Sabtu, 23
Mei 2015 | 08:56
Jakarta - Menteri Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Muhammad Nasir sedang gencar
"membersihkan" perguruan tinggi (PT) yang tidak memenuhi syarat dan
menerbitkan ijazah tanpa perlu menjalani perkuliahan. Masalah ini sebenarnya
sudah lama berlangsung, dan dianggap sebagai bisnis menggiurkann mengingat
permintaannya sangat tinggi.
Darmaningtyas, seorang pengamat
pendidikan, mengungkapkan kalau fenomena ijazah palsu muncul karena tuntunan
persyaratan dalam pekerjaan. Seperti pegawai negeri maupun swasta yang
mensyaratkan ijazah sarjana untuk bisa bekerja atau mendapat kenaikan pangkat.
"Bagi mereka yang tidak
memiliki ijazah strata satu (S1) dan sementara persyaratan dapat diterima kerja
itu minimum S1, maka mereka akan mencari ijazah S1 bagaimana pun caranya,"
kata Tyas sapaan Darmaningtyas kepada Suara Pembaruan, Sabtu, (23/5).
Dia menambahkan, demikian pula
dengan ijazah S3, mereka juga akan mencari cara mendapatkannya dengan cara
paling mudah. Adanya kebutuhan ijazah instan inilah yang lalu dijadikan peluang
usaha. Biasanya ijazah palsu diperjualbelikan oleh perguruan tinggi yang tidak
memiliki kredibilitas.
"Untuk perguruan tinggi yang
sudah ternama cenderung tidak mau memberikan ijazah palsu karena itu sama saja
dengan bunuh diri," kata Tyas.
Menurutnya, sanksi bagi PT yang
mengeluarkan ijazah palsu cukup diumumkan secara terbuka ke media massa. Ia
memastikan masyarakat akan menghakimi secara sosial.
"Itu sudah pernah terjadi pada
beberapa PTS yang tidak bisa saya sebutkan. Bahkan PTS itu tidak menjual ijazah
palsu, tapi hanya obral nilai pada beberapa mahasiswa yang berani membayar
besar. Meskipun demikian, dalam tempo sekejap reputasinya hancur, apalagi bila
ketahuan menjual ijazah palsu pasti hancur," ujar Tyas.
Dia menekankan, jika sampai ada PT
yg menjual ijazah palsu berarti Kopertis dan Dikti juga bertanggung jawab
karena itu berarti lemah dalam pengawasan.
Pemerhati pendidikan, Doni Koesoema,
mengatakan, pemalsu ijazah adalah pelaku kriminal dan harus dituntut secara
hukum. Lalu untuk lembaga yang mengeluarkan harus diusut dan dikenai sanksi
hukum.
"Semua harus diusut dan
dihukum," ujarnya.
Maria Fatima Bona/MUT
Sumber: BeritaSatu