Wednesday, 19 November 2014

Anak-Anak Difabel Sebaiknya di Sekolah Inklusif

Republika/ Yasin Habibi

Siswa tuna rungu mengikuti lomba menggambar tingkat SLB Se-Jakarta Timur di Gedung Serba Guna 3 Asrama Haji, Jakarta Timur, Rabu (23/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pendidikan Doni Koesoema A. mengusulkan, sebaiknya anak-anak  difabel sekolah di sekolah inklusif. Sebab semaksimal mungkin anak-anak difabel tetap mendapat akses ke sekolah umum.

Seharusnya, ujar Doni, terlebih dahulu anak-anak difabel masuk sekolah umum. Setelah ada penilaian berjenjang yang menunjukkan bahwa mereka perlu sekolah khusus, lalu dimasukkan ke sekolah khusus.

Terkait anak tuna grahita jika tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah umum, Doni mengatakan, anak tersebut dimasukkan ke sekolah inklusif terlebih dahulu. Setelah itu harus menjalani penilaian untuk dimasukkan ke kelas khusus.

Doni menambahkan, prinsipnya semaksimal mungkin anak-anak difabel digabung anak-anak lain di sekolah umum dengan kurikulum umun. Bila mereka tidak bisa mengikuti, mereka bisa mengikuti proses penilaian.

"Setelah itu baru mereka masuk ke sekolah khusus. Ini demi kebaikan dan perkembangan mereka," kata Doni.


Sumber: Republika

Menanam Jiwa Entrepreneur Sejak Dini



Jumat, 14 November 2014, 14:00 WIB
 
Para pelajar umumnya belum memiliki pemikiran untuk bercita-cita menjadi seorang wirausaha. Kebanyakan dari mereka masih memikirkan akan bekerja di mana mereka kelak setelah lulus dari bangku kuliah. Hanya sedikit sekali anak muda yang berpandangan membuka dunia usaha dan bekerja untuk diri mereka sendiri.

Namun, pola pikir seperti itu tampaknya akan mulai terkikis dalam beberapa tahun ke depan. Mereka akan memiliki pandangan lebih luas untuk menentukan karier sebagai pekerja atau pengusaha. Hal ini ditandai dengan masuknya pelajaran kewirausahaan dalam Kurikulum 2013 yang diajarkan pada siswa SMA/SMK-Sederajat.

Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIMPI) Raja Sapta Oktohari menilai, dimasukkannya kewirausahaan dalam Kurikulum 2013 merupakan hal baik. Adanya pendidikan enterpreuner di jenjang SMA, berarti  jiwa-jiwa anak muda di Indonesia telah dijejali untuk mengetahui pentingnya finansial. Raja menjelaskan, budaya Timur masih sering memanjakan anak-anaknya sehingga mereka tidak familier akan pentingnya manajemen keuangan. Alhasil, kemandirian dalam hidup dan menghasilkan uang melalui wirausaha masih minim.

Di negara maju, anak kecil sudah diajarkan pentingnya mencari uang sendiri. Dari uang tersebut, mereka diberi tahu cara menabung dan berbagai macam manajemen finansial hasil kerja keras mereka. "Maka, penting untuk menanamkan mental wirausaha dan cara mengelola keuangan sejak kecil," kata Raja.

Dengan pendidikan kewirausahaan lebih dini, sebuah negara menciptakan banyak enterpreuner berkualitas. Sehingga, mereka menjadi penyokong utama dalam memajukan dan menyejahterakan bangsa untuk bersaing dengan negara lain.

Dalam mengukur apakah sebuah negara berkembang bisa menjadi negara maju, bisa dilihat dari banyaknya wirausahawan di negara tersebut. Banyak pakar menyebutkan, sebuah negara disebut maju jika mereka memiliki dua hingga empat persen entrepreuner dari total jumlah penduduk. Melihat ungkapan ini, wajar saja bila masih banyak penduduk Indonesia yang bergelut dengan perut. Dengan total penduduk lebih dari 230 juta jiwa, enterpreuner di negeri kaya sumber daya alam ini belum menyentuh angka dua persen.

Bonus Demografi yang akan terjadi di Indonesia beberapa tahun ke depan, wajib dipikirkan secara matang. Banyaknya usia produktif yang belum diimbangi dengan bertambahnya lapangan pekerjaan yang sesuai akan membuat lebih banyak pengangguran berkeliaran.  Dengan demikian, membuka lapangan usaha sebenarnya menjadi pilihan paling tepat dalam kondisi tersebut.

Di sisi lain, menanggapi masuknya kurikulum wirausaha di sekolah, Raja berharap, pemerintah tak sekadar memberikan program dalam bentuk pendidikan saja. Pemerintah juga diminta turut aktif membantu mereka menjadi wirausahawan sesungguhnya. "Bantu mereka dengan permodalan, legalitas. Ini semua bisa dilakukan oleh Malaysia, masa kita tidak bisa," kata Raja.

Sosialpreneur
Dalam berwirausaha, keuntungan jelas menjadi hal paling dicari setiap entrepreuner. Namun, di balik itu semua, hakikatnya wirausaha pun bersinggungan dengan bentuk lain, salah satunya sisi sosial. Dari sebuah wirausaha, seseorang bukan hanya bisa menghasilkan pemasukan. Mereka pun mampu membantu merealisasikan tujuan dalam pemecahan masalah sosial dengan membangun bisnis.

Salah satu sekolah yang mencoba melakukan pendidikan sosialpreuner adalah SMA 56 dan 79 Jakarta. Kedua sekolah ini diberikan pelatihan dan keterampilan selama satu semester mengenai kewirausahaan sosial dari Bank DBS Indonesia yang bekerja sama dengan Provisi Education.

Mona Monika, head of Group Strategic Marketing and Communication DBS Indonesia, menuturkan, pengembangan socialpreuner dikarenakan para pelajar diharap bukan hanya memikirkan diri mereka sendiri. Namun, juga memperhatikan lingkungan sosial di sekitar mereka. "Kami berharap dari pendidikan ini pemikiran segar anak muda dapat dikembangkan menjadi bisnis riil  dan memberikan solusi permasalahan sosial di Indonesia," ujar Mona.

Pemerhati pendidikan Doni Koesoema A. mengatakan, satu hal yang penting ketika wirausaha masuk dalam Kurikulum 2013 adalah menanamkan semangatnya. Dalam menjalankan wirausaha, seseorang pasti mempunyai semangat, kegigihan untuk pantang menyerah begitu saja. Konsep dan hal ini yang sebaiknya ditanamkan kepada siswa dengan adanya pelajaran kewirausahaan.

Doni  menilai, jika pemerintah bersungguh-sungguh ingin memperbanyak entrepreuner dari kalangan pelajar, seharusnya pendidikan wirausaha diberikan guru-guru yang berpengalaman di bidang tersebut. Namun, pada praktiknya guru-guru di banyak sekolah belum mempunyai keahlian tersebut.

"Bagaimana mau diajarkan kepada murid jika gurunya tidak mengerti, nanti bisa salah kaprah, asal-asalan," kata Doni.

Selain itu, dengan pembimbing yang kurang ahli, para pelajar  akan terlena dengan dunia wirausaha tanpa memikirkan pelajaran lain sebagai penunjang tumbuh kembang mereka. Padahal, sebagai anak muda, selain  menciptakan uang, mereka pun mesti mengerti ilmu-ilmu lain. Karena, bisa jadi dari ilmu tersebut mereka bisa mengembangkan wirausaha baru dari ilmu yang mereka miliki.

Aini, salah seorang pelajar kelas XI SMAN 79 Jakarta bersama sekitar 14 orang temannya membuat kelompok bernama PT Kakiku. Nama PT hanya sebutan, bukan merujuk sebagai perseroan terbatas. Sasaran Kakiku adalah  membantu menyadarkan para bomber, panggilan untuk mereka yang suka mengotori tembok-tembok dinding bangunan di Kota Jakarta. 

Nantinya para bomber ini diajak untuk mengerjakan desain tersebut dan akan diberikan bayaran sesuai perjanjian. Aini berharap bisa menyadarkan tindakan mereka yang kurang baik. Akan lebih bermanfaat jika keahlian mereka disalurkan untuk hal lebih positif.


Sumber: Republika

Pendidikan Keagamaan