Doni Koesoema A.
Di tengah kultur korup yang
menggerus sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, mendidik kejujuran merupakan
tantangan berat bagi para pendidik. Ketika Ujian Nasional (UN) telah dilepas dari
beban utamanya sebagai penentu kelulusan pun, kebocoran soal UN dan
ketidakjujuran tetap terjadi. Mengakui adanya ketidakjujuran dan mau
berkomitmen memberantasnya merupakan langkah awal yang baik.
Ketidakjujuran telah menyerambah
hampir di seluruh bidang pendidikan, mulai dari saat siswa mendaftar sekolah
(managemen sekolah), masuk kelas dan melakukan kegiatan pembelajaran (pedagogi),
sampai proses evaluasi dan penilaian pendidikan (asesmen).
Fenomena jual beli kursi saat
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) bukanlah hal yang baru. Di Provinsi
Banten, untuk pendaftar Sekolah Dasar ada istilah membayar “uang bangku” alias
jaminan awal, agar siswa dapat masuk Sekolah Dasar Negeri. Besarnya pun tiap
tahun semakin meningkat. Jual beli “bangku” sekolah adalah indikasi nyata tidak
dihargainya kejujuran dan prestasi siswa.
Sistem pendaftaran online yang
dianggap sebagai bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme pun ternyata tetap
bisa diakali. Modus utamanya biasanya adalah pembatasan data dan informasi terhadap
publik, melebihkan jumlah rombongan belajar dan kolusi dengan panitia PPDB.
Muncullah istilah “siswa siluman”. Siswa ini tidak lolos dalam seleksi online, atau
tidak pernah mendaftar, namun tiba-tiba bisa duduk manis sebagai siswa baru di
tahun ajaran baru.
Di dalam kelas, fenomena
ketidakjujuran terjadi ketika siswa mencontek saat ulangan harian, ujian tengah
semester, ujian akhir sekolah maupun Ujian Nasional. Bentuk perilaku
ketidakjujuran lain yang sering terjadi adalah pekerjaan rumah (PR) yang dikerjakan
oleh orang tua, siswa mengerjakan PR di sekolah, atau mempergunakan mata
pelajaran lain untuk mengerjakan PR.
Dalam menilai siswa pun,
ketidakjujuran merebak di mana-mana. Sistem katrol nilai saat penentuan
kenaikan kelas di akhir tahun pun sudah dianggap sebagai hal yang lumrah di
kalangan para pendidik. Rapat dewan guru bisa berisi negosiasi tentang
bagaimana mendongkrak nilai siswa sehingga siswa tertentu tetap dapat naik
kelas.
Agar semua siswa lulus,
mendongkrak nilai Ujian Sekolah pun dilakukan. Bila mendongkrak nilai Ujian
Sekolah pun masih belum mampu, ada strategi lain, yaitu dengan melakukan
kecurangan sistematis, baik itu dengan membantu siswa dengan memberikan jawaban
yang benar, atau menghapus jawaban siswa dan menggantinya dengan jawaban yang
lebih benar.
Ada seribu cara untuk
memanipulasi nilai siswa, baik dari unit sekolah, oleh guru, pendidik, kepala
sekolah, maupun di kalangan penyelenggara ujian itu sendiri, mulai dari
pembuatan soal, percetakan, sampai ke pendistribusian dan pelaksaan UN itu
sendiri. Di Bekasi bahkan pernah beredar tawaran untuk mengubah nilai Ujian
Nasional siswa oleh oknum-oknum tertentu yang memiliki akses pada data nilai
Ujian Nasional Siswa dengan imbalan tertentu. Tahun lalu, soal UN malah bocor di
google drive.
Kelemahan sistem
Ketidakjujuran dalam pendidikan
terjadi bukan saja karena kelemahan individu per individu, melainkan karena ada
sebuah sistem dan struktur yang memaksa individu-individu itu untuk berlaku
tidak jujur. Gagasan Mendikbud Anies untuk mempublikasi nilai Indeks Integritas
Ujian Nasional (IIUN) sekolah harus dibaca sebagai sebuah kesadaran bahwa
persoalan ketidakjujuran dalam pendidikan merupakan persoalan sistemik
ketimbang individual.
Hasil Indeks Integritas Ujian
Nasional (IIUN) yang dirilis oleh Kemdikbud menunjukkan bahwa kualitas
kejujuran atau integritas siswa dalam melaksanakan UN masih rendah. Masih ada
sekitar 50 persen sekolah berada di dalam posisi IIUN rendah, namun dengan
nilai UN tinggi. Ini artinya, nilai tinggi dalam UN tidaklah murni karena
kejujuran dari siswa, melainkan karena indeks integritasnya rendah. Terlepas
dari polemik tentang cara perhitungan dan metodenya, rekapitulasi IIUN
menunjukkan fakta bahwa pelaksanaan UN belumlah sesuai dengan yang diharapkan.
Indeks Integritas Ujian Nasional
hanyalah salah satu alat ukur untuk menunjukkan pada kita bahwa persoalan
ketidakjujuran dalam pendidikan kita sudah berada di ambang yang membahayakan
bagi masa depan bangsa. Korupsi tidak akan bisa diberantas bila sumber
pendidikan awal bagi kehadiran warga negara yang bertanggungjawab tidak mampu
menumbuhkan kultur kejujuran yang melahirkan komitmen dari individu untuk
memperjuangkannya.
Data-data IIUN tidak akan
bermakna apa-apa bila hanya berhenti sekedar paparan data. Pemerintah perlu
segera mendesain kebijakan yang lebih strategis agar pelaksanaan Ujian Nasional
memiliki integritas yang tinggi dan proses pembelajaran di lingkungan
pendidikan sungguh menumbuhkan kultur kejujuran.
Langkah strategis
Beberapa kebijakan perlu segera
dilakukan untuk menumbuhkan kultur kejujuran dalam dunia pendidikan. Pertama,
pemerintah perlu memberikan pelatihan pada penyelenggara ujian agar dapat
melaksanakan ujian sesuai dengan standard yang berlaku, mulai dari proses
pembuatan soal sampai pelaksanaan dan pasca-pelaksanaan UN.
Kedua, pemerintah perlu segera
merespons bila ada indikasi kecurangan dalam sebuah ujian, dan
menindaklanjutinya secara strategis.
Ketiga, perlindungan perlu
diberikan kepada whistle-blower yang
melaporkan berbagai macam perilaku kecurangan selama Ujian Nasional.
Dari sisi pedagogi dan
pengembangan kultur sekolah yang menumbuhkan sikap jujur, pemerintah perlu
mengajak sekolah-sekolah untuk menumbuhkan kultur kejujuran dalam berbagai
macam dimensi, mulai dari proses penerimaan peserta didik baru sampai dengan
proses penilaian pendidikan yang sudah dipercayakan kepada guru dan sekolah.
Pendampingan dan pengembangan
keterampilan dalam menilai diperlukan agar para guru semakin terampil
memberikan penilaian pada siswa secara jujur dan tepat sasaran dalam membantu
menumbuhkan pengetahuan dan keterampilan siswa.
Menumbuhkan kultur pendidikan
yang jujur memerlukan sebuah sistem dan lingkungan belajar yang ramah. Lebih
dari itu, adalah sebuah kondisi yang tidak dapat ditawar yaitu adanya
integritas moral pendidik. Integritas moral dan keteladanan dalam diri pendidik
akan muncul bila didukung oleh sebuah sistem, struktur dan kebijakan pendidikan
yang ramah bagi bertumbuhnya nilai-nilai kejujuran.
Hanya dengan integritas moral
seperti ini, sistem katrol nilai, penggelembungan nilai, jual beli nilai, dan
tindak kecurangan selama UN maupun dalam proses pembelajaran harian akan
pelan-pelan terkikis. Mendidik kejujuran memerlukan sinergi dari seluruh
pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, pejabat, guru, dan orang tua.
Tanpa sinergi yang sistematis dan terstruktur, mustahil bagi kita untuk
mengurai benang kusut persoalan ketidakjujuran di lingkungan pendidikan.
Ketidakjujuran hanya bisa diatasi
dengan secara jujur mengakui bahwa ketidakjujuran masih menjadi cara bertindak
dalam setiap proses pendidikan kita. Komitmen seluruh pemangku kepentingan
pendidikan diperlukan. Tanpa pengakuan dan komitmen ini, mustahillah budaya jujur
bertumbuh di lingkungan pendidikan kita.
Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan
Opini dimuat di harian KOMPAS, Selasa, 21 Juli 2015