Showing posts with label Ujian Nasional. Show all posts
Showing posts with label Ujian Nasional. Show all posts

Thursday 27 November 2014

Momentum Penghapusan Penyeragaman Ujian Nasional

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Publik pemangku kepentingan dunia pendidikan kini sedang menanti-nanti apa yang akan dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan untuk meningkatkan mutu pendidikan di tanah air.

Pengamat pendidikan Doni Koesoema A memotivasi Anies untuk segera melakukan gebrakan pendidikan, setidaknya pada salah satu dari lima persoalan pendidikan yang menyangkut tema Ujian Nasional, Kurikulum 2013, lunturnya nilai-nilai keragaman dalam pendidikan, kekerasan dalam pendidikan dan korupsi pendidikan.

Dari lima persoalan di atas, agaknya yang paling mendesak untuk digebrak atau dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah soal Ujian Nasional dan jika masih perlu gebrakan lagi, ya korupsi pendidikan.

Menurut pemerhati pendidikan, kerusakan akibat ujian nasional itu akan segera terhenti seketika dengan solusi simpel, yakni menghapus Ujian nasional.

Ujian Nasional untuk masa kini sesungguhnya juga tidak senafas dengan semangat zaman di mana penyeragaman dalam tatanan luas apapun, tidak lagi dianjurkan. Dunia telah mengapresiasi keunikan, kreativitas dan kearifan lokal. Untuk apa penyeragaman itu dilakukan bila kekhasan itulah yang kini dijunjung tinggi karena di dalam fitur kekhasan itulah terdapat nilai tambah.

Penyeragaman ujian Nasional agaknya mengandung paradoks yang melawan hukum alam keragaman kualitas manusia. Di mana-mana, kualitas manusia tak pernah seragam.

Anies diharapkan tak punya keraguan lagi untuk segera menghapus sistem ujian nasional, baik untuk jenjang menengah atas maupun di atasnya. Untuk menguatkan tekad penghapusan itu, agaknya Anies perlu membentuk tim pembaharu sistem pendidikan dengan melibatkan tokoh-tokoh ahli dan praktisi pendidikan, seperti Profesor Iwan Pranoto, Acep Iwan Saidi, Anita Lie dan Doni Koesoema A.

Baca lebih lengkap (klik di sini)

Thursday 13 November 2014

Ujian Nasional Bisa Dijadikan Alat Pemetaan Sekolah



Ujian Nasional sebaiknya jangan dijadikan standar kelulusan para siswa. Namun UN itu bisa dijadikan sebagai alat pemetaan kualitas sekolah.               

"Kalau dari hasil UN di suatu sekolah ditemukan rendah, maka selanjutnya pemerintah dapat membuat program peningkatan untuk sekolah tersebut," kata pemerhati pendidikan, Doni Koesoema, kepada Geotimes di Jakarta, Rabu (12/11).

Dengan UN sebagai alat pemetaan kualitas maka pemerintah dapat memantau perkembangan kualitas sekolah-sekolah. Jika sebuah sekolah mempunyai UN rendah maka pemerintah harus menyiapkan program peningkatan sekolah tersebut. 

Sementara syarat kelulusan harus ditentukan oleh masing-masing sekolah. Hal tersebut harus mengacu pada laporan hasil belajar yang terdapat pada rapor.

"Untuk SD, SMP, dan SMA kelulusan harus mengacu pada nilai rapor sekolah," katanya. 

Ia menilai UN selama ini selalu dijadikan alat ukur kelulusan. Nilai UN yang menjadi syarat minimal kelulusan, membuat sekolah-sekolah akhirnya memanipulasi nilai tersebut agar siswanya dapat lulus. 

"Anies Baswedan harus berani menyatakan Ujian Nasional sebagai alat pemetaan, bukan sebagai standar kelulusan," katanya.

Bila pemerintah tetap menggunakan UN sebagai standar kelulusan maka tak ada perubahan dalam kebijakan pendidikan nasional.

Diberitakan sebelumnya, pemerintah tetap menggelar UN SMP dan SMA pada 2015 namun dengan kebijakan baru yaitu penilaian seimbang antara nilai sekolah dengan UN, serta UN berbasis komputer.

Sumber: Geotimes.co.id

Thursday 30 October 2014

Anies Diragukan Mampu Benahi Pendidikan



Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan/Antara

Geotimes.co.id, Jakarta - Kapasitas Anies Baswedan sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan diragukan mampu membenahi persoalan pendidikan di Indonesia. Salah satunya terkait keberaniannya menghapus Ujian Nasional (UN).

“Saya tidak yakin pak Anies mampu hapus UN. Sebab ujian nasional sendiri digagas oleh Jussuf Kalla,” kata pemerhati pendidikan, Doni Koesoema, kepada Geotimes di Jakarta, Selasa (28/10).
 
Kalla pernah menyatakan UN mesti dipertahankan demi pemerataan kualitas pendidikan. Ia pun menolak ide penghapusan dan menyerahkan UN ke daerah masing-masing.
 
"Jika tidak ada Ujian Nasional, maka akan sulit melihat standar pendidikan di suatu daerah. Pemerintah pun akan sulit meningkatkan pendidikan yang diketahui tidak merata," kata Kalla.


Menurut Doni di tangan Anies lah revolusi mental berada. Satu diantara pembuktiannya adalah menghapus Ujian Nasional yang dianggap tidak terbukti meningkatkan kualitas pendidikan.



“Sekarang pertanyaannya, mau revolusi mental atau tidak?,” katanya.



Selain itu, sosok Anies selama ini dinilai lebih banyak bergulat di dunia perguruan tinggi, sementara saat ini jabatannya berhadapan pada pendidikan level dasar hingga menengah. 


Nama Anies melejit sebagai tokoh pendidikan, melalui program Indonesia Mengajar yang digagasnya.



Namun Doni tidak setuju konsep yang ditawarkan Indonesia Mengajar. “Itu mengajar yang salah, karena mengirim guru-guru ke pelosok tanpa dilatih pendidikan keguruan terlebih dahulu,” katanya.



Usai dilantik, Anies mulai berkantor di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. 

Seperti dilaporkan laman resmi kementerian, Anies meninjau lingkungan kerja selepas memimpin upacara sumpah pemuda.  "Ini hari pertama...Untuk melihat situasinya seperti apa, baru lah kita keluarkan terobosan," kata Anies, di Jakarta, Selasa (28/10), seperti dikutip Antara.

Sumber: Geotimes

Thursday 3 September 2009

Aplaus Palsu Teater Pendidikan Nasional

Oleh Doni Koesoema A

APLAUS palsu, itulah yang terjadi dalam panggung teater pendidikan nasional kita. Dalam sebuah pentas teater, aplaus palsu yang dilakukan oleh para pendukung bayaran menggeser makna keadilan dan rasa hormat pada kualitas sang aktor sebab aktor yang main buruk mendapat tepuk tangan, sedangkan aktor yang main gemilang tak mendapat dukungan.

Belajar menilai secara adil dan wajar, itulah yang ditawarkan Plautus (254-184 sm) dalam tragikomedi Amphtryon-nya.

"Dari Anda saya meminta sebuah sikap adil yang wajar," ujar Merkurius dalam prolognya sebelum pentas dimulai. Melalui mulut Merkurius, Plautus mengingatkan penonton bahwa ada detektif yang akan berkeliling di sekitar penonton untuk mengamati apakah ada penonton atau aktor yang berlaku curang sehingga bisa membeli aplaus penonton. Mereka yang berlaku curang akan diganjar dengan hukuman dan dikeluarkan dari arena teater sebab merusak pertunjukan. "Biarlah hukum bagi seorang aktor adalah dirinya sendiri. Melalui jasa-jasanya biarlah ia meraih sukses, bukan dengan aplaus palsu. Keutamaan akan menentukan penghargaan bagi si pelaku, jika mereka yang memiliki kekuasaan berlaku fair terhadapnya."

Prolog dalam Amphitryon Plautus tampaknya tepat untuk menggambarkan situasi pendidikan kita. Yang kita lihat hari-hari ini adalah aplaus palsu, pelecehan keadilan dan moralitas dalam dunia pendidikan kita. Aplaus palsu diberikan pada siswa yang selamat nasibnya karena terkatrol nilai oleh drama konversi nilai ujian akhir nasional. Aplaus palsu layak diberikan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang berhasil mengelabui kualitas pendidikan nasional kita dengan keindahan statistik lewat tabel konversi nilai.

Di sisi lain, aplaus palsu telah melecehkan keadilan para siswa dan guru yang telah berjerih payah meningkatkan kualitas pendidikan secara tulus. Yang terakhir, aplaus palsu adalah pelecehan keadilan bagi masyarakat yang telah membayar mahal 'tiket' untuk melihat bangkitnya kemurungan dalam dunia pendidikan kita dengan disuguhi sebuah pentas teater pendidikan yang memuakkan.

KONTROVERSI tentang konversi nilai UAN sebenarnya hanyalah gunung es persoalan dalam dunia pendidikan kita. Sistem katrol nilai ini sebenarnya telah merebak sampai pada tingkat sekolah. Tidak perlu ada kontoversi tentang konversi nilai UAN, sekolah-sekolah telah rutin melakukannya. Dan karena telah rutin, maka budaya sistem katrol nilai itu dianggap telah biasa dan menjadi bagian dalam proses pendidikan.

Mengapa konversi nilai UAN sekarang ini diributkan dengan gemuruh seperti halilintar? Konversi nilai UAN meledak dengan kekuatan dahsyat karena publikasi media dan karena yang menjadi korban dalam kebijakan ini pada tingkat makro begitu besar. Kita tiba-tiba sadar bahwa perlu berteriak dengan lantang karena kaki kita diinjak. Mengapa kita baru teriak-teriak lantang sekarang ini? Bukankah kita seperti maling kesiangan? Tingkat solidaritas dan kesadaran kita akan keadilan memang baru sejauh taraf "asal kamu tidak menginjak kakiku terserah saja apa yang kamu lakukan." Sekarang ketika banyak kaki terinjak, kita semua berteriak sembari terpincang-pincang, "Batalkan konversi nilai UAN!"

Tuntutan itu tidak salah, dan memang harus disuarakan. Namun bukan karena 'aku menjadi korbannya', melainkan karena "keadilan dan moralitas dalam dunia pendidikanlah yang mengerang karena kaki di mana ia memijakkan kemajuan bangsa diinjak-injak." Terhadap fondasi moralitas dan keadilan yang diinjak-injak kita tak bisa tinggal diam. Sebab tanpanya, sebuah bangsa akan runtuh, dan masyarakatnya akan hidup dalam kekacauan. Jika keadilan dan moral tidak ditegakkan hukum rimba akan menggantikan, dan keutamaan (virtus) dan keadilan akan terpinggirkan. Siapa yang kuat, siapa yang menang.

Dalam kontroversi konversi nilai inipun, masih saja ada kepala sekolah yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk 'merogoh kocek saku orang tua murid.' Sebuah moralitas yang kebablasan dan arogansi yang tak pada tempatnya! Semestinya keutamaan dan keadilah menentukan penghargaan bagi si pelaku, jika mereka yang memiliki kekuasaan berlaku fair terhadapnya, tulis Plautus.

Kontroversi konversi nilai UAN bisa menjadi blessing in disguise jika kita memiliki langkah strategis mengena pada akar permasalahan. Ini adalah sebuah kesempatan emas untuk pembaharuan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan (pemerintah, guru, siswa, keluarga, masyarakat) agar lebih mengedepankan nilai keadilan dan moralitas dalam reksa pendidikan.

LANGKAH strategis ini hanya akan efektif jika dimulai dari faktor yang paling determinan dan dilaksanakan dalam kerangka skala prioritas.

Pertama, adalah mutlak proses pembaharuan dari dalam, yaitu, proses pembaharuan internal di kalangan para konstituen pendidikan itu sendiri untuk makin menumbuhkan rasa keadilan (sensus iustitiae) dan kejernihan nilai moral (moral value) yang menjadi jiwa dan semangat dalam kerangka kerja mereka.

Berbagai macam analisis teknis tentang peningkatan kualitas pendidikan kita, mulai dari pembuatan undang-undang, pemberian o- tonomi sekolah, Sistem Ujian Akhir Nasional, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), teknik pengajaran, mulai dari pembuatan persiapan pengajaran, pro- gram catur wulan, program tahunan, pembuatan kisi-kisi soal, pembuatan soal ujian dan evaluasinya, menjadi tidak bermakna ketika pelaku pendidikan yang terlibat di dalamnya tidak memiliki visi moral dan keadilan yang jelas. Aturan dan berbagai macam petunjuk teknis itu akan dengan mudah ditelikung di berbagai tingkat, mulai dari tingkat terbawah maupun pembuat kebijakan di level pemerintahan, mulai dari siswa sampai para birokrat pemerintah.

Kedua, verifikasi indikatif adanya rasa keadilan dan kejernihan nilai moral hanya dapat dilihat dalam praksis. Ini berarti sebuah tantangan untuk proses pembaharuan terus menerus (on going formation). Memang benar bahwa untuk memahami secara positif apa yang adil dan bermoral tidaklah mudah. Namun orang kebanyakan bisa menangkap dan mengerti bahwa sebuah tindakan itu tidak adil dan tidak bermoral. Karena itu, sikap untuk selalu terbuka terhadap masukan dan kritikan yang mengembangkan adalah conditio sine qua non bagi berkembangnya sebuah proses pendidikan.

Ketiga, ada sistem kontrol publik terhadap kualitas sebuah lembaga pendidikan. Ini berarti ada pertanggungjawaban publik atas kinerja pendidikan, entah itu berupa laporan penggunaan dana pendidikan, kebi- jakan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan publik dalam kerangka pendidikan seperti pertanggungjawaban atas tabel konversi nilai UAN, dll. Dari se- gi ini, media sebagai salah satu pilar begi majunya demokrasi menjadi faktor penentu dalam proses diseminasi kebijakan dan transparansi dunia pendidikan terhadap publik. Media memiliki fungsi kritis dalam kerangka pertumbuhan dunia pendidikan sebuah bangsa.

Tiga hal di atas, pembaharuan radikal dimensi interioritas, verifikasi dalam praksis, dan publisitas merupakan tiga kunci utama bagi pertumbuhan sebuah pendidikan. Jika pendidikan kita ingin memberikan suguhan teater yang bermutu bagi masyarakat, mau tak mau tiga kunci di atas merupakan syarat utama yang kemendesakannya tak bisa ditawar lagi.

SEPERTI apa yang ditulis Plautus di awal tulisan ini, dari kita tidak dituntut sikap adil yang berlebihan. Yang dituntut dalam diri kita adalah sikap adil yang wajar, sikap adil yang bisa diverifikasi dalam praksis. Sikap ini hanya bisa tercapai dengan menumbuhkan sikap fair di antara kita, terlebih adalah tuntutan sikap fair dari pemegang kekuasaan.

Jika sikap ksatria seperti ini dimiliki insan pendidikan, bolehlah kemudian kita dengan bangga menampilkan sebuah lakon teater pendidikan yang menarik seperti Ampitryon-nya Plautus. "Biarlah hukum bagi seorang aktor adalah dirinya sendiri. Melalui jasa-jasanya biarlah ia meraih sukses, bukan dengan aplaus palsu. Keutamaan akan menentukan penghargaan bagi si pelaku, jika mereka yang memiliki kekuasaan berlaku fair terhadapnya."

Jangan ada lagi aplaus palsu bagi teater pendidikan nasional kita. Semoga!

Doni Koesoema A Mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.



Dimuat di Harian KOMPAS, Sabtu, 19 Juni 2004

Wednesday 29 April 2009

UN, Doa Bersama dan Ikrar Kejujuran

Kompas, 20 April 2009
Doni Koesoema A

Gelar doa bersama, pelatihan mental, sampai Ikrar Kejujuran digelar diberbagai sekolah, baik swasta maupun negeri mewarnai fase-fase akhir menjelang detik-detik UN (Kompas, 17/4). Fenomena ini menunjukkan betapa dunia pendidikan telah dikelola dengan visi pendidikan dangkal dan spiritualitas terpecah, lebih suka mencari jalan pintas dan latah dengan gerakan massa yang dipolitisir seperti layaknya ikrar kampanye damai partai politik menjelang Pemilu.

Mengelola dunia pendidikan tidak sama dengan mengelola organsisasi massa yang di tangan para politisi sekedar sebagai alat pemenangan untuk memenangkan kepentingan sesaat. Secara natural kekuatan massa gampang dimanipulasi karena tangan dan kaki lebih banyak jumlahnya daripada otak yang berpikir. Padahal, pendidikan merupakan kinerja harian rutin, bukan momental, yang mesti memperlakukan individu siswa sebagai pribadi, bukan sebagai kerumunan massa, di mana sistem yang dibangun mestinya mampu menjadi dasar bertindak dalam praksis harian sehingga kultur edukatif itu benar-benar hadir dan menjiwai seluruh proses pendidikan.

Visi dangkal

Mengandalkan doa bersama, pelatihan mental mendadak, serta Ikrar Kejujuran menjelang UN juga menunjukkan kedangkalan visi para pengelola lembaga pendidikan. Pembenaran perilaku ini sering ditambahi dengan argumen bahwa merekapun sudah membuat persiapan intensif dengan mengadakan pelatihan soal-soal, dan bahkan kalau perlu mengundang masuk lembaga bimbingan belajar masuk ke sekolah. Inilah metode jalan pintas yang paling sering dilakukan dalam sekolah kita. Kedangkalan itu terjadi karena pendidikan semata-mata mengutamakan target akhir lulus UN, memperalat siswa demi kepentingan dan nama baik sekolah dengan cara membuat siswa belajar secara intensif menjelang UN saja, sementara dalam praksis harian di sekolah selama 3 tahun, siswa tidak pernah diajarkan apa artinya bertekun dan belajar secara serius. Menumbuhkan kesungguhan, daya tahan, dan motivasi internal dalam belajar sering terlewatkan pada fase ini karena para pendidik dan siswa berpikir bahwa Ujian masih jauh.

Dunia pendidikan bukan dunia tukang sulap yang bisa membuat hal-hal aneh dalam sekejap. Belajar membutuhkan ketekunan, konsistensi dan keseriusan dari para pendidik dan siswa. Kesungguhan ini semakin terbantu dengan menciptakan sebuah iklim harian dan kultur sekolah yang mendukung siswa gemar belajar tanpa dipaksa atau diancam dengan perolehan nilai. Visi pendidikan itu mestinya bersifat konsisten, konkret dan mengembangkan pendampingan individu siswa secara intensif semenjak mereka memasuki tahun ajaran baru sampai menghadapi UN.

Mentalitas jalan pintas bukanlah sebuah visi pendidikan yang adekuat yang mampu mempersiapkan generasi muda kita menjadi individu yang konsisten, tahan banting dan mengerti makna pembelajaran bagi hidupnya sendiri dan bagi perkembangan masyarakat. Lebih lagi, model jalan pintas bertentangan dengan logika dalam dunia pendidikan, karena untuk berubah membutuhkan waktu. Pendidikan kita akan hancur jika diisi dengan kehadiran para pendidik yang memiliki visi dangkal yang seringkali tidak sabar, dan cenderung ingin melihat hasil akhir secara instan.

Spiritualitas terpecah

Model gelar doa bersama menjelang UN, meskipun baik, tetap menunjukkan sebuah kerohanian dangkal yang coba diajarkan kepada para murid, seolah doa-doa itu baru dibutuhkan ketika mau menghadapi UN semata. Kita mulai berbisnis dengan Tuhan.

Tentu, tidak ada yang salah dengan mohon doa resti dari Tuhan agar dapat melaksanakan UN dengan baik. Namun, kerohanian sejati dalam pendidikan mestinya berakar pada kultur sekolah yang mampu menghormati keyakinan iman individu lain sebagai pilihan bebas, menghormati keragamanan. Lebih penting dari itu, lingkungan sekolah mestinya mampu membangun sebuah kultur yang menghormati keyakinan individu karena individu itu adalah ciptaan yang bernilai, berharga dan bermartabat dihadapan Sang Pencipta.

Kebencian terhadap penganut agama lain yang menonjol dalam masyarakat kita bisa jadi karena sekolah lebih mengajarkan permusuhan, menekankan perbedaan sebagai batas daripada sebagai lahan untuk bekerja sama dalam membangun masyarakat. Lebih parah dari itu, kerohanian dalam pendidikan bisa diredusir sekedar sebagai ritualisme ibadah dan tata cara berdoa yang tidak menjangkau keluar merengkuh persoalan lebih mendalam dalam konteks komunikasi antar individu yang berbeda agama dalam masyarakat. Dengan demikian, perilaku ibadah yang sebenarnya bersifat membangun masyarakat malah menyemai ketidakadilan, permusuhan dan perpecahan, daripada menyumbangkan penghormatan dan perdamaian.

Latahisme kacangan

Membuat Ikrar Kejujuran juga menunjukkan gejala latahisme kacangan dalam dunia pendidikan kita. Kita benar-benar menganggap dunia pendidikan seperti panggung politik, di mana konflik, perseteruan dan persoalan yang ada akan segera bisa diatasi dengan jalan membuat ikrar bersama. Latahisme demikian ini sesungguhnya memalukan. Para pendidik mesti segera menyadari bahwa model ikrar seperti ini tidak akan mengubah banyak hal jika praksis harian dalam sekolah dan kultur sekolah yang kita bangun tidak memiliki visi pembentukan karakter yang kokoh di mana praksis kejujuran itu dapat dilihat dalam ritme hidup harian di lingkungan sekolah.

Ikrar Kejujuran tidak akan otomatis menghilangkan kultur kebohongan, ketidakjujuran dan penyelewengan yang telah meracuni dunia pendidikan kita. Para pendidik semestinya kembali berpaling pada hati nurani mereka dan lebih baik segera bersama-sama mulai membongkar kultur dalam dunia pendidikan kita yang tidak adil dan tidak jujur dengan segera mengevaluasi kembali kinerja harian di sekolah kita dengan melihat apakah tata peraturan dan sistem yang kita buat untuk menanamkan nilai kejujuran dan keadilan ini telah hadir dalam lembaga pendidikan kita.

Sebagai pendidik yang bertanggungjawab terhadap nasib bangsa ini di masa depan, cara-cara pengambilan jalan pintas, promosi spiritualitas terpecah, dan semangat menghidupi visi dangkal ini mesti segera dijauhkan dari lembaga pendidikan kita. Demikian juga mencontoh pola perilaku politisi yang memanfaatkan massa demi kepentingan politiknya dengan membuat semacam ikrar bersama mesti segera dihilangkan dalam lembaga pendidikan kita, karena itu hanya akan menjadi kertas kosong yang tidak bermakna apa-apa bagi siswa dan pendidik jika kultur sekolah kita tetap terbangun melalui sebuah sistem pendidikan yang mempromosikan kegemaran mencontek, berbohong, tidak jujur, dan manipulatif.

Doni Koesoema A, alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston. Pemerhati pendidikan tinggal di Jakarta.

UN, Doa Bersama dan Ikrar Kejujuran

Kompas, 20 April 2009

Doni Koesoema A

Gelar doa bersama, pelatihan mental, sampai Ikrar Kejujuran digelar diberbagai sekolah, baik swasta maupun negeri mewarnai fase-fase akhir menjelang detik-detik UN (Kompas, 17/4). Fenomena ini menunjukkan betapa dunia pendidikan telah dikelola dengan visi pendidikan dangkal dan spiritualitas terpecah, lebih suka mencari jalan pintas dan latah dengan gerakan massa yang dipolitisir seperti layaknya ikrar kampanye damai partai politik menjelang Pemilu.

Mengelola dunia pendidikan tidak sama dengan mengelola organsisasi massa yang di tangan para politisi sekedar sebagai alat pemenangan untuk memenangkan kepentingan sesaat. Secara natural kekuatan massa gampang dimanipulasi karena tangan dan kaki lebih banyak jumlahnya daripada otak yang berpikir. Padahal, pendidikan merupakan kinerja harian rutin, bukan momental, yang mesti memperlakukan individu siswa sebagai pribadi, bukan sebagai kerumunan massa, di mana sistem yang dibangun mestinya mampu menjadi dasar bertindak dalam praksis harian sehingga kultur edukatif itu benar-benar hadir dan menjiwai seluruh proses pendidikan.

Visi dangkal

Mengandalkan doa bersama, pelatihan mental mendadak, serta Ikrar Kejujuran menjelang UN juga menunjukkan kedangkalan visi para pengelola lembaga pendidikan. Pembenaran perilaku ini sering ditambahi dengan argumen bahwa merekapun sudah membuat persiapan intensif dengan mengadakan pelatihan soal-soal, dan bahkan kalau perlu mengundang masuk lembaga bimbingan belajar masuk ke sekolah. Inilah metode jalan pintas yang paling sering dilakukan dalam sekolah kita. Kedangkalan itu terjadi karena pendidikan semata-mata mengutamakan target akhir lulus UN, memperalat siswa demi kepentingan dan nama baik sekolah dengan cara membuat siswa belajar secara intensif menjelang UN saja, sementara dalam praksis harian di sekolah selama 3 tahun, siswa tidak pernah diajarkan apa artinya bertekun dan belajar secara serius. Menumbuhkan kesungguhan, daya tahan, dan motivasi internal dalam belajar sering terlewatkan pada fase ini karena para pendidik dan siswa berpikir bahwa Ujian masih jauh.

Dunia pendidikan bukan dunia tukang sulap yang bisa membuat hal-hal aneh dalam sekejap. Belajar membutuhkan ketekunan, konsistensi dan keseriusan dari para pendidik dan siswa. Kesungguhan ini semakin terbantu dengan menciptakan sebuah iklim harian dan kultur sekolah yang mendukung siswa gemar belajar tanpa dipaksa atau diancam dengan perolehan nilai. Visi pendidikan itu mestinya bersifat konsisten, konkret dan mengembangkan pendampingan individu siswa secara intensif semenjak mereka memasuki tahun ajaran baru sampai menghadapi UN.

Mentalitas jalan pintas bukanlah sebuah visi pendidikan yang adekuat yang mampu mempersiapkan generasi muda kita menjadi individu yang konsisten, tahan banting dan mengerti makna pembelajaran bagi hidupnya sendiri dan bagi perkembangan masyarakat. Lebih lagi, model jalan pintas bertentangan dengan logika dalam dunia pendidikan, karena untuk berubah membutuhkan waktu. Pendidikan kita akan hancur jika diisi dengan kehadiran para pendidik yang memiliki visi dangkal yang seringkali tidak sabar, dan cenderung ingin melihat hasil akhir secara instan.

Spiritualitas terpecah

Model gelar doa bersama menjelang UN, meskipun baik, tetap menunjukkan sebuah kerohanian dangkal yang coba diajarkan kepada para murid, seolah doa-doa itu baru dibutuhkan ketika mau menghadapi UN semata. Kita mulai berbisnis dengan Tuhan.

Tentu, tidak ada yang salah dengan mohon doa resti dari Tuhan agar dapat melaksanakan UN dengan baik. Namun, kerohanian sejati dalam pendidikan mestinya berakar pada kultur sekolah yang mampu menghormati keyakinan iman individu lain sebagai pilihan bebas, menghormati keragamanan. Lebih penting dari itu, lingkungan sekolah mestinya mampu membangun sebuah kultur yang menghormati keyakinan individu karena individu itu adalah ciptaan yang bernilai, berharga dan bermartabat dihadapan Sang Pencipta.

Kebencian terhadap penganut agama lain yang menonjol dalam masyarakat kita bisa jadi karena sekolah lebih mengajarkan permusuhan, menekankan perbedaan sebagai batas daripada sebagai lahan untuk bekerja sama dalam membangun masyarakat. Lebih parah dari itu, kerohanian dalam pendidikan bisa diredusir sekedar sebagai ritualisme ibadah dan tata cara berdoa yang tidak menjangkau keluar merengkuh persoalan lebih mendalam dalam konteks komunikasi antar individu yang berbeda agama dalam masyarakat. Dengan demikian, perilaku ibadah yang sebenarnya bersifat membangun masyarakat malah menyemai ketidakadilan, permusuhan dan perpecahan, daripada menyumbangkan penghormatan dan perdamaian.

Latahisme kacangan

Membuat Ikrar Kejujuran juga menunjukkan gejala latahisme kacangan dalam dunia pendidikan kita. Kita benar-benar menganggap dunia pendidikan seperti panggung politik, di mana konflik, perseteruan dan persoalan yang ada akan segera bisa diatasi dengan jalan membuat ikrar bersama. Latahisme demikian ini sesungguhnya memalukan. Para pendidik mesti segera menyadari bahwa model ikrar seperti ini tidak akan mengubah banyak hal jika praksis harian dalam sekolah dan kultur sekolah yang kita bangun tidak memiliki visi pembentukan karakter yang kokoh di mana praksis kejujuran itu dapat dilihat dalam ritme hidup harian di lingkungan sekolah.

Ikrar Kejujuran tidak akan otomatis menghilangkan kultur kebohongan, ketidakjujuran dan penyelewengan yang telah meracuni dunia pendidikan kita. Para pendidik semestinya kembali berpaling pada hati nurani mereka dan lebih baik segera bersama-sama mulai membongkar kultur dalam dunia pendidikan kita yang tidak adil dan tidak jujur dengan segera mengevaluasi kembali kinerja harian di sekolah kita dengan melihat apakah tata peraturan dan sistem yang kita buat untuk menanamkan nilai kejujuran dan keadilan ini telah hadir dalam lembaga pendidikan kita.

Sebagai pendidik yang bertanggungjawab terhadap nasib bangsa ini di masa depan, cara-cara pengambilan jalan pintas, promosi spiritualitas terpecah, dan semangat menghidupi visi dangkal ini mesti segera dijauhkan dari lembaga pendidikan kita. Demikian juga mencontoh pola perilaku politisi yang memanfaatkan massa demi kepentingan politiknya dengan membuat semacam ikrar bersama mesti segera dihilangkan dalam lembaga pendidikan kita, karena itu hanya akan menjadi kertas kosong yang tidak bermakna apa-apa bagi siswa dan pendidik jika kultur sekolah kita tetap terbangun melalui sebuah sistem pendidikan yang mempromosikan kegemaran mencontek, berbohong, tidak jujur, dan manipulatif.

Doni Koesoema A, alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston. Pemerhati pendidikan tinggal di Jakarta.


Monday 23 June 2008

Momentum Pasca UN

KOMPAS, 21 Juni 2008
Doni Koesoema A

Sudah dapat diduga bahwa kelulusan Ujian Nasional (UN) tahun ini semakin menurun. Tanpa ada keberanian untuk mengevaluasi diri, momentum pembelajaran pasca UN akan lewat begitu saja. Selain itu, bisnis pendidikan akan berjalan seperti biasa jika pemerintah tidak segera mengkaji kembali kebijakan UN yang semakin banyak menyingkirkan hak-hak anak didik dalam mengenyam pendidikan bermutu.

Di banyak negara standardisasi menjadi jargon utama yang diusung untuk meningkatkan mutu pendidikan dan persaingan dalam dunia global. Tuntutan akuntabilitas pendidikan melalui standardisasi semakin menguat dengan adanya deklarasi global seperti Milleniun Developmental Goals (MDGs) dan Education for All yang memiliki tujuan utama dalam menyediakan pendidikan bermutu dan akses pendidikan dasar bagi semua. Persaingan global membuat banyak negara berusaha meningkatkan kinerja pendidikan mereka sehingga mereka mampu memperkaya kualitas sumber daya manusiawi yang dianggap sebagai modal sosial dan budaya.

Gerakan standardisasi global yang dipahami secara sempit dan mekanistis berpotensi kontraproduktif bagi tujuan pendidikan. Hargreaves (2003), misalnya, menengarai bahwa gelojoh standardisasi rupanya telah merenggut kreatifitas dan fleksibilitas guru, menghancurkan kerja sama, mengerdilkan kemampuan kepemimpinan guru, meredusir investasi guru dalam pengembangan profesional dan menghancurkan intelegensi kolektif yang sangat dibutuhkan dalam menanggapi tantangan global.

Di Indonesia, dampak standardisasi melalui UN bukan hanya mengancurkan kinerja profesional guru, menurunkan moral pendidik, melainkan melahirkan sebuah kultur jalan pintas dan mekanistis yang meredusir makna pendidikan sekedar lulus UN. Lebih dari itu, UN hanya akan melanggengkan ketimpangan sosial sebab sekolah papan atas, meskipun tidak memperoleh banyak manfaat atas UN, akan semakin bertengger di atas, sedangkan, sedangkan akan semakin banyak murid dari sekolah yang tidak bermutu, miskin, memiliki tenaga pengajar dan sarana pendidikan yang pas-pasan, akan semakin tersingkir. Mereka ini akan menjadi tumbal dan korban tahunan bagi gegap gempita UN. Situasi ini pada gilirannya akan menghancurkan kecerdasan kolektif yang dibutuhkan dalam persaingan global.

Tiga inspirasi

Di balik gegap gempita UN dan standardisasi, ada 3 sumber reformasi pendidikan global yang bisa menjadi inspirasi, namun dilewatkan begitu saja oleh pemerintah. Pertama, tuntutan standardisasi sesungguhnya dibarengi dengan kesadaran global akan makna pembelajaran yang bersifat lebih konstruktif. Ada titik balik dalam memandang proses belajar, yaitu dari cara belajar yang sifatnya kognitif, menuju pendekatan belajar yang lebih konstruktif. Menurut paradigma ini, target hasil belajar di sekolah diarahkan pada perkembangan pemahaman konseptual, pemecahan masalah, kecerdasan emosional, pengembangan kecerdasan bhineka (multiple intelligence) dan keterampilan interpersonal, daripada hafalan atau pembelajaran materi yang tidak relevan.

Kedua, tuntutan publik agar lembaga pendidikan menjamin proses belajar yang efektif bagi setiap siswa. Pendidikan inklusif yang memberikan kepada siapa saja, baik yang miskin maupun kaya untuk mengenyam pendidikan bermutu tanpa terancam masa depannya dipandang sebagai usaha untuk mempromosikan idealisme pendidikan untuk semua.

Ketiga, gerakan akuntabilitas pendidikan juga dibarengi dengan gelombang desentralisasi berbagai macam pelayanan publik termasuk dalam pendidikan. Karena itu, setiap usaha sentralisasi pendidikan malahan bertentangan dengan inspirasi dan cita-cita terlaksananya cita-cita pendidikan untuk semua.

Tiga inspirasi yang berasal dari gerakan reformasi pendidikan global menekankan tiga hal fundamental, yaitu, kualitas, persamaan kesempatan dalam mengenyam pendidikan (equity) dan pembelajaran yang efektif. Penekanan utamanya pada unsur pembelajaran (learning) aktif bukan mekanis.

Sayangnya, tiga hal inilah yang tidak pernah masuk dalam agenda reformasi pendidikan kita. Pembelajaran yang sifatnya konstruktif dan kreatif terpasung karena para siswa justru banyak mengalami pembelajaran yang sifatnya mekanistis, hafalan. Soal model pilihan ganda merupakan defisiensi pedagogis yang bertolak belakang dengan pendekatan konstruktif, kritis, yang penting bagi pemecahan masalah.

Pembelajaran yang efektif hanya diredusir sekedar melampaui batas minimal kelulusan UN. Siswa tidak dipacu untuk secara kreatif mempelajari apa yang memang penting dan dibutuhkan. Padahal pembelajaran yang efektif mengandaikan siswa memiliki pengalaman belajar yang membantunya menemukan makna dan memperkokoh pengertian daripada sekedar hafalan fakta-fakta ilmu pengetahuan yang terisolir.

Lebih dari itu, gerakan desentralisasi pendidikan yang sudah dilaksanakan dengan diluncurkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sepertinya ditarik kembali oleh pemerintah dengan tetap menerapkan UN yang sifatnya sentralistis dan malahan memangkas hak-hak guru dalam memberikan evaluasi bagi para siswanya.

Pendekatan keliru

Adalah keliru kalau menganggap sebuah perubahan pendidikan yang dipaksakan dari atas akan memberikan dampak nyata bagi praksis pengajaran dan pembelajaran di kelas. UN sebagai sebuah kebijakan yang dipaksakan dari atas dalam jangka panjang akan semakin menghancurkan dunia pendidikan kita dan semakin memperlebar jurang kualitas pendidikan.

Di banyak negara, ujian standar berskala nasional lebih banyak menghancurkan dunia pendidikan ketimbang memperkuatnya. Lebih dari itu, ujian standar berskala nasional seringkali lebih dilandasi motivasi politik daripada pedagogis. Di negara kita, situasinya tidak jauh berbeda. UN menyingkirkan semakin banyak anak didik dalam mengenyam pendidikan yang bermutu, menurunkan moralitas guru, siswa, kepala sekolah dan pejabat dinas pendidikan. Maraknya kebocoran soal dan terjadinya kecurangan selama UN yang terjadi di mana-mana semestinya membuat pemerintah mengkaji kembali kebijakan UN, bukan malah menambah mata pelajaran yang diujikan dalam UN.

Hiruk pikuk UN memang telah selesai, namun tugas pemerintah untuk menyempurnakan kebijakan pendidikannya belum selesai. Tenggelam dalam besaran persentase kelulusan tanpa mau mengkritisi kebijakan UN yang cacat secara mendasar dan kontraproduktif bagi pendidikan serta membiarkan korban UN berjatuhan setiap tahun merupakan perilaku kebijakan pendidikan yang tidak bertanggungjawab.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Tuesday 6 May 2008

Sepuluh Kesesatan UN

Media Indonesia, Selasa 6 Mei 2008
Doni Koesoema A

Sebagaimana kesalahan dalam diagnosis medis dapat mengakibatkan kematian pasien, kesesatan berpikir dalam menggagas pendidikan nasional akan membawa dunia pendidikan pada jurang kehancuran. Ada sepuluh kesesatan berpikir ketika pemerintah menggagas tentang Ujian Nasional (UN).

Pertama, pemerintah mencampuradukkan dua pemahaman yang berbeda, yaitu, uji mutu nasional (national assesement) dan ujian umum (public examination). Menurut Greaney dan Kellaghan (2008) uji mutu nasional membantu pemerintah memperoleh informasi tertentu agar dapat menentukan kebijakan dalam pendidikan. Sedangkan ujian umum bertujuan untuk menentukan kelulusan dan menyeleksi siswa pada tingkat pendidikan lebih lanjut. Ujian Nasional pada kenyataannya menentukan kelulusan siswa.

Kedua, masukan (feedback) untuk pemetaan pendidikan tidak dilakukan setiap tahun. Sebaliknya, hanya ujian dengan resiko tinggi (high stake testing) seperti ujian umum yang memengaruhi proses kelulusan siswalah yang dilakukan setiap tahun. Mengadakan UN tiap tahun untuk memetakan pendidikan nasional merupakan indikasi bahwa pemerintah tidak pernah belajar dan tidak mampu memahami data-data pendidikan nasional setelah pengalaman bertahun-tahun melaksanakan UN.

Ketiga, ujian untuk menentukan pemetaan pendidikan tidak memengaruhi secara signifikan nasib siswa, sebab hanya untuk memetakan, sedangkan ujian untuk menentukan kelulusan akan berpengaruh langsung pada siswa, guru dan sekolah. Kenyataannya, UN sebagai pemetaan pendidikan menentukan kelulusan siswa, mempengaruhi kehidupan dan kinerja guru, serta mempertaruhkan nama baik sekolah di mata masyarakat.

Keempat, dalam setiap ujian pemetaan pendidikan, siswa tidak pernah mendapatkan hasil laporan atas ujian yang dilakukannya sebab ujian itu lebih dimaksudkan untuk pengambil kebijakan, sedangkan ujian umum jelas mendiskriminasi siswa berdasarkan kemampuan melalui nilai. Kenyatannya, siswa memperoleh nilai dalam UN dan mendeskriminasi siswa berdasarkan kemampuan akademisnya.

Kelima, ujian untuk pemetaan nasional hanya ditujukan untuk kompetensi tertentu, seperti matematika dan keaksaraan (literacy) serta tidak memiliki dampak langsung bagi proses pengajaran di sekolah. Ujian publik untuk kelulusan berdampak langsung atas pengajaran yang dilakukan oleh guru berkaitan dengan materi yang diujikan. Kenyataannya, Ujian Nasional telah memengaruhi cara guru dalam mengajar dan mempersiapkan siswa dalam mengerjakan materi ujian. Selain itu, penambahan atas mata pelajaran yang di UN-kan merupakan sikap membabibuta yang tidak memiliki dasar bagi pemetaan pendidikan.

Keenam, dalam ujian untuk pemetaan nasional hasil akhir berupa konstatasi statistik yang cukup rumit untuk menggambarkan tujuan dari proses pemetaan yang diinginkan, misalnya, hubungan antara latar belakang sosial ekonomi keluarga dengan prestasi siswa, atau hubungan antara rasio kelas dengan prestasi siswa, sedangkan pensekoran dalam ujian umum biasanya sangat sederhana dengan menggunakan skema proses tertentu untuk menentukan skor. Ujian Nasional mempergunakan pensekoran sederhana sebagaimana penilaian untuk menentukan kelulusan siswa. Pensekoran untuk pemetaan secara sederhana tidak dapat memberikan informasi tentang korelasi hal-hal yang ingin dipetakan.

Ketujuh, ujian untuk pemetaan tidak memengaruhi nasib dan masa depan siswa, sedangkan ujian publik memiliki dampak bagi kegagalan siswa dan beresiko meningkatkan angka putus sekolah. Kenyatannya, ujian nasional menentukan kegagalan siswa dan meningkatkan angka putus sekolah.

Kedelapan, ujian untuk pemetaan sangat berguna untuk mengukur trend peningkatan prestasi siswa setiap waktu, karena itu, jenis test yang akan diberikan memiliki model yang hampir sama setiap tahun untuk melihat adanya perkembangan. Model yang biasanya dipakai adalah test berdasarkan pemahaman materi (criterion-referenced test). Sedangkan ujian publik tidak perlu mempertimbangkan model test berdasarkan penguasaan materi. Pertanyaan-pertanyaan soal dalam test setiap tahun berubah karena ujian publik bertujuan mendeskriminasi siswa berdasarkan kemampuan. Ujian publik menggunakan model soal dengan tingkat kesulitan yang telah didiskriminasi melalui semacam try out (norm-referenced test). Maka soal lebih didasarkan pada tingkat kesulitan daripada penguasaan materi. Materi yang dalam try out bisa dikerjakan oleh sebagian besar siswa, tidak akan keluar dalam test berikutnya. Karena itu, soal-soal dalam uji publik itu berubah setiap tahun. Ujian Nasional yang dipakai untuk pemetaan pendidikan itu pada kenyataannya didasarkan pada tingkat kesulitan dan mendiskriminasi prestasi siswa.

Kesembilan, adalah kekeliruan berpikir mengatakan bahwa untuk memetakan mutu pendidikan nasional satu-satunya cara adalah dengan mengukur bagaimana siswa belajar dalam sebuah sistem pendidikan. Pandangan demikian sesat karena mengelabuhi agensi lain yang turut bertanggungjawab atas keberhasilan pendidikan nasional, seperti masyarakat dan negara. Sebaliknya, untuk memetakan mutu pendidikan, pemerintah perlu membuat ujian nasional bagi diri mereka sendiri sejauh mana pemerintah telah memenuhi standard-standard dalam penyediaan sarana dan prasarana yang sangat mempengaruhi kualitas pendidikan nasional, seperti, penyediaan guru-guru yang berkualitas, akses pada buku pelajaran pada setiap siswa, pembangunan sekolah dan berbagai macam sarana yang mendukung pendidikan seperti laboratorium dan perpustakaan.

Kesepuluh, UN merupakan cara memetakan dunia pendidikan nasional. UN sekarang ini pada kenyataannya merupakan ujian umum. Sebagai sebuah ujian umum, UN tidak dapat memberikan data-data dan informasi yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk mengembangkan dunia pendidikan, seperti sejauh mana situasi sosial ekonomi berpengaruh pada prestasi siswa, sejauh mana prestasi siswa memiliki korelasi dengan model kurikulum, dll. Ujian Nasional dengan demikian merupakan sebuah kesia-siaan dan pemborosan tenaga, uang, dan waktu, bahkan mengorbankan lebih banyak mengorbankan anak didik, guru, sekolah dan masyarakat. Kebijakan demikian ini kalau dibiarkan akan membawa kehidupan berbangsa pada kehancuran yang lebih dalam.

Kerancuan berpikir menyebabkan dunia pendidikan kita mandeg. Membiarkan tumbal-tumbal pendidikan semakin banyak berjatuhan merupakan sebuah perilaku politik yang sesungguhnya arogan, tidak bertanggungjawab dan tidak memikirkan kepentingan bangsa yang lebih luas.

Dengan adanya kesesatan-kesesatan itu, semua warga negara memiliki hak agar pendidikan dikembalikan pada rel yang sesungguhnya supaya pendidikan nasional tidak semakin terjerumus dalam kehancuran yang lebih mengerikan. Kalau segala usaha, baik itu melalui jalur informal (demonstrasi, diseminasi opini publik, seminar, dll) dan jalur hukum (melalui proses pengadilan tuntutan warga negara), tidak dapat lagi mengetuk pemerintah untuk mengubah kebijakan pendidikan yang salah sasaran seperti ini, mungkin inilah saatnya seluruh rakyat bangkit dan mengadakan revolusi sosial (civil disobedience) untuk menentang kebijakan Ujian Nasional.
Doni Koesoema A Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston, USA.

Wednesday 30 April 2008

UN Harus Dihentikan

Kompas, Rabu, 30 April 2008
Doni Koesoema A

Tidak pernah dalam sejarah Indonesia modern status guru begitu terpuruk seperti sekarang, menjadi teroris. Pasukan Densus 88 Antiteror adalah satuan elit polisi untuk memburu teroris. Sekarang mereka juga menggerebek dan menangkap guru.

Hal ini patut disayangkan. Namun pokok persoalannya bukan di situ. Sistem Ujian Nasionallah yang telah memberangus otonomi guru. Kebobrokan itu ada dalam sistem, bukan dalam individu guru.

Kebijakan UN telah secara sitematis memaksa guru memikul beban berat di luar tanggungjawabnya berhadapan dengan kepentingan orang tua dan siswa. Kebijakan UN memaksa mereka menjadi pelaku kecurangan dan kriminal, bahkan teroris. Fakta inilah yang ingin ditutup-tutupi dengan mengambinghitamkan para guru yang tertangkap basah. Kebijakan seperti ini jelas tidak pada tempatnya lagi diberlakukan di negeri ini yang sesungguhnya ingin mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan.

Tanggungjawab pemerintah
Pemerintah ingin lari dari tanggungjawab atas ketidakbecusan mereka dalam mengelola pendidikan dengan melokalisir tanggungjawab, yaitu, pada korps guru. Guru merupakan penanggungjawab utama kebobrokan pendidikan kita. Itulah pesan utama penangkapan guru oleh Densus 88 Anti teror.

Kini Indonesia sedang memasuki masa teknokrasi absolut dalam pendidikan di mana proses belajar mengajar hanya dinilai melalui angka-angka hasil ujian yang sama sekali abai terhadap kenyataan, kesulitan, dan kompleksitas persoalan pendidikan di lapangan. Data nilai UN sama sekali tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi di lapangan. Nilai itu tidak berbicara sama sekali tentang bagaimana hancurnya sarana-prasarana pendidikan yang ada. Nilai UN juga tidak berbicara sama sekali tentang kualitas para guru di lapangan.

Melokalisir tanggungjawab dan menilai keberhasilan pendidikan semata-mata melalui angka-angka keberhasilan UN sesungguhnya mengaburkan atau bahkan menutupi ketidakmampuan pemerintah sebagai sebuah lembaga yang paling bertanggungjawab dalam menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai serta bertanggungjawab dalam menyediakan guru-guru berkualitas bagi dunia pendidikan. Inilah yang ingin ditutupi melalui Ujian Nasional. Pemerintah lari dari tanggungjawab sebab mereka tidak mampu melaksanakan semuanya ini.

Lebih dari itu, afirmasi pengadilan tinggi atas kemenangan class action warga negara terhadap kebijakan Ujian Nasional menunjukkan bahwa semenjak reformasi digulirkan sepuluh tahun lalu, pemerintah kita bukannya malah menjadi semakin demokratis, melainkan menjadi semakin otoriter. Ini merupakan sebuah tata cara kehidupan berdemokrasi yang memalukan!

Melakukan kecurangan dalam UN tentu “mencederai kesucian lembar jawaban UN” sebagaimana dikatakan Mendiknas, namun tetap melanggenggkan kebijakan UN seperti sekarang juga mencederai kesucian martabat guru yang jika diteruskan akan berakibat fatal bagi kelangsungan pendidikan di negeri ini dalam jangka panjang. Beberapa guru di Papua mulai memikirkan apakah tidak lebih baik mereka memilih profesi lain selain guru, sebab profesi guru sekarang sudah tidak berharga lagi dibandingkan profesi tukang ojek atau tukang becak. Jika menjadi guru berakhir dalam penjara, para guru akan memilih pekerjaan yang lebih memberikan kedamaian dan kesejahteraan, menjadi tukang ojek, tukang becak atau apa saja asal aman dan halal.

Tidak ada sebuah masyarakat yang kokoh jika mereka meremehkan kehadiran para guru. Negeri kita sudah mengalami defisit guru yang bermutu karena pemerintah telah gagal memberikan kesejahateraan ekonomi terhadap mereka. Sekarang terhadap mereka yang masih bertahan, melalui kebijakan UN pemerintah telah menghancurkan profesi mereka secara sosial dan kultural dengan memosisikannya sebagai teroris dan penjahat.

Hari ini dan di masa depan, kita akan kehilangan orang-orang istimewa yang masih punya hati dan komitmen untuk mendidik anak-anak bangsa. Jika dahulu mereka masih bertahan bahkan dalam kesulitan ekonomi, sekarang ini, goncangan sosial dan kultural atas citra guru sebagai teroris akan membuat mereka yang bertahan menjadi guru segera meninggalkannya. Maka tidak akan banyak generasi muda kita tertarik menjadi guru.

Arogansi kekuasaan
Ujian Nasional adalah cela dan noda nasional. Ia menjadi saksi ketidakseriusan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengelola dunia pendidikan. Mengorbankan guru dan siswa atas nama kebijakan politik pendidikan jangka pendek merupakan sebuah arogansi kekuasan yang sama sekali tidak memerhatikan keberlangsungan dunia pendidikan dalam jangka panjang. Dalam kenyataan kebijakan UN secara sistematis telah menghancurkan dunia pendidikan pada tingkat sekolah dan menimbulkan konflik antar-guru-siswa-orangtua-masyarakat.

Sesungguhnya bukan hanya biaya sosial politik dan ekonomi yang kita hambur-hamburkan demi menjalankan kebijakan pendidikan yang salah sasaran seperti UN, melainkan lebih dari itu, biaya kultural dan psikologis yang dipikul baik terhadap guru maupun siswa merupakan ongkos yang tidak dapat dinilai dengan uang. Jika kita ingin membaharui dan mereformasi dunia pendidikan secara berkesinambungan (sustainable) dan tepat sasaran, kebijakan UN harus segera dihentikan!

Pemerintah mesti mencari cara-cara alternatif dengan mengembalikan kembali otonomi guru, memulihkan citra dan wibawa mereka sebagai pendidik, dan membantu dengan serius meningkatkan profesionalisme mereka. Ujian Nasional merupakan sebuah kebijakan politik pendidikan yang dalam jangka panjang akan semakin menjerumuskan dunia pendidikan kita pada kehancuran.

Arogansi kekuasaan dalam UN akan membuat bangsa ini kehilangan orang-orang berintegritas dan terdidik yang masih memiliki hati terhadap dunia pendidikan. Hanya melalui kehadiran orang-orang berintegritas seperti ini dunia pendidikan kita mampu bangkit berdiri. Sayangnya, orang-orang seperti ini semakin tersingkir karena kebijakan UN. Kebijakan Ujian Nasional benar-benar harus segera dihentikan!

Doni Koesoema A. Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.

Foto:diambil dari KOMPAS

Cited:

1. Ujian Rasional (Mukhtaruddin Yakub)

Pendidikan Keagamaan