Tuesday 22 February 2011

Menumbuhkan Keutamaan Kewarganegaraan

Doni Koesoema A

Penyakit gampang menghunus pedang, melempar batu, membakar harta benda orang lain, dan menghabisi nyawa pelaku kejahatan merupakan tindakan tercela dalam masyarakat beradab yang demokratis.

Apalagi penganiayaan dan pembunuhan karena perbedaan keyakinan (agama, politik, moral), ini benar-benar pelecehan terhadap martabat manusia yang dari sono-nya dibekali oleh Sang Pencipta kemampuan untuk berkeyakinan. Dunia pendidikan seharusnya tertantang untuk menumbuhkan keutamaan warga negara yang beradab dan demokratis. Inilah salah satu tantangan besar pendidikan karakter.

Netralitas negara

John Rawls, penganjur liberalisme politik, mengatakan bahwa negara yang demokratis mestinya hanya bertindak melalui prinsip-prinsip yang dapat dijustifikasi dan diterima oleh seluruh warga negara, mengacu pada apa yang disebut sebagai overlapping consensus berkaitan dengan norma-norma dan prioritas bagi kebijakan lembaga politik, sosial, dan ekonomi. Terhadap persoalan moral kontroversial, apalagi berkaitan dengan keyakinan iman di mana overlapping consensus tidak terdapat, negara mesti bersikap netral.

Liberalisme politis Rawls menyatakan bahwa sekolah umum, baik yang dikelola negara maupun masyarakat, mesti meng- arahkan peranan mereka dalam pengembangan pendidikan karakter pada penumbuhan keutamaan warga negara agar dapat menopang lembaga dan kultur demokratis. Hal ini penting karena anggota masyarakat itu terdiri atas berbagai latar belakang agama, paradigma moral, ideologi politik, dan tradisi kebudayaan yang berbeda-beda, dan sering kali mereka memiliki ketidaksepakatan pemahaman konseptual tentang kebaikan (good).

Untuk itu, masyarakat demokratis mesti mencari titik temu dan bekerja sama mencari kese- pakatan yang dapat diterima oleh semua tanpa mengesampingkan keyakinan pribadi mereka.

Sama tapi berbeda

Demokrasi Rawls secara filosofis bisa dimengerti karena mengukuhkan pandangan egalitarian bahwa manusia diciptakan sama. Karena itu, kerja sama dalam masyarakat demokratis mesti mengabaikan perbedaan latar belakang keyakinan, baik agama, politik, moral, maupun tradisi kebudayaan yang mereka miliki. Di sini, manusia melangkah pada ranah komunikasi yang dapat disepakati oleh semua orang melalui apa yang ia sebut sebagai penalaran publik. Dalam masyarakat demokratis, penalaran publik hadir dalam sebuah lembaga semacam Mahkamah Konstitusi.

Dari segi ini, baik presiden, komunitas religius mayoritas, maupun mayoritas masyarakat tidak dapat menentukan kesepakatan sendiri tanpa ditengahi oleh lembaga penalaran publik ketika menentukan hak asasi warga negara, terutama terkait hak-hak konstitusional esensial dan keadilan dasar.

Demokrasi Rawls secara konseptual memperkukuh tesis bahwa manusia diciptakan tanpa perbedaan. Manusia diciptakan sama, yaitu sama-sama diciptakan telanjang, memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk menentukan dirinya sendiri, baik kepercayaan, keyakinan iman, tradisi budaya, maupun religi.

Namun, meski manusia dilahirkan sama, preferensi dan keinginan individu berbeda karena sejarah dan pengalaman individu berbeda. Itu semua terbentuk melalui sosialisasi, akuisisi, kompromi, negosiasi, dan edukasi yang dialami sejak kecil. Jadi, perbedaan adalah kodrat dalam kehidupan itu sendiri.

Kegagalan negara

Kegemaran masyarakat menghunus pedang untuk menganiaya kelompok minoritas mesti dipahami sebagai kegagalan negara dan lembaga pendidikan dalam mendidik anggotanya. Pendidikan mestinya membentuk individu sebagai pribadi berkarakter, yang mampu mengembangkan potensi intelektual secara adekuat, kritis, bertanggung jawab.

Bahwa kelompok mayoritas—baik yang menguasai aparat ideologis-teologis (agamawan), ideologis-politis (politisi), maupun para penunggang liar kepentingan teologis, politis, dan ekonomis—menguasai berbagai macam sumber (kekuasaan, agama, politik, dan fisik), tidak berarti mereka punya hak dan dibenarkan secara moral mengganyang kalangan minoritas.

Menumbuhkan keutamaan kewarganegaraan hanya bisa tumbuh jika lembaga pendidikan benar-benar menanamkan arti perbedaan dalam akal, hati, dan jiwa setiap individu. Mengajarkan dan menyadarkan bahwa individu adalah pribadi yang unik dan berbeda merupakan sebuah keharusan. Kodrat manusia sebagai makhluk yang luhur dan bebas itu sama.

Pendidikan karakter mesti menumbuhkan rasa hormat atas perbedaan dan rasa keadilan dengan cara melindungi dan membela mereka yang lemah, kecil, minoritas, tertindas, dan terpinggirkan. Bukan karena mereka miskin atau kecil, melainkan karena mereka adalah sama-sama makhluk yang bermartabat.

Doni Koesoema A Konsultan Pendidikan

Dimuat di KOMPAS, 22 Februari 2011

Kebebalan Moral Penguasa

Oleh Doni Koesoema A

Belum selesai kasus Gayus, keluhan gaji Presiden, sekarang muncul buku-buku tentang SBY dalam paket sumbangan buku sekolah. Lebih lagi, dana yang digunakan adalah Dana Alokasi Khusus yang mestinya dipergunakan demi pengembangan pendidikan. Alih-alih menyediakan buku bermutu, dana rakyat ini dipakai untuk promosi politik gratis bagi pemilih muda. Pengurus negeri ini sudah benar-benar lupa tugas mereka sebagai pelayan rakyat. Ranah penting sekolah pun dirusak demi dagangan politik murahan!

Entah sengaja atau tidak, entah sesuai dengan penggunaan dana alokasi khusus, kehadiran buku-buku tentang SBY merusak rasa keadilan masyarakat, melecehkan lembaga pendidikan dan menunjukkan kebebalan moral para pengurus negeri.

Keadilan ternoda

Kehadiran buku-buku tersebut merusak rasa keadilan karena di tengah terpuruknya dunia pendidikan yang sering diacak-acak dengan pengambilan kebijakan pendidikan dadakan, yang mengacaukan seluruh dinamika pembelajaran di sekolah, pemerintah atau ’oknum’ pemerintah lebih suka memancing di air keruh untuk mencari keuntungan bagi diri dan kelompoknya.

Sementara perhatian pada pengembangan dunia pendidikan jangka panjang diabaikan, seperti kebijakan UN yang tidak pernah dipikirkan secara jauh dan visioner, demi kepentingan politik kelompok kepentingan sempit mereka rela mengobok-obok sekolah dengan membombardir buku-buku tentang SBY. Sasarannya jelas, anak-anak SMP, khususnya kelas IX adalah pemilih muda potensial dalam pemilu 2014. Jika demi kepentingan politiknya mereka bisa memikirkan jangka jauh, kenapa tidak dalam dunia pendidikan?

Ketidakadilan itu terjadi karena hanya kelompok kepentingan tertentu, yang memiliki kepentingan dan kekuasaan dapat mengobok-obok sekolahan. Alasan bahwa buku-buku tersebut telah lolos sebagai buku pengayaan yang telah dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional, tidak dapat menjadi pembenaran bahwa buku-buku tersebut beredar di sekolah. Alasan-alasan itu mengecilkan arti buku-buku pendidikan lain, seperti buku ensiklopedi, kamus pengetahuan, seri-seri ilmu pengetahuan, yang lebih dibutuhkan bagi pengembangan pendidikan. Dana rakyat itu untuk pengembangan pendidikan, bukan untuk promosi citra politik figur tertentu.

Melecehkan sekolah

Kehadiran buku-buku SBY juga melecehkan lembaga pendidikan, karena lembaga pendidikan sudah tidak lagi dianggap sebagai ruang penting bagi pembentukan generasi bangsa yang cerdas, terbuka, dan berhak memperoleh semua informasi penting yang relevan dengan tahap perkembangan pendidikannya. Pengetahuan anak-anak dibatasi, atau diarahkan serta disempitkan pada gambaran figur tertentu.

Selain itu, lembaga pendidikan tidak ubahnya sebagai sebuah pasar, di mana kelompok politik bisa berkampanye secara gratis dengan mempergunakan struktur, kultur, dan kekuasaan yang dimilikinya atas lembaga pendidikan. Kampanya terselubung seperti ini membuat lembaga pendidikan bukan menjadi lembaga pencerahan, melainkan menjadi lembaga indotrinasi, dengan mengarahkan pengetahuan, pemahaman, tentang kehidupan politik masyarakat pada satu aliran politik tertentu.

Kebebalan moral

Kebebalan moral para pengurus negeri semakin kentara ketika mereka mempergunakan kekuasaan yang dimiliki, entah itu kekuasaan politik, uang, dan kewenangan pengambilan kebijakan yang telah bekerjasama dengan makelar politik dalam rangka mencari pemilih muda potensial 2014. Mereka bebal secara moral karena kepentingan perbaikan dunia pendidikan jangka panjang tidak mereka perhatikan, sebaliknya kepentingan politik jangka panjang merekalah yang mereka kejar.

Kita ingat, sampai sekarang sosialisasi peraturan Ujian Nasional saja belum tersebar ke seluruh negeri, sementara UN semakin mendekat. Kebijakan Ujian Nasional tidak dapat dibuat seperti orang main sulap atau dadu yang tinggal dilempar lalu tahu angkanya berapa. Kebijakan pendidikan nasional mesti dipikirkan jangka panjang.

Bahkan mestinya, sekarang ini, pemerintah mesti sudah memikirkan dan mengeluarkan kebijakan tentang Ujian Nasional yang akan berlaku pada tahun 2012. Dunia pendidikan bekerja berdasarkan ritme yang pelan tapi pasti, dan tidak dapat diobok-obok dengan kebijakan yang dikeluarkan secara mendadak, sebab akan memengaruhi seluruh dinamika pendidikan dan pengajaran di kelas.

Pemerintah mesti segera memperbaiki citranya dalam dunia pendidikan jika sungguh-sungguh ingin mengadakan perbaikan pendidikan bagi negeri ini. Citra itu bisa diperbaiki melalui pembuatan kebijakan pendidikan jangka panjang. Yang mendesak adalah kebijakan tentang UN yang masih menjadi duri dalam daging bagi dunia pendidikan. Sementara itu, secepatnya pemerintah harus tegas bertindak untuk mengusir para pedagang politik yang saat ini mengobok-obok sekolah dengan dagangan buku mereka.

Buku-buku politik itu sungguh melanggar rasa keadilan masyarakat, melecehkan lembaga pendidikan, dan menjadi tanda kebebalan moral para pemimpin bangsa, yang justru memperburuk citra mereka di mata anak-anak muda. Buku-buku SBY mestinya segera ditarik dari peredaran di sekolah-sekolah kita!

Doni Koesoema A. Konsultan Pendidikan

Dimuat di KOMPAS, 28 Januari 2011

Pendidikan Keagamaan