Friday 24 October 2014

Strategi Pendidikan Antikekerasan

Oleh Doni Koesoema A. 

Konflik fisik dan kebijakan menjadi ciri pendidikan kita. Terjadinya perundungan di sekolah, maraknya tawuran pelajar antar satu sekolah dengan sekolah lain yang tak jarang merenggut korban jiwa, dan konflik kebijakan, seperti dikeluarkannya 13 siswa SMAN 70 Jakarta akibat perilaku bullying, mengajak kita untuk bercermin menemukan strategi terbaik untuk mengatasi perilaku kekerasan dalam pendidikan.

Masih segar dalam benak kita kematian Pandian Prawirodirya Arfiand, siswa SMAN 3 Jakarta setelah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler pecinta alam. Tak lama sesudah itu, Arfiand Caesar Al Irhami menyusul akibat mengikuti kegiatan yang sama. Oka Wira Satya juga meninggal sia-sia karena tawuran. Kekerasan demi kekerasan terjadi dalam lembaga pendidikan kita. Yang terbaru adalah kasus bullying di SMAN 70. 

Prioritas utama 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus segera bertindak dan menjadikan ini sebagai prioritas, bila kita tidak ingin lembaga pendidikan berubah menjadi tempat-tempat penyiksaan dan pembunuhan. Lembaga pendidikan tidak pernah boleh menjadi lembaga yang menguatkan perilaku kekerasan dalam diri siswa, baik di dalam lingkungan maupun di luar sekolah.

Persoalan kekerasan dalam pendidikan tidak bisa diatasi secara parsial dengan melihatnya kasus per kasus. Darurat kekerasan ini sudah menjadi masalah sistemik yang melahirkan kultur kekerasan dalam lingkungan pendidikan. Pelaku penganiayaan Arfiand, misalnya, sudah pernah diperingatkan atas perbuatan kekerasan yang pernah dibuatnya. Namun sayangnya, sistem komunikasi dan cara pengelolaan kegiatan pendidikan di sekolah tidak didesain untuk segera mendeteksi adanya perilaku kekerasan dan prosedur penanganannya.

Kasus Oka menunjukkan akar persoalan lain yang tidak kalah serius. Tawuran terpicu hanya karena pelaku mengidentifikasi musuh dari pakaian seragamnya. Rupanya, pakaian seragam bisa menjadi sumber terpicunya tawuran. Tentu, pemaknaan bahwa seseorang berseragam tertentu yang kemudian diidentifikasi sebagai musuh dan menjadi pemicu tawuran tidak berdiri sendiri. Ia ada dalam konteks konstelasi pengetahuan umum pelaku, bahwa seragam itulah yang membedakan diri mereka dengan yang lain. Seragam telah mengotak-ngotakkan dan membedakan, menentukan batas identitas yang jelas antara kami dan mereka.

Kasus di SMAN 70, yang membuat pihak sekolah mengeluarkan kebijakan mengembalikan siswa pelaku perundungan ke orang tua memiliki akar kekerasan berbeda. Di sekolah ini, kultur senioritas yang terjadi. Tindakan kekerasan pun tidak lagi dilakukan di lingkungan sekolah, tapi di luar sekolah. Kuatnya perilaku kekerasan ini bahkan bisa membungkam korban untuk tidak melaporkan kepada pihak sekolah. Ada ketidakpercayaan pada pihak sekolah untuk melaporkan perilaku kekerasan karena akan berakibat fatal bagi korban dalam proses pendidikan selanjutnya.

Kekerasan sudah menjadi laten dan kurikulum tersembunyi. Hal seperti ini seringkali tidak dapat terdeteksi. Kekerasan dalam pendidikan sudah menjadi kultur yang tak mampu diatasi, bahkan oleh pemimpin sekolah sekalipun. Bila kekerasan sudah menjadi cara bertindak, untuk tidak mengatakan budaya, solusi punitif bagi penanggungjawab dan pelaku sesungguhnya tidak akan menyelesaikan persoalan.

Kecenderungan pemerintah untuk mengambil kebijakan reaktif mencopot jabatan kepala sekolah, memecat guru, mengeluarkan siswa, dan menyerahkan mereka kepada aparat penegak hukum bisa menjadi sebuah sebuah kebijakan tanpa makna. Berbagai cara ini tetap tidak dapat menjawab pertanyaan, mengapa kekejaman antarteman dan sesama siswa bisa terjadi di luar kontrol dan kendali guru atau orang dewasa yang mestinya bertanggungjawab pada keamanan dan keselamatan siswa. Kultur pendidikan apa yang sedang kita bangun di sekolah-sekolah kita?

Perundungan dalam lembaga pendidikan selalu melibatkan banyak pihak dan faktor, seperti lingkungan sekolah, corak relasional antara individu dalam lingkungan pendidikan, ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan, lemahnya komunikasi dengan orang tua, rapuhnya sistem pendidikan dan aturan untuk menjaga dan melindungi keamanan siswa. Karena perilaku perundungan begitu kompleks, kiranya penyelesaian persoalan kekerasan dalam pendidikan juga harus komprehensif, menyeluruh dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. 

Lima Strategi 

Borba (2012) melihat bahwa cara-cara yang paling baik untuk mengatasi kekerasan dalam pendidikan adalah membereskan akar persoalan utama yaitu menumbuhkan rasa penghargaan satu sama lain dalam lingkungan pendidikan. Hanya dengan berfokus pada prinsip penghargaan bahwa individu itu berharga, bermartabat, dan tidak pernah boleh dirusak dan diperalat apapun alasannya, kita dapat mengembangkan kultur pendidikan yang ramah dan bersahabat. Untuk itu, menurut Borba, ada beberapa hal yang harus dilakukan.

Pertama, sekolah perlu membuat kebijakan anti-perundungan dan kekerasan. Setiap individu (pemimpin sekolah, staf guru, karyawan, orang tua, siswa dan anggota komunitas sekolah, mestinya memahami dengan jelas apa saja yang mereka harapkan dari kebijakan anti-perundungan dan apa konsekuensi-konsekuensi mereka pikul terhadap persoalan ini. Komunitas sekolah harus mampu mengidentifikasi di mana titik lemah perilaku perundungan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan. Kebijakan yang mengelompokkan, memisahkan dan membedakan individu berdasarkan ikatan primordial, seperti agama, suku, ras, kemampuan akademis, merupakan benih-benih awal tumbuhnya perilaku kekerasan.

Kedua, mendidik seluruh pemangku kepentingan (guru, staf, siswa dan orang tua) agar dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan. Mereka perlu dilatih untuk mengenali perilaku kekerasan dan tanda-tanda seseorang menjadi korban perundungan. Mereka harus mengerti jenis-jenis perilaku perundungan, seperti kekerasan fisik, verbal, relasional, seksual, dan digital/saiber. Orang tua perlu diajar tentang tanda-tanda perundungan, pencegahan, dan cara mengatasinya. Kegiatan ini hanya mungkin bila seluruh pelaku di unit sekolah menyadari pentingnya program-program ini dan berani mendesain sebuah pendekatan yang cocok untuk situasi unik kekerasan di sekolah mereka.

Ketiga, menciptakan prosedur untuk melaporkan perilaku perundungan dan kekerasan. Sekolah perlu membuat kebijakan tentang bagaimana sistem untuk menerima laporan akan tindakan kekerasan dan sistem untuk melindungi para pelapor. Studi menunjukkan bahwa ketika perilaku kekerasan itu diawasi, dan staf secara konsisten menindaklanjuti setiap laporan tentang kekerasan, perilaku ini akan berkurang. Para saksi perilaku kekerasan akan merasa nyaman melaporkan bila ada prosedur yang jelas dan mereka memiliki rasa percaya kepada para pendidik di sekolah. Sayangnya, di sekolah kita masih ada banyak siswa tidak mau melaporkan perilaku kekerasan karena merasa tidak nyaman, tidak aman, sebab pendidik kurang memiliki kredibilitas yang mampu melindungi pelapor.

Keempat, guru dan siswa harus belajar bagaimana menyikapi perilaku kekerasan untuk mengantisipasinya. Keterampilan menghadapi kasus kekerasan pendidikan dibutuhkan. Sebab, guru seringkali tahu ada perilaku kekerasan, namun tidak tahu harus berbuat apa. Kematian Ringgo, anak Sekolah Dasar, misalnya menunjukkan bahwa guru tidak tanggap terhadap laporan siswa lain ketika terjadi perilaku kekerasan. Kematian Arfiand menunjukkan bahwa saksi yang melihat korban perundungan di depan matanya pun tak mampu berbuat banyak selain membiarkan saja. Oka menjadi korban tawuran akibat seragam yang dikenakannya. Dan korban bullying di SMAN 70 tidak berani melapor karena takut hidupnya di sekolah semakin terancam bila ia melapor.

Kelima, salurkan kecenderungan agresif dalam diri individu dalam keterampilan yang dapat diterima. Perundungan dan kekerasan adalah sebuah perilaku yang dipelajari sejak kecil. Beberapa riset menunjukkan bahwa perilaku kekerasan ini semakin meningkat ketika anak memasuki usia delapan tahun. Mengubah perilaku kekerasan yang terwariskan sejak kecil tidaklah mudah. Namun, dengan berbagai latihan, pendampingan, individu dapat diajak untuk menyadari kecenderungan perilaku kekerasan dalam dirinya dengan kegiatan yang positif, mengajarkan dan memberikan pengalaman agar mereka dapat berempati dengan orang lain, mampu menguasai diri, dan mengajarkan cara-cara penyelesaian persoalan secara damai dan dialogis.

Mencegah perilaku kekerasan secara utuh, menyeluruh dan komprehensif memang sulit. Namun inilah satu-satunya cara yang harus dilakukan agar tidak jatuh lagi korban jiwa-jiwa muda yang sia-sia. Hanya dengan memasang spanduk, poster, seminar, dan memberi himbauan saja tidak akan menyelesaikan persoalan kekerasan dalam pendidikan. Apalagi memecat guru, kepala sekolah atau mengeluarkan siswa. Ini semua tidak akan menyelesaikan akar persoalan pendidikan di sekolah kita.

Kekerasan dalam pendidikan lebih terkait dengan bagaimana pendidik mampu mengubah perilaku tidak hormat menjadi sikap positif, saling menghargai keberadaan individu yang unik dan berbeda. Ini hanya mungkin bila seluruh pemangku kepentingan, seperti guru dan orang tua memiliki keterampilan membaca tanda-tanda kekerasan dalam lingkungan mereka. Pengetahuan, disertai keterampilan yang memadai, akan membantu para pendidik untuk mengantisipasi maraknya budaya kekerasan dalam pendidikan.

Kultur ini hanya bisa dibentuk bila seluruh individu yang terlibat dalam lembaga pendidikan menyadari pentingnya penghargaan terhadap masing-masing individu apapun keadaan dan perbedaannya. 

Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan 

Artikel dimuat di Media Indonesia, 29 September 2014


Sekolah Negeri Harus Bebas Simbol Agama



Kegembiraan memiliki presiden dan wa­kil presiden pilihan rakyat, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yang dilantik Senin (20/10), dibarengi dengan harapan besar seluruh rakyat. Dari dunia pendidikan, sebagian kalangan berharap di masa pemerintahannya, Jokowi-JK memerhatikan pendidikan keberagaman.

“Saya berharap presiden menetapkan menteri pendidik­an dan kebudayaan (mendikbud) yang memperlihatkan keberpihakannya pada keberagaman,” ujar Henny Supolo Sitepu kepada SH, Senin (20/10).

Pendiri Yayasan Cahaya Guru ini mengatakan, keberpihakan terhadap keberagaman harus tampak melalui kebijakan dan peraturan yang ditetapkan. Mendikbud baru, menurut Henny, antara lain harus dapat mengevaluasi berbagai fakta di lapangan yang menunjukkan praktik-praktik pendidikan yang tidak sesuai kebinekaan.

“Mendikbud harus me­netapkan peraturan untuk memastikan pelaksanaan penghargaan terhadap kebinekaan menjadi praktik keseharian,” tutur anggota Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).

Menurut Henny, mendikbud mendatang juga harus memastikan visi keragaman dimiliki setiap pejabat di Kemendikbud.

Apabila ada pihak-pihak yang dalam menjalan­kan tugas mereka tidak dapat merefleksikan kebijakan dan peraturan keberagaman, sebaiknya segera diganti.

Pengamat pendidikan, Doni Koesoema Albertus, dalam sebuah kesempatan mengatakan, selama ini spirit keragaman di sekolah diterjemahkan secara salah kaprah. Keragaman hanya pada ke­giatan bersama, siswa muslim berkumpul dengan sesama muslim, siswa Kristen dengan sesama siswa Kristen, dan se­terusnya.

Seharusnya, dikembangkan sedemikian rupa se­hingga dapat mengembangkan hubungan antarsiswa yang saling berbeda.

“Masing-masing siswa yang berbeda agama tidak pernah ‘berkomunikasi’,” kata Doni.

Seluruh siswa perlu dilatih menghormati perbedaan antara satu dengan yang lainnya, termasuk perbedaan agama. Menurut Doni, pendidikan keberagaman terkendala kesulitan berdialog tentang agama masing-masing dengan pihak lain. Pasalnya, perbedaan keyakinan seolah-olah menjadi halangan untuk menghakimi orang lain. Keyakinan yang berbeda-beda tersebut justru menghalangi untuk bekerja sama.

“Kita tidak bisa menghakimi satu sama lain karena masing-masing sama-sama yakin. Namun yang jadi masalah kita, saat ini apakah keyakin­an yang kita miliki jadi halangan untuk bekerja sama?” ucap Doni.

Ia mengharapkan sema­ngat kebinekaan yang diusung Proklamator Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Soekarno-Hatta kembali menjadi semangat bangsa ini. “Kebinekaan jangan lagi dipertentangkan dengan ma­yoritas-minoritas,” ujar Doni.


Sumber : Sinar Harapan

Legitimasi Moral Dewan Pendidikan Nasional



Kompas, 16 Oktober 2014
Oleh Doni Koesoema A.
 

Salah satu kritik pedas para akademisi dan praktisi pendidikan terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah kelalaiannya dalam membentuk lembaga mandiri yang menjadi pengawas kebijakan pendidikan nasional, yaitu Dewan Pendidikan Nasional (DPN). Meskipun, sah-sah saja bila diakhir masa jabatannya Presiden SBY membentuk DPN, namun legitimasi moral pembentukan DPN ini dipertanyakan, karena sarat kepentingan politis.

Kemendikbud membuka pendaftaran anggota DPN mulai 15-22 September 2014. Kritik Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) atas pembentukan DPN masuk akal dan dapat diterima. FSGI mengkritik bahwa pembentukan DPN tidak tepat waktu, persyaratannya pun melecehkan kandidat anggota DPN, selain itu, dasar hukum pembentukan DPN ternyata menyimpang dengan amanat UU Sisdiknas 2003 pasal 56 (ayat 2) tentang DPN sebagai lembaga mandiri dan tidak di bawah hirarki Kemendikbud.

Dewan Pendidikan Nasional memiliki fungsi strategis dalam mengawal dan mengawasi kebijakan nasional pendidikan yang dikeluarkan oleh Kemendikbud. Selama hampir 10 tahun, lembaga ini (sengaja) tidak dibentuk oleh Presiden SBY. Kita tidak tahu pasti apa alasan Presiden SBY menunda-nunda pembentukan DPN. Yang jelas, dengan tertundanya pembentukan DPN, pengambilan keputusan terkait kebijakan nasional pendidikan menjadi tidak terkontrol. Sebaliknya, kebijakan pendidikan nasional yang menentukan nasib seluruh bangsa ini hanya ditentukan oleh segelinter elite di kemendikbud yang memiliki kekuasaan tak terbatas dalam memaksakan ide-ide pendidikannya, meskipun telah terbukti gagal. Salah satu kebijakan nasional pendidikan yang terbukti gagal adalah Ujian Nasional. Yang segera akan menyusul kegagalan, karena didesain secara serampangan adalah kebijakan pemaksaan implementasi Kurikulum 2013.

Delegitimasi publik

Membentuk lembaga sesetrategis DPN, hanya beberapa hari sebelum turun tahta, apalagi bila disertai keberatan dan protes dari masyarakat, salah satunya dari FSGI, telah mendelegitimasi proses pembentukan DPN. Meskipun pemerintah tetap akan keras kepala dan bersikeras membentuk DPN, seperti adatnya selama 10 tahun terakhir ini yang semakin gemar memaksakan kehendak, pembentukan DPN ini telah cacat secara moral. Legitimasi moral pembentukan DPN dipertanyakan.

Mempertanyakan legitimasi moral sebuah keputusan politik adalah hal yang wajar dalam masyarakat demokrasi yang beradab. Kita tahu, demokrasi bisa dibajak. Peraturan pun bisa dikangkangi oleh pembuat peraturan demi membela dan menyelamatkan kepentingan diri dan kelompoknya. Legitimasi moral sebuah kebijakan adalah dasar bagi proses pemartabatan kehidupan demokrasi. Demokrasi tanpa landasan moral hanya akan menjadi proses politik yang membajak dan melecehkan aspirasi rakyat.

Membentuk sebuah lembaga yang  memiliki peran penting bagi keberlangsungan pendidikan nasional di masa depan, tidak dapat dilakukan tanpa persiapan dan sosialisasi yang baik, sebab yang direkrut adalah individu-individu terbaik yang memiliki pemikiran kritis dan visi ke depan bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Sayangnya, alokasi waktu pendaftaran yang terbatas, sosialisasi yang terkesan tertutup dan persyaratan yang tidak relevan justru yang terjadi.

Proses pemilihan anggota DPN tidak diawali dengan proses sosialisasi ke publik melalui media, sehingga masyarakat umum bisa mempersiapkan proses seleksi dengan lebih baik. Lebih lagi, proses pengumuman pendaftaran terkesan dilakukan dengan diam-diam. Sosialisasi tentang seleksi ini diperlukan agar banyak anggota DPN berkualitas menduduki posisi ini yang terjaring dari seluruh Indonesia.

Persyaratan yang ditentukan pun ternyata tidak relevan. Untuk memilih anggota DPN yang akan menjadi pengawas kebijakan pendidikan, terkait dengan visi dan komitmen kandidat atas pendidikan nasional tidak dipersyaratkan, melainkan justru Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Apakah mereka yang mendesain syarat-syarat ini takut kalau yang masuk adalah para teroris, sehingga mereka perlu SKCK ini? Malah yang lebih penting, seperti tulisan ringkas mengenai alasan mengapa mereka layak menjadi anggota DPN yang menunjukkan visi dan misi kandidat tidak ada. Apalagi, dalam praktiknya, SKCK mempersyaratkan banyak hal, seperti surat keterangan RT, RW, Kelurahan, foto kopi KK, KTP, dan Pas foto. Siapa yang bisa mempersiapkan hal ini dalam waktu cepat? Kita tahu, urusan birokrasi di negeri kita, mulai dari RT, RW, Kelurahan masih sangat lambat dan tidak efektif.

Agenda penetapan anggota DPN oleh Menteri pada tanggal 20 September, satu haru sebelum pelantikan Presiden terpilih Jokowidodo, juga menimbulkan pertanyaan. Mengapa setelah 10 tahun abai terhadap DPN, sekarang seolah-olah harus segera membantuk DPN, seakan-akan dunia pendidikan kita akan runtuh bila DPN tidak terbentuk? Kebijakan yang grusa-grusu seperti ini merupakan pola yang sama dengan ketika pemerintah memaksakan pelaksanaan Kurikulum 2013, yang seolah-olah langit akan runtuh bila Kurikulum 2013 tidak segera dilaksanakan. Pantaslah bila masyarakat melihat pembentukan DPN ini hanya sekedar sebagai sarana untuk melegitimasi kebijakan pendidikan yang sudah ada, apalagi bila independensi lembaga ini terpasung sebab yang memilih mereka adalah Menteri.

Santun Politik

Pemerintah semestinya melakukan evaluasi kebijakan yang salah kaprah dan tidak memberikan banyak manfaat bagi pemangku kepentingan pendidikan, seperti kebijakan UN dan Kurikulum 2013, bukan malah melakukan apa yang tidak seharusnya dia lakukan dengan membentuk DPN.

Bila pemerintahan SBY memiliki niat baik, berdasarkan pemikiran rasional dan jernih nuraninya, mestinya pembentukan DPN diserahkan saja kepada pemerintah baru. Yang memiliki kepentingan utama membentuk DPN adalah pemerintah yang akan menjalankan kebijakan pendidikan. Ini adalah bentuk santun politik dalam alam demokrasi.

Presiden SBY mestinya meninggalkan tahta kekuasaannya dengan berdiri tegak sebagai pemimpin moral yang jernih akal budi dan memiliki kesantunan politik santun sebagai negarawan. Meninggalkan kebijakan politik yang cacat secara moral akan menghancurkan kredibilitas kenegarawanan yang sudah dibangun oleh Presiden SBY selama sepuluh tahun kepemimpinannya.

Doni Koesoema A. Pemerhati pendidikan.

Sunday 5 October 2014

Kebijakan Pendidikan Harus Direvisi

PEMERINTAHAN baru di bawah Joko Widodo-Jusuf Kalla diminta melakukan sejumlah perubahan di bidang kebijakan pendidikan nasional. Salah satu kebijakan yang mendesak dilakukan ialah memoratorium pelaksanaan Kurikulum 2013 dan menghapus ujian nasional (UN) sebagai syarat kelulusan.

''Isi kurikulum 2013 bermasalah dan cara pengajaran belum teruji. Jadi kembalikan saja ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, sambil melengkapi dan memperkaya pola pelatihan guru yang berbasis sekolah, bukan mata pelajaran (individu),'' kata kon sultan pendidikan Doni Koesoema A, saat membacakan rekomendasi Jakarta Education Forum (JEF), dalam diskusi Revolusi Mental dalam Pendidikan, di Jakarta kemarin.

Hadir dalam diskusi tersebut Prof Dr HAR Tilaar, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof Sudiarto dari Universitas Negeri Jakarta, pemerhati pendidikan Darmaningtyas, dan beberapa asosiasi guru.

Selain itu, lanjut Doni, JEF juga meminta Dewan Pendidikan Nasional (DPN) sebagai mekanisme kontrol kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dikembalikan fungsinya sebagai lembaga mandiri dan independen dengan cara merevisi PP 17 Tahun 2010.

''Untuk itu, JEF meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghentikan DPN yang akan dikukuhkan pada 19 Oktober, sehari sebelum Presiden Jokowi-JK dilantik,'' tambah pendiri Pendidikan Karakter Education Consulting itu.

DPN, lanjutnya, memang usulan JEF, tetapi proses perekrutan anggotanya tidak sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional.
Lebih lanjut, Doni menyampaikan empat butir rekomendasi lainnya, yakni soal peningkatan kualitas guru harus dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan pengembangan profesional guru melalui kelompok kerja guru.

Selanjutnya, mereformasi lembaga pendidikan tenaga kependidikan, mendesentralisasi pengelolaan guru, memprioritaskan pendidikan untuk daerah terpencil dan di perbatasan, dan yang terakhir ialah mengembangkan sekolah vokasional yang relevan dengan memperbanyak teknopark sesuai kebutuhan lokal.

Di sisi lain, HAR Tilaar berharap Kemendikbud di era Jokowi-JK dapat mengembalikan tujuan pendidikan nasional yang sesuai dengan UUD 1945, yakni mencerdaskan bangsa. ''Saat ini kita masih school society, belum education society. Kita harus mengembalikan ke konsep pendidikan Ki Hajar Dewantoro,'' kata Tilaar. Tugas pendidikan, tambah dia, harus memelihara dan mengembangkan kebudayaannya.

Dalam diskusi yang dimoderatori oleh Baedowi, Direktur Sekolah Yayasan Sukma, Tilaar juga menegaskan bahwa pendidikan itu harus ditransmisikan ke generasi muda lalu dikembangkan. Transmisi itu terjadi dalam pendidikan dasar hingga menengah, barulah di pendidikan tinggi dikembangkan. ''Jadi pendidikan tinggi itu pengembang budaya dan tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan dasar menengah,'' ujar nya.

JEF merupakan inisiatif publik yang prihatin dengan isu pendidikan saat ini, terutama soal menurunnya konsep keberagaman, kebernegaraan, dan Pancasila di kalangan anak didik ataupun pendidik. Pada April lalu, lanjutnya, JEF berdiskusi untuk memasukkan konsep perbaikan pendidikan, baik visi, strategi, maupun rekomendasi ke presiden baru nanti. 

Friday 3 October 2014

SBY-Boediono Gagal Lindungi Anak Bangsa

JAKARTA, KOMPAS.com — Menjelang akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, kasus kekerasan terhadap pelajar terus bermunculan. Pelecehan seksual di TK JIS dan kekerasan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) adalah dua di antaranya. Pemerintahan ini dinilai gagal melindungi para pelajar.

"Kasus kejahatan seksual di JIS dan meninggalnya mahasiswa STIP adalah fakta terbaru betapa kekerasan dalam pendidikan senantiasa mengancam masa depan dan kehidupan anak-anak kita," ujar Doni Koesoema dari Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), saat jumpa pers di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Selasa (29/4/2014).

Kekerasan lain yang merenggut nyawa terjadi juga pada mahasiswa Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang pada masa orientasi serta kasus tawuran siswa SMAN 6 dan SMAN 70 di Jakarta. Banyaknya tunas bangsa yang meninggal sia-sia dalam tawuran, menurut Doni, menjadi indikasi bahwa pemerintah SBY-Boediono gagal melaksanakan amanat Pasal 28 Ayat 2 UUD 1945.

Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada 2013, sebut Doni, menunjukkan angka tawuran mencapai 112 kasus dengan korban tewas 20 pelajar.

Dari 1.026 responden anak (SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA) yang tersebar di 9 provinsi, 87,6 persen responden mengaku mengalami tindak kekerasan di sekolah. Doni berharap, pemerintah mampu mengurangi dan menghilangkan kekerasan di lingkungan pendidikan. Caranya, dengan membuat kebijakan pendidikan yang memprioritaskan keamanan dan kenyamanan di lingkungan sekolah.

Selain itu, lanjut Doni, regulasi juga perlu dibenahi terkait sanksi yang konsisten dan ketat. Sanksi untuk sekolah yang terbukti memiliki kasus kekerasan, sebut dia, mulai dari penurunan nilai akreditasi, pencopotan pimpinan sekolah, hingga pencabutan izin operasional lembaga pendidikan bila tetap membiarkan terjadinya aksi kekerasan.

"Pemerintah perlu mengadakan kajian yang tuntas disertai kebijakan pendidikan yang komprehensif agar kekerasan di lingkungan pendidikan, yang kemudian mengorbankan anak, tidak terjadi lagi," ujar Doni.

Sumber: Kompas.com 

Penulis: Arimbi Ramadhiani

Editor

: Palupi Annisa Auliani

Pendidikan Keagamaan