Gelar doa bersama, pelatihan mental, sampai Ikrar Kejujuran digelar diberbagai sekolah, baik swasta maupun negeri mewarnai fase-fase akhir menjelang detik-detik UN (Kompas, 17/4). Fenomena ini menunjukkan betapa dunia pendidikan telah dikelola dengan visi pendidikan dangkal dan spiritualitas terpecah, lebih suka mencari jalan pintas dan latah dengan gerakan massa yang dipolitisir seperti layaknya ikrar kampanye damai partai politik menjelang Pemilu. Mengelola dunia pendidikan tidak sama dengan mengelola organsisasi massa yang di tangan para politisi sekedar sebagai alat pemenangan untuk memenangkan kepentingan sesaat. Secara natural kekuatan massa gampang dimanipulasi karena tangan dan kaki lebih banyak jumlahnya daripada otak yang berpikir. Padahal, pendidikan merupakan kinerja harian rutin, bukan momental, yang mesti memperlakukan individu siswa sebagai pribadi, bukan sebagai kerumunan massa, di mana sistem yang dibangun mestinya mampu menjadi dasar bertindak dalam praksis harian sehingga kultur edukatif itu benar-benar hadir dan menjiwai seluruh proses pendidikan. Visi dangkal
Mengandalkan doa bersama, pelatihan mental mendadak, serta Ikrar Kejujuran menjelang UN juga menunjukkan kedangkalan visi para pengelola lembaga pendidikan. Pembenaran perilaku ini sering ditambahi dengan argumen bahwa merekapun sudah membuat persiapan intensif dengan mengadakan pelatihan soal-soal, dan bahkan kalau perlu mengundang masuk lembaga bimbingan belajar masuk ke sekolah. Inilah metode jalan pintas yang paling sering dilakukan dalam sekolah kita. Kedangkalan itu terjadi karena pendidikan semata-mata mengutamakan target akhir lulus UN, memperalat siswa demi kepentingan dan nama baik sekolah dengan cara membuat siswa belajar secara intensif menjelang UN saja, sementara dalam praksis harian di sekolah selama 3 tahun, siswa tidak pernah diajarkan apa artinya bertekun dan belajar secara serius. Menumbuhkan kesungguhan, daya tahan, dan motivasi internal dalam belajar sering terlewatkan pada fase ini karena para pendidik dan siswa berpikir bahwa Ujian masih jauh.
Dunia pendidikan bukan dunia tukang sulap yang bisa membuat hal-hal aneh dalam sekejap. Belajar membutuhkan ketekunan, konsistensi dan keseriusan dari para pendidik dan siswa. Kesungguhan ini semakin terbantu dengan menciptakan sebuah iklim harian dan kultur sekolah yang mendukung siswa gemar belajar tanpa dipaksa atau diancam dengan perolehan nilai. Visi pendidikan itu mestinya bersifat konsisten, konkret dan mengembangkan pendampingan individu siswa secara intensif semenjak mereka memasuki tahun ajaran baru sampai menghadapi UN. Mentalitas jalan pintas bukanlah sebuah visi pendidikan yang adekuat yang mampu mempersiapkan generasi muda kita menjadi individu yang konsisten, tahan banting dan mengerti makna pembelajaran bagi hidupnya sendiri dan bagi perkembangan masyarakat. Lebih lagi, model jalan pintas bertentangan dengan logika dalam dunia pendidikan, karena untuk berubah membutuhkan waktu. Pendidikan kita akan hancur jika diisi dengan kehadiran para pendidik yang memiliki visi dangkal yang seringkali tidak sabar, dan cenderung ingin melihat hasil akhir secara instan. Spiritualitas terpecah
Model gelar doa bersama menjelang UN, meskipun baik, tetap menunjukkan sebuah kerohanian dangkal yang coba diajarkan kepada para murid, seolah doa-doa itu baru dibutuhkan ketika mau menghadapi UN semata. Kita mulai berbisnis dengan Tuhan. Tentu, tidak ada yang salah dengan mohon doa resti dari Tuhan agar dapat melaksanakan UN dengan baik. Namun, kerohanian sejati dalam pendidikan mestinya berakar pada kultur sekolah yang mampu menghormati keyakinan iman individu lain sebagai pilihan bebas, menghormati keragamanan. Lebih penting dari itu, lingkungan sekolah mestinya mampu membangun sebuah kultur yang menghormati keyakinan individu karena individu itu adalah ciptaan yang bernilai, berharga dan bermartabat dihadapan Sang Pencipta. Kebencian terhadap penganut agama lain yang menonjol dalam masyarakat kita bisa jadi karena sekolah lebih mengajarkan permusuhan, menekankan perbedaan sebagai batas daripada sebagai lahan untuk bekerja sama dalam membangun masyarakat. Lebih parah dari itu, kerohanian dalam pendidikan bisa diredusir sekedar sebagai ritualisme ibadah dan tata cara berdoa yang tidak menjangkau keluar merengkuh persoalan lebih mendalam dalam konteks komunikasi antar individu yang berbeda agama dalam masyarakat. Dengan demikian, perilaku ibadah yang sebenarnya bersifat membangun masyarakat malah menyemai ketidakadilan, permusuhan dan perpecahan, daripada menyumbangkan penghormatan dan perdamaian. Latahisme kacangan
Membuat Ikrar Kejujuran juga menunjukkan gejala latahisme kacangan dalam dunia pendidikan kita. Kita benar-benar menganggap dunia pendidikan seperti panggung politik, di mana konflik, perseteruan dan persoalan yang ada akan segera bisa diatasi dengan jalan membuat ikrar bersama. Latahisme demikian ini sesungguhnya memalukan. Para pendidik mesti segera menyadari bahwa model ikrar seperti ini tidak akan mengubah banyak hal jika praksis harian dalam sekolah dan kultur sekolah yang kita bangun tidak memiliki visi pembentukan karakter yang kokoh di mana praksis kejujuran itu dapat dilihat dalam ritme hidup harian di lingkungan sekolah. Ikrar Kejujuran tidak akan otomatis menghilangkan kultur kebohongan, ketidakjujuran dan penyelewengan yang telah meracuni dunia pendidikan kita. Para pendidik semestinya kembali berpaling pada hati nurani mereka dan lebih baik segera bersama-sama mulai membongkar kultur dalam dunia pendidikan kita yang tidak adil dan tidak jujur dengan segera mengevaluasi kembali kinerja harian di sekolah kita dengan melihat apakah tata peraturan dan sistem yang kita buat untuk menanamkan nilai kejujuran dan keadilan ini telah hadir dalam lembaga pendidikan kita. Sebagai pendidik yang bertanggungjawab terhadap nasib bangsa ini di masa depan, cara-cara pengambilan jalan pintas, promosi spiritualitas terpecah, dan semangat menghidupi visi dangkal ini mesti segera dijauhkan dari lembaga pendidikan kita. Demikian juga mencontoh pola perilaku politisi yang memanfaatkan massa demi kepentingan politiknya dengan membuat semacam ikrar bersama mesti segera dihilangkan dalam lembaga pendidikan kita, karena itu hanya akan menjadi kertas kosong yang tidak bermakna apa-apa bagi siswa dan pendidik jika kultur sekolah kita tetap terbangun melalui sebuah sistem pendidikan yang mempromosikan kegemaran mencontek, berbohong, tidak jujur, dan manipulatif. Doni Koesoema A, alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston. Pemerhati pendidikan tinggal di Jakarta.
Gelar doa bersama, pelatihan mental, sampai Ikrar Kejujuran digelar diberbagai sekolah, baik swasta maupun negeri mewarnai fase-fase akhir menjelang detik-detik UN (Kompas, 17/4). Fenomena ini menunjukkan betapa dunia pendidikan telah dikelola dengan visi pendidikan dangkal dan spiritualitas terpecah, lebih suka mencari jalan pintas dan latah dengan gerakan massa yang dipolitisir seperti layaknya ikrar kampanye damai partai politik menjelang Pemilu.
Mengelola dunia pendidikan tidak sama dengan mengelola organsisasi massa yang di tangan para politisi sekedar sebagai alat pemenangan untuk memenangkan kepentingan sesaat. Secara natural kekuatan massa gampang dimanipulasi karena tangan dan kaki lebih banyak jumlahnya daripada otak yang berpikir. Padahal, pendidikan merupakan kinerja harian rutin, bukan momental, yang mesti memperlakukan individu siswa sebagai pribadi, bukan sebagai kerumunan massa, di mana sistem yang dibangun mestinya mampu menjadi dasar bertindak dalam praksis harian sehingga kultur edukatif itu benar-benar hadir dan menjiwai seluruh proses pendidikan.
Visi dangkal
Mengandalkan doa bersama, pelatihan mental mendadak, serta Ikrar Kejujuran menjelang UN juga menunjukkan kedangkalan visi para pengelola lembaga pendidikan.Pembenaran perilaku ini sering ditambahi dengan argumen bahwa merekapun sudah membuat persiapan intensif dengan mengadakan pelatihan soal-soal, dan bahkan kalau perlu mengundang masuk lembaga bimbingan belajar masuk ke sekolah. Inilah metode jalan pintas yang paling sering dilakukan dalam sekolah kita. Kedangkalan itu terjadi karena pendidikan semata-mata mengutamakan target akhir lulus UN, memperalat siswa demi kepentingan dan nama baik sekolah dengan cara membuat siswa belajar secara intensif menjelang UN saja, sementara dalam praksis harian di sekolah selama 3 tahun, siswa tidak pernah diajarkan apa artinya bertekun dan belajar secara serius. Menumbuhkan kesungguhan, daya tahan, dan motivasi internal dalam belajar sering terlewatkan pada fase ini karena para pendidik dan siswa berpikir bahwa Ujian masih jauh.
Dunia pendidikan bukan dunia tukang sulap yang bisa membuat hal-hal aneh dalam sekejap. Belajar membutuhkan ketekunan, konsistensi dan keseriusan dari para pendidik dan siswa. Kesungguhan ini semakin terbantu dengan menciptakan sebuah iklim harian dan kultur sekolah yang mendukung siswa gemar belajar tanpa dipaksa atau diancam dengan perolehan nilai. Visi pendidikan itu mestinya bersifat konsisten, konkret dan mengembangkan pendampingan individu siswa secara intensif semenjak mereka memasuki tahun ajaran baru sampai menghadapi UN.
Mentalitas jalan pintas bukanlah sebuah visi pendidikan yang adekuat yang mampu mempersiapkan generasi muda kita menjadi individu yang konsisten, tahan banting dan mengerti makna pembelajaran bagi hidupnya sendiri dan bagi perkembangan masyarakat. Lebih lagi, model jalan pintas bertentangan dengan logika dalam dunia pendidikan, karena untuk berubah membutuhkan waktu. Pendidikan kita akan hancur jika diisi dengan kehadiran para pendidik yang memiliki visi dangkal yang seringkali tidak sabar, dan cenderung ingin melihat hasil akhir secara instan.
Spiritualitas terpecah
Model gelar doa bersama menjelang UN, meskipun baik, tetap menunjukkan sebuah kerohanian dangkal yang coba diajarkan kepada para murid, seolah doa-doa itu baru dibutuhkan ketika mau menghadapi UN semata. Kita mulai berbisnis dengan Tuhan.
Tentu, tidak ada yang salah dengan mohon doa resti dari Tuhan agar dapat melaksanakan UN dengan baik. Namun, kerohanian sejati dalam pendidikan mestinya berakar pada kultur sekolah yang mampu menghormati keyakinan iman individu lain sebagai pilihan bebas, menghormati keragamanan. Lebih penting dari itu, lingkungan sekolah mestinya mampu membangun sebuah kultur yang menghormati keyakinan individu karena individu itu adalah ciptaan yang bernilai, berharga dan bermartabat dihadapan Sang Pencipta.
Kebencian terhadap penganut agama lain yang menonjol dalam masyarakat kita bisa jadi karena sekolah lebih mengajarkan permusuhan, menekankan perbedaan sebagai batas daripada sebagai lahan untuk bekerja sama dalam membangun masyarakat. Lebih parah dari itu, kerohanian dalam pendidikan bisa diredusir sekedar sebagai ritualisme ibadah dan tata cara berdoa yang tidak menjangkau keluar merengkuh persoalan lebih mendalam dalam konteks komunikasi antar individu yang berbeda agama dalam masyarakat. Dengan demikian, perilakuibadah yang sebenarnya bersifat membangun masyarakat malah menyemai ketidakadilan, permusuhan dan perpecahan, daripada menyumbangkan penghormatan dan perdamaian.
Latahisme kacangan
Membuat Ikrar Kejujuran juga menunjukkan gejala latahisme kacangan dalam dunia pendidikan kita. Kita benar-benar menganggap dunia pendidikan seperti panggung politik, di mana konflik, perseteruan dan persoalan yang ada akan segera bisa diatasi dengan jalan membuat ikrar bersama. Latahisme demikian ini sesungguhnya memalukan. Para pendidik mesti segera menyadari bahwa model ikrar seperti ini tidak akan mengubah banyak hal jika praksis harian dalam sekolah dan kultur sekolah yang kita bangun tidak memiliki visi pembentukan karakter yang kokoh di mana praksis kejujuran itu dapat dilihat dalam ritme hidup harian di lingkungan sekolah.
Ikrar Kejujuran tidak akan otomatis menghilangkan kultur kebohongan, ketidakjujuran dan penyelewengan yang telah meracuni dunia pendidikan kita. Para pendidik semestinya kembali berpaling pada hati nurani mereka dan lebih baik segera bersama-sama mulai membongkar kultur dalam dunia pendidikan kita yang tidak adil dan tidak jujur dengan segera mengevaluasi kembali kinerja harian di sekolah kita dengan melihat apakah tata peraturan dan sistem yang kita buat untuk menanamkan nilai kejujuran dan keadilan ini telah hadir dalam lembaga pendidikan kita.
Sebagai pendidik yang bertanggungjawab terhadap nasib bangsa ini di masa depan, cara-cara pengambilan jalan pintas, promosi spiritualitas terpecah, dan semangat menghidupi visi dangkal ini mesti segera dijauhkan dari lembaga pendidikan kita. Demikian juga mencontoh pola perilaku politisi yang memanfaatkan massa demi kepentingan politiknya dengan membuat semacam ikrar bersama mesti segera dihilangkan dalam lembaga pendidikan kita, karena itu hanya akan menjadi kertas kosong yang tidak bermakna apa-apa bagi siswa dan pendidik jika kultur sekolah kita tetap terbangun melalui sebuah sistem pendidikan yang mempromosikan kegemaran mencontek, berbohong, tidak jujur, dan manipulatif.
Doni Koesoema A, alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston. Pemerhati pendidikan tinggal di Jakarta.