahami sebagai proses pertolongan individu dan sosial demi perkembangan pribadi bagi hidupnya sendiri dan bagi orang lain, secara pribadi maupun komuniter, yang memusatkan dirinya terutama pada formasi pribadi agar semakin mampu menumbuhkan unsur kesadaran, solidaritas, kebebasan dan tanggungjawab dalam seluruh proses historis perkembangan dirinya sebagai manusia semestinya diletakkan dalam kerangka formasi yang lebih luas, yaitu, sebuah kegiatan yang secara inheren membawa proses penyempurnaan dari apa yang secara alamiah masih belum sempurna.

Karena itu, yang mesti selalu dikritisi adalah gagasan-gagasan kita sendiri tentang pendidikan, bukan terutama praksis pendidikannya. Jika pendidikan dipahami secara integral dalam kerangka perkembangan pribadi yang berproses menuju ke kesempurnaan dalam relasinya dengan lingkungan material dan non-material, melalui pendampingan individu dan lembaga yang bertujuan untuk mengembangkan unsur keilmuan, pematangan kepribadian dan pembentukan karakter moral dewasa, peningkatan ketrampilan, dll, pendidikan yang integral semestinya memiliki visi humanisme universal. Dalam arti mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan yang bisa menjadi berkat bagi pribadi dan bagi semua orang.

Untuk ini, personalisme Mounier, misalnya bisa menjadi alternatif, di mana pribadi menjadi pangkal dan tujuan setiap proses pendidikan. Pribadi merupakan individu yang tidak dengan mudah ditundukkan keberadaannya pada otoritas negara (statalisme, antifamiliarisme Plato) yang merampok otonominya, atau ditundukkan pada kepentingan keluarga (familiarisme Aristotelian) dalam kerangka kehidupan politik (menganggap anak didik sebagai proyek politik demi stabilitas suatu masyarakat). Personalisme Mounier merupakan sebuah pembelaan diri terhadap desakan individualisme yang merajalela dalam masyarakat. Karena itu, personalisme bisa memberikan alternatif yang baik ditengah gejala statalisme, familiarisme, antifamiliarisme dan individualisme. Dalam kerangka pedagogi pribadi anak didik merupakan individu yang independen yang bukan menjadi milik (properti) Negara atau keluarga, atau sekedar mesin reproduksi kultur sosial.

Kedua, tanggungjawab pendidikan tidak bisa dipahami melalui sudut pandang sektorial, mengingat bahwa corak relasional proses pendidikan melibatkan jalinan-jalinan relasional yang kompleks. Karena itu, setiap instansi pendidikan semesti memahami fungsi dan peranannya. Orang tua tidak bisa mengklaim sebagai satu-satunya agen tunggal dalam pendidikan anak. Juga mereka tidak dapat sekedar bertanggungjawab secara ekonomis, seolah mereka sekedar membeli jasa sekolah demi mereparasi dan membentuk anak-anak mereka. Mau tidak mau, keluarga masih memiliki peran penting dalam proses sosialisasi nilai bagi diri anak sebab bersama keluargalah anak-anak mengenali dimensi valorial bagi hidup mereka.

Di lain pihak, instansi pendidikan lain seperti sekolah tidak dapat berpretensi netral atau acuh tak acuh dalam kinerja edukatifnya dengan memusatkan diri pada dimensi instruksional pengajaran (teaching), sementara lalai pada dimensi pembentukan nilai moral anak didik. Mereka tidak bisa mengatakan bahwa pembentukan karakter anak didik adalah tugas para orang tua, bukan bagian dari bagian eksistensial kinerja mereka. Ekonomisme, prinsi-prinsip dagang dalam dunia pendidikan merusak setiap proses formasio yang hanya melahirkan instabilitas, pendangkalan kultur, dan pemiskinan makna eksistensial manusia dan meredusirnya melulu sebagai homo economicus.

Manusia merupakan mahluk kompleks (homo complexus) yang didalamnya bertemu berbagai macam antinomi. Di satu sisi manusia adalah mahluk bijaksana (homo sapiens), namun di lain pihak juga mahluk yang mengalami defisit akal (homo demens), manusia teknis (homo faber) sekaligus manusia yang suka bermain (homo ludens), manusia yang lekat dengan pengalaman (homo empiricus), sekaligus manusia yang kaya imaginasi (homo imaginarius), dll.

Tampaknya, sistem pendidikan kita seringkali mengajarkan hal-hal yang sifatnya lebih sektorial fragmentaris daripada mengetengahkan situasi hidup yang memang kompleks. Mengutamakan satu sisi bisa malah membuat timpang proses pendidikan itu sendiri. Tidak mengherankan jika Edgar Morin membidik dimensi kompleksitas kenyataan hidup manusia sebagai materi yang mesti diajarkan oleh setiap pendidik di masa depan. Mengajarkan kondisi manusia yang nyata dalam kerangka pendidikan merupakan sebuah tantangan yang tak dapat diabaikan.

Ketiga, menganggap bahwa dengan sekolah semua persoalan sosial bisa diselesaikan merupakan pandangan yang keliru. Benar bahwa tanpa proses pendidikan yang baik masyarakat tidak akan stabil, sebab ada defisit dalam hal akuisisi nilai-nilai non material sebuah kebudayaan. Namun kelirulah menganggap bahwa lembaga pendidikan, seperti sekolah, merupakan tempat ‘ndandakke’ siswa agar menjadi pribadi yang baik. Sekolah bukanlah panasea yang bisa mengobati segala macam penyakit.

Karena itu tepat kritik, Jacques Maritain (1882-1973) yang menganalisis tujuh kekeliruan dasar dalam pendidikan modern dengan mengatakan bahwa salah satu kekeliruan dalam pendidikan modern adalah anggapan bahwa setiap hal dapat dipelajari melalui pengajaran. Sekolah, bukanlah lembaga serba bisa yang bertanggungjawab bagi proses pendidikan seluruh anak didik. Lingkungan di luar dunia pendidikan justru memiliki pengaruh esensial dan memiliki dimensi formatif lebih kuat bagi proses penyempurnaan diri seorang pribadi.

Epilog

Pendidikan merupakan fakta yang kompleks, yang memiliki jalur relasional yang bercabang, antara masyarakat sebagai lembaga politik, keluarga sebagai lembaga sosial dan lembaga hukum, antara sekolah sebagai salah satu pelayan bidang pendidikan, dan kebudayaan sebagai tempat bertemunya pergulatan ideal-real dalam proses menyejarah suatu masyarakat.

Pedagogi akan tetap memberikan pencerahan dan sikap kritis atas berbagai macam praksis pendidikan, dan praksis pendidikan jika direfleksikan akan semakin memperkaya khasanah pemikiran sebuah pedagogi. Sikap kritis, keterbukaan atas kompleksitas kenyataan, penegasan corak relasional antar lembaga, kebijakan praktis relasi antara sekolah dan rumah dalam kerangka pendidikan semestinya diletakkan dalam kerangka idealisme tujuan dasar pendidikan. Tanpa memiliki idealisme bagi tujuan pendidikan kita, setiap praksis pendidikan yang cenderung mencari pemecahan masalah praktis akan menemukan kebuntuan dan gagal mengenyam kemajuan sebab tanpa gambaran yang jelas tentang idealisme pendidikan, kita, meminjam istilah Kartini, masih tetap tinggal dalam kegelapan. Pedagogi yang baik akan menerangi praksis yang baik dan efektif. Dengannya kita bisa merasakan kuatnya impian Kartini yang menginginkan bahwa bangsa ini segera keluarga dari kegelapan menuju terang, agar dapat berjalan dan menuju tujuan pendidikan dengan lebih percaya diri.

Pendidikan Keagamaan