Thursday 3 September 2009

Generasi Penjual Rujak

KOMPAS, 27 Juni 2006
Doni Koesoema, A

Sari tidak lulus Ujian Nasional (UN) tingkat SMA tahun lalu. Nilainya jatuh pada mata pelajaran bahasa inggris. Tiga bulan ia ikut kursus persiapan ujian perbaikan. Setelah lulus ia ingin mencari kerja untuk membantu keluarga. Namun apa daya, ijasah tidak dapat segera diterima. Sari akhirnya berjualan rujak. Inilah salah satu kisah tragis anak bangsa yang menjadi korban UN.

Masih banyak Sari-sari lain di negeri ini. Sari tidak sendirian, sebab tahun lalu, banyak temannya yang tidak lulus. Kata pemerintah, UN dipakai untuk proses standardisasi dan perbaikan mutu pendidikan. Namun apa yang telah diperbuat pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan di sekolahnya Sari? Apakah pemerintah membantu menyediakan sarana pendidikan, berupa tape, misalnya, sebab sekolahnya tidak memiliki lab bahasa, dan karena itu, pada saat ujian bahasa inggris banyak siswa tidak lulus? Ataukah pemerintah telah berusaha membantu meningkatkan kualitas guru bahasa inggris dengan memberikan pelatihan tambahan?

Cukup sudah

Data-data hasil UN tahun-tahun sebelumnya sebenarnya telah dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah untuk memetakan kualitas pendidikan secara nasional. Karena, itu cukup sudah dengan UN. Sekarang saatnya pemerintah bekerja. Anggaran dana pendidikan yang rencananya akan ditingkatkan semestinya dipakai untuk program perbaikan kualitas ini.

Mengingat adanya disparitas kualitas pendidikan antar daerah, program peningkatan mutu pendidikan semestinya mendasarkan diri pada prinsip-prinsip keadilan. Dalam kerangka ini, prinsip keadilan yang ditawarkan John Rawls masih relevan (Rawls, 1993).

Prinsip pertama yang diajukan Rawls adalah bahwa setiap orang memiliki klaim yang sama atas hak-hak dasar dan kebebasan. Konstitusi kita mengekspresikan salah satu hak dasar ini dengan kalimat, ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ dan ‘menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pengajaran’.

Terbukanya akses pendidikan bagi semua warga Negara merupakan conditio sine qua non dihargainya nilai kebebasan dan keadilan. Dengannya, meminjam istilah Rawls, kebebasan politik dan kebebasan setiap orang untuk bergerak dari tingkat sosial satu ke tingkat yang lain dapat dijamin secara fair.

Selama masih ada warga Negara yang tidak dapat memperoleh akses pendidikan, bahkan di tingkat yang paling dasar, Negara merupakan instansi yang paling bertanggungjawab atas ketidakadilan ini. Tanpa dijaminnya kebutuhan dasar ini, partisipasi warga dalam iklim demokrasi yang memungkinkan terjadinya pergerakan sosial ke atas semakin jauh dari harapan. Yang miskin akan semakin miskin. Yang tak berdaya akan semakin terperdaya.

Dalam masyarakat demokratis, politik merupakan merupakan ekspresi kepercayaan publik yang berupa amanah untuk menyejahterakan warganya, termasuk peningkatan kualitas pendidikan dan penguatan civil society (terbukanya peluang yang sama bagi setiap warga Negara untuk aktif secara politis). Tanpa usaha ini, politik telah berubah menjadi wahana penguasaan sumber-sumber alam dan sosial bagi kepentingan segelintir orang.

Karena itu, akses pendidikan bagi semua warga Negara merupakan prioritas dasar sebab dengannya dijamin persamaan. Persamaan dalam mengenyam pendidikan memungkinkan setiap warga menghayati kebebasannya sehingga mereka mampu berperanserta secara aktif dalam kehidupan demokratif yang semakin mengukuhkan kemartabatan mereka sebagai manusia.

Bukan pukul rata

Klaim atas persamaan, lanjut Rawls, bukan berarti bahwa semua dipukul rata. Model kebijakan pukul rata seperti ini alih-alih menjadi dalih keadilan malahan menutup mata atas realitas ketidakadilan lain yaitu kenyataan tentang adanya perbedaan akses atas sumber-sumber alam dan sosial yang diterima dari setiap orang sejak lahir. Kita tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan apakah kita ingin terlahir dalam keluarga yang kaya raya atau miskin papa, menjadi bangsawan atau gelandangan.

Kenyataan adanya perbedaan akses atas sumber-sumber alam dan sosial membuat Rawls mengajukan prinsip keadilan yang kedua, yaitu, bahwa perbedaan sosial dan ekonomi masih dapat diterima sejauh kebijakan itu memenuhi dua persyaratan. Pertama, terbuka peluang bagi setiap orang untuk maju.

Kedua, perbedaan perlakuan diijinkan sejauh demi kemaslahatan pihak-pihak yang paling tidak diuntungkan dalam masyarakat (the least advantaged members of society) karena keterbatasan sumber-sumber alam dan sosial yang mereka terima secara alamiah.

Kebijakan pukul rata dalam dunia pendidikan, seperti, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), standardisasi nilai kelulusan lewat perangkat Ujian Nasional, sudah semestinya ditinggalkan sebab kebijakan ini selain melukai nilai keadilan juga menutup mata terhadap realitas adanya perbedaan akses natural-sosial yang diterima setiap orang semenjak mereka lahir.

Prioritas pendidikan

Di tengah amukan bencana alam, rapuhnya bangunan-bangunan sekolah, makin banyaknya orang miskin yang tak mampu menyekolahkan anak-anak mereka pemerintah ditantang untuk membuat prioritas, bukan hanya untuk membangun kembali sekolah-sekolah kita yang telah roboh (Aceh, Nias, Waghete, Bantul, Jogja, Klaten, dll), namun juga menjadikan dunia pendidikan sebagai keprihatinan utama dalam setiap kebijakan politisnya.

Uang rakyat janganlah dipakai untuk proyek sia-sia yang melukai keadilan. Perbaikan mutu pendidikan semestinya mempertimbangkan nilai-nilai keadilan yang melindungi pihak-pihak yang paling lemah dalam masyarakat (anak-anak orang miskin, para siswa korban bencana, anak cacat dan yatim piatu, dll). Bagi mereka inilah pemerintah semestinya memberikan hati dan tenaganya.

Kisah seperti dialami Sari tak boleh terulang lagi. Sari adalah ‘sari’ bangsa. Kita tidak ingin bangsa ini disebut sebagai bangsa yang hanya bisa menghasilkan generasi penjual rujak. Kita tidak ingin para pemimpin kita mengkhianati cita-cita para pendiri bangsa yang telah merelakan jiwa dan raganya demi membuka pintu gerbang emas kemerdekaan agar rakyatnya makin sejahtera.

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Pendidikan Keagamaan