Thursday 3 September 2009

Demokrasi dan Peran Cendekia

KOMPAS, KAMIS, 17 Maret 2006
Oleh Doni Koesoema, A

Kalangan cendekiawan merupakan kelompok sosial otonom dan independen, atau setiap kelompok sosial sesungguhnya memiliki kalangan cerdik pandai yang khas bagi mereka? Pertanyaan awal yang diajukan oleh Antonio Gramsci (1891-1937) dalam Catatan dari Penjara (Quaderni del Carcere, 12) relevan untuk kita simak ketika momentum kenaikan BBM ternyata membawa polemik tentang status dan kedudukan cendekiawan dalam masyarakat demokratis yang selama ini jarang mendapat perhatian kita.

Peranan utama kalangan cendekiawan tradisional dalam masyarakat, lanjut Gramsci, adalah untuk menghasilkan konsensus. Karena itu, pekerjaan kaum cerdik pandai lebih berada pada jalur pengembangan masyarakat sipil (civil society), bukan pada lingkup politik (political society), namun ini bukanlah alasan untuk menyatakan bahwa kinerja mereka tidak memiliki muatan politis.

Polemik tentang status cendekiawan yang dipicu tayangan iklan Freedom Institute hanyalah satu contoh paling transparan untuk mempertanyakan kehadiran para intelektual dalam masyarakat kita. Benarkah intelektual dari sononya dianugerahi kebebasan dan otonomi dalam menyuarakan pendapatnya, sehingga dengan dalih otonomi, kebebasan dan demokrasi mereka bisa merasa steril dan cuek bebek dengan jeritan massa karena melambungnya harga-harga?

Ponsiuspilatisme

Membongkar otonomi palsu kalangan intelektual merupakan kritik keras Gramsci atas filsafat Benedetto Croce (Q 10). “Apa yang penting bagi Croce adalah bahwa kalangan cendekiawan tidak merendahkan dirinya pada tingkatan massa, sebaliknya supaya mereka memahami bahwa ideologi merupakan perangkat praktis untuk memerintah...”

Bagi Croce, kalangan intelektual yang merendahkan dirinya pada kepentingan massa telah menggadaikan status dan kehormatannya sebagai kalangan cendekiawan. Para cendekiawan seharusnya memerintah, bukan diperintah. Mereka seharusnya membentuk ideologi dengan tujuan untuk memerintah yang lain.

Gramsci melihat bahwa intelektual yang steril dari massa dan lebih mengedepankan kerja ideologis berpotensi melahirkan kekerasan dan mendiseminasi suatu otonomi palsu yang cenderung jauh dari moralitas. “Posisi murni intelektual dapat menjadi Jacobinismo yang lebih buruk..atau suatu ponsiuspilatisme busuk, atau kadang berurutan dari satu posisi ke posisi lain, atau bisa jadi secara simultan keduanya”(Q 10).

Sama seperti Ponsius Pilatus yang membiarkan Yesus di salib oleh keputusan massa, cendekiawan yang berpegang pada posisi ‘murni intelektual’ merasa enggan untuk memikul setiap tanggungjawab dan tidak ingin merendahkan dirinya pada kehendak dan keinginan massa. Pernyataan mereka yang menyatakan diri lepas dari kepentingan politis hanyalah sebuah posisi; dalam kenyataan, mereka memainkan peranan fundamental secara politis, sebab dengan bersikap seolah-oleh netral, mereka telah membuat sebuah konsensus politik.

Ponsiuspilatisme yang lihai memainkan peranan di panggung media menemukan antagonisnya dalam diri intelektual jalanan yang berusaha menyalurkan dan menjadi aspirasi orang kebanyakan (demos). Namun, cendekiawan jalanan seperti ini tak jarang mendapat kritik keras pula karena kecenderungan mereka untuk anti-intelektual. Mereka lebih menyukai ritualisme politik kiri seperti demonstrasi, membuat pernyataan, tuntutan dan sebagainya.

Dalam masyarakat demokratis, kecenderungan anti-intelektual akan menjadi racun yang mematikan bagi regenerasi iklim demokrasi yang lebih baik. Di mana pun, demokrasi yang dewasa tak pernah bermula dari jalanan. Demokrasi yang dewasa mengandaikan kedewasaan politik, dan kedewasaan politik mengandaikan formasi yang memadai bagi politisi untuk menyampaikan visi perjuangannya di parlemen.

Tiga makna

Fenomena ponsiuspilatisme dan kehadiran cendekiawan jalanan bisa dibaca dari tiga sudut pandang.

Pertama, pendidikan tinggi kita ternyata telah gagal menanamkan nilai-nilai demokratis dalam diri para cendekiawannya. Di kalangan kampus telah terjadi semacam pembangkangan para dosen atas panggilan intektual mereka. Mereka telah gagal menanamkan semangat humanisme universal dalam diri para mahasiswanya sehingga menghasilkan cendekiawan yang ‘murni intelektual’.

Kedua, di lain pihak, pendidikan tinggi ternyata juga menghasilkan lulusan yang anti-intelektual, lebih suka memilih cara-cara jalanan, dengan memasang pamflet, membuat orasi dan membaur jadi satu dengan kehendak massa di luar kampus untuk menyuarakan kepentingan mereka.

Akar permasalahan dua hal di atas pada dasarnya adalah korupsi yang terjadi di dalam kampus. Karena itu, penyehatan kehidupan berbangsa hanya bisa dilakukan dengan membenahi sektor pendidikan berupa perbaikan model pengajaran dan kurikulum yang lebih menekankan pada akuisisi modal kultural (capital cultural) sehingga memungkinkan para lulusan terlibat dalam kehidupan demokrasi yang lebih sehat.

Pendekatan konservatif yang semata-mata melihat adanya korupsi di kampus, pengkhianatan para intelektual atas status sosial mereka, dan kecenderungan anti-intelektual yang bersemi di kampus sebagai biang keladi tak kunjung berseminya kedewasaan demokrasi di negeri menjadi satu kemendesakan untuk memulai pembaharuan di kalangan kampus, misalnya melalui reformasi di bidang kurikulum maupun metode pengajaran.

Ketiga, diagnosis ketidakberesan yang terjadi seputar kinerja kampus hanya akan merupakan tambal sulam yang tidak menyentuh esensi persoalan tanpa memperhatikan analisis relasional antara demokrasi dalam kaitannya dengan keberfungsian peranan intelektual.

Analisis terakhir menyatakan bahwa pertama-tama bukan pendidikan tinggi yang telah gagal menciptakan kedewasaan demokrasi bagi para cendekiawannya. Sebaliknya, demokrasi ternyata telah gagal menciptakan pendidikan tinggi yang bermutu dengan cara menyelingkuhi para cendekiawannya sehingga melahirkan intelektual haram yang memiliki semangat ponsiuspilatisme atau sebaliknya melahirkan intelektual jalanan yang cenderung anti-intelektual, yang keduanya sama-sama jauh dari klaim ‘integritas moral intelektual” maupun “keberpihakan rasional pada massa” yang sangat dibutuhkan dalam proses konsolidasi demokrasi.

Gejala ponsiuspilatisme secara positif bisa dibaca sebagai tumbuhnya kesadaran pentingnya kekuatan moral kalangan intelektual untuk mengkritisi kebijakan publik dalam kerangka perlindungan hak-hak warga negara dari terabasan para petualang politik. Di lain pihak, kehadiran intelektual jalanan dalam kacamata gramscian bisa dibaca sebagai suatu usaha diseminasi konsensus bagi perjuangan kontra hegemoni atas kekuasaan yang ada, sekaligus konsolidasi kekuatan subaltern dalam kerangka pertumbuhan demokrasi yang sehat.

Kelompok sosial yang menjadi korban keputusan poltik penguasa semakin menyadari bahwa kekuasaan permanen dan kebenaran universal yang menjadi basis kekuatan hegemoni kelompok penguasa sekarang ini telah kehilangan otoritasnya. Setiap kelas sosial dan kelompok masyarakat lain berhak memiliki konsepsi berbeda tentang keteraturan sosial yang menjadi suara hati, pikiran dan gagasan mereka.

Konsolidasi perjuangan kelas subaltern semakin nyata ketika mereka pada akhirnya berhasil melahirkan intelektualnya sendiri. ‘Ke-lain-an’(otherness) yang terlahir dari kelompok subaltern miliki hak untuk di dengarkan jika kita mengaku diri sebagai demokratis.

Pendidikan dasar bagi semua

Jika demokrasi telah telah gagal menciptakan iklim akademis yang melahirkan cendekiawan berintegritas, konsolidasi demokrasi itu sendiri hanya bisa tumbuh lewat kesadaran kritis yang muncul lewat kekokohan formasi pendidikan yang terbuka bagi semua warga yang memungkinkan kekuatan sipil memiliki kekuatan dalam mengontrol kekuasaan. Langkah awal untuk formasi seperti ini adalah dijaminnya pendidikan dasar bagi semua. Di sini yang dipertaruhkan adalah kualitas dan kontinuitas formasi pendidikan yang mampu mempersiapkan anak didik terlibat dalam ranah politik.

Gramsci meyakini bahwa krisis lembaga pendidikan yang terjadi di jamannya terjadi bukan karena kelemahan lembaga pendidikan itu sendiri dalam mengantisipasi tantangan modern, melainkan karena lembaga pendidikan telah menjadi korban bulan-bulanan krisis sosial, budaya dan politik di jamannya. Kita ingat bagaimana lembaga pendidikan di Italia, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi sungguh-sungguh dimanfaatkan untuk sarana propaganda ideologis bagi perjuangan Fasis Mussolini.

Tidak diragukan bahwa pendidikan umum dan keadaan sekolah-sekolah di negeri ini telah dan semakin hari semakin memasuki titik kritis yang mengkhawatirkan. Ini terjadi karena ketidakbecusan politisi mengurus lembaga pendidikan. Korupsi terjadi bukan semata-mata di kalangan kampus, melainkan di kalangan parlemen.

Berjuang secara sistematis agar terbuka akses pendidikan dasar bagi semua warga, itulah sesungguhnya yang sejak awal digagas oleh kalangan intelektual mengapa mereka mendesak agar subsidi BBM segera dicabut. Sebab hanya dengan realisasi akses pendidikan dasar bagi semua kompensasi BBM menjadi efektif di tengah telikung para politisi yang suka menjarah uang rakyat.

Memimpikan kehadiran intelektual yang independen dan otonom pada masa sekarang adalah ilusi, namun perjuangan untuk membuka akses pendidikan bagi semua warga tak pernah boleh menjadi mimpi jika kita inginkan perbaikan demokrasi di negeri ini.

Doni Koesoema, A. Mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

Pendidikan Keagamaan