Thursday 3 September 2009

Krisis Universitas

Doni Koesoema A

"Universitas memasuki ambang keruntuhannya ketika proyek historis kebudayaan yang selama berabad-abad menjadi fondasinya kini tak dapat dipertahankan lagi.“Ketika kapitalisme trans-nasional telah mengikis makna kebudayaan, dan ketika sistem kelembagaan menunjukkan kemampuannya berfungsi secara mandiri tanpa referensi pada terminologi di atas (baca, kebudayaan), peranan pendidikan tak dapat dipahami pertama-tama dalam kerangka pengayaan kebudayaan.”(Readings, 1996;119).

Krisis Universitas. Inilah yang ditengarai oleh Bill Readings dalam bukunya The University in Ruins (1996,5).

Perpisahan antara universitas dan kebudayaan menghasilkan krisis fundamental yang menjangkiti universitas, yaitu krisis kebenaran. Krisis kebenaran pada gilirannya akan membawa krisis bagi kemanusiaan itu sendiri.

Tentang relasi antara kebenaran, kebudayaan dan pertumbuhan autentik kemanusiaan kita, Konsili Vatikan II (1965) melalui konstitusi pastoral Gaudium et Spes menegaskan peran penting kebudayaan dalam kerangka pertumbuhan kemanusiaan secara penuh. “Salah satu cara bagi manusia untuk dapat mencapai kebenaran dan kepenuhan dirinya secara autentik adalah melalui kebudayaan, yaitu, dengan mengembangkan nilai-nilai dan karunia-karunia alamiah yang dimilikinya”.

Fenomena kapitalisasi universitas, pragmatisme tujuan pendidikan universitas, makin jauhnya universitas dalam reksa pengabdiannya pada masyarakat, macetnya roh penelitian, dll, hanyalah manifestasi dari krisis fundamental ini. Situasi ini mengajak kita untuk mempertanyakan kembali hakekat sebuah universitas dalam perjalanannya mengemban amanat kemanusiaan melalui proyek historis kebudayaan yang pernah menjadi fondasinya.

Pencarian kebenaran

Universitas, meminjam kalimat J.H.Newman dalam The Idea of a University(1852), dari dirinya sendiri adalah sebuah lembaga yang mengklaim memberikan pengajaran pengetahuan universal. Tujuan universitas adalah pencarian kebenaran. Sebab kebenaran merupakan objek pengetahuan.

Kebenaran yang dimaksud Newman adalah fakta-fakta dan berbagai macam hubungan yang berdiri satu sama lain secara harmoni sebagai subyek dan predikat dalam kaitan logis. Semua cabang pengetahuan memiliki hubungan satu sama lain secara intim. Apa yang dipelajari sebagai isi dan subyek pengetahuan sesungguhnya adalah satu sebagaimana telah dikehendaki dan diatur oleh sang Pencipta.

Kecenderungan untuk mencari kebenaran merupakan bawaan alam yang dimiliki manusia sejak lahir. Namun karena kebenaran itu terpendar dalam berbagai macam fakta, ada dalam berbagai macam cabang ilmu, tak mengherankan jika manusia memiliki keterbatasan dalam memahami kebenaran. Meski manusia memiliki kapasitas dan kemampuan untuk memahami kebenaran yang terbentang di hadapannya, apa yang dipahaminya selalu bersifat sektoral.

“Akal budi manusia tidak dapat memahami keseluruhan fakta yang terbentang dihadapannya hanya dengan memandangnya secara sekilas. Ia tidak dapat menguasainya dalam seketika. Sama seperti orang yang rabun, kedua bola matanya yang miskin kapasitas itu harus menjelajah setapak-demi setapak volume tak terbatas yang terbentang dihadapannya untuk diselidiki,” tulis Newman.

Karena itu, tujuan pendidikan di universitas tak lain adalah penjembaran wawasan terhadap dunia (the enlargement of mind) dan penyuburan kemampuan berpikir (cultivation of mind) melalui cara-cara yang oleh Newman disebut dengan kebiasaan berpikir jernih (a philosophical habit of mind). Manusia memaknai hidupnya dengan merangkai kebenaran demi kebenaran yang dipahaminya sehingga membentuk sebuah Kebenaran dengan huruf besar.

Karena luasnya kenyataan yang terbentang sebagai panorama di hadapan kita, kebenaran yang kita miliki, terlebih kebenaran ilmu pengetahuan, adalah relatif terhadap kebenaran yang lain. Dalam proses pencarian kebenaran ini tetap berlaku apa yang ditulis Cicero, “hic ab arte suâ non recessit,” (seseorang itu benar sejauh apa yang disampaikan berdasar pada bidang keahliannya).

Kecenderungan menganggap bahwa kompleksitas dunia dan misteri manusia hanya dapat dipahami dan dinilai berdasarkan kriteria kerangka kerja ilmu tertentu merupakan manifestasi sempitnya visi intelektual seseorang. Deduksi para ilmuwan terhadap realitas sudah selayaknya dihadapkan dengan kebenaran lain (kebenaran teologis, kebenaran antropologis, dll), sehingga antar ilmu terjadi verifikasi, saling melengkapi, dan saling mengoreksi. Hanya dengan cara inilah manusia mampu memiliki visi yang luas dan lebar tentang kenyataan yang terbentang dihadapannya. Inilah yang menjadi ciri kerja sebuah universitas.

Karena itu, universitas memiliki peranan penting dalam kerangka pendidikan kemanusiaan. Universitas semakin mengukuhkan keberadaan manusia sebagai mahluk yang mampu berpikir, memahami diri dan dunianya. Universitas meningkatkan kapasitas manusia dalam kerangka mencari kebenaran, baik kebenaran yang terpantul dalam keteraturan alam maupun yang mengatasi alam, yaitu, kebenaran tentang sang Pencipta. Universitas akan kehilangan raison d’etre-nya jika melepaskan diri dari tujuan asasinya, pencarian kebenaran.

Tegangan prioritas

Sejak awal abad-20, perdebatan sekitar krisis universitas berkisar pada satu permasalahan pokok yaitu, tegangan prioritas. Sebagai contoh, Jerman begitu bangga dengan model penciptaan para professor yang peneliti yang memiliki keahlian. Inggris sebaliknya lebih menekankan bidang pengajaran tingkat sarjana supaya para mahasiswa memiliki pertumbuhan moral dan intelektual sebagai pemimpin masyarakat.

Bagi Ortega y Gasset (1946), misalnya, universitas semestinya menjadi sarana transmisi kebudayaan di mana diseminasi kekayaan nilai-nilai menjadi menjadi pandu yang efektif bagi masyarakat di tengah belantara modernitas. Kebudayaan bukanlah sains, tulisnya, melainkan “the vital system of the period”. Transmisi kebudayaan merupakan peranan penting sebuah universitas. Karena itu, ketika universitas mulai meninggalkan tugasnya sebagai agen transmisi kebudayaan dan melemparkan dirinya pada kepentingan praktis profesional pendidikan dan penelitian barbarisme adalah konsekuensi yang kita reguk. Dunia dapat diselamatkan dari berbarisme peradaban hanya jika universitas dapat mempertahankan perannya sebagai garda depan penjaga kebudayaan.

Tegangan prioritas juga dialami oleh universitas kita, misalnya, tegangan dalam memaknai tri darma perguruan tinggi. Kemungkinan melaksanakan tri darma perguruan tinggi secara serentak merupakan sesuatu yang tidak mudah. Di satu sisi, memberi prioritas pada salah satu, bisa jadi malahan memangkas dua misi lain yang sama sama penting. Namun prioritas apapun yang dipilih, jika dimensi esensial pencarian kebenaran ditinggalkan, universitas kita akan makin kehilangan relevansi dan kaitannya dengan kehidupan masyarakat sebagai kumpulan warga yang menjiarahi kebudayaan secara bersama.

Kejernihan horison intelektual

Adalah kekaburan visi intelektual yang menjadi penyakit semua manusia secara natural. Ini terjadi tak hanya pada mereka yang buta aksara, namun mereka yang bergelar doktor dan profesor pun sama saja. Mereka yang telah memperoleh pendidikan biasanya mampu melepaskan diri dari kungkungan kekaburan visi ini. Namun masih banyak juga para cendekiawan yang terbelenggu pada kekaburan visi intelektual ini, sehingga mereka memiliki pandangan sektarian tersekat-sekat.

Universitas semestinya menjadi tempat untuk mendewasakan kemanusiaan kita dengan membekali para mahasiswanya dengan ketajaman dan kejernihan visi dalam kerangka pencarian kebenaran. Universitas semestinya mencetak orang-orang yang memiliki pengetahuan universal, dengan pandangan yang luas dan horison pemikiran yang luas.

Universitas akan kehilangan esensinya jika hanya mengeruk keuntungan dari bidang-bidang yang ilmu mendatangkan uang dan kekuasaan. Terpinggirkannya cabang-cabang ilmu yang dinilai tidak produktif (baca, tak menghasilkan uang) seperti, filsafat, sejarah, antropologi, teologi, dll, merupakan contradictio in terminis sebuah universitas yang mengklaim dirinya sebagai sebuah lembaga yang memberikan pengajaran pengetahuan universal.

Universitas yang menghasilkan orang-orang yang abai pada kebenaran akan menjerumuskan peradaban kita pada barbarisme. Kita tidak dapat membayangkan apa jadinya jika para wakil rakyat kita, yang menurut catatan litbang Kompas(5/8) memiliki kualitas pendidikan yang memadai (hampir 70% adalah lulusan sarjana), namun mereka tidak memiliki visi pada kebenaran dan memiliki pandangan sektarian. Keputusan dan kebijakan yang mereka buat akan menjadi bencana bagi kemanusiaan, sebab mereka lebih mementingkan kepentingan grup atau kelompoknya semata, tanpa melihat kepentingan sebuah bangsa yang mengaku bernaung di bawah pita Bhineka Tunggal Ika. Jika ini yang terjadi krisis kemanusiaanlah yang akan segera kita tuai dalam kehidupan berbangsa.

Visi bhineka tunggal ika, mungkin itulah kata yang tepat bagi tujuan pendidikan di Universitas kita. Indonesia yang multi etnis dan plural ini hanya akan dapat bertahan kukuh jika setiap warganya memiliki visi yang bhineka, namun dijiwai oleh satu kerinduan yang sama, yaitu, pencarian kebenaran demi terbangunnya sebuah peradaban kemanusiaan yang makin bermartabat.

Doni Koesoema,A Penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

KOMPAS, Selasa 7 september 2004

Pendidikan Keagamaan