Thursday 3 September 2009

Aplaus Palsu Teater Pendidikan Nasional

Oleh Doni Koesoema A

APLAUS palsu, itulah yang terjadi dalam panggung teater pendidikan nasional kita. Dalam sebuah pentas teater, aplaus palsu yang dilakukan oleh para pendukung bayaran menggeser makna keadilan dan rasa hormat pada kualitas sang aktor sebab aktor yang main buruk mendapat tepuk tangan, sedangkan aktor yang main gemilang tak mendapat dukungan.

Belajar menilai secara adil dan wajar, itulah yang ditawarkan Plautus (254-184 sm) dalam tragikomedi Amphtryon-nya.

"Dari Anda saya meminta sebuah sikap adil yang wajar," ujar Merkurius dalam prolognya sebelum pentas dimulai. Melalui mulut Merkurius, Plautus mengingatkan penonton bahwa ada detektif yang akan berkeliling di sekitar penonton untuk mengamati apakah ada penonton atau aktor yang berlaku curang sehingga bisa membeli aplaus penonton. Mereka yang berlaku curang akan diganjar dengan hukuman dan dikeluarkan dari arena teater sebab merusak pertunjukan. "Biarlah hukum bagi seorang aktor adalah dirinya sendiri. Melalui jasa-jasanya biarlah ia meraih sukses, bukan dengan aplaus palsu. Keutamaan akan menentukan penghargaan bagi si pelaku, jika mereka yang memiliki kekuasaan berlaku fair terhadapnya."

Prolog dalam Amphitryon Plautus tampaknya tepat untuk menggambarkan situasi pendidikan kita. Yang kita lihat hari-hari ini adalah aplaus palsu, pelecehan keadilan dan moralitas dalam dunia pendidikan kita. Aplaus palsu diberikan pada siswa yang selamat nasibnya karena terkatrol nilai oleh drama konversi nilai ujian akhir nasional. Aplaus palsu layak diberikan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang berhasil mengelabui kualitas pendidikan nasional kita dengan keindahan statistik lewat tabel konversi nilai.

Di sisi lain, aplaus palsu telah melecehkan keadilan para siswa dan guru yang telah berjerih payah meningkatkan kualitas pendidikan secara tulus. Yang terakhir, aplaus palsu adalah pelecehan keadilan bagi masyarakat yang telah membayar mahal 'tiket' untuk melihat bangkitnya kemurungan dalam dunia pendidikan kita dengan disuguhi sebuah pentas teater pendidikan yang memuakkan.

KONTROVERSI tentang konversi nilai UAN sebenarnya hanyalah gunung es persoalan dalam dunia pendidikan kita. Sistem katrol nilai ini sebenarnya telah merebak sampai pada tingkat sekolah. Tidak perlu ada kontoversi tentang konversi nilai UAN, sekolah-sekolah telah rutin melakukannya. Dan karena telah rutin, maka budaya sistem katrol nilai itu dianggap telah biasa dan menjadi bagian dalam proses pendidikan.

Mengapa konversi nilai UAN sekarang ini diributkan dengan gemuruh seperti halilintar? Konversi nilai UAN meledak dengan kekuatan dahsyat karena publikasi media dan karena yang menjadi korban dalam kebijakan ini pada tingkat makro begitu besar. Kita tiba-tiba sadar bahwa perlu berteriak dengan lantang karena kaki kita diinjak. Mengapa kita baru teriak-teriak lantang sekarang ini? Bukankah kita seperti maling kesiangan? Tingkat solidaritas dan kesadaran kita akan keadilan memang baru sejauh taraf "asal kamu tidak menginjak kakiku terserah saja apa yang kamu lakukan." Sekarang ketika banyak kaki terinjak, kita semua berteriak sembari terpincang-pincang, "Batalkan konversi nilai UAN!"

Tuntutan itu tidak salah, dan memang harus disuarakan. Namun bukan karena 'aku menjadi korbannya', melainkan karena "keadilan dan moralitas dalam dunia pendidikanlah yang mengerang karena kaki di mana ia memijakkan kemajuan bangsa diinjak-injak." Terhadap fondasi moralitas dan keadilan yang diinjak-injak kita tak bisa tinggal diam. Sebab tanpanya, sebuah bangsa akan runtuh, dan masyarakatnya akan hidup dalam kekacauan. Jika keadilan dan moral tidak ditegakkan hukum rimba akan menggantikan, dan keutamaan (virtus) dan keadilan akan terpinggirkan. Siapa yang kuat, siapa yang menang.

Dalam kontroversi konversi nilai inipun, masih saja ada kepala sekolah yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk 'merogoh kocek saku orang tua murid.' Sebuah moralitas yang kebablasan dan arogansi yang tak pada tempatnya! Semestinya keutamaan dan keadilah menentukan penghargaan bagi si pelaku, jika mereka yang memiliki kekuasaan berlaku fair terhadapnya, tulis Plautus.

Kontroversi konversi nilai UAN bisa menjadi blessing in disguise jika kita memiliki langkah strategis mengena pada akar permasalahan. Ini adalah sebuah kesempatan emas untuk pembaharuan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan (pemerintah, guru, siswa, keluarga, masyarakat) agar lebih mengedepankan nilai keadilan dan moralitas dalam reksa pendidikan.

LANGKAH strategis ini hanya akan efektif jika dimulai dari faktor yang paling determinan dan dilaksanakan dalam kerangka skala prioritas.

Pertama, adalah mutlak proses pembaharuan dari dalam, yaitu, proses pembaharuan internal di kalangan para konstituen pendidikan itu sendiri untuk makin menumbuhkan rasa keadilan (sensus iustitiae) dan kejernihan nilai moral (moral value) yang menjadi jiwa dan semangat dalam kerangka kerja mereka.

Berbagai macam analisis teknis tentang peningkatan kualitas pendidikan kita, mulai dari pembuatan undang-undang, pemberian o- tonomi sekolah, Sistem Ujian Akhir Nasional, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), teknik pengajaran, mulai dari pembuatan persiapan pengajaran, pro- gram catur wulan, program tahunan, pembuatan kisi-kisi soal, pembuatan soal ujian dan evaluasinya, menjadi tidak bermakna ketika pelaku pendidikan yang terlibat di dalamnya tidak memiliki visi moral dan keadilan yang jelas. Aturan dan berbagai macam petunjuk teknis itu akan dengan mudah ditelikung di berbagai tingkat, mulai dari tingkat terbawah maupun pembuat kebijakan di level pemerintahan, mulai dari siswa sampai para birokrat pemerintah.

Kedua, verifikasi indikatif adanya rasa keadilan dan kejernihan nilai moral hanya dapat dilihat dalam praksis. Ini berarti sebuah tantangan untuk proses pembaharuan terus menerus (on going formation). Memang benar bahwa untuk memahami secara positif apa yang adil dan bermoral tidaklah mudah. Namun orang kebanyakan bisa menangkap dan mengerti bahwa sebuah tindakan itu tidak adil dan tidak bermoral. Karena itu, sikap untuk selalu terbuka terhadap masukan dan kritikan yang mengembangkan adalah conditio sine qua non bagi berkembangnya sebuah proses pendidikan.

Ketiga, ada sistem kontrol publik terhadap kualitas sebuah lembaga pendidikan. Ini berarti ada pertanggungjawaban publik atas kinerja pendidikan, entah itu berupa laporan penggunaan dana pendidikan, kebi- jakan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan publik dalam kerangka pendidikan seperti pertanggungjawaban atas tabel konversi nilai UAN, dll. Dari se- gi ini, media sebagai salah satu pilar begi majunya demokrasi menjadi faktor penentu dalam proses diseminasi kebijakan dan transparansi dunia pendidikan terhadap publik. Media memiliki fungsi kritis dalam kerangka pertumbuhan dunia pendidikan sebuah bangsa.

Tiga hal di atas, pembaharuan radikal dimensi interioritas, verifikasi dalam praksis, dan publisitas merupakan tiga kunci utama bagi pertumbuhan sebuah pendidikan. Jika pendidikan kita ingin memberikan suguhan teater yang bermutu bagi masyarakat, mau tak mau tiga kunci di atas merupakan syarat utama yang kemendesakannya tak bisa ditawar lagi.

SEPERTI apa yang ditulis Plautus di awal tulisan ini, dari kita tidak dituntut sikap adil yang berlebihan. Yang dituntut dalam diri kita adalah sikap adil yang wajar, sikap adil yang bisa diverifikasi dalam praksis. Sikap ini hanya bisa tercapai dengan menumbuhkan sikap fair di antara kita, terlebih adalah tuntutan sikap fair dari pemegang kekuasaan.

Jika sikap ksatria seperti ini dimiliki insan pendidikan, bolehlah kemudian kita dengan bangga menampilkan sebuah lakon teater pendidikan yang menarik seperti Ampitryon-nya Plautus. "Biarlah hukum bagi seorang aktor adalah dirinya sendiri. Melalui jasa-jasanya biarlah ia meraih sukses, bukan dengan aplaus palsu. Keutamaan akan menentukan penghargaan bagi si pelaku, jika mereka yang memiliki kekuasaan berlaku fair terhadapnya."

Jangan ada lagi aplaus palsu bagi teater pendidikan nasional kita. Semoga!

Doni Koesoema A Mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.



Dimuat di Harian KOMPAS, Sabtu, 19 Juni 2004

Pendidikan Keagamaan