Tuesday 6 May 2008

Sepuluh Kesesatan UN

Media Indonesia, Selasa 6 Mei 2008
Doni Koesoema A

Sebagaimana kesalahan dalam diagnosis medis dapat mengakibatkan kematian pasien, kesesatan berpikir dalam menggagas pendidikan nasional akan membawa dunia pendidikan pada jurang kehancuran. Ada sepuluh kesesatan berpikir ketika pemerintah menggagas tentang Ujian Nasional (UN).

Pertama, pemerintah mencampuradukkan dua pemahaman yang berbeda, yaitu, uji mutu nasional (national assesement) dan ujian umum (public examination). Menurut Greaney dan Kellaghan (2008) uji mutu nasional membantu pemerintah memperoleh informasi tertentu agar dapat menentukan kebijakan dalam pendidikan. Sedangkan ujian umum bertujuan untuk menentukan kelulusan dan menyeleksi siswa pada tingkat pendidikan lebih lanjut. Ujian Nasional pada kenyataannya menentukan kelulusan siswa.

Kedua, masukan (feedback) untuk pemetaan pendidikan tidak dilakukan setiap tahun. Sebaliknya, hanya ujian dengan resiko tinggi (high stake testing) seperti ujian umum yang memengaruhi proses kelulusan siswalah yang dilakukan setiap tahun. Mengadakan UN tiap tahun untuk memetakan pendidikan nasional merupakan indikasi bahwa pemerintah tidak pernah belajar dan tidak mampu memahami data-data pendidikan nasional setelah pengalaman bertahun-tahun melaksanakan UN.

Ketiga, ujian untuk menentukan pemetaan pendidikan tidak memengaruhi secara signifikan nasib siswa, sebab hanya untuk memetakan, sedangkan ujian untuk menentukan kelulusan akan berpengaruh langsung pada siswa, guru dan sekolah. Kenyataannya, UN sebagai pemetaan pendidikan menentukan kelulusan siswa, mempengaruhi kehidupan dan kinerja guru, serta mempertaruhkan nama baik sekolah di mata masyarakat.

Keempat, dalam setiap ujian pemetaan pendidikan, siswa tidak pernah mendapatkan hasil laporan atas ujian yang dilakukannya sebab ujian itu lebih dimaksudkan untuk pengambil kebijakan, sedangkan ujian umum jelas mendiskriminasi siswa berdasarkan kemampuan melalui nilai. Kenyatannya, siswa memperoleh nilai dalam UN dan mendeskriminasi siswa berdasarkan kemampuan akademisnya.

Kelima, ujian untuk pemetaan nasional hanya ditujukan untuk kompetensi tertentu, seperti matematika dan keaksaraan (literacy) serta tidak memiliki dampak langsung bagi proses pengajaran di sekolah. Ujian publik untuk kelulusan berdampak langsung atas pengajaran yang dilakukan oleh guru berkaitan dengan materi yang diujikan. Kenyataannya, Ujian Nasional telah memengaruhi cara guru dalam mengajar dan mempersiapkan siswa dalam mengerjakan materi ujian. Selain itu, penambahan atas mata pelajaran yang di UN-kan merupakan sikap membabibuta yang tidak memiliki dasar bagi pemetaan pendidikan.

Keenam, dalam ujian untuk pemetaan nasional hasil akhir berupa konstatasi statistik yang cukup rumit untuk menggambarkan tujuan dari proses pemetaan yang diinginkan, misalnya, hubungan antara latar belakang sosial ekonomi keluarga dengan prestasi siswa, atau hubungan antara rasio kelas dengan prestasi siswa, sedangkan pensekoran dalam ujian umum biasanya sangat sederhana dengan menggunakan skema proses tertentu untuk menentukan skor. Ujian Nasional mempergunakan pensekoran sederhana sebagaimana penilaian untuk menentukan kelulusan siswa. Pensekoran untuk pemetaan secara sederhana tidak dapat memberikan informasi tentang korelasi hal-hal yang ingin dipetakan.

Ketujuh, ujian untuk pemetaan tidak memengaruhi nasib dan masa depan siswa, sedangkan ujian publik memiliki dampak bagi kegagalan siswa dan beresiko meningkatkan angka putus sekolah. Kenyatannya, ujian nasional menentukan kegagalan siswa dan meningkatkan angka putus sekolah.

Kedelapan, ujian untuk pemetaan sangat berguna untuk mengukur trend peningkatan prestasi siswa setiap waktu, karena itu, jenis test yang akan diberikan memiliki model yang hampir sama setiap tahun untuk melihat adanya perkembangan. Model yang biasanya dipakai adalah test berdasarkan pemahaman materi (criterion-referenced test). Sedangkan ujian publik tidak perlu mempertimbangkan model test berdasarkan penguasaan materi. Pertanyaan-pertanyaan soal dalam test setiap tahun berubah karena ujian publik bertujuan mendeskriminasi siswa berdasarkan kemampuan. Ujian publik menggunakan model soal dengan tingkat kesulitan yang telah didiskriminasi melalui semacam try out (norm-referenced test). Maka soal lebih didasarkan pada tingkat kesulitan daripada penguasaan materi. Materi yang dalam try out bisa dikerjakan oleh sebagian besar siswa, tidak akan keluar dalam test berikutnya. Karena itu, soal-soal dalam uji publik itu berubah setiap tahun. Ujian Nasional yang dipakai untuk pemetaan pendidikan itu pada kenyataannya didasarkan pada tingkat kesulitan dan mendiskriminasi prestasi siswa.

Kesembilan, adalah kekeliruan berpikir mengatakan bahwa untuk memetakan mutu pendidikan nasional satu-satunya cara adalah dengan mengukur bagaimana siswa belajar dalam sebuah sistem pendidikan. Pandangan demikian sesat karena mengelabuhi agensi lain yang turut bertanggungjawab atas keberhasilan pendidikan nasional, seperti masyarakat dan negara. Sebaliknya, untuk memetakan mutu pendidikan, pemerintah perlu membuat ujian nasional bagi diri mereka sendiri sejauh mana pemerintah telah memenuhi standard-standard dalam penyediaan sarana dan prasarana yang sangat mempengaruhi kualitas pendidikan nasional, seperti, penyediaan guru-guru yang berkualitas, akses pada buku pelajaran pada setiap siswa, pembangunan sekolah dan berbagai macam sarana yang mendukung pendidikan seperti laboratorium dan perpustakaan.

Kesepuluh, UN merupakan cara memetakan dunia pendidikan nasional. UN sekarang ini pada kenyataannya merupakan ujian umum. Sebagai sebuah ujian umum, UN tidak dapat memberikan data-data dan informasi yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk mengembangkan dunia pendidikan, seperti sejauh mana situasi sosial ekonomi berpengaruh pada prestasi siswa, sejauh mana prestasi siswa memiliki korelasi dengan model kurikulum, dll. Ujian Nasional dengan demikian merupakan sebuah kesia-siaan dan pemborosan tenaga, uang, dan waktu, bahkan mengorbankan lebih banyak mengorbankan anak didik, guru, sekolah dan masyarakat. Kebijakan demikian ini kalau dibiarkan akan membawa kehidupan berbangsa pada kehancuran yang lebih dalam.

Kerancuan berpikir menyebabkan dunia pendidikan kita mandeg. Membiarkan tumbal-tumbal pendidikan semakin banyak berjatuhan merupakan sebuah perilaku politik yang sesungguhnya arogan, tidak bertanggungjawab dan tidak memikirkan kepentingan bangsa yang lebih luas.

Dengan adanya kesesatan-kesesatan itu, semua warga negara memiliki hak agar pendidikan dikembalikan pada rel yang sesungguhnya supaya pendidikan nasional tidak semakin terjerumus dalam kehancuran yang lebih mengerikan. Kalau segala usaha, baik itu melalui jalur informal (demonstrasi, diseminasi opini publik, seminar, dll) dan jalur hukum (melalui proses pengadilan tuntutan warga negara), tidak dapat lagi mengetuk pemerintah untuk mengubah kebijakan pendidikan yang salah sasaran seperti ini, mungkin inilah saatnya seluruh rakyat bangkit dan mengadakan revolusi sosial (civil disobedience) untuk menentang kebijakan Ujian Nasional.
Doni Koesoema A Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston, USA.

8 comments:

Anonymous said...

UN itu telah menjadikan sekolah2 tak ubahnya lembaga bimbingan belajar. Anak kelas 9 (untuk SMP) dan kelas 12 (untuk SMA) pada semester II, didrill soal2, bermacam2 try out mereka ikuti. Mereka menghapal soal, bukan memahami soal. Saya pikir hampir semua sekolah menerapkan hal itu. Ini bisnis yang menguntungkan bagi LBB, seperti Primagama, Neutron, SSC, dll. Ya.. pemerintah melalui Depdiknas telah menurunkan derajad pendidik kita pada tataran rendah, dan mereka bangga!
(adven)

Anonymous said...

"mungkin inilah saatnya seluruh rakyat bangkit dan mengadakan revolusi sosial (civil disobedience) untuk menentang kebijakan Ujian Nasional."

bagaimana caranya?

Demo?

Mahatma said...

halo romo doni !

tulisane inspiratif je,

selamat berjuang
di bidang pendidikan !

Mahatma said...

oya romo,
blognya, tak link ke blogku ya ?

Dka said...

Biaya sosial atas UN terlalu besar. Sayangnya saya tidak memperoleh data-data berapa keuntungan yang diraup oleh lembaga-lembaga bimbingan belajar itu selama setahun. Yang jelas, untuk sekolah SMP, demi menambah kursus intensif yang diberikan guru saja mereka membutuhkan minimal 60 juta.
Untuk revolusi sosial menentang UN kita tidak bisa pake demo-demo, sebab solidaritas orang indonesia itu tipis. Kalau bukan menyangkut kepentingannya sendiri, mereka tidak akan ikut demo. Maka bahu membahu membangun solidaritas lintas sektoral, guru, pekerja, petani, orang tua dll perlu dibangun. Namun persis di sini letaknya sulitnya. Tapi saya membayangkan seandainya pada saat ujian SD nanti semua sekolah dari sabang sampai merauki mogok dan tidak melaksanakannya, tentu pemerintah akan berpikir dua kali untuk melaksanakan UN SD.
Salam
DKA

Anonymous said...

Mogok massal seIndonesia begitu ya Romo?

Tentu itu akan menjadi guncangan yang dapat meruntuhkan keangkuhan pengambil kebijakan di Jakarta, kalau dapat terlaksana.

Tapi benar, solidaritas kita itu tipis sekali. Saya ragu apa mimpi Romo itu dapat terwujud dalam waktu dekat ini.

Daya tawar kita, masyarakat, praktisi pendidikan, siswa terhadap pemerintah itu masih lemah sekali. Dunia pendidikan Indonesia seperti kelinci percobaan bagi Depdiknas setiap pergantian kabinet.


Menurut Romo apa yang bisa kita lakukan?

Anonymous said...

Berkunjung Pastor...Ulasannya sangat kuat dan memikat. Boleh tukar link kan? http://stefanusakim.blogspot.com

Ari Handoko said...

Ealah cak cak...
tak pikir UN kuwi United Nation....
Eeeeee njekethek Ujian Nasional tho !

(Iseng di siang bolong mode : on)

Kebijakan Ujian Nasional ini mungkin mengambil contoh dari negara lain yang sudah sukses melaksanakannya. Tapi, karena birokrat kita terbiasa hidup instan, maka kalau negara lain melakukan kebijakan UN dalam tempo 10 tahun dengan 10 tahapan, maka birokrat kita langsung melaksanakan tahapan ke-10, yaitu penyelenggaraan UN itu sendiri.

Mungkin para birokrat itu agak susah untuk membayangkan komponen apa saja yang mempengaruhi Ujian Nasional, seperti minimal guru dan murid. Kalau mereka tahu bahwa guru terlibat dgn Ujian Nasional, mungkin kebijakannya akan sedikit berubah, yaitu (dihitung hari ini aja deh):
- 2008 - 2012 : peningkatan dan standarisasi mutu sekolah calon guru (eh SPG masih ada gak ?). mmmm Ujian Nasional untuk calon guru ?
- 2008 -2012 juga : peningkatan dan standarisasi mutu para guru yang sudah ada (mmmm kalau bisa disertai peningkatan gaji...tapi gak mungkin deh, krn kalau bisa...pasti bapak dan ibuku mau jadi pegawai negeri).
Kenapa mereka harus distandarkan ? supaya para guru yang sudah mengabdi tidak akan kalah dalam persaingan era globalisasi ini.
Kenapa 4 tahun ? Supaya ada kesempatan untuk mengulang kalau belum lulus. Susah lho mengubah paradigma mengajar yang sudah digunakan sekian tahun (kecuali pelajaran favoritku...sejarah)
- tahap selanjutnya : terserah kau sajalah Toes...kan kau yang belajar untuk menjadi guru bagi kita-kita ini.

(iseng di siang bolong mode : off)

Pendidikan Keagamaan