Wednesday 5 August 2015

Mendidik Kejujuran


Doni Koesoema A. 

Di tengah kultur korup yang menggerus sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, mendidik kejujuran merupakan tantangan berat bagi para pendidik. Ketika Ujian Nasional (UN) telah dilepas dari beban utamanya sebagai penentu kelulusan pun, kebocoran soal UN dan ketidakjujuran tetap terjadi. Mengakui adanya ketidakjujuran dan mau berkomitmen memberantasnya merupakan langkah awal yang baik.

Ketidakjujuran telah menyerambah hampir di seluruh bidang pendidikan, mulai dari saat siswa mendaftar sekolah (managemen sekolah), masuk kelas dan melakukan kegiatan pembelajaran (pedagogi), sampai proses evaluasi dan penilaian pendidikan (asesmen).

Fenomena jual beli kursi saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) bukanlah hal yang baru. Di Provinsi Banten, untuk pendaftar Sekolah Dasar ada istilah membayar “uang bangku” alias jaminan awal, agar siswa dapat masuk Sekolah Dasar Negeri. Besarnya pun tiap tahun semakin meningkat. Jual beli “bangku” sekolah adalah indikasi nyata tidak dihargainya kejujuran dan prestasi siswa.

Sistem pendaftaran online yang dianggap sebagai bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme pun ternyata tetap bisa diakali. Modus utamanya biasanya adalah pembatasan data dan informasi terhadap publik, melebihkan jumlah rombongan belajar dan kolusi dengan panitia PPDB. Muncullah istilah “siswa siluman”. Siswa ini tidak lolos dalam seleksi online, atau tidak pernah mendaftar, namun tiba-tiba bisa duduk manis sebagai siswa baru di tahun ajaran baru.

Di dalam kelas, fenomena ketidakjujuran terjadi ketika siswa mencontek saat ulangan harian, ujian tengah semester, ujian akhir sekolah maupun Ujian Nasional. Bentuk perilaku ketidakjujuran lain yang sering terjadi adalah pekerjaan rumah (PR) yang dikerjakan oleh orang tua, siswa mengerjakan PR di sekolah, atau mempergunakan mata pelajaran lain untuk mengerjakan PR.

Dalam menilai siswa pun, ketidakjujuran merebak di mana-mana. Sistem katrol nilai saat penentuan kenaikan kelas di akhir tahun pun sudah dianggap sebagai hal yang lumrah di kalangan para pendidik. Rapat dewan guru bisa berisi negosiasi tentang bagaimana mendongkrak nilai siswa sehingga siswa tertentu tetap dapat naik kelas.

Agar semua siswa lulus, mendongkrak nilai Ujian Sekolah pun dilakukan. Bila mendongkrak nilai Ujian Sekolah pun masih belum mampu, ada strategi lain, yaitu dengan melakukan kecurangan sistematis, baik itu dengan membantu siswa dengan memberikan jawaban yang benar, atau menghapus jawaban siswa dan menggantinya dengan jawaban yang lebih benar.

Ada seribu cara untuk memanipulasi nilai siswa, baik dari unit sekolah, oleh guru, pendidik, kepala sekolah, maupun di kalangan penyelenggara ujian itu sendiri, mulai dari pembuatan soal, percetakan, sampai ke pendistribusian dan pelaksaan UN itu sendiri. Di Bekasi bahkan pernah beredar tawaran untuk mengubah nilai Ujian Nasional siswa oleh oknum-oknum tertentu yang memiliki akses pada data nilai Ujian Nasional Siswa dengan imbalan tertentu. Tahun lalu, soal UN malah bocor di google drive.

Kelemahan sistem 

Ketidakjujuran dalam pendidikan terjadi bukan saja karena kelemahan individu per individu, melainkan karena ada sebuah sistem dan struktur yang memaksa individu-individu itu untuk berlaku tidak jujur. Gagasan Mendikbud Anies untuk mempublikasi nilai Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN) sekolah harus dibaca sebagai sebuah kesadaran bahwa persoalan ketidakjujuran dalam pendidikan merupakan persoalan sistemik ketimbang individual.

Hasil Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN) yang dirilis oleh Kemdikbud menunjukkan bahwa kualitas kejujuran atau integritas siswa dalam melaksanakan UN masih rendah. Masih ada sekitar 50 persen sekolah berada di dalam posisi IIUN rendah, namun dengan nilai UN tinggi. Ini artinya, nilai tinggi dalam UN tidaklah murni karena kejujuran dari siswa, melainkan karena indeks integritasnya rendah. Terlepas dari polemik tentang cara perhitungan dan metodenya, rekapitulasi IIUN menunjukkan fakta bahwa pelaksanaan UN belumlah sesuai dengan yang diharapkan.

Indeks Integritas Ujian Nasional hanyalah salah satu alat ukur untuk menunjukkan pada kita bahwa persoalan ketidakjujuran dalam pendidikan kita sudah berada di ambang yang membahayakan bagi masa depan bangsa. Korupsi tidak akan bisa diberantas bila sumber pendidikan awal bagi kehadiran warga negara yang bertanggungjawab tidak mampu menumbuhkan kultur kejujuran yang melahirkan komitmen dari individu untuk memperjuangkannya.

Data-data IIUN tidak akan bermakna apa-apa bila hanya berhenti sekedar paparan data. Pemerintah perlu segera mendesain kebijakan yang lebih strategis agar pelaksanaan Ujian Nasional memiliki integritas yang tinggi dan proses pembelajaran di lingkungan pendidikan sungguh menumbuhkan kultur kejujuran. 

Langkah strategis 

Beberapa kebijakan perlu segera dilakukan untuk menumbuhkan kultur kejujuran dalam dunia pendidikan. Pertama, pemerintah perlu memberikan pelatihan pada penyelenggara ujian agar dapat melaksanakan ujian sesuai dengan standard yang berlaku, mulai dari proses pembuatan soal sampai pelaksanaan dan pasca-pelaksanaan UN.

Kedua, pemerintah perlu segera merespons bila ada indikasi kecurangan dalam sebuah ujian, dan menindaklanjutinya secara strategis.

Ketiga, perlindungan perlu diberikan kepada whistle-blower yang melaporkan berbagai macam perilaku kecurangan selama Ujian Nasional.

Dari sisi pedagogi dan pengembangan kultur sekolah yang menumbuhkan sikap jujur, pemerintah perlu mengajak sekolah-sekolah untuk menumbuhkan kultur kejujuran dalam berbagai macam dimensi, mulai dari proses penerimaan peserta didik baru sampai dengan proses penilaian pendidikan yang sudah dipercayakan kepada guru dan sekolah.

Pendampingan dan pengembangan keterampilan dalam menilai diperlukan agar para guru semakin terampil memberikan penilaian pada siswa secara jujur dan tepat sasaran dalam membantu menumbuhkan pengetahuan dan keterampilan siswa.

Menumbuhkan kultur pendidikan yang jujur memerlukan sebuah sistem dan lingkungan belajar yang ramah. Lebih dari itu, adalah sebuah kondisi yang tidak dapat ditawar yaitu adanya integritas moral pendidik. Integritas moral dan keteladanan dalam diri pendidik akan muncul bila didukung oleh sebuah sistem, struktur dan kebijakan pendidikan yang ramah bagi bertumbuhnya nilai-nilai kejujuran.

Hanya dengan integritas moral seperti ini, sistem katrol nilai, penggelembungan nilai, jual beli nilai, dan tindak kecurangan selama UN maupun dalam proses pembelajaran harian akan pelan-pelan terkikis. Mendidik kejujuran memerlukan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, pejabat, guru, dan orang tua. Tanpa sinergi yang sistematis dan terstruktur, mustahil bagi kita untuk mengurai benang kusut persoalan ketidakjujuran di lingkungan pendidikan.

Ketidakjujuran hanya bisa diatasi dengan secara jujur mengakui bahwa ketidakjujuran masih menjadi cara bertindak dalam setiap proses pendidikan kita. Komitmen seluruh pemangku kepentingan pendidikan diperlukan. Tanpa pengakuan dan komitmen ini, mustahillah budaya jujur bertumbuh di lingkungan pendidikan kita. 

Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan
Opini dimuat di harian KOMPAS, Selasa, 21 Juli 2015

No comments:

Pendidikan Keagamaan