Friday 14 November 2014

Menunggu Gebrakan Pendidikan

Doni Koesoema A
Kompas, 13 November 2014



Setelah menunggu lama, publik tetap saja tidak menemukan satu pernyataan yang kuat tentang gebrakan yang akan dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan untuk mendongkrak kualitas pendidikan. Padahal, gebrakan banyak menteri lain luar biasa.

Revolusi mental yang digagas Presiden Joko Widodo sesungguhnya adalah sebuah gerakan ke dalam, yaitu perbaikan sikap diri sebagai individu, dan perbaikan evaluasi diri sistem yang sudah rusak karena korup, tidak adil, dan malah bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Satu-satunya individu yang sekaligus mewakili sistem pendidikan nasional sekarang adalah Anies. Sungguh mengherankan mengapa Anies malah ragu bertindak?

Jika Anies ragu-ragu, arah pendidikan nasional ke depan akan semakin runyam dan tidak jelas. Padahal, posisi Anies sangatlah strategis dalam mengaktualisasikan revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi.

Persoalan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, apabila kita petakan, sudah jelas merujuk pada lima pokok persoalan yang sering dikaji para praktisi, akademisi, dan pemerhati pendidikan. Lima tema itu adalah ujian nasional, Kurikulum 2013, lunturnya nilai-nilai keragaman dalam pendidikan, kekerasan dalam pendidikan, dan korupsi pendidikan.

Apabila mau melakukan revolusi mental, sebagai awal, Anies bisa memilih salah satu dari lima prioritas persoalan ini.

Ujian nasional

Ujian nasional (UN) jelas sebuah kebijakan yang akan berat disentuh Anies sebab di sana ada Jusuf Kalla sebagai penggagas UN. Namun, persoalan ini sebenarnya jelas ditilik dari sudut pandang moral. Sebuah kebijakan yang telah terbukti tidak meningkatkan kualitas pendidikan nasional tidak pantas untuk dilanjutkan.

Masalahnya adalah kita sering mencampurkan pilihan politis dengan pilihan moral. Jika Anies memilih pilihan politis, artinya dia akan tunduk kepada Jusuf Kalla sebagai penggagas UN. Ini berarti membiarkan bangsa ini semakin terpuruk kualitas pendidikannya, bahkan di tingkat internasional. Jika berani mengambil pilihan moral, ia akan segera menghentikan ujian nasional sebagai syarat kelulusan, melakukan moratorium UN (bukankah sebelum menjadi menteri, Anies juga menyuarakan moratorium UN?) dan untuk sementara, menyerahkan penilaian kelulusan kepada guru dan sekolah.

Untuk proses seleksi ke perguruan tinggi, Anies perlu kerja sama dengan perguruan tinggi agar dihasilkan sistem seleksi yang sifatnya meritokratis, adil, independen, dan terbuka bagi semua. Sistem seleksi jalur undangan yang sering jadi sumber manipulasi nilai perlu dihentikan, digantikan dengan seleksi jalur mandiri yang sungguh independen dan tidak diskriminatif pada penyandang disabilitas.

Kurikulum 2013

Banyak kajian tentang Kurikulum 2013 menunjukkan bahwa kurikulum ini tidak pantas diteruskan. Bagaimana solusinya? Apakah upaya berbiaya triliunan rupiah tersebut akan dibiarkan sia-sia?

Pilihan politis atas hal ini tidak mudah. Namun, pilihan moral bisa menjadi alternatifnya. Adalah semakin mencederai keadilan dan melanggar prinsip moral apabila kita tahu sebuah program yang jelas-jelas buruk tetap kita biayai dengan biaya negara. Sudah hilang uang banyak, hasil pun tidak ada.

Solusi praktisnya adalah kembali saja dulu ke KTSP 2006, yang sudah ada buku yang tersedia. Untuk itu, Anies hanya perlu membatalkan berbagai macam peraturan yang mengatur Kurikulum 2013 serta mengevaluasinya untuk mencari yang perlu dihilangkan dan yang perlu dilanjutkan. Konsep pedagogis, landasan filosofis, dan sistem penilaian yang tidak relevan bisa dihilangkan, sedangkan kebutuhan pelatihan guru diteruskan.

Lunturnya nilai-nilai keragaman dan kebangsaan semakin nyata kita saksikan bahwa sekolah-sekolah negeri yang mestinya menyemai benih-benih keragaman kini mengutamakan kultur agama mayoritas. Kecenderungan intoleransi antaragama meningkat dan ironisnya ini justru disemai dalam lembaga pendidikan.

Di Jakarta, ada siswa dari kelompok agama tertentu yang tak boleh merayakan hari besar agama di lingkungan sekolah. Yang lebih memprihatinkan adalah mulai masuknya kelompok radikal teroris yang menunggangi paham agama untuk merekrut anak-anak sekolah sebagai pelaku teror, pembuat bom.

Situasi ini semakin menjadi-jadi dengan munculnya politisasi yang menyegregasi beragam kebijakan sekolah. Para guru yang memiliki afiliasi politik tertentu berusaha menanamkan paham-pahamnya dalam praktik pendidikan di sekolah. Jika sekolah sudah disesaki dengan para politisi yang mau menanamkan ideologinya, fungsi pendidikan sebagai proses pembentukan watak hilang karena yang terjadi adalah indoktrinasi dan matinya berpikir kritis.

Matinya kemampuan berpikir kritis akan membuat para siswa mudah dimobilisasi untuk melakukan tindak kekerasan, bahkan atas nama agama.

Lunturnya nilai-nilai keragaman ini hanya bisa dihentikan dengan cara bersinergi antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri. Politisasi pendidikan yang melahirkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif terjadi karena otonomi daerah sehingga banyak peraturan daerah pendidikan yang melanggar nilai-nilai Pancasila.

Di antaranya fokus pada pengembangan keagamaan sempit dan mengutamakan ritual dan simbol. Ini yang perlu diselesaikan dengan membangun kerja sama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama sehingga tidak ada peraturan dari Kementerian Agama yang bertentangan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, apalagi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Lunturnya keragaman ini, apabila tak diselesaikan, akan menjadikan pendidikan sebagai tempat berebut pengaruh dan kuasa dalam memperjuangkan ideologi sektarian politisi dan teroris yang memanfaatkan kelemahan kebijakan pendidikan.

Kekerasan

Kekerasan dalam pendidikan sudah berada pada tingkat darurat. Banyak siswa meninggal karena kegiatan sekolah yang tidak terpantau dengan baik. Perundungan (bullying) dalam lembaga pendidikan dan tawuran pelajar sampai sekarang tidak pernah kita garap serius. Akibatnya, akan selalu muncul korban jiwa sia-sia. Zero tolerance terhadap kekerasan harus menjadi fokus pengembangan kebijakan dalam pendidikan.

Korupsi dalam lembaga pendidikan jelas melukai keadilan publik. Uang anggaran negara yang semestinya dipergunakan sekolah untuk melayani dan menyediakan pendidikan bermutu hilang dicuri para koruptor.

Laporan ICW tentang korupsi pendidikan selama sepuluh tahun, yang jumlah kerugiannya tidak mencapai Rp 1 triliun bukanlah representasi dari gurita korupsi yang menghancurkan pendidikan kita.

Sekadar gambaran, Dinas Pendidikan DKI, setelah dalam delapan bulan mengevaluasi program pendidikan di DKI, akhirnya mengembalikan uang negara Rp 2,4 triliun karena berbagai program pendidikan yang ada dianggap tidak relevan. Bahkan setelah diselidiki, pada beberapa sekolah negeri di Jakarta indikasi korupsi itu sangat jelas terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Beberapa sekolah dipaksa mengembalikan uang ke negara yang besarnya ratusan juta sampai miliaran rupiah.

Dana pendidikan memang paling menarik bagi para koruptor untuk mencurinya karena di sana tersedia banyak sekali ruang bebas untuk menjarah anggaran negara. Tentu, hal seperti ini tak dilakukan sendirian, tetapi ada semacam sistem yang terstruktur dan sistematis, mulai dari proses seleksi kepala sekolah, pengawas, dan kepala dinas. Revolusi mental harus menghancurkan sistem pendidikan yang korup seperti ini.

Jelas bahwa tantangan pendidikan tidak mudah. Namun, ini semua tergantung dari Anies dalam menempatkan dirinya sendiri. Apakah ia akan lebih memilih sebagai politisi atau individu yang memiliki pilihan moral sekaligus menjadi representasi kekuatan perubahan dalam pendidikan.

Jika ia lebih memilih dirinya sebagai politisi, gebrakan pendidikan tidak akan terlahir dalam pemerintah Jokowi ini, dan ini berarti Jokowi telah salah memilih Mendikbud.

Namun, apabila pertimbangan Presiden Jokowi memilih Anies adalah karena Anies memiliki kredibilitas moral, dan dengan demikian, pilihan-pilihan morallah yang diharapkan keluar dari sosok Anies sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah, mestinya Anies tidak perlu ragu mengambil keputusan dan segera melakukan gebrakan pendidikan.

Doni Koesoema Pemerhati Pendidikan

Thursday 13 November 2014

Ujian Nasional Bisa Dijadikan Alat Pemetaan Sekolah



Ujian Nasional sebaiknya jangan dijadikan standar kelulusan para siswa. Namun UN itu bisa dijadikan sebagai alat pemetaan kualitas sekolah.               

"Kalau dari hasil UN di suatu sekolah ditemukan rendah, maka selanjutnya pemerintah dapat membuat program peningkatan untuk sekolah tersebut," kata pemerhati pendidikan, Doni Koesoema, kepada Geotimes di Jakarta, Rabu (12/11).

Dengan UN sebagai alat pemetaan kualitas maka pemerintah dapat memantau perkembangan kualitas sekolah-sekolah. Jika sebuah sekolah mempunyai UN rendah maka pemerintah harus menyiapkan program peningkatan sekolah tersebut. 

Sementara syarat kelulusan harus ditentukan oleh masing-masing sekolah. Hal tersebut harus mengacu pada laporan hasil belajar yang terdapat pada rapor.

"Untuk SD, SMP, dan SMA kelulusan harus mengacu pada nilai rapor sekolah," katanya. 

Ia menilai UN selama ini selalu dijadikan alat ukur kelulusan. Nilai UN yang menjadi syarat minimal kelulusan, membuat sekolah-sekolah akhirnya memanipulasi nilai tersebut agar siswanya dapat lulus. 

"Anies Baswedan harus berani menyatakan Ujian Nasional sebagai alat pemetaan, bukan sebagai standar kelulusan," katanya.

Bila pemerintah tetap menggunakan UN sebagai standar kelulusan maka tak ada perubahan dalam kebijakan pendidikan nasional.

Diberitakan sebelumnya, pemerintah tetap menggelar UN SMP dan SMA pada 2015 namun dengan kebijakan baru yaitu penilaian seimbang antara nilai sekolah dengan UN, serta UN berbasis komputer.

Sumber: Geotimes.co.id

Friday 31 October 2014

Ini 5 PR Mendikbud


Pemerhati pendidikan, Doni Koesoema A, mengingatkan terdapat 5 persoalan di dunia pendidikan Indonesia yang harus segera diselesaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. 

Pertama, Anis diminta segera menghapus keberadaan Ujian Nasional yang selama ini digunakan sebagai syarat kelulusan di sekolah-sekolah.“Selama 10 tahun, Ujian Nasional tak terbukti meningkatkan kualitas pendidikan,” kata Doni, kepada Geotimes di Jakarta, Selasa (28/10). 

Kedua, Doni meminta mendikbud yang baru untuk memoratorium Kurikulum 2013 yang saat ini sudah dijalankan. Kurikulum tersebut dinilai tidak matang secara konsep dan praktik, sehingga terkesan dipaksakan. “Sementara kembali ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sambil menunggu perbaikan,” katanya. 

Ketiga, mengembalikan hakikat sekolah negeri sebagai sekolah yang mengajarkan prinsip keragaman kebhinekaan di antara para siswanya. “Sekolah negeri adalah tempat penyemaian keragaman, sekarang justru terjadi dominasi seperti pada acara keagamaan. Itu tak mencerminkan kebhinekaan,” katanya. 

Keempat, Mendikbud diminta segera menyelesaikan kasus kekerasan yang terjadi di tiap level sekolah.

Doni melihat, menteri pendidikan sebelumnya tidak begitu serius membenahi persoalan kekerasan di sekolah. 

Kelima, ia meminta ketegasan mendikbud untuk memberantas praktik korupsi di dunia pendidikan. “Korupsi di pendidikan itu sudah sangat sistematis, terstruktur, dan massif,” katanya.

Hal itu dilakukan demi kebaikan siswa, sebab tiap praktik korupsi di dunia pendidikan yang dirugikan adalah siswa. 

Ia mencontohkan korupsi terjadi mulai dari pemilihan kepala sekolah rawan praktik korupsi, sampai uang Bantuan Operasional Sekolah yang dikuasai kepala sekolah.

Kualitas Guru

Selain itu, Doni menghimbau kepada mendikbud untuk meningkatkan kualitas para guru dengan memperbanyak pelatihan bagi mereka.

“Guru kita sekarang kan, cara berpikirnya masih ketinggalan karena jarang mendapat pelatihan,” kata Doni.

Thursday 30 October 2014

Anies Diragukan Mampu Benahi Pendidikan



Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan/Antara

Geotimes.co.id, Jakarta - Kapasitas Anies Baswedan sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan diragukan mampu membenahi persoalan pendidikan di Indonesia. Salah satunya terkait keberaniannya menghapus Ujian Nasional (UN).

“Saya tidak yakin pak Anies mampu hapus UN. Sebab ujian nasional sendiri digagas oleh Jussuf Kalla,” kata pemerhati pendidikan, Doni Koesoema, kepada Geotimes di Jakarta, Selasa (28/10).
 
Kalla pernah menyatakan UN mesti dipertahankan demi pemerataan kualitas pendidikan. Ia pun menolak ide penghapusan dan menyerahkan UN ke daerah masing-masing.
 
"Jika tidak ada Ujian Nasional, maka akan sulit melihat standar pendidikan di suatu daerah. Pemerintah pun akan sulit meningkatkan pendidikan yang diketahui tidak merata," kata Kalla.


Menurut Doni di tangan Anies lah revolusi mental berada. Satu diantara pembuktiannya adalah menghapus Ujian Nasional yang dianggap tidak terbukti meningkatkan kualitas pendidikan.



“Sekarang pertanyaannya, mau revolusi mental atau tidak?,” katanya.



Selain itu, sosok Anies selama ini dinilai lebih banyak bergulat di dunia perguruan tinggi, sementara saat ini jabatannya berhadapan pada pendidikan level dasar hingga menengah. 


Nama Anies melejit sebagai tokoh pendidikan, melalui program Indonesia Mengajar yang digagasnya.



Namun Doni tidak setuju konsep yang ditawarkan Indonesia Mengajar. “Itu mengajar yang salah, karena mengirim guru-guru ke pelosok tanpa dilatih pendidikan keguruan terlebih dahulu,” katanya.



Usai dilantik, Anies mulai berkantor di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. 

Seperti dilaporkan laman resmi kementerian, Anies meninjau lingkungan kerja selepas memimpin upacara sumpah pemuda.  "Ini hari pertama...Untuk melihat situasinya seperti apa, baru lah kita keluarkan terobosan," kata Anies, di Jakarta, Selasa (28/10), seperti dikutip Antara.

Sumber: Geotimes

Monday 27 October 2014

Ini Dia Penyebab Banyaknya Guru Berkualitas Rendah

Pemerintah diminta segera membatasi jumlah Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK), mengingat jumlahnya yang sudah terlalu banyak. Hal itu dinilai berdampak pada membludaknya jumlah guru, melebihi kuota yang dibutuhkan.

“Itu jadi masalah. Saat ini terdapat sekitar 300 LPTK, jumlah mahasiswanya membengkak sekitar satu juta. Dan tiap tahun menghasilkan lulusan kurang lebih 200 ribu,” kata pemerhati pendidikan Doni Koesoema kepada Geotimes di Jakarta, Jumat (24/10).


Padahal formasi guru yang dibutuhkan tiap tahun adalah 60 ribu tenaga guru, akhirnya terdapat sekitar 350 ribu guru yang menganggur.

“Animo masyarakat yang tinggi terhadap profesi guru, tapi tidak diimbangi dengan peraturan ketat dari pemerintah,” katanya.

Doni menyayangkan, maraknya pendirian LPTK tersebut lantaran tidak diimbangi dengan peraturan ketat dari pemerintah. Ia pun meminta pemerintah agar segera membatasi jumlah LPTK, sampai jumlah guru yang tersedia merata.

Setelah dibatasi jumlahnya, maka pemerintah harus membenahi kualitas LPTK, dengan memperbaiki kualitas dosen, memperketat proses seleksi masuk calon mahasiswa, dan pembenahan kurikulum.

“Materi di kampus saat ini kebanyakan sudah ketinggalan jaman, padahal kurikulum dan metode pengajaran terus berkembang,” katanya.

Menurut dia kualitas dosen di LPTK harus ditingkatkan cara pengajarannya, karena pengajaran dosen yang ada saat ini dinilai ketinggalan jaman.

“Dosen meminta mahasiswanya mengajar dengan interaktif, tapi yang bersangkutan metode mengajarnya menjemukan,” katanya.

Karena dosen berkualitas berpengaruh pada kualitas lulusan calon guru LPTK. Ia menilai, cara mengajarkan guru berasal dari pengalamannya mengikuti pelajaran.

“Kalau waktu mahasiswa diajari dengan cara membosankan, maka ketika mengajarkan pun demikian,” katanya.

Selain itu, LPTK diminta menyeleksi ketat calon mahasiswa yang hendak masuk. Mereka diterima bila pengetahuan dasar seperti IPA, IPS, Matematika di atas nilai 8,” katanya. Seleksi ketat tersebut dibutuhkan agar tersaring mahasiswa yang benar-benar siap menjadi guru.

“Jadi bila kualitas LPTK-nya sudah dibenahi, maka guru yang dihasilkan sesuai dan berkualitas,” katanya.

Seperti dikutip dari laman resmi Universitas Pendidikan Indonesia, disebutkan, LPTK adalah perguruan tinggi penghasil calon guru profesional yang berperan penting pada pembangunan sumber daya manusia Indonesia.

Beberapa kampus yang menyelenggarakan LPTK diantaranya seperti Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah, Universitas Negeri Yogyakarta, dan kampus lainnya.[Dika Irawan*]

FSGI : Anies Harus Pilih Dirjen Yang Tepat



JAKARTA - Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti mengatakan, ia meragukan kemampuan Anies Baswedan sebagai menteri kebudayaan dan pendidikan dasar dan menengah (menbud dikdasmen).

Ia menilai pengalaman Anies di bidang pendidikan dasar dan menengah sangat minim. Jadi, dia harus memilih orang yang tepat untuk menduduki jabatan sebagai dirjen di kementeriannya. “Dirjen yang sekarang bukan tipe yang diinginkan Indonesia baru. Jadi, Anies harus memilih dirjen yang tepat,” ujar Retno kepada SH, Senin (27/10).

Menurutnya, orang yang tepat menduduki jabatan dirjen adalah mereka yang memahami lapangan dan medan di pendidikan dasar dan menengah. Para dirjen tersebut harus memahami persoalan-persoalan pendidikan yang menjadi prioritas untuk segera diselesaikan.  “Paling tidak ada lima persoalan yang perlu menjadi prioritas,” ucapnya.

Menurut Retno, lima persoalan yang mendesak harus dilakukan pada pendidikan dasar dan menengah, di antaranya menghapus UN sebagai penentu kelulusan, menghentikan Kurikulum 2013, menguatkan budaya keragaman di sekolah negeri, menghentikan kekerasan dalam dunia pendidikan, dan menindak tegas korupsi di bidang pendidikan.

Retno mengungkapkan, mereka yang memegang jabatan dirjen tidak harus dari internal Kemendikbud. “Kalau menteri adalah jabatan politis. Namun, kalau dirjen jabatan karier. Jadi, guru juga bisa menjadi dirjen,” ujarnya.

Kurang Berani

Retno menilai, Anies adalah pribadi yang terbuka, bersih, dan santun. Namun, untuk menjadi menbud dikdasmen, menurut Retno, Anies belum memadai. Ia menilai, selama ini dari setiap pernyataannya, Anies menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang cenderung mencari aman.

Anies kurang memiliki keberanian dalam bersikap sehingga Retno meragukan menbud dikdasmen ini akan berani menghentikan Ujian Nasional (UN) sebagai penentu kelulusan. Padahal, janji kampanye Joko Widodo (Jokowi) sepengetahuan Retno adalah menghentikan UN sebagai penentu kelulusan. “Saya juga ragu Anies akan berani menghentikan UN, apalagi menghentikan Kurikulum 2013,” kata Retno.

Pengamat pendidikan Doni Koesoema Albertus mengatakan, menbud dikdasmen yang baru perlu menghapus UN sebagai syarat kelulusan siswa dan perlu melakukan moratorium Kurikulum 2013. Pasalnya, aturan Kemendikbud bahwa UN sebagai penentu kelulusan siswa selama ini telah merusak pendidikan nasional. “Praktik penyelenggaraan UN selama satu dasawarsa lebih tidak terbukti meningkatkan kualitas pendidikan,” tutur Doni.

Menurutnya, Kurikulum 2013 secara konseptual keliru sehingga pelaksanaannya di lapangan kacau-balau. “Untuk itu, Kurikulum 2013 perlu dihentikan. Kurikulum seharusnya diujicobakan secara terbatas sampai teruji hasilnya, baru diterapkan kembali,” ujar Doni.

Hal senada juga diutarakan Kepala Sekolah SD Negeri Menteng 01, Jakarta Pusat, Akhmad Solikhin. Dia menyebutkan, pekerjaan pertama yang harus diselesaikan menbud dikdasmen adalah mengevaluasi Kurikulum 2013.

Sementara itu, Bedjo Subagio, orang tua siswa di sebuah sekolah di kawasan Jakarta Pusat mengatakan, berharap Kartu Indonesia Pintar (KIP) bisa segera diberlakukan, dan permasalahan-permasalahan terkait Biaya Operasional Sekolah (BOS) segera diselesaikan.

Sumber : Sinar Harapan

Pendidikan Keagamaan