Tuesday, 30 June 2015

Guru Sebaiknya Bisa Menulis Karya Ilmiah


Edukasi
Senin, 29/06/2015 - 04:59:11 WIB


JAKARTA-Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai meneliti itu bukan tugas seorang guru. Menurut Anggota Dewan Pertimbangan FSGI Donie koesoema,  peran guru memang hanya berkenaan dengan kegiatan harian mereka sebagai pengajar dan pendidik di sekolah.

"Meneliti memang bukan tugas guru, namun Penelitian Tindakan Kelas (PTK) itu adalah kegiatan harian mereka," ujar Donie, seperti dilansir republika, Minggu (28/6/2015). Jadi, kata dia, pekerjaan para guru tersebut sudah termasuk ke dalam penelitian mereka.

Seperti diketahui, pemerintah memiliki kebijakan bahwa guru diminta untuk menghasilkan karya ilmiah. Hal ini karena karya ilmiah yang dipublikasikan itu dapat membantu mereka untuk naik pangkat. Pasalnya, tulisan itu mengandung angka kredit yang dapat mempengaruhi penilaian kinerja para guru.

Penulisan karya ilmiah merupakan syarat wajib bagi guru dalam jabatan profesi. Hal ini diatur ke dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan dan RB) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.

Perwakilan Pusat Pengembangan Program Profesi Pendidik Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Pusbangprodik Ditjen GTK Kemendikbud), Hari Amirullah mengatakan per 1 Januari 2013 sudah diberlakukan Permenpan dan RB Nomor 16 Tahun 2009 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya.

"Para guru, mulai golongan kepangkatan III/a, untuk naik pangkat, harus melakukan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB), yang salah satu kegiatannya melakukan PTK," jelasnya pada Lokakarya Kajian dan Penyusunan Laporan Pendidikan Tindakan Kelas, di Jakarta, Kamis (25/6/2015).

Mengenai kebijakan tersebut, Donie berpendapat semua guru seharusnya memang harus bisa menulis karya ilmiah. Hanya saja, kata dia, format dan metode penelitiannya harus bisa disederhanakan.

Donie juga menyatakan pelatihan guru secara maskimal perlu untuk dilakukan. Hal ini perlu dilakukan, lanjut dia, jika pemerintah memang menginginkan kebijakan itu berjalan lancar. Untuk itu, Doni berharap pemerintah bisa meningkatkan lagi kontribusinya dalam meningkatkan kemampuan menulis para guru. (kt5)

Sumber:Republika

Sistem Belajar SKS di Sekolah Dinilai Kurang Tepat




Senin, 22 Juni 2015, 19:25 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sistem belajar dengan model Satuan Kredit Semester (SKS) dinilai kurang tepat untuk diterapkan di sekolah-sekolah. Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Doni Koesoema berpendapat, konsep ini kurang bisa membantu menumbuhkembangkan siswa. 

"Siswa terkesan dipaksa untuk matang secara akademik sebelum waktunya," ujar Doni melalui pesan singkat kepada Republika, Senin (22/6).

Selain itu, menurut dia, sistem ini belum bisa diterapkan karena mengingat peserta didik masih perlu belajar disiplin dalam konteks kebersamaan.

Doni juga mengaku masih mempertanyakan program SKS ini. Dia berpendapat, program ini akan mengakibatkan terjadinya pembedaan dan diskriminasi antara siswa regular dan sistem SKS.

Menurut Doni, sebelum ada petunjuk teknis dari pemerintah , keabsahan program ini perlu dipertanyakan lagi. Terutama, dia menambahkan, pada sisi legalitasnya. Dia menilai, sistem belajar demikian  akan membuat siswa bingung pada kegiatan praktiknya. Bahkan, lanjut dia, hal ini berpotensi merugikan peserta didik.

Dari sisi praktis, Doni mengungkapkan, sistem SKS di sekolah ini sangat membutuhkan persiapan khusus yang matang. Misal, kata dia, ruangan, tenaga guru dan kurikulum.

Untuk itu, Doni pun kembali menegaskan ketidaksetujuannya mengenai sistem SKS di sekolah. Menurutnya, sistem ini tidak sesuai jika dilihat dari sisi pembentukan karakter dan psikologis. "Sistem ini kurang membantu proses alamiah dunia pendidikan," tutupnya. 

Sebelumnya, sekolah setingkat SMA dan SMK di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah menyatakan akan menerapkan sistem pembelajarn dengan model SKS. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) setempat mengungkapkan sistem demikian akan mulai diberlakukan pada tahun ajaran baru 2015/2016. Model ini dilakukan sebagai pengganti program akselerasi yang sebelumnya sudah dihapus oleh pemerintah pusat. 


Sumber: Republika

Pendidikan Keagamaan