Friday 28 November 2014

Guru Indonesia Tak Paham UU Guru


06 Oktober 2014 16:00 Wheny Hari Muljati




JAKARTA - Sebagian besar pendidik yang berprofesi sebagai guru belum memahami tentang Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD). Para guru tidak memahami dengan jelas hak dan kewajiban mereka. Ketidakpahaman guru terhadap UUGD tersebut akan berakibat pada kualitas hasil layanan guru pada para siswa.   Hal tersebut diungkapkan pengamat pendidikan Doni Koesoema Albertus kepada SH, Senin (6/10), terkait Hari Guru Internasional yang diperingati pada Minggu (5/10).    

“Guru-guru Indonesia yang tidak paham UU tentang profesi mereka akan terhambat pengembangan profesionalnya. Hal itu juga memengaruhi hasil layanan mereka pada siswa,” ucap Doni.   Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, mengatakan hal senada. Ketidakpahaman guru terhadap UUGD akan berpengaruh pada pengetahuan tentang hak dan kewajiban para guru sendiri. Rendahnya pengetahuan tentang hak dan kewajiban selanjutnya akan berpengaruh pada kualitas mereka dalam menjalankan profesinya.  

Retno mencontohkan, para guru umumnya tidak mengetahui bahwa Ayat 2 Pasal 35 UUGD mereduksi tugas guru. Tugas guru yang bermacam-macam seperti disebutkan pada ayat 1 pasal yang sama, direduksi menjadi hanya tugas tatap muka pada ayat 2.   “Ternyata, banyak guru belum tahu mengenai hal itu. Banyak guru yang tidak pernah membaca UUGD,” tutur Retno, akhir pekan silam.

Ia menyatakan, ketidakpahaman guru pada UUGD terungkap dalam Seminar Peringatan Hari Guru Internasional yang diselenggarakan di Kantor Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Kamis (2/10). Dalam acara tersebut, banyak guru yang mengaku tidak mengetahui peraturan perundangan yang mengatur diri mereka. Menurut Retno, para guru umumnya mengaku tahu ada UU tentang guru. Namun, ternyata kebanyakan dari mereka belum pernah membacanya.   “Oleh karena itu, tidak mengherankan para guru menganggap bahwa organisasi profesi guru hanya Persatuan Guru Republik Indonesia atau PGRI,” kata Retno.   

Hak Berorganisasi


Retno menyebutkan, para guru perlu memahami hak mereka berorganisasi. Jika organisasi guru tidak diperkuat, guru akan selalu dipolitisasi.   Ia mencontohkan, selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, guru sudah dipolitisasi untuk memenangkan partai tertentu yang berkuasa saat itu. Saat  ini, di era otonomi daerah, guru dipolitisasi birokrasi di daerah, terutama oleh para kepala daerah. 

“Hanya pindah pelaku politisasinya. Kalau saat desentralisasi, pelakunya birokrasi di daerah. Kalau sentralisasi, pelakunya adalah pemerintah pusat,” ujar Retno.   Menurut Retno, hal lain yang memperlemah organisasi guru adalah kenyataan bahwa organisasi  profesi guru ternyata tidak diurus guru. Padahal, UUGD mensyaratkan organisasi profesi guru harus dibentuk dan diurus guru. Ia mencontohkan, organisasi berskala nasional, PGRI dan IGI, justru tidak diurus guru. Ini menyalahi Pasal 1 Butir 13 UUGD yang menyatakan organisasi profesi guru adalah perkumpulan berbadan hukum yang didirikan dan diurus guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.      

“Pasal tersebut sekaligus mempertegas bahwa siapa pun yang bukan guru semestinya tidak boleh mengurus organisasi guru,” katanya.   Retno mengungkapkan, data menunjukkan bahwa organisasi guru selama ini malah diurus dan dipimpin birokrat pendidikan, mantan birokrat, bahkan oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jika organisasi guru tidak diurus para guru, organisasi guru tidak independen dan mandiri dan ini tidak sesuai ketentuan Pasal 41 yang menyebutkan bahwa guru dapat membentuk organisai profesi yang bersifat independen.     

“Seharusnya organisasi guru secara politis berperan mendorong dan memengaruhi kebijakan pendidikan, baik di level daerah maupun nasional,” ujar Retno.    Retno menyakini, jika organisasi guru kuat dan sehat, organisasi tersebut akan dapat mendorong para anggota menjadi guru pembelajar yang profesional dan kritis.   

Sumber : Sinar Harapan

Thursday 27 November 2014

Momentum Penghapusan Penyeragaman Ujian Nasional

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Publik pemangku kepentingan dunia pendidikan kini sedang menanti-nanti apa yang akan dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan untuk meningkatkan mutu pendidikan di tanah air.

Pengamat pendidikan Doni Koesoema A memotivasi Anies untuk segera melakukan gebrakan pendidikan, setidaknya pada salah satu dari lima persoalan pendidikan yang menyangkut tema Ujian Nasional, Kurikulum 2013, lunturnya nilai-nilai keragaman dalam pendidikan, kekerasan dalam pendidikan dan korupsi pendidikan.

Dari lima persoalan di atas, agaknya yang paling mendesak untuk digebrak atau dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah soal Ujian Nasional dan jika masih perlu gebrakan lagi, ya korupsi pendidikan.

Menurut pemerhati pendidikan, kerusakan akibat ujian nasional itu akan segera terhenti seketika dengan solusi simpel, yakni menghapus Ujian nasional.

Ujian Nasional untuk masa kini sesungguhnya juga tidak senafas dengan semangat zaman di mana penyeragaman dalam tatanan luas apapun, tidak lagi dianjurkan. Dunia telah mengapresiasi keunikan, kreativitas dan kearifan lokal. Untuk apa penyeragaman itu dilakukan bila kekhasan itulah yang kini dijunjung tinggi karena di dalam fitur kekhasan itulah terdapat nilai tambah.

Penyeragaman ujian Nasional agaknya mengandung paradoks yang melawan hukum alam keragaman kualitas manusia. Di mana-mana, kualitas manusia tak pernah seragam.

Anies diharapkan tak punya keraguan lagi untuk segera menghapus sistem ujian nasional, baik untuk jenjang menengah atas maupun di atasnya. Untuk menguatkan tekad penghapusan itu, agaknya Anies perlu membentuk tim pembaharu sistem pendidikan dengan melibatkan tokoh-tokoh ahli dan praktisi pendidikan, seperti Profesor Iwan Pranoto, Acep Iwan Saidi, Anita Lie dan Doni Koesoema A.

Baca lebih lengkap (klik di sini)

Ini PR Pemerintah Pada Guru

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, mengungkapkan, masa depan Republik Indonesia berada di tangan guru-guru yang mengajar di kelas.

"Guru adalah pelukis masa depan Republik ini, sehingga cara kita menghargai guru adalah cara menghargai masa depan," kata Anies, di laman resmi Kemendikbud. 

Sementara Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Mutu dan Peningkatan Mutu Pendidikan Kemendikbud, Syawal Gultom, mengungkapkan, semenjak pembinaan guru pada 2004, kinerja guru belum maksimal.

Sejak 2004, guru dinyatakan sebagai sebuah profesi. Kemudian untuk mendongkrak kualitas, pada 2006 dilakukan sertifikasi. Lalu pada 2008 dibayarkan tunjangan profesi.

Guna meningkatkan kualitas para guru, Kemendikbud akan melanjutkan pendidikan dan pelatihan tatap muka. Selain itu dikembangkan pula diklat secara online bagi guru. Program tersebut akan berlangsung bagi 3,2 juta guru tersebar di 207 ribu sekolah di Indonesia.

Kendati demikian seperti dilaporkan Indonesiaberkibar.org, guru di Indonesia jumlahnya cukup memadai, namun distribusi dan mutunya masih rendah.

Hal itu dapat dibuktikan dari masih banyaknya guru belum sarjana, tapi mengajar di SMU atau SMK, dan guru yang tidak sesuai disiplin ilmu. Keadaan ini cukup memprihatinkan dengan jumlah lebih dari 50 persen di seluruh Indonesia. language: IN;">Berdasarkan laporan Teacher Employment and Deployment In Indonesia dari Bank Dunia, disebutkan, terdapat sekitar 1,44 juta guru SD, 680 ribu, dan 475 ribu guru SLTA di seluruh Indonesia.

Dari jumlah itu, sekitar 55 persen tenaga kerja guru berpendidikan D2. Sementara hanya 17 persen guru yang telah menyandang gelar sarjana (S1).

Data Kemendiknas 2010 juga menyebutkan, dari sisi kualitas guru terdapat 54 persen guru memiliki standar yang perlu ditingkatkan. language: IN;">Selain itu, jumlah guru yang demikian tidak diimbangi dengan sebaran yang merata. 21 persen sekolah di perkotaan kekurangan guru. Kemudian, 37 persen sekolah di perdesaan kekurangan guru. Sedangkan 66 persen sekolah di daerah terpencil kekurangan guru.

Pemerintah juga mempunyai pekerjaan rumah lainnya, yaitu tidak memiliki peraturan terkait bermunculannya lembaga pencetak guru. Pemerhati pendidikan Doni Koesoema A., mengingatkan pemerintah untuk membatasi Lembaga Pendidikan dan Tenaga Keguruan (LPTK), karena jumlahnya terlalu banyak.

“Itu jadi masalah. Saat ini terdapat sekitar 300 LPTK, jumlah mahasiswanya membengkak sekitar satu juta. Dan tiap tahun menghasilkan lulusan kurang lebih 200 ribu,” kata Doni, kepada Geotimes, beberapa waktu lalu.

Padahal formasi guru yang dibutuhkan tiap tahun adalah 60 ribu tenaga guru, akhirnya terdapat sekitar 350 ribu guru yang menganggur.

“Animo masyarakat yang tinggi terhadap profesi guru, tapi tidak diimbangi dengan peraturan ketat dari pemerintah,” kata Doni. 

Kini pemerintah harus meningkatkan kualitas guru dan mendistribusikannya secara merata.  

“Selamat Hari Guru Nasional 25 November 2014.”

Sumber: Geotimes

Tuesday 25 November 2014

Guru dan Pemerintah Harus Lakukan Ini

| Dika Irawan

Pemerintah diminta terus meningkatkan profesionalitas dan kesehjateraan para guru. Sementara guru juga harus berani mengubah dirinya agar menjadi lebih berkualitas.

Menurut pemerhati pendidikan, Doni Koesoema A., pemerintah memiliki tugas untuk membuat program yang dapat meningkatkan kualitas para guru. Salah satunya, dengan memperbanyak pendidikan dan pelatihan bagi para guru.

"Selama ini pelatihan kurang," kata Doni, di Yogyakarta, kepada Geotimes, Selasa (25/11).

Selanjutnya tugas lain yang diemban pemerintah adalah terkait kesehjateraan guru. Pemerintah wajib mensehjaterakan para  guru.

"Terutama guru honorer," katanya.

Menurut dia, harus ada standar minimal yang sama antara guru honorer dengan guru pegawai negeri sipil, sehingga tak ada kecemburuan antara guru yang bekerja di sekolah swasta dan negeri.

"Pemerintah harus pikirkan pula guru-guru di daerah terpencil," katanya.

Dalam menetapkan standar minimal bagi para guru, pemerintah pusat harus bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menyesuaikan ukuran kesehjateraan guru.

"Guru berbeda dengan buruh, mereka punya jam kerjanya sendiri," katanya.

Sementara itu, bagi para guru, Doni menilai guru harus berani mengubah diri, baik dalam cara mengajar maupun kulitas dirinya. Sebagian besar guru, kurang semangat mengajar dan mereka kurang kritis.

“Jarang guru yang rajin membaca koran maupun buku-buku,” katanya.

Kendati demikian, ia melihat kondisi tersebut tercipta tak lain karena padatnya jam pelajaran dan tuntutan ujian nasional. Hal itu membuat guru tidak memiliki waktu banyak bagi pengembangan dirinya.

"Guru harus memiliki komitmen mengajar yang kuat, sebab urusannya dengan anak didik. Guru sebagai profesi juga harus diapresiasi," kata Doni.

Sebelumnya dalam laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, mengungkapkan, masa depan Republik Indonesia berada di tangan guru-guru yang mengajar di kelas.

"Guru adalah pelukis masa depan Republik ini, sehingga cara kita menghargai guru adalah cara menghargai masa depan," katanya dalam keterangan tertulis menyambut Hari Guru Nasional (25/11).

Sementara Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Mutu dan Peningkatan Mutu Pendidikan Kemendikbud, Syawal Gultom, mengungkapkan, semenjak pembinaan guru pada 2004, kinerja guru belum maksimal.

Sejak 2004, guru dinyatakan sebagai sebuah profesi. Kemudian untuk mendongkrak kualitas, pada 2006 dilakukan sertifikasi. Lalu pada 2008 dibayarkan tunjangan profesi.

Guna meningkatkan kualitas para guru, Kemendikbud akan melanjutkan pendidikan dan pelatihan tatap muka. Selain itu dikembangkan pula diklat secara online bagi guru. Program tersebut akan berlangsung bagi 3,2 juta guru tersebar di 207 ribu sekolah di Indonesia.

Sumber: geotimes.co.id

Monday 24 November 2014

Sekolah Inklusif Lebih Baik dari SLB



Wednesday, 19 November 2014, 12:00 WIB




JAKARTA -- Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto, mengatakan, anak-anak difabel bisa bersekolah, baik di sekolah luar biasa (SLB) maupun di sekolah inklusif. Namun, sekolah inklusif jauh lebih baik daripada SLB.

Susanto mengatakan, siswa difabel yang bersekolah di sekolah inklusif akan lebih mudah bersosialisasi dengan anak umum lainnya. ''Sekolah inklusif itu kondisinya heterogen," kata Susanto, di Jakarta, Selasa, (18/11).

Menurutnya, anak difabel membutuhkan stimulus dari lingkungan sekitarnya. Mereka juga membutuhkan dukungan dari kawan lain agar bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Sedangkan, terkait apakah siswa difabel rentan di-bully jika bersekolah di sekolah umum, Susanto mengatakan hal itu tergantung pola asistensi, manajemen, serta perlindungannya.

Jika pola asistensi dan perlindungan siswa difabel bagus, ia yakin tak akan ada masalah. Sebab, siswa yang normal pun perlu diberi pengertian bahwa anak difabel punya hak yang sama dalam pendidikan.

Tantangan sekolah inklusif saat ini adalah tenaga kompeten yang masih kurang. Saat ini, Susanto mengatakan, masyarakat dan dunia pendidikan memang belum ramah terhadap anak difabel. Karena itu, mindset masyarakat harus diubah.

''Perlu transformasi pola pikir untuk memperlakukan anak-anak difabel dengan baik. Sebab, ini sangat penting untuk memberikan kondisi yang kondusif bagi perkembangan siswa difabel," katanya.

Pengamat pendidikan Doni Koesoema A. juga sepakat jika siswa difabel bersekolah di sekolah inklusif. Seharusnya, Doni mengatakan, anak-anak difabel harus masuk sekolah umum dulu. ''Setelah ada assessment berjenjang yang menunjukkan bahwa mereka perlu sekolah khusus, baru dimasukkan ke sekolah khusus,'' ujar Doni.

Prinsipnya, semaksimal mungkin siswa difabel digabung dengan siswa lain di sekolah umum dengan kurikulum umum. Bila mereka tidak bisa mengikuti, barulah siswa bersangkutan mengikuti proses assesssment.

Menurut Doni, seharusnya tidak ada sekolah inklusif sebab pendidikan itu sudah inklusif. Anak tunawicara, Doni mengatakan, tak harus langsung masuk ke SLB karena anak-anak ini bisa ikut sekolah umum dengan akomodasi.

Anak difabel harus melalui tahap assessment berjenjang untuk menentukan apakah ia harus masuk sekolah khusus dengan kurikulum khusus, guru khusus, dan kelas khusus. Sayangnya, di Indonesia, belum punya assessment berjenjang.

Terkait masih minimnya guru SLB maupun guru sekolah inklusif, Doni mengatakan, pemerintah harus segera memetakan kebutuhan anak-anak difabel itu. Karena, mereka untuk sementara bisa belajar di sekolah umum yang sudah siap.

Menurutnya, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan guru-guru bagi anak difabel dengan jumlah dan kualitas yang memadai. Diharapkan anak-anak difabel lebih bisa diperhatikan, terlebih bila Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyandang Disabilitas nanti disahkan.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan Anies Baswedan di Denpasar, Bali mengatakan, pendidikan inklusif akan mampu menyediakan kesempatan dan akses bagi anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan hak pendidikan yang sejalan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Angka partisipasi murni anak berkebutuhan khusus saat ini masih sekitar 34,2 persen. Data itu menunjukkan masih banyak anak berkebutuhan khusus di Indonesia belum tersentuh layanan pendidikan.

''Hal itu akibat orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus menganggap ini aib dari Yang Maha Kuasa. Mereka malu memiliki anak berkebutuhan khusus sehingga disembunyikan," katanya.
 
Sumber: Republika

Wednesday 19 November 2014

Anak-Anak Difabel Sebaiknya di Sekolah Inklusif

Republika/ Yasin Habibi

Siswa tuna rungu mengikuti lomba menggambar tingkat SLB Se-Jakarta Timur di Gedung Serba Guna 3 Asrama Haji, Jakarta Timur, Rabu (23/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pendidikan Doni Koesoema A. mengusulkan, sebaiknya anak-anak  difabel sekolah di sekolah inklusif. Sebab semaksimal mungkin anak-anak difabel tetap mendapat akses ke sekolah umum.

Seharusnya, ujar Doni, terlebih dahulu anak-anak difabel masuk sekolah umum. Setelah ada penilaian berjenjang yang menunjukkan bahwa mereka perlu sekolah khusus, lalu dimasukkan ke sekolah khusus.

Terkait anak tuna grahita jika tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah umum, Doni mengatakan, anak tersebut dimasukkan ke sekolah inklusif terlebih dahulu. Setelah itu harus menjalani penilaian untuk dimasukkan ke kelas khusus.

Doni menambahkan, prinsipnya semaksimal mungkin anak-anak difabel digabung anak-anak lain di sekolah umum dengan kurikulum umun. Bila mereka tidak bisa mengikuti, mereka bisa mengikuti proses penilaian.

"Setelah itu baru mereka masuk ke sekolah khusus. Ini demi kebaikan dan perkembangan mereka," kata Doni.


Sumber: Republika

Menanam Jiwa Entrepreneur Sejak Dini



Jumat, 14 November 2014, 14:00 WIB
 
Para pelajar umumnya belum memiliki pemikiran untuk bercita-cita menjadi seorang wirausaha. Kebanyakan dari mereka masih memikirkan akan bekerja di mana mereka kelak setelah lulus dari bangku kuliah. Hanya sedikit sekali anak muda yang berpandangan membuka dunia usaha dan bekerja untuk diri mereka sendiri.

Namun, pola pikir seperti itu tampaknya akan mulai terkikis dalam beberapa tahun ke depan. Mereka akan memiliki pandangan lebih luas untuk menentukan karier sebagai pekerja atau pengusaha. Hal ini ditandai dengan masuknya pelajaran kewirausahaan dalam Kurikulum 2013 yang diajarkan pada siswa SMA/SMK-Sederajat.

Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIMPI) Raja Sapta Oktohari menilai, dimasukkannya kewirausahaan dalam Kurikulum 2013 merupakan hal baik. Adanya pendidikan enterpreuner di jenjang SMA, berarti  jiwa-jiwa anak muda di Indonesia telah dijejali untuk mengetahui pentingnya finansial. Raja menjelaskan, budaya Timur masih sering memanjakan anak-anaknya sehingga mereka tidak familier akan pentingnya manajemen keuangan. Alhasil, kemandirian dalam hidup dan menghasilkan uang melalui wirausaha masih minim.

Di negara maju, anak kecil sudah diajarkan pentingnya mencari uang sendiri. Dari uang tersebut, mereka diberi tahu cara menabung dan berbagai macam manajemen finansial hasil kerja keras mereka. "Maka, penting untuk menanamkan mental wirausaha dan cara mengelola keuangan sejak kecil," kata Raja.

Dengan pendidikan kewirausahaan lebih dini, sebuah negara menciptakan banyak enterpreuner berkualitas. Sehingga, mereka menjadi penyokong utama dalam memajukan dan menyejahterakan bangsa untuk bersaing dengan negara lain.

Dalam mengukur apakah sebuah negara berkembang bisa menjadi negara maju, bisa dilihat dari banyaknya wirausahawan di negara tersebut. Banyak pakar menyebutkan, sebuah negara disebut maju jika mereka memiliki dua hingga empat persen entrepreuner dari total jumlah penduduk. Melihat ungkapan ini, wajar saja bila masih banyak penduduk Indonesia yang bergelut dengan perut. Dengan total penduduk lebih dari 230 juta jiwa, enterpreuner di negeri kaya sumber daya alam ini belum menyentuh angka dua persen.

Bonus Demografi yang akan terjadi di Indonesia beberapa tahun ke depan, wajib dipikirkan secara matang. Banyaknya usia produktif yang belum diimbangi dengan bertambahnya lapangan pekerjaan yang sesuai akan membuat lebih banyak pengangguran berkeliaran.  Dengan demikian, membuka lapangan usaha sebenarnya menjadi pilihan paling tepat dalam kondisi tersebut.

Di sisi lain, menanggapi masuknya kurikulum wirausaha di sekolah, Raja berharap, pemerintah tak sekadar memberikan program dalam bentuk pendidikan saja. Pemerintah juga diminta turut aktif membantu mereka menjadi wirausahawan sesungguhnya. "Bantu mereka dengan permodalan, legalitas. Ini semua bisa dilakukan oleh Malaysia, masa kita tidak bisa," kata Raja.

Sosialpreneur
Dalam berwirausaha, keuntungan jelas menjadi hal paling dicari setiap entrepreuner. Namun, di balik itu semua, hakikatnya wirausaha pun bersinggungan dengan bentuk lain, salah satunya sisi sosial. Dari sebuah wirausaha, seseorang bukan hanya bisa menghasilkan pemasukan. Mereka pun mampu membantu merealisasikan tujuan dalam pemecahan masalah sosial dengan membangun bisnis.

Salah satu sekolah yang mencoba melakukan pendidikan sosialpreuner adalah SMA 56 dan 79 Jakarta. Kedua sekolah ini diberikan pelatihan dan keterampilan selama satu semester mengenai kewirausahaan sosial dari Bank DBS Indonesia yang bekerja sama dengan Provisi Education.

Mona Monika, head of Group Strategic Marketing and Communication DBS Indonesia, menuturkan, pengembangan socialpreuner dikarenakan para pelajar diharap bukan hanya memikirkan diri mereka sendiri. Namun, juga memperhatikan lingkungan sosial di sekitar mereka. "Kami berharap dari pendidikan ini pemikiran segar anak muda dapat dikembangkan menjadi bisnis riil  dan memberikan solusi permasalahan sosial di Indonesia," ujar Mona.

Pemerhati pendidikan Doni Koesoema A. mengatakan, satu hal yang penting ketika wirausaha masuk dalam Kurikulum 2013 adalah menanamkan semangatnya. Dalam menjalankan wirausaha, seseorang pasti mempunyai semangat, kegigihan untuk pantang menyerah begitu saja. Konsep dan hal ini yang sebaiknya ditanamkan kepada siswa dengan adanya pelajaran kewirausahaan.

Doni  menilai, jika pemerintah bersungguh-sungguh ingin memperbanyak entrepreuner dari kalangan pelajar, seharusnya pendidikan wirausaha diberikan guru-guru yang berpengalaman di bidang tersebut. Namun, pada praktiknya guru-guru di banyak sekolah belum mempunyai keahlian tersebut.

"Bagaimana mau diajarkan kepada murid jika gurunya tidak mengerti, nanti bisa salah kaprah, asal-asalan," kata Doni.

Selain itu, dengan pembimbing yang kurang ahli, para pelajar  akan terlena dengan dunia wirausaha tanpa memikirkan pelajaran lain sebagai penunjang tumbuh kembang mereka. Padahal, sebagai anak muda, selain  menciptakan uang, mereka pun mesti mengerti ilmu-ilmu lain. Karena, bisa jadi dari ilmu tersebut mereka bisa mengembangkan wirausaha baru dari ilmu yang mereka miliki.

Aini, salah seorang pelajar kelas XI SMAN 79 Jakarta bersama sekitar 14 orang temannya membuat kelompok bernama PT Kakiku. Nama PT hanya sebutan, bukan merujuk sebagai perseroan terbatas. Sasaran Kakiku adalah  membantu menyadarkan para bomber, panggilan untuk mereka yang suka mengotori tembok-tembok dinding bangunan di Kota Jakarta. 

Nantinya para bomber ini diajak untuk mengerjakan desain tersebut dan akan diberikan bayaran sesuai perjanjian. Aini berharap bisa menyadarkan tindakan mereka yang kurang baik. Akan lebih bermanfaat jika keahlian mereka disalurkan untuk hal lebih positif.


Sumber: Republika

Pendidikan Keagamaan