Friday 27 November 2015
Catatan FSGI Setahun Pemerintahan Jokowi Bidang Pendidikan
detikNews - Jakarta, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengapresiasi sejumlah kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla di bidang pendidikan. Tak hanya mengapresiasi, FSGI juga memberikan beberapa kritik untuk perbaikan.
Doni Koesoema A, dari Dewan Pertimbangan FSGI menyebut di bawah Jokowi-JK telah ada beberapa perbaikan kebijakan pendidikan. Misalnya ujian nasional (UN) tidak lagi digunakan sebagai syarat kelulusan dan soal penilaian dikembalikan kepada guru dan sekolah.
Keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti juga mendapatkan apresiasi karena akan menumbuhkan semangat cinta bangsa.
Namun Doni juga memberikan kritik atas kinerja pemerintahan dalam membenahi pendidikan. "Sayangnya masih ada praktik-praktik pendidikan yang kurang pas karena kebijakan pendidikan ini belum terkoneksi satu sama lain," kata Doni melalui keterangan tertulisnya, Minggu (25/10/2015).
Anggota Dewan Pertimbangan FSGI lainnya, Itje Chodidjah juga memberikan beberapa kritik atas kinerja pemerintahan Jokowi di bidang pendidikan. Dia menyoroti soal proses revisi kebijakan kurikulum 2013 yang tidak berjalan dengan lancar.
"Meskipun sudah melibatkan publik, revisi kurikulum 2013 belum ada kemajuan yang berarti, " kata Itje Chodidjah.
Sekretaris Jenderal FSPI Retno Listyarti juga memuji dihapuskannya UN sebagai syarat kelulusan. "Namun, harus tetap dikritisi karena tetap dijadikan penentu masuk ke jenjang yang lebih tinggi," kata Retno.
Menurut Retno, kebijakan penumbuhan budi pekerti yang seharusnya memperkuat nilai-ilai kebangsaan sebagaimana pesan nawa cita ke-9 menjadi bersifat seremoni dan ritual, karena kurang adanya sosialisasi dan panduan yang jelas. Akibatnya sehingga sekolah banyak memiliki penafsiran berbeda satu sama lain.
FSGI juga menyoroti Uji Kompetensi Guru (UKG) yang diselenggarakan sejak 2012 tidak pernah digunakan sebagai dasar dalam program upaya peningkatan kualitas guru melalui berbagai pelatihan. Guru hanya diuji tetapi tidak pernah ada tindakan mengatasi kondisi guru dari hasil UKG.
"Guru perlu memperoleh pengembangan profesional melalui pelatihan maupun pengayaan. Namun, pemerintah tetap harus memperhatikan bagaimana memberikan kesejahteraan para guru. Jangan sampai UKG justru malah merugikan guru," ujar Slamet Maryanto, Sekretaris Umum Serikat Guru Indonesia (SEGI) Jakarta.
Kebijakan pendidikan di tingkat lokal, terutama di DKI juga banyak masalah. "Mulai dari kebijakan rotasi dan mutasi guru yang tidak tepat sasaran, peraturan seragam yang bersifat mainstreaming agama mayoritas, serta tata cara menyelesaikan sengketa bila ada konflik antara pendidik dengan atasannya," sambung Slamet. (erd)
2,5 Juta Guru Layak Diuji
Untuk memetakan kompetensi guru,
pemerintah hendak menyelenggarakan uji kompetensi guru (UKG) kembali pada 9-27
November mendatang. Sekitar 2,5 juta guru telah diverifikasi kelayakannya untuk
mengikuti ujian itu. Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Sumarna Surapranata mengatakan, jumlah guru yang
sudah diverifikasi untuk divalidasi oleh daerah untuk mengikuti UKG mencapai
2.581.907 guru. Pemerintah masih mempersiapkan UKG tersebut.
Pelatih guru nasional Itje Chodijah
menilai, upaya pemerintah menangani guru, sejauh ini, masih sebatas pada tata
kelola atau administrasi. Padahal, yang terpenting justru pemetaan guru sesuai
kompetensinya sebagai guru. UKG yang dilakukan pemerintah hanya menguji sisi
pengetahuan guru, bukan pada kompetensi utuhnya.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat
Guru Indonesia (FSGI Retno Listyarti berpendapat, hasil UKG yang
diselenggarakan sejak 2012 tidak pernah digunakan sebagai dasar dalam program
peningkatan kualitas guru melalui pelatihan. Guru hanya diuji, tidak pernah ada
tindakan mengatasi kondisi guru dari hasil UKG. Setelah pemetaan melalui UKG,
mesti ada pemetaan khusus tentang minat dan kebutuhan guru.
Sementara itu, Dewan Pertimbangan
FSGI Doni Koesoema A. menambahkan, guru selalu menjadi obyek latihan pemberlakukan
kebijakan pemerintah. Jika pemerintah serius meningkatkan kualitas guru, UKG
tidak bisa hanya dengan ujian tertulis, baik secara daring maupun dengan
kertas. Hal terpenting justru penilaian kinerja guru dengan melihat cara guru
mengajar sehari-hari di kelas. Semestinya kepala sekolah melakukan supervisi,
tetapi tidak pernah terjadi. Doni menambahkan, mungkin perlu ada penjelasan
standar kompetensi guru itu seperti apa.
Sumber: Kompas
Friday 6 November 2015
Lelet, Mendikbud Copot Kapuskurbuk
JAKARTA – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) Anies Baswedan menilai perbaikan atau revisi Kurikulum 2013 (K-13)
berjalan lambat. Akhirnya Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Kapuskurbuk)
Kemendikbud Ramon Mohandas dicopot. Ia diganti Tjipto Sumadi, mantan Kepala
Unit Implementasi Kurikulum (UIK).
Pelantikan Tjipto sebagai Kapuskurbuk bersama dengan 18 pejabat eselon II lainnya dan dua orang pejabat eselon I. Pelantikan tampak beda karena digelar di aula terbuka. Medikbud dan peserta pelantikan mengenakan seragam batik biru Kopri. Sedangkan pejabat yang dilantik mengenakan setelah baju putih dan celana hitam.
Usai pelantikan Anies mengakui bahwa perbaikan atau revisi K-13 selama ini berjalan lambat.
“Karena orangnya enggan berubah,”kata dia.
Menurut Anies, lambatnya revisi K-13 dipicu juga karena rasa memiliki kurikulum anyar itu yang kuat sekali. Padahal kurikulum itu milik masyarakat, bukan milik pribadi atau perorangan.
Di antara indikator keterlambatan perbaikan K-13 yang paling kentara menurut Anies adalah di desain dan dokumen. Untuk urusan desain, Anies menyebutkan saat ini tidak ada kecocokan antara materi kurikulum dengan evaluasi atau penilaian. Sehingga di level sekolah, impelementasi K-13 banyak dikeluhkan.
Ketidakcocokan antara keduanya menurut Anies terjadi karena urusan materi kurikulum dengan penilaian digarap semuanya oleh Puskurbuk.
Padahal kita punya ahli penilaian di Puspendik (Pusat Penilaian Pendidikan, red). Tetapi Puspendik tidak dilibatkan,” katanya.
Untuk itu Anies lantas memisahkan urusan materi kurikulum di Puskurbuk dan komponen penilaian di Puspendik. Namun keduanya harus tetap saling berkoordinasi. Dengan cara ini Anies berharap evaluasi perbaikan K-13 bisa cepat selesai.
Sementara itu Tjipto belum bisa berkomentar banyak terkait posisi barunya itu. Namun dia mengatakan urusan K-13 dia sudah mengenal mendalam karena menjadi kepala UIK di era Mendikbud Mohammad Nuh dulu.
“Sejak awal urusan kurikulum ini membutuhkan tenaga ekstra. Saya mohon dukungan dari kawan-kawan,” katanya.
Pengamat pendidikan Doni Koesoema mengakui bahwa perbaikan atau revisi K-13 di masa Mendikbud Anies Baswedan belum menunjukkan kemajuan.
“Hal-hal fundamental yang harus dibenahi belum terjadi. Puskurbuk selama ini memang lambat,” katanya.
Penulis buku Strategi Pendidikan Karakter itu menjelaskan, hal fundamental di K-13 yang belum terlihat pembenahannya seperti konsep tentang kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD). Selain itu pembuatan buku untuk jenjang SD juga lambat.
Doni juga mengatakan pembuatan kerangka dasar K-13 sebagai acuan menyusun silabus juga lambat. Sehingga di lapangan para guru yang menerapkan K-13 mencari-cari sendiri konsep baru untuk dituangkan dalam silabus mereka. Dengan perombakan kepala Puskurbuk ini, Doni berharap revisi K-13 bisa berlari kencang sehingga siap diterapkan lebih luas lagi di tahun pelajaran 2016-2017 nanti. (sumber: Lombok Post)
Pelantikan Tjipto sebagai Kapuskurbuk bersama dengan 18 pejabat eselon II lainnya dan dua orang pejabat eselon I. Pelantikan tampak beda karena digelar di aula terbuka. Medikbud dan peserta pelantikan mengenakan seragam batik biru Kopri. Sedangkan pejabat yang dilantik mengenakan setelah baju putih dan celana hitam.
Usai pelantikan Anies mengakui bahwa perbaikan atau revisi K-13 selama ini berjalan lambat.
“Karena orangnya enggan berubah,”kata dia.
Menurut Anies, lambatnya revisi K-13 dipicu juga karena rasa memiliki kurikulum anyar itu yang kuat sekali. Padahal kurikulum itu milik masyarakat, bukan milik pribadi atau perorangan.
Di antara indikator keterlambatan perbaikan K-13 yang paling kentara menurut Anies adalah di desain dan dokumen. Untuk urusan desain, Anies menyebutkan saat ini tidak ada kecocokan antara materi kurikulum dengan evaluasi atau penilaian. Sehingga di level sekolah, impelementasi K-13 banyak dikeluhkan.
Ketidakcocokan antara keduanya menurut Anies terjadi karena urusan materi kurikulum dengan penilaian digarap semuanya oleh Puskurbuk.
Padahal kita punya ahli penilaian di Puspendik (Pusat Penilaian Pendidikan, red). Tetapi Puspendik tidak dilibatkan,” katanya.
Untuk itu Anies lantas memisahkan urusan materi kurikulum di Puskurbuk dan komponen penilaian di Puspendik. Namun keduanya harus tetap saling berkoordinasi. Dengan cara ini Anies berharap evaluasi perbaikan K-13 bisa cepat selesai.
Sementara itu Tjipto belum bisa berkomentar banyak terkait posisi barunya itu. Namun dia mengatakan urusan K-13 dia sudah mengenal mendalam karena menjadi kepala UIK di era Mendikbud Mohammad Nuh dulu.
“Sejak awal urusan kurikulum ini membutuhkan tenaga ekstra. Saya mohon dukungan dari kawan-kawan,” katanya.
Pengamat pendidikan Doni Koesoema mengakui bahwa perbaikan atau revisi K-13 di masa Mendikbud Anies Baswedan belum menunjukkan kemajuan.
“Hal-hal fundamental yang harus dibenahi belum terjadi. Puskurbuk selama ini memang lambat,” katanya.
Penulis buku Strategi Pendidikan Karakter itu menjelaskan, hal fundamental di K-13 yang belum terlihat pembenahannya seperti konsep tentang kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD). Selain itu pembuatan buku untuk jenjang SD juga lambat.
Doni juga mengatakan pembuatan kerangka dasar K-13 sebagai acuan menyusun silabus juga lambat. Sehingga di lapangan para guru yang menerapkan K-13 mencari-cari sendiri konsep baru untuk dituangkan dalam silabus mereka. Dengan perombakan kepala Puskurbuk ini, Doni berharap revisi K-13 bisa berlari kencang sehingga siap diterapkan lebih luas lagi di tahun pelajaran 2016-2017 nanti. (sumber: Lombok Post)
Apa Kata Orang dari Dunia Pendidikan Soal Satu Tahun Jokowi-JK?
Federasi Serikat Guru Indonesia
FSGI) dan Serikat Guru Jakarta (SEGI Jakarta) menilai ada beberapa perbaikan
dalam kebijakan pendidikan, selama satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla (Jokowi-JK).
Menurut FSGI, itu bisa dilihat dari UN yang tidak lagi dipakai sebagai syarat kelulusan, dan mengembalikan penilaian kelulusan pada guru dan sekolah. Mendikbud Anies Baswedan juga telah mengeluarkan Permendikbud 23/2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang mengarahkan siswa pada semangat cinta bangsa.
“Memang sudah ada perubahan, sayangnya masih ada praksis-praksis pendidikan yang kurang pas karena kebijakan pendidikan ini belum terkoneksi satu sama lain,” kata Doni Koesoema A, dari Dewan Pertimbangan FSGI dalam siaran persnya, Senin (26/10).
Sementara praktisi dan konsultan pendidikan, Itje Chodidjah menilai proses revisi kebijakan Kurikulum 2013 tidak berjalan dengan lancar. Meskipun sudah melibatkan publik, revisi kurikulum 2013 belum ada kemajuan yang berarti.Bila hal-hal fundamental, seperti Konsep KI dan KD tidak direvisi, persoalan Kurikulum 2013 akan terjadi berlarut-larut. Ini semua akan membingungkan guru. Secara teknis, mereka yang masih melaksanakan Kurikulum 2006 kesulitan menemukan buku-buku pelajaran di lapangan” sambung Itje.
Sekjen FSGI, Retno Listyarti juga memberikan penilaian. Menurutnya kebijakan terkait dihapusnya UN sebagai penentu kelulusan harus diapresiasi sebagai bentuk perwujudan janji Jokowi ketika kampanye.
“Namun, harus tetap dikritisi karena tetap dijadikan penentu masuk ke jenjang yang lebih tinggi. Kebocoran UN SMA 2015 digoogle drive tidak jelas penyelesaiannya dan tidak memberi efek jera pada pembocor, dan belum ada pengusutan secara tuntas,“ kata Retno.
Kebijakan penumbuhan budi pekerti yang seharusnya memperkuat nilai-nilai kebangsaan sebagaimana pesan nawacita ke-9 menjadi bersifat seremoni dan ritual, karena kurang adanya sosialisasi dan panduan yang jelas, sehingga sekolah banyak memiliki penafsiran berbeda satu sama lain.
“Kegiatan membaca buku 15 menit untuk memperkaya wawasan malah banyak dipraktekan dengan membaca al quran sebelum pembelajaran dimulai. Prinsipnya baca atau iqro. Sedangkan menyanyikan lagu wajib nasional atau lagu daerah setiap hari sebelum dan sesudah pembelajaran berakhir juga pada praktiknya sulit dilaksanakan. Hasil evaluasi siswa menyatakan bahwa mereka malah menjadi jenuh. Perlu ada kebijakan lebih lanjut agar penumbuhan budi pekerti efektif,” sambung Retno.
Sumber: JPPN
Menurut FSGI, itu bisa dilihat dari UN yang tidak lagi dipakai sebagai syarat kelulusan, dan mengembalikan penilaian kelulusan pada guru dan sekolah. Mendikbud Anies Baswedan juga telah mengeluarkan Permendikbud 23/2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang mengarahkan siswa pada semangat cinta bangsa.
“Memang sudah ada perubahan, sayangnya masih ada praksis-praksis pendidikan yang kurang pas karena kebijakan pendidikan ini belum terkoneksi satu sama lain,” kata Doni Koesoema A, dari Dewan Pertimbangan FSGI dalam siaran persnya, Senin (26/10).
Sementara praktisi dan konsultan pendidikan, Itje Chodidjah menilai proses revisi kebijakan Kurikulum 2013 tidak berjalan dengan lancar. Meskipun sudah melibatkan publik, revisi kurikulum 2013 belum ada kemajuan yang berarti.Bila hal-hal fundamental, seperti Konsep KI dan KD tidak direvisi, persoalan Kurikulum 2013 akan terjadi berlarut-larut. Ini semua akan membingungkan guru. Secara teknis, mereka yang masih melaksanakan Kurikulum 2006 kesulitan menemukan buku-buku pelajaran di lapangan” sambung Itje.
Sekjen FSGI, Retno Listyarti juga memberikan penilaian. Menurutnya kebijakan terkait dihapusnya UN sebagai penentu kelulusan harus diapresiasi sebagai bentuk perwujudan janji Jokowi ketika kampanye.
“Namun, harus tetap dikritisi karena tetap dijadikan penentu masuk ke jenjang yang lebih tinggi. Kebocoran UN SMA 2015 digoogle drive tidak jelas penyelesaiannya dan tidak memberi efek jera pada pembocor, dan belum ada pengusutan secara tuntas,“ kata Retno.
Kebijakan penumbuhan budi pekerti yang seharusnya memperkuat nilai-nilai kebangsaan sebagaimana pesan nawacita ke-9 menjadi bersifat seremoni dan ritual, karena kurang adanya sosialisasi dan panduan yang jelas, sehingga sekolah banyak memiliki penafsiran berbeda satu sama lain.
“Kegiatan membaca buku 15 menit untuk memperkaya wawasan malah banyak dipraktekan dengan membaca al quran sebelum pembelajaran dimulai. Prinsipnya baca atau iqro. Sedangkan menyanyikan lagu wajib nasional atau lagu daerah setiap hari sebelum dan sesudah pembelajaran berakhir juga pada praktiknya sulit dilaksanakan. Hasil evaluasi siswa menyatakan bahwa mereka malah menjadi jenuh. Perlu ada kebijakan lebih lanjut agar penumbuhan budi pekerti efektif,” sambung Retno.
Sumber: JPPN
Friday 28 August 2015
Tetralogi Pendidikan Karakter
Pengembang pendidikan karakter dalam konteks keindonesiaan, Doni Koesoema A, telah menyelesaikan keempat buku tentang pendidikan karakter yang menjadi kristalisasi pemikiran dan gagasannya tentang pendidikan karakter. Keempat buku ini dapat menjadi pijakan yang utuh bagi siapa saja yang ingin mendalami tentang pendidikan karakter secara utuh dan menyeluruh. Alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston, US, ini mengembangkan pendidikan karakter utuh dan menyeluruh dengan visi transformasi sosial berupa perubahan tatanan masyarakat yang lebih adil, lebih baik, lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Buku pertama, yaitu Pendidikan Karakter - Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Grasindo, 2007) menjelaskan prinsip-prinsip dasar, landasan historis, filosofis, antropologis dan pedagogis pendidikan karakter. Dicetak oleh Grasindo pada 2007, buku ini sudah naik cetk 3 kali. Saat ini sedang dalam proses cetak ulang. Buku ini menjadi bahan bacaan wajib bagi para mahasiswa. Bahkan buku ini juga menjadi kajian utama untuk penulisan skripsi dan tesis master.
Buku kedua, Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, Mengembangkan Visi Guru sebagai Pendidik Karakter dan Pelaku Perubahan (Grasindo, 2008), saat ini sudah naik cetak 2 kali. Saat ini sedang dalam proses revisi dengan mengambil tema baru, Revolusi Mental Guru. Buku ini merupakan pegangan dan bacaan wajib bagi para guru dalam rangka mengembangkan profesionalisme dan panggilan mereka sebagai pendidik karakter.
Buku ketiga, Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh (Kanisius, 2013) merupakan pemaparan tentang konsep-konsep dasar pendidikan karakter yang dikembangkan oleh Doni Koesoema A dalam rangka keseluruhan program pendidikan di sekolah, maupun di universitas. Pendidikan karakter utuh dan menyeluruh memaparkan berbagai macam dimensi, juga persoalan dan tantangan yang akan dihadapi pendidik dalam rangka mengembangkan pendidikan karakter secara utuh dan menyeluruh.
Buku keempat, Strategi Pendidikan Karakter, Revolusi Mental dalam Lembaga Pendidikan (Kanisius, 2015) adalah sebuah buku yang mencoba memaparkan hal-hal strategis yang perlu dilalui dan dilakukan oleh lembaga pendidikan agar mereka dapat merevolusi mental dirinya sendiri sesuai dengan semangat pembentukan karakter diri dan bangsa. Buku ini perlu dipelajari dan dibaca oleh para guru, calon guru, pengelola sekolah dan pengambil kebijakan agar dapat mendesain kebijakan pendidikan karakter yang sifatnya partisipatif dan konstruktif.
Bila Anda membutuhkan buku-buku ini, silakan kontak:
Ms. Evy
Hp. 087788332501
Atau email ke:
pendidikankarakter@gmail.com
Lihat website kami di:
www.pendidikankarakter.org
Jokowi Langgar Janji Nawacita
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pendidikan Doni
Koesoema menilai Presiden Joko Widodo melanggar janji Nawacita jika
menghapuskan aturan tenaga kerja asing wajib menguasai Bahasa Indonesia.
Doni Koesoema mengatakan Presiden Joko Widodo
melanggar janjinya untuk mengedepankan kepribadian dan kebudayaan Indonesia.
"Melaksanakan Nawacita berarti menunjukkan bangsa
yang berkarakter tetapi dnegan menghapus bahasa Indonesia sama saja dengan
menghapus karakter bangsa," ujarnya pada Republika.
Penghapusan ini sama saja dengan membiarkan Indonesia
rusak. Alasan untuk mendorong arus investasi dari luar negeri ke Indonesia pun
tak ada korelasinya.
Menurutnya meningkatnya investasi itu masalah keamanan
dan kenyamanan bukan bisa atau tidaknya bahasa Indonesia. Sehingga alasan
tersebut tidak logis.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo meminta Menteri Tenaga
Kerja menghapus syarat bisa berbahasa Indonesia bagi TKA. Sekretaris Kabinet
Pramono Anung beralasan hal ini dimaksudkan untuk mendorong arus investasi dari
luar negri ke Indonesia.
Sumber: Republika
Hapus Syarat Kuasai Bahasa Indonesia Presiden Langgar Nawacita
Indowarta - Penghapusan
aturan wajibnya penguasaan bahasa indonesia bagi tenaga kerja asing dinilai
Doni Koesoema, pengamat pendidikan, sebagai bentuk pelanggaran Presiden Joko
Widodo terhadap nawacita yang sudah dicanangkan.
Doni menilai bahwa penghapusan tersebut melanggar janji Presiden dalam nawacita untuk mengedepankan kepribadian dan kebudayaan
bangsa Indonesia.
"Melaksanakan Nawacita berarti menunjukkan bangsa yang berkarakter,
tetapi dengan menghapus bahasa Indonesia sama saja dengan menghapus karakter
bangsa," kata Doni seperti dikutip Republika pada Kamis (27/08).
Doni menilai bahwa penghapusan kewajiban penguasaan bahasa Indonesia sama
saja dengan membiarkan Indonesia menjadi rusak. Doni juga menilai bahwa alasan
investasi tidak ada hubungannya dengan kewajiban menguasai bahasa Indonesia
bagi pekerja asing.
Doni mengatakan bahwa meningkatnya investasi hubungannya dengan keamanan dan
kenyamanan di Indonesia, bukan bisa atau tidaknya dalam bahasa Indonesia.
Sehingga menurut Doni alasan tersebut merupakan alasan yang tidak logis.
Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta Menteri Tenaga Kerja menghapus syarat
bisa berbahasa Indonesia bagi TKA. Pramono Anung, Sekretaris Kabinet, beralasan
bahwa hal tersebut dimaksudkan untuk mendorong arus investasi dari luar negeri
ke Indonesia. (mks)
Sumber: Indowarta
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
Kompas, Selasa, 15 April 2005 Doni Koesoema A “Gereja, lembaga karismatis per eccellenza, mengadopsi metode yang lebih demokratis untuk memi...
-
BASIS, Nomor 07-08, Tahun ke- 5 5, Juli-Agustus 2006, hlm 62-68 Doni Koeseoema, A Keluarga sebagai locus educationis telah la...
-
Doni Koesoema A. Pendidikan karakter pertama kali dicetuskan oleh pedagog Jerman F.W.Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter yang menekank...