Showing posts with label SNMPTN. Show all posts
Showing posts with label SNMPTN. Show all posts

Thursday, 26 May 2016

Pemerintah Diminta Cegah Sekolah Manipulasi Nilai

PEMERINTAH diminta mencegah upaya manipulasi nilai yang dilakukan sekolah pada proses penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri (PTN). Upaya manipulasi nilai mungkin terjadi pada seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) dengan kuota 40% dan seleksi mandiri dengan kuota 30%. "Jalur undangan tanpa tes (SNMPTN) dan mandiri yang keduanya sebesar 70% malah membuka peluang manipulasi nilai. Pemerintah harus memastikan kedua seleksi itu bisa menyaring anak berprestasi tanpa curang," ujar pengamat pendidikan Doni Koesoema A, di Jakarta, kemarin.

Di sisi lain, dengan komposisi seleksi mandiri sebesar 30%, artinya pemerintah pro pada orang kaya karena jalur mandiri ialah jalur khusus dengan biaya sangat mahal. Ia mengusulkan komposisi seleksi mahasiswa PTN terdiri dari 10% untuk jalur SNMPTN dan 10% untuk seleksi mandiri. Sisanya, kuota 80% untuk jalur seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) atau dikenal ujian tulis. 

"Itu sesuai jumlah anak berbakat yang berkisar 10% dan jumlah orang kaya dalam grafik normal juga 10%." Tahun ini Kemenristek Dikti menentukan kuota SNMPTN dan seleksi mandiri sebesar 40% dan 30%. Sisanya, jalur SBMPTN sebesar 30%. Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Herry Suhardiyanto menyatakan, meski total komposisi SNMPTN dan mandiri 70%, semua siswa dari latar belakang SMA, SMK, dan MA tetap berpeluang sama masuk PTN.

Namun, ia menekankan semua pihak bekerja sama agar mencegah manipulasi nilai oleh pihak yang berkepentingan atas kedua jalur itu. 

Sosialisasi 

Di Padang, Sumbar, panitia SNMPTN wilayah Sumbar akan menyosialisasikan cara pemilihan program studi (prodi) pada siswa kelas tiga SMA dan sederajat di provinsi itu. Anggota panitia SNMPTN Universitas Andalas Syafwardi menjelaskan, pada sosialisasi, pihaknya menyertakan informasi angka rasio keketatan atau perbandingan satu dosen dan jumlah mahasiswa pada prodi tersebut. 

Dengan begitu, siswa memiliki gambaran tentang prodi yang akan dipilih. "Sebagai contoh, siswa SMA diperlihatkan peluang SMA-nya bisa masuk PTN dengan perbandingan SMA favorit lainnya. Bila SMA-nya jauh di peringkat bawah dan prodi idamannya favorit, dengan kemampuan pas-pasan ia bisa beralih ke prodi lain." 

SNMPTN ialah jalur masuk tanpa tes yang berdasarkan nilai rapor dan indeks integritas sekolah. Penilaian indeks dilakukan dari hasil pengamatan dan data kejujuran UN di tiap sekolah. Proses SNMPTN dimulai dari pengisian pangkalan data sekolah dan siswa (PDSS) pada 18 Januari hingga 20 Februari 2016. Kemudian, pendaftaran pada 29 Februari hingga 12 Maret 2016. Selanjutnya seleksi pada 22 Maret-21 April dan pengumuman SNMPTN pada 10 Mei 2016. (Ant/H-2)

Sumber: Media Indonesia 

SNMPTN dan Distorsi Pendidikan




Sabtu, 19 Maret 2016 00:24
Oleh: Moh Yamin Dosen di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, penulis buku-buku pendidikan

Pendaftaran Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2016 resmi ditutup (12/03/16). Dari 1.363.051 siswa yang ditargetkan, baru 641.296 siswa yang mendaftar. Dari jumlah itu, baru 624.931 siswa yang melakukan finalisasi. Dalam konteks ini, SNMPTN merupakan salah satu cara menjaring siswa untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi negeri (PTN).

SNMPTN merupakan seleksi yang dilakukan PTN masing-masing di bawah koordinasi panitia nasional dengan seleksi berdasarkan hasil penelusuran prestasi akademik calon mahasiswa. Pihak sekolah mendaftarkan siswa mereka yang memenuhi syarat ikut SNMPTN ini. Syaratnya antara lain berdasarkan nilai rapor, nilai ujian nasional, dan prestasi akademis lainnya selama di SMA.

Selanjutnya, penulis dalam konteks ini tidak berbicara tentang kuantitas peserta namun substansi SNMPTN dengan basis nilai rapor, nilai ujian nasional, dan prestasi akademis lainnya sebagai rujukan. Dalam pandangan filsafat pendidikan skolastik (Doni Koesoema A, 2007: 72), menjadikan nilai rapor, nilai ujian nasional, dan prestasi akademis lainnya yang merupakan tujuan pendidikan dasar, tentu berbeda dengan tujuan penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Lebih tepatnya, ketika UN harus dipaksa menjadi alat ukur dalam proses seleksi penerimaan mahasiswa baru, hal tersebut telah merancukan tujuan pendidikan tinggi. Sebab UN sejatinya hanya bertujuan mengukur prestasi yang dimiliki oleh anak didik secara pribadi yang disebut tes sumatif. Sebagai akibatnya, apakah ia telah menguasai materi pelajaran atau tidak. Bila berhasil, ia lulus namun apabila gagal dalam menjawab soal-soal yang di-UN-kan, maka ia dinyatakan tidak lulus.

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003, UN sebagai bagian dari proses evaluasi akhir sebuah hasil pendidikan hanya diselenggarakan untuk pendidikan sekolah, bukan perguruan tinggi. UN merupakan salah satu satu penentu yang menjustifikasi keberhasilan pendidikan anak didik kendatipun dalam pelaksanaannya belum dilakukan secara serius (baca: UN).

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana seharusnya ujian masuk perguruan tinggi perlu dipahami supaya tidak merancukan tujuan inti proses pendidikan tinggi? Dalam proses seleksi yang selama ini digunakan di pendidikan tinggi, ujian masuk ditujukan untuk mengukur kompetensi dan potensi akademik yang dimiliki seorang calon mahasiswa baru yang disebut tes formatif. Lebih tepatnya, ia bermaksud untuk melakukan diskriminasi minat dan bakat yang dimiliki oleh setiap calon mahasiswa baru. Sehingga tidak menutup kemungkinan, seorang siswa yang mendapat nilai terbaik dalam UN dan rapor sekolah tidak menjamin akan diterima masuk sebuah perguruan tinggi tertentu. Kondisi berbeda akan terjadi pada seorang calon mahasiswa baru yang dalam UN-nya hanya mendapat skor biasa. Namun karena memeroleh nilai tinggi atau sesuai dengan kriteria lembaga pendidikan tinggi terkait dalam proses seleksi masuk perguruan tinggi, maka ia pun akan bisa diterima.

Oleh karenanya, tes masuk perguruan tinggi dalam konteks demikian menggunakan pandangan normatif-sentris yang tidak mendasarkan diri terhadap penguasaan materi pelajaran an sich, namun skor penilaian berjenjang, diambil nilai paling tinggi dan jumlah kursi dalam lembaga pendidikan tinggi pun menjadi sebuah pertimbangan. Lebih dari itu, setiap item soal yang diujikan pun dibuat lebih sulit, yang bertujuan menjauhkan calon mahasiswa baru menjawab item-item soal tersebut dengan rumus menjawab UN. Akhirnya, mereka pun mendapat ruang yang sama dan adil untuk menikmati bangku pendidikan tinggi.

Meluruskan Pemahaman UN

Mencermati hal sedemikian, mencari titik-titik kelemahan yang akan berimbas pada pelaksanaan UN sebagai ukuran diterimanya seorang calon mahasiswa di perguruan tinggi pun harus menjadi bahan pertimbangan sangat utama. Jangan sampai gegabah mengambil sebuah keputusan karena ongkosnya sangat mahal. Tidak hanya menelan dana sangat besar yang harus dikeluarkan dari kantong uang negara yang disebut anggaran pendapatan belanja negara (APBN), namun juga akan menciderai landasan filosofis sebuah penyelenggaraan pendidikan tinggi. Ini belum lagi berbicara dampak buruk lain yang juga merusak tujuan dari UN dalam pendidikan secara menyeluruh. Sehingga alih-alih pendidikan bertujuan untuk melahirkan hasil pendidikan yang sangat berkualitas, itu pun menjadi isapan jempol belaka sebab konsep awal dan akhir penilaian keberhasilan pendidikan dipahami secara keliru dan sesat.

Oleh karenanya, konteks ketidakjelasan pemahaman UN perlu mendapat penyegaran pemahaman kembali sebab ini menyangkut nasib pendidikan ke depan. Hal tersebut juga berkelindan erat terhadap bagaimana pendidikan kemudian perlu diletakkan secara proporsional, tidak salah tempat dan pelaksanaan. Ibaratnya, bila tujuan baik itu dimulai dengan cara yang tidak tepat, hal tersebut bukan menambah kebaikan namun akan membawa keburukan di masa depan. Begitu pula dalam dunia pendidikan.

Supaya tujuan pendidikan tinggi bisa dijalankan secara tepat sasaran dengan landasan filosofis yang benar, ujian masuk perguruan tinggi yang bersifat normatif-sentris pun harus tetap dipertahankan dengan sedemikian rupa. Namun apabila UN tetap diharuskan menjadi bagian dari ujian masuk perguruan tinggi, sebagaimana yang dilaksanakan selama ini, maka merombak kembali orientasi tujuan UN untuk sekolah supaya memiliki korelasi dengan tujuan pendidikan tinggi pun merupakan sebuah keniscayaan.

Akan tetapi tantangan dan tugas ke depan adalah apakah bangsa ini mampu dan siap menanggung beban besar perombakan totalitas tersebut mulai dari sistem pendidikan dasar, menengah, atas dan tinggi yang juga harus diubah? Ini belum lagi berbicara tentang rumah pendidikan dasar dan menengah berada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), sedangkan pendidikan tinggi berada di bawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristek Dikti).

Yang jelas, semua anak bangsa di negeri ini mulai dari Sabang sampai Merauke sangat mengharap, pendidikan dalam konteks apa pun jangan selalu menjadi kelinci percobaan demi kepentingan segelintir orang semata. Dengan kata lain, Kemdikbud dan Kemristek Dikti di bawah ketiak sebuah rezim tertentu, janganlah melahirkan kebijakan baru dalam dunia pendidikan yang terkesan memunculkan stigma buruk di tengah publik bahwa pendidikan selalu menjadi kepentingan kekuasaan tertentu. Siapa yang memiliki wewenang terhadap dunia pendidikan, maka bisa diubah sesuai dengan keinginan dan kepentingan masing-masing. (*)

SNMPTN Diprioritaskan Untuk Sekolah Akreditasi A

Selasa, 10 Februari 2015 13:17 wIB

JAKARTA - Tahun ini, Panitia Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) akan memprioritaskan sekolah yang beraktreditasi A untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sementara, Ujian Nasional (UN) hanya sebagai salah satu syarat pintu masuk siswa mendaftar di PTN.

Ketua Panitia Penerimaan SNMPTN, Rochman Wahah mengatakan, penerimaan jalur SNMPTN setiap PTN mempunyai ketentuan yang berbeda-beda dalam menerima calon mahasiswa / i dan kebijakan tersebut tergantung dari pengalaman perguruan tinggi tersebut. Misalnya, dari nilai evaluasi prestasi dari minat (interest), bakat (aptitude), kemampuan (competency), dan pengalaman (experince) siswa bidang yang diminatinya.

"Nilai sekolah disetiap daerah / kota bisa berbeda-beda, meskipun nilainya sama dalam mata pelajaran tertentu dengan nilai 8 atau 9 bisa berbeda bobotnya. Hal tersebut dapat dilihat dari aktreditasi sekolah, dan banyak alumsi sekolah tersebut diterima di Program SNMPTN. Nantinya, kita akan melihat nilanya, ketika dari sekolah yang maju dipriortaskan masuk," ungkap dia dalam jumpa pers Pendaftaran SNPTN 2015, di gedung Kementerian Riset Teknologi dan dan Dikti (Kemenristek), Jakarta, Senin (9/2).

Maka, dalam program SNMPTN tersebut sekolah-sekolah harus mendaftarkan Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS) di www.pdss.snmptn.ac.id. Sebab komponen PDSS menentukan siswa sekolah diterima dengan melihat prestasi dan portofolio akademik, agar panitia SNMPTN dapat melakukan penelusuran dengan mudah. Ada pun pengisian data PDSS telah dibuka sejak 22 Januari 2015 dan ditutup sampai 12 Maret 2015.

"Belakangan ini UN sudah tidak terkait dengan standar kelulusan. Kita sebagai penyelenggara Universitas memberikan pertimbangan. Disamping, nilai, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memberi kategori sekolah baik (A), hitam (C) dan abu-abu (B) untuk setiap sekolah," ungkap Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Ia menambahkan, siswa lulusan SMA dapat dengan mudah mendaftar SNMPTN lewat jalur online www.snmptn.ac.id dan pendaftaran SNMPTN dibuka pada 13 Februari 2015 - 15 Maret 2015. Sedangkan, untuk pengumumanya dilaksanakan pada 9 Mei 2015. "Tahun ini, daya tampung untuk menerima SNMPTN sebanyak 137.781 dengan ketentuan siswa bisa memilih 2 perguruan tinggi, tapi harus berbeda letak provinsinya. Sementara, untuk peserta SNMPTN maksimal dapat memilih 3 program study, dengan aturan 2 program study di PTN yang sama dan 1 di program study di PTN yang berbeda," tandasnya.

Nah, untuk total PTN yang menyelenggaran SNMPTN sebanyak 63 PTN dan 14 PTN baru. Namun, bagi 14 PTN baru bersifat magang kepada 63 PTN yang lama. Dikarenakan 14 PTN tersebut belum mengetahui mekanisme penerimaannya. Ia mencontohkan, UNY dalam SNMPTN mengikuti Univeritas Gajah Mada (UGM), artinya ada 77 yang menyelengarakan SNMPTN.

Ditambahkan, Bendahara Penerimaan SNMPTN dari Rektor Universitas Negeri Solo (UNS), Ravik Karsidi, dalam program SNMPTN, dikhususkan bagi siswa-siswi yang fresh graduate atau baru lulus dan kuota penerimaan 50 persen. Sedangkan program Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) diperuntuhkan bagi calon mahasiswa diluar fresh graduate atau maksimal 3 tahun setelah lulus SMA.

Terpisah, Pengamat Pendidikan Doni Koesoema mengatakan penilaian SNMPTN tahun 2015 dengan memprioritaskan sekolah lewat akreditasi bagus sangat diskriminatif, dengan memberi kategori sekolah baik (A), sekolah hitam (C) dan sekolah abu-abu (B). dikarenakan, untuk daerah di bagian timur kesempatan masuk PTN sangat kecil. "Sebaiknya SNMPTN dihapuskan saja. Program SNMPTN dilakukan berbasis terbuka untuk semua publik, agar semua sekolah mempunyai kesempatan yang sama," pintanya.

Selain itu, jalur penerimaan prestasi lewat akademik di SNMPTN, memunculkan manipulasi pada nilai rapat. Beberapa sekolah berlomba-lomba siswanya bisa lolos di SNMPTN, dikarenakan bobot 50 persen penerimaan PTN di jalur ini. Contohnya, di tahun lalu sebanyak 150 sekolah lebih terbukti memanipulasi data raport untuk masuk PTN dan dilaporkan ke Ombudsman. "Tapi, sampai sekarang laporan tersebut tidak ditindaklanjuti," katanya. Ia menyarakan, SNMPTN diubah dengan sistem ujian tulis dikarenakan dalam tes tulis bisa dilihat kemampuan penilian siswa, tanpa ada manipulasi data di rapot dan jual beli nilai. (her/rp)


Sumber: Radarpena

Wednesday, 25 May 2016

Sekolah Abaikan SNMPTN




Kamis, 3 Maret 2016 06:15 WIB Penulis: Puput Mutiara

SELEKSI nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) 2016 sudah memasuki tahap pendaftaran.Siswa yang sudah masuk dalam daftar pemeringkatan diperkenankan memilih PTN dan jurusan yang diinginkan. Namun sayang, banyak siswa yang terpaksa kehilangan kesempatan untuk mengikuti jalur SNMPTN lantaran sekolahnya tidak mengisi data di pangkalan data sekolah dan siswa (PDSS).


"Pengisian dan verifikasi PDSS itu sudah menjadi bagian dari proses SNMPTN. Kalau sekolahnya tidak daftar, siswanya cuma punya opsi SBMPTN atau ujian mandiri," kata Ketua Panitia SNMPTN 2016 Rochmat Wahab saat jumpa pers pendaftaran SNMPTN di Jakarta, Rabu (2/3).

SNMPTN ialah seleksi penerimaan calon mahasiswa berdasarkan nilai rapot, nilai ujian nasional, dan prestasi akademis lainnya selama di SMA.

Rochmat mengungkapkan, ada sebanyak 5.810 sekolah yang tidak mengisi PDSS.
Meski belum diketahui secara pasti alasannya, Rochmat mengaku sangat menyayangkan hal itu karena berimbas bagi calon mahasiswa.

Di Jawa Barat misalnya, hampir 1/3 dari jumlah sekolah yang ada atau sebanyak 1.006 sekolah tidak mengisi PDSS.

Padahal, persentase kelayakan siswa untuk bisa ikut SNMPTN mencapai 74,89%.
Hal serupa juga terjadi di beberapa daerah lain di Tanah Air.

Sekitar 25% atau sebanyak 854 sekolah di Jawa Timur tidak mendaftar hingga batas akhir pengisian dan verifikasi PDSS, Februari lalu.

Rektor Universitas Negeri Yogyakarta itu menuturkan, hingga saat ini belum ada kebijakan yang secara langsung memberikan sanksi kepada sekolah yang tidak mendaftar di PDSS.
Hanya saja, jika siswa yang sudah diterima atau lulus SNMPTN tidak melakukan daftar ulang, sekolah asalnya bakal menerima sanksi pengurangan jumlah siswa yang ikut SNMPTN di tahun berikutnya.

"Itu kan sama saja menghilangkan kesempatan orang lain," pungkasnya.

Akses internet
Pengamat pendidikan Doni Koesoema menilai banyaknya sekolah yang tidak mendaftar di PDSS bisa disebabkan sistem SNMPTN yang dilakukan secara online.

Menurutnya, tidak semua sekolah memiliki akses internet yang memadai, terutama sekolah-sekolah di daerah pinggiran.

"Sistem itu akhirnya yang membatasi sekolah untuk mendaftar, selain mungkin juga memang karena sebelumnya tidak diterima. Jadi, enggan daftar lagi," ucapnya saat dihubungi Media Indonesia, Rabu (2/3).

Ia mengusulkan sekolah yang terkendala akses bisa diberikan kesempatan untuk mendaftar secara manual.

Pada bagian lain, Rochmat Wahab mengatakan sebanyak 1.382.849 siswa direkomendasikan untuk mendaftar setelah sebelumnya dipilih berdasarkan hasil pemeringkatan.

Ketentuan pemeringkatan baru, lanjut Rochmat, mulai diberlakukan tahun ini menggunakan nilai semester 3 sampai 5. Selain itu, pemeringkatan dilakukan per jurusan, baik IPA, IPS, maupun bahasa.

"Dengan demikian, kuota sesuai akreditasi tidak tepat lagi meskipun semua siswa yang masuk 75% terbaik di sekolah dengan akreditasi A," jelasnya.

Pemeringkatan, kata Rochmat, berlaku untuk setiap sekolah tanpa membedakan kelas reguler dan kelas akselerasi. (X-6)

Sumber: Media Indonesia
 

Pendidikan Keagamaan