Friday, 24 October 2014

Sekolah Negeri Harus Bebas Simbol Agama



Kegembiraan memiliki presiden dan wa­kil presiden pilihan rakyat, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yang dilantik Senin (20/10), dibarengi dengan harapan besar seluruh rakyat. Dari dunia pendidikan, sebagian kalangan berharap di masa pemerintahannya, Jokowi-JK memerhatikan pendidikan keberagaman.

“Saya berharap presiden menetapkan menteri pendidik­an dan kebudayaan (mendikbud) yang memperlihatkan keberpihakannya pada keberagaman,” ujar Henny Supolo Sitepu kepada SH, Senin (20/10).

Pendiri Yayasan Cahaya Guru ini mengatakan, keberpihakan terhadap keberagaman harus tampak melalui kebijakan dan peraturan yang ditetapkan. Mendikbud baru, menurut Henny, antara lain harus dapat mengevaluasi berbagai fakta di lapangan yang menunjukkan praktik-praktik pendidikan yang tidak sesuai kebinekaan.

“Mendikbud harus me­netapkan peraturan untuk memastikan pelaksanaan penghargaan terhadap kebinekaan menjadi praktik keseharian,” tutur anggota Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).

Menurut Henny, mendikbud mendatang juga harus memastikan visi keragaman dimiliki setiap pejabat di Kemendikbud.

Apabila ada pihak-pihak yang dalam menjalan­kan tugas mereka tidak dapat merefleksikan kebijakan dan peraturan keberagaman, sebaiknya segera diganti.

Pengamat pendidikan, Doni Koesoema Albertus, dalam sebuah kesempatan mengatakan, selama ini spirit keragaman di sekolah diterjemahkan secara salah kaprah. Keragaman hanya pada ke­giatan bersama, siswa muslim berkumpul dengan sesama muslim, siswa Kristen dengan sesama siswa Kristen, dan se­terusnya.

Seharusnya, dikembangkan sedemikian rupa se­hingga dapat mengembangkan hubungan antarsiswa yang saling berbeda.

“Masing-masing siswa yang berbeda agama tidak pernah ‘berkomunikasi’,” kata Doni.

Seluruh siswa perlu dilatih menghormati perbedaan antara satu dengan yang lainnya, termasuk perbedaan agama. Menurut Doni, pendidikan keberagaman terkendala kesulitan berdialog tentang agama masing-masing dengan pihak lain. Pasalnya, perbedaan keyakinan seolah-olah menjadi halangan untuk menghakimi orang lain. Keyakinan yang berbeda-beda tersebut justru menghalangi untuk bekerja sama.

“Kita tidak bisa menghakimi satu sama lain karena masing-masing sama-sama yakin. Namun yang jadi masalah kita, saat ini apakah keyakin­an yang kita miliki jadi halangan untuk bekerja sama?” ucap Doni.

Ia mengharapkan sema­ngat kebinekaan yang diusung Proklamator Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Soekarno-Hatta kembali menjadi semangat bangsa ini. “Kebinekaan jangan lagi dipertentangkan dengan ma­yoritas-minoritas,” ujar Doni.


Sumber : Sinar Harapan

No comments:

Pendidikan Keagamaan