Monday, 24 November 2014

Sekolah Inklusif Lebih Baik dari SLB



Wednesday, 19 November 2014, 12:00 WIB




JAKARTA -- Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto, mengatakan, anak-anak difabel bisa bersekolah, baik di sekolah luar biasa (SLB) maupun di sekolah inklusif. Namun, sekolah inklusif jauh lebih baik daripada SLB.

Susanto mengatakan, siswa difabel yang bersekolah di sekolah inklusif akan lebih mudah bersosialisasi dengan anak umum lainnya. ''Sekolah inklusif itu kondisinya heterogen," kata Susanto, di Jakarta, Selasa, (18/11).

Menurutnya, anak difabel membutuhkan stimulus dari lingkungan sekitarnya. Mereka juga membutuhkan dukungan dari kawan lain agar bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Sedangkan, terkait apakah siswa difabel rentan di-bully jika bersekolah di sekolah umum, Susanto mengatakan hal itu tergantung pola asistensi, manajemen, serta perlindungannya.

Jika pola asistensi dan perlindungan siswa difabel bagus, ia yakin tak akan ada masalah. Sebab, siswa yang normal pun perlu diberi pengertian bahwa anak difabel punya hak yang sama dalam pendidikan.

Tantangan sekolah inklusif saat ini adalah tenaga kompeten yang masih kurang. Saat ini, Susanto mengatakan, masyarakat dan dunia pendidikan memang belum ramah terhadap anak difabel. Karena itu, mindset masyarakat harus diubah.

''Perlu transformasi pola pikir untuk memperlakukan anak-anak difabel dengan baik. Sebab, ini sangat penting untuk memberikan kondisi yang kondusif bagi perkembangan siswa difabel," katanya.

Pengamat pendidikan Doni Koesoema A. juga sepakat jika siswa difabel bersekolah di sekolah inklusif. Seharusnya, Doni mengatakan, anak-anak difabel harus masuk sekolah umum dulu. ''Setelah ada assessment berjenjang yang menunjukkan bahwa mereka perlu sekolah khusus, baru dimasukkan ke sekolah khusus,'' ujar Doni.

Prinsipnya, semaksimal mungkin siswa difabel digabung dengan siswa lain di sekolah umum dengan kurikulum umum. Bila mereka tidak bisa mengikuti, barulah siswa bersangkutan mengikuti proses assesssment.

Menurut Doni, seharusnya tidak ada sekolah inklusif sebab pendidikan itu sudah inklusif. Anak tunawicara, Doni mengatakan, tak harus langsung masuk ke SLB karena anak-anak ini bisa ikut sekolah umum dengan akomodasi.

Anak difabel harus melalui tahap assessment berjenjang untuk menentukan apakah ia harus masuk sekolah khusus dengan kurikulum khusus, guru khusus, dan kelas khusus. Sayangnya, di Indonesia, belum punya assessment berjenjang.

Terkait masih minimnya guru SLB maupun guru sekolah inklusif, Doni mengatakan, pemerintah harus segera memetakan kebutuhan anak-anak difabel itu. Karena, mereka untuk sementara bisa belajar di sekolah umum yang sudah siap.

Menurutnya, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan guru-guru bagi anak difabel dengan jumlah dan kualitas yang memadai. Diharapkan anak-anak difabel lebih bisa diperhatikan, terlebih bila Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyandang Disabilitas nanti disahkan.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan Anies Baswedan di Denpasar, Bali mengatakan, pendidikan inklusif akan mampu menyediakan kesempatan dan akses bagi anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan hak pendidikan yang sejalan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Angka partisipasi murni anak berkebutuhan khusus saat ini masih sekitar 34,2 persen. Data itu menunjukkan masih banyak anak berkebutuhan khusus di Indonesia belum tersentuh layanan pendidikan.

''Hal itu akibat orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus menganggap ini aib dari Yang Maha Kuasa. Mereka malu memiliki anak berkebutuhan khusus sehingga disembunyikan," katanya.
 
Sumber: Republika

No comments:

Pendidikan Keagamaan