Dunia Pendidikan mengakhiri tahun ini dengan satu kata tebal: Kekerasan. Seorang siswa sebuah sekolah ditusuk saat berada di sebuah kafe, juara olimpiade matematika wafat sia-sia di tangan seorang kriminal, seorang anak SD membunuh anak SMP, seorang mahasiswa tewas dikeroyok teman sekampusnya, dan rentetan peristiwa tradisi tawuran pelajar seakan tak pernah henti. Kasus penolakan anak SD untuk bersekolah hanya karena orang tuanya mengidap penyakit HIV, meski sekarang kasus ini telah selesai, juga merupakan sebentuk kekerasan psikologis dan sosial bagi sang anak. Kekerasan telah menjadi kanker akut dalam dunia pendidikan kita.
Jika ditilik dari penyebarannya, kekerasan bukan hanya akut terjadi dalam lembaga pendidikan, melainkan juga dalam tatanan sosial masyarakat secara umum. Tawuran telah menggejala mulai dari kampung, sekolah, antar kelompok organisasi dalam masyarakat di jalanan, atau antar politisi di gedung-gedung megah tempat suara rakyat mestinya didengarkan. Penyiksaan dan pembantaian orang utan pun pun semakin mencoreng gambaran Negara kita sebagai bangsa yang ramah. Indonesia sekarang sudah identik dengan kekerasan.
Mempromosokan sebuah gerakan damai, anti kekerasan dalam sebuah masyarakat yang gemar menghunus pedang jelas merupakan sebuah sikap yang menantang arus. Butuh keberanian dan jiwa yang besar untuk tidak putus asa dalam menyuarakan pentingnya semangat perdamaian tumbuh dalam hati anak-anak. Sebab, justru di sinilah terletak tugas mulia seorang pendidik, yaitu menumbuhkan semangat damai dalam diri anak didik, bukan malah menyuburkan agresivitas yang ada dalam diri mereka.
Sayangnya, para pendidik sendiri seringkali lupa, bahwa sebagai pendidik, ia juga adalah pemelihara, pelindung, dan mestinya menjadi sumber rasa nyaman. Masyarakat segera ingin kembalinya pendidikan karakter untuk mengatasi berbagai macam perilaku destruktif dan merusak yang terjadi dalam dunia pendidikan. Di mana peranan pendidikan karakter dalam konteks ini?
Mengatakan bahwa kekerasan merupakan bukti kegagalan pendidikan karakter di sekolah kita bukanlah sebuah argumentasi yang cerdas. Pendapat seperti ini terkesan defensif. Namun, marilah kita sekarang melihat apa yang ada di benak para pendidik ketika sebuah peristiwa kekerasan itu terjadi. Ada tiga pemikiran yang bisa kita analisis terkait dengan kekerasan dalam lembaga pendidikan.
Pertama, ketika terjadi sebuah peristiwa kekerasan, para pendidik secara spontan berpikir tentang kekerasan fisik yang terjadi di dalam lingkungan sekolah. Karena itu, ketika terjadi peristiwa kekerasan siswa, entah itu berupa tawuran ataupun perilaku kriminal, para pendidik dengan sigap membentengi diri dengan berkata, perilaku kekerasan itu terjadi di luar sekolah. Jadi, kekerasan yang terjadi itu bukan tanggungjawab guru atau sekolah.
Kedua, ketika kekerasan itu terjadi di dalam lingkungan sekolah, para pendidik memiliki kebingungan tentang bagaimana mengatasinya. Beberapa kasus, kekerasan dan bullying yang terjadi dalam lingkungan sekolah tidak terdeteksi dengan baik. Para pendidik baru menyadari ketika kasusnya sudah parah, atau beredar di masyarakat melalui jejaring sosial. Para pendidik, kalah lihai dibandingkan dengan para aggressor, pelaku kekerasan, sementara mereka gagal melindungi korban yang selama ini menjadi korban pemalakan ataupun pelecehan.
Ketiga, anak-anak sendiri memiliki berbagai macam persoalan psikologis, sosial, ataupun trauma masa lalu yang akarnya adalah keluarga. Karena itu, para pendidik berpikir bahwa perilaku kekerasan dalam diri anak didik itu muncul karena ‘dosa-dosa’ di dalam keluarga. Lembaga pendidikan bisa lepas tangan dalam hal ini. Sikap inipun adalah juga berciri defensif, tidak mau disalahkan, dan melimpahkan tanggungjawab ke orang lain.
Apa yang mesti dilakukan?
Para pendidik mesti menyadari bahwa perilaku kekerasan memiliki banyak akar, baik itu dalam lingkungan sekolah sendiri, di mana sekolah gagal menanamkan nilai cinta kasih serta penghargaan terhadap tubuh orang lain, baik itu dalam lingkungan masyarakat, baik itu dalam lingkup keluarga, maupun masyarakat secara umum. Kekerasan juga bisa memiliki akar psikologis yang perlu diselesaikan melalui proses pendampingan dan terapi dengan bantuan psikolog profesional.
Persoalan kekerasan, bisa mulai dari yang tidak kasat mata, seperti pelecehan terhadap pribadi, tidak adanya pengakuan sosial atas keberadaan individu, berupa kekerasan psikologis, sampai pada perilaku kekerasan fisik yang merusak, menghancurkan orang lain.
Dalam banyak hal, persoalan kekerasan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan kita melibatkan berbagai macam dimensi, baik itu individual, psikologis, serta sosial. Karena itu, perilaku kekerasan, agar berkurang dalam lembaga pendidikan kita, memerlukan kerjasama lintas ilmu, melalui sebuah program jangka panjang yang tidak akan cukup jika hanya diatas melalui seminar atau lokakarya dengan para guru, siswa dan pendidik. Melawan budaya kekerasan, hanya bisa dilawan dengan membangun budaya penghargaan terhadap setiap tubuh manusia, tubuh diri sendiri maupun tubuh orang lain. Penghargaan terhadap tubuh merupakan prinsip pertama pilar keutamaan Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh.
Karena itu, diperlukan pendekatan lintas ilmu, lintas departemen. Pendidikan untuk perdamaian, yang menghargai setiap tubuh sebagai berharga dan bernilai, dapat kita lihat dari perilaku kita sendiri, terhadap tubuh kita sendiri, serta perlakukan kita terhadap tubuh orang lain. Apakah Anda mencintai tubuh Anda dan memelihara tubuh Anda? Apakah Anda juga penuh perhatian dan peduli pada tubuh orang lain, menghargai mereka sebagai bagian integral dan hakiki bagi individu?
Itulah tantangan mendesak kita dalam memasuki tahun baru 2012.
Tangerang, 20 Desember 2012