Sabtu, 23 Mei 2015 | 11:23
[JAKARTA] Pengamat Pendidikan,
Darmaningtyas mengatakan, fenomena ijazah palsu muncul karena adanya permintaan
dari pasar. Ketika persyaratan pegawai negeri maupun swasta lebih mengandalkan
gelar atau ijazah terakhir, sehingga masyarakat pun akan menyiatinya
dengan cerdik.
Menurut Tyas, bagi mereka yang tidak
memiliki ijazah Strata satu (S-1) dan sementara persyaratan dapat diterima
kerja itu minimum S1, maka mereka akan mencari ijazah S1 bagaimana pun caranya.
"Pengetahuan yang setimpal
dengan gelar S1 dapat mereka usahakan sendiri," kata Tyas kepada Suara
Pembaruan, Sabtu, (23/5).
Dia menambahkan, demikian pula
dengan ijasah S3 juga akan mereka usahakan dengan cara apa pun, jika
persyaratan-persyaratan tertentu mengutamakan yang berpendidikan S3.
Adanya kebutuhan ijazah instan
inilah yang dibaca sebagai peluang usaha bagi mereka yang lihai membaca peluang
untuk bisnis ijazah palsu.
Namun umumnya ijazah palsu itu
diperjual belikan oleh perguruan tinggi yg tidak memiliki kredibilitas, baik
PTN maupun PTS. Sedangkan bagi yang memiliki kredibilitas, tidak akan mau
memberikan ijazah palsu karena itu sama saja dengan bunuh diri.
Tyas mengatakan, sanksi bagi PT yang
mengeluarkan ijazah palsu cukup diumumkan secara terbuka ke media massa, pasti
masyarakat akan menghakimi sendiri dangan cara tidak mau masuk ke sana.
"Itu sudah pernah terjadi pada
beberapa PTS yang tidak bisa saya sebutkan. Bahkan PTS itu tidak menjual ijazah
palsu, tapi hanya obral nilai pada beberapa mahasiswa yang berani membayar
besar. Meskipun demikian, dalam tempo sekejap reputasinya hancur. Bila ketahuan
menjual ijazah palsu pasti hancur," ujar Tyas.
Dia menekankan, jika sampai ada PT
yang menjual ijazah palsu berarti Kopertis dan Dikti juga bertanggung jawab
karena itu berarti lemah dalam pengawasan. Jadi kritik tidak hanya tertuju
kepada PT yang mengeluarkan ijazah palsu, tetapi juga pada Dikti dan Kopertis
yg lemah mengawasi PTN/PTS tersebut.
Sementara, Pemerhati
pendidikan, Doni Koesoema A, mengatakan, pemalsu ijasah adalah pelaku kriminal,
karena menduduki jabatan dengan tidak adil, dan tidak berhak menduduki
jabatan tersebut.
Doni mengatakan, pejabat yang
terlibat harus dituntut secara hukum dan lembaga yang
mengeluarkan harus diusut dan dikenai sanksi hukum.
Sumber: Investor Indonesia