Thursday 29 January 2009

Mengubah Paradigma UN

KOMPAS, Rabu 14 Januari 2009


Doni Koesoema A


Hasil Ujian Nasional (UN) akan diperhitungkan untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Kompas, (8/1). Wacana ini di satu sisi bisa meningkatkan gengsi UN yang selama ini banyak menuai kritik publik. Namun di lain sisi, perubahan kebijakan ini bisa salah sasaran jika tidak terjadi perubahan paradigma dalam memahami UN. Mengelola evaluasi pendidikan integral tidak semudah membalik tangan.


Masalahnya adalah bahwa sifat dan tujuan UN dan tes masuk PT secara kualitatif berbeda. Ujian Nasional bersifat sumatif, yang tujuannya adalah menilai prestasi individual siswa untuk menentukan apakah seorang individu itu telah memiliki kompetensi yang dipersyaratkan setelah melewati proses pendidikan dalam jangka waktu tertentu. Ambang kelulusan UN ditentukan melalui kriteria penguasaan materi (criterion-reference test) yang berakibat langsung pada nasib siswa (high stake testing). Siswa lulus atau tidak lulus.


Sedangkan sifat tes masuk PT adalah formatif untuk mendiskriminasi siswa berdasarkan kompetensi dan potensi akademik yang tujuannya menjaring calon yang memiliki kelayakan dan kemampuan untuk menyelesaikan beban tugas dan tuntutan di PT. Karena itu, tes masuk PT bersifat normatif (norm-reference testing), tidak semata-mata mendasarkan diri pada penguasaan materi, melainkan memeringkat siswa dan membatasinya sesuai jumlah kursi.


Penguasaan (proficiency) materi menjadi sekunder. Lebihd ari itu, item soal seringkali dibuat dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi sehingga menjadi selektif. Ini untuk menghindari menghindari efek langit-langit (ceiling effect) yang bisa terjadi akibat siswa telah terbiasa dengan soal UN sehingga siswa pintar dan cukupan tidak dapat dibedakan lagi karena mereka sama-sama meraih nilai maksimal.


Jernih memahami hakekat dua macam tes ini menjadi penting agar kebijakan pendidikan yang diambil benar-benar memiliki dasar rasional pedagogis dan psikometrik yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan sekedar berdasarkan pada politik kepentingan untuk menunjukkan bahwa UN yang selama ini menuai kritik berguna dan penting.


Wacana integrasi


Wacana integrasi UN dengan PT memang diperlukan agar apa yang dipelajari siswa di SMA menjadi dasar bagi pengembangan ilmu di PT. Namun integrasi ini tidak akan efektif jika dilakukan sekedar pada pelibatan PT dalam pengawasan pelaksanaan UN.


Mengajak PT menjadi rekanan pemerintah dalam menyelenggarakan UN untuk menjamin bahwa dalam pelaksanaannya UN tidak memiliki cacat dalam prosedur pelaksanaan adalah salah satu bagian teknis dari prosedur standar pelaksanaan tes. Kredibilitas pelaksanaan tes merupakan salah satu alat untuk mengukur validitas hasil UN. Namun lebih dari itu, peningkatan kualitas soal, penarikan kesimpulan hasil UN, reliabilitas item UN untuk benar-benar mengukur kompetensi yang dibutuhkan dalam proses seleksi masuk PT itulah yang pertama-tama perlu dibenahi.


Integrasi hasil UN sebagai penentu penerimaan mahasiswa baru di PTN mengandaikan bahwa hasil UN itu memiliki validitas (benar-benar mengukur apa yang ingin diukur), konsistensi hasil ketika diujikan pada banyak populasi (reliable), dan fair (memenuhi rasa keadilan, tidak adanya bias, perlakuan sama terhadap peserta tes, kesempatan belajar atas materi yang diujikan, dll).


Tiga tuntutan


Untuk membenahi ini ada tiga tuntutan yang mesti dipenuhi. Pertama, independensi desain soal untuk UN harus dijaga. Selama Badan Nasional Standardisasi Pendidikan (BNSP) dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertanggungjawab dalam mengelola desain UN, konflik kepentingan akan terjadi. Tanpa independensi, kongkalikong atau manipulasi nilai demi kepentingan tertentu akan terjadi di dalam lembaga penyelenggara UN, sebab mereka sendiri yang membuat soal, dan mereka sendirilah yang membuat laporan pertanggungjawaban kepada dirinya sendiri.


Kedua, independensi lembaga penyelenggara UN memungkinkan proses desain soal UN, pelaksanaan tes dan evaluasi atau penarikan kesimpulan atas skor UN lebih sahih dan dapat diandalkan karena lembaga tersebut mendisain test sesuai dengan tujuannya, yaitu, untuk menyeleksi siswa di tingkat PT. Kompetensi penyelenggara UN seperti ini mesti diserahkan pada konsorsium PT atau lembaga independan penyelenggara test yang mampu menyelenggarakannya secara objektif dan akuntabel kepada publik dan pemangku kepentingan.


Ketiga, perubahan penggunaan hasil UN pada gilirannya akan mengubah tujuan penggunaan hasil UN seperti selama ini terjadi, yaitu untuk menentukan kelulusan siswa. Harus ada perubahan paradigma atas tujuan penggunaan hasil UN. Jika hasil UN dipakai sebagai alat test seleksi PT, memakai hasil UN untuk meluluskan siswa jelas merupakan kebijakan evaluasi pendidikan yang salah sasaran sebab terjadi salah kaprah dalam penarikan kesimpulan berdasarkan data-data dari sebuah alat test.


Independensi


Yang dibutuhkan sekarang ini adalah akuntabilitas lembaga pendidikan di hadapan publik melalui independensi penyelenggara UN. Pendidikan di tingkat menengah hanya bisa akuntabel jika pelaksanaan UN mampu memberikan data-data valid, reliabel dan fair untuk menilai kompetensi seorang siswa. Meskipun BNSP merupakan lembaga independen, namun ketika mereka bekerja sama dengan Depdiknas menjadi penyelenggara, penilai, dan pelapor UN terhadap pemerintah, konflik kepentingan seperti ini membuat BNSP kehilangan kredibilitas. Apalagi ketika tidak ada laporan yang bisa diakses publik tentang pelaksanaan UN, terutama tingkat validitas, reliabilitas, dan fairnes soal-soal UN.


Independensi penyelenggara UN mesti diutamakan agar tidak terjadi konfik kepentingan jika hasil UN ingin dipakai sebagai seleksi mahasiswa baru di PT. Selain itu, penyelenggara UN mesti akuntabel dan bertanggungjawab bukan sekedar kepada pemerintah, melainkan kepada pemangku kepentingan yang lebih besar, yaitu perguruan tinggi dan masyarakat. Sistem seleksi mahasiswa baru harus fair dan memperhatikan kepentingan jangka panjang PT itu sendiri dengan cara menyeleksi siswa yang benar-benar kompeten dan memiliki potensi sukses secara akademis.


Memaksakan hasil UN sebagai syarat penerimaan mahasiswa PT bisa salah sasaran jika UN masih bersifat sumatif yang kriterianya adalah Standar Isi minimal ala kurikulum SMA untuk menentukan kelulusan siswa. Untuk itu diperlukan perubahan paradigma terhadap UN.


Doni Koesoema A. Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.

Kurikulum Lipstik

KOMPAS (17 Desember 2008)

Doni Koesoema A

Pembentukan karakter merupakan bagian vital kinerja sebuah pendidikan. Namun kecenderungan untuk menciptakan praksis on the spot yang dipaksakan hanya akan melahirkan sikap reaktif. Kurikulum lipstik lantas menjadi tren. Siswa menjadi objek bagi ajang pelatihan. Akibatnya, pendidikan terjerembab di kedangkalan.

Sekolah menjadi reaktif ketika terburu-buru ingin menanggapi tantangan jaman, seolah sekolah adalah obat bagi masalah itu. Ketika korupsi merajalela di dalam masyarakat, para pendidik hiruk pikuk mengembangkan pendidikan antikorupsi di sekolah. Ada yang mempromosikan sekolah Anti Korupsi, Program Kantin Kejujuran, dll (Kompas, 5/12). Demikian juga ada yang mengusulkan masuknya mata pelajaran khusus, yaitu, Pendidikan Anti Korupsi untuk menggantikan PPkn dan Agama yang dianggap telah gagal dalam menjalankan misinya.

Selain itu, tuntutan akuntabilitas pendidikan akibat tantangan standardisasi telah banyak membuat para pendidik lari ke sana kemari untuk mengikuti berbagai macam program kilat pengembangan diri, mulai dari seminar cara mengajar efektif dan kreatif, pola pembelajaran PAKEM, diklat positive thinking, mengikuti lokakarya dan berbagai macam pelatihan bertajuk pendidikan. Hal ini semakin menjadi-jadi ketika model portofolio sertifikasi memang mempersyaratkan adanya berbagai macam sertifikat untuk memperoleh poin. Lembaga seminar menjamur, panitia untung, guru untung, tapi murid yang buntung!

Sikap reaktif inilah yang belakangan terjadi dalam dunia pendidikan kita. Sebagaimana lipstik hanya menjadi tampilan luar dan akan hilang dalam sekejap, reformasi pendidikan pun juga tidak akan bertahan lama jika pendidik sibuk mengurusi hal-hal pinggiran yang bukan menjadi tugas utamanya, apalagi malah menjadikan siswa sekedar sebagai objek pelatihan. Gejala ini saya sebut dengan kurikulum lipstik.

Restrukturasi

Gejala inilah yang oleh Fulan (1993) disebut dengan restrukturisasi, yaitu sekedar proses pembaharuan guru di tingkat pinggiran, berupa peningkatan ketrampilan teknis pengajaran, namun tidak disertai perubahan cara pandang. Selain itu, gelojoh mengikuti tren berbagai macam gerakan, dengan berbagai macam label anti (korupsi, kekerasan, narkoba, pornografi, dll) yang dipaksakan di sekolah hanya akan menjadikan siswa korban bagi keinginan politik kelompok tertentu.

Sekolah tentu saja mesti melawan korupsi, menentang kekerasan, menawarkan cara hidup sehat, dan mendidik siswa cara menghormati tubuh sesama sebagai mahluk yang mulia dan berharga karena mereka sama-sama ciptaan Tuhan. Namun, gagal melawan kesabaran disertai dengan nafsu reaktif bisa menjadikan guru para pahlawan kesiangan yang tidak pernah menyadari bahwa menekuni pekerjaan rutin harian di kelas itulah yang mesti menjadi tugas utamanya. Pembentukan karakter itu terjadi melalui dinamika pengajaran di dalam kelas, bukan melalui seminar, sosialisasi, atau pelatihan dadakan.

Diskursus tentang pembentukan karakter yang dipahami secara parsial malah bisa menjadi sarana pelarian (eskapisme) guru dari tanggungjawab mereka untuk meningkatkan prestasi akademis siswa dengan cara memberikan penekanan berlebihan pada unsur-unsur non-akademis. Padahal, keunggulan akademis adalah bagian dari pembentukan karakter itu sendiri. Tugas utama guru adalah mengembangkan ekselensi akademis dalam diri siswa. Mutu pendidikan kita semakin menurun karena visi keunggulan akademis inilah yang diabaikan. Sebagai akibatnya, pembentukan karakter siswa juga terpinggirkan.

Agar pembentukan karakter terjadi secara integral, guru mesti memahami kembali visi pengajarannya dan percaya bahwa mengembangkan keunggulan akademis adalah tugas utama mereka sebagai pendidik. Siswa yang memiliki ekselensi akademis mengandaikan keterbukaan, kemampuan bertanya, berdiskusi, menganalisis persoalan, mampu mendialogkan ilmu pengetahuan itu dengan orang lain. Dialog seperti ini terjadi jika masing-masing memiliki keyakinan nilai tentang kebenaran pengetahuan dan maknanyabagi kemaslahatan hidup bersama. Jika ini terjadi, secara tidak langsung karakter anak didik yang terbuka, kritis, mau berdialog, akan berkembang. Siswa menjadi individu dengan karakter kuat.

Rekulturasi

Di tengah maraknya “kurikulum lipstik” di atas, yang kita butuhkan sesungguhnya adalah rekulturasi, yaitu sebuah proses pengembangan diri guru untuk kembali memahami hakekat kinerjanya sebagai pendidik yang hidup dalam keterbatasan ruang, waktu, dan bekerja melalui struktur sekolah yang seringkali malah membatasi fungsi utama mereka sebagai pendidik. Restrukturasi tidak dengan sendirinya meningkatkan kualtias pengajaran (Elmore, 1992). Seminar-seminar tidak otomatis mengubah paradigma mengajar guru, bahkan malah bisa jadi memperkuat konservatisme (Lortie, 1975).

Pembaharuan dangkal namun hingar-bingar memang lebih seksi dan menarik hati. Namun, pembentukan nilai dan peningkatan kualitas akademis sesungguhnya kinerja bersama yang tidak bisa diatasi sekedar dengan menimba ilmu dari orang-orang luar atau dari pembicara publik yang sama sekali tidak mengerti proses belajar mengajar di kelas. Yang mengenal siswa di kelas adalah guru. Yang paling mengerti apa yang dibutuhkan siswa agar ia maju dalam menimba ilmu adalah guru.

Rekulturasi mengandaikan bahwa guru mampu membangun komunitas belajar professional dalam lingkungan sekolah. Penumbuhan komunitas belajar profesional hanya bisa muncul ketika guru bekerja sama, saling berbagi informasi dan mengevaluasi pekerjaan satu sama lain dengan mengambil kasus-kasus nyata dalam kelas. Meningkatkan mutu pembelajaran memang membutuhkan ketekunan, terutama berani menilai diri bagaimana para guru mengajar di kelas. Inilah pekerjaan on the spot yang harus dilakukan guru.

Pekerjaan seperti ini jauh dari hingar bingar publik dan meriahnya seminar di hotel mewah. Juga tidak ada sertifikat atau plakat, sebab guru benar-benar masuk langsung ke jantung pekerjaan utamanya. Kurikulum lipstik akan lewat, namun guru berdedikasi akan berdiri kuat. Matiraga, sembari terus mau mengubah diri, bahkan mau belajar dari rekan guru dan siswa agar siswa menggapai keunggulan akademis inilah yang membuat guru benar-benar menjadi guru.

Doni Koesoema A Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.

Pendidikan Keagamaan