PEMERINTAHAN baru di bawah Joko Widodo-Jusuf Kalla diminta
melakukan sejumlah perubahan di bidang kebijakan pendidikan nasional.
Salah satu kebijakan yang mendesak dilakukan ialah memoratorium
pelaksanaan Kurikulum 2013 dan menghapus ujian nasional (UN) sebagai
syarat kelulusan.
''Isi kurikulum 2013 bermasalah dan cara
pengajaran belum teruji. Jadi kembalikan saja ke Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, sambil melengkapi dan memperkaya pola
pelatihan guru yang berbasis sekolah, bukan mata pelajaran (individu),''
kata kon sultan pendidikan Doni Koesoema A, saat membacakan rekomendasi
Jakarta Education Forum (JEF), dalam diskusi Revolusi Mental dalam
Pendidikan, di Jakarta kemarin.
Hadir dalam diskusi tersebut Prof
Dr HAR Tilaar, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof
Sudiarto dari Universitas Negeri Jakarta, pemerhati pendidikan
Darmaningtyas, dan beberapa asosiasi guru.
Selain itu, lanjut
Doni, JEF juga meminta Dewan Pendidikan Nasional (DPN) sebagai mekanisme
kontrol kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
dikembalikan fungsinya sebagai lembaga mandiri dan independen dengan
cara merevisi PP 17 Tahun 2010.
''Untuk itu, JEF meminta Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menghentikan DPN yang akan dikukuhkan pada 19
Oktober, sehari sebelum Presiden Jokowi-JK dilantik,'' tambah pendiri
Pendidikan Karakter Education Consulting itu.
DPN, lanjutnya, memang usulan JEF, tetapi proses perekrutan anggotanya tidak sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional.
Lebih
lanjut, Doni menyampaikan empat butir rekomendasi lainnya, yakni soal
peningkatan kualitas guru harus dilakukan melalui pendidikan dan
pelatihan pengembangan profesional guru melalui kelompok kerja guru.
Selanjutnya,
mereformasi lembaga pendidikan tenaga kependidikan, mendesentralisasi
pengelolaan guru, memprioritaskan pendidikan untuk daerah terpencil dan
di perbatasan, dan yang terakhir ialah mengembangkan sekolah vokasional
yang relevan dengan memperbanyak teknopark sesuai kebutuhan lokal.
Di
sisi lain, HAR Tilaar berharap Kemendikbud di era Jokowi-JK dapat
mengembalikan tujuan pendidikan nasional yang sesuai dengan UUD 1945,
yakni mencerdaskan bangsa. ''Saat ini kita masih school society, belum
education society. Kita harus mengembalikan ke konsep pendidikan Ki
Hajar Dewantoro,'' kata Tilaar. Tugas pendidikan, tambah dia, harus
memelihara dan mengembangkan kebudayaannya.
Dalam diskusi yang
dimoderatori oleh Baedowi, Direktur Sekolah Yayasan Sukma, Tilaar juga
menegaskan bahwa pendidikan itu harus ditransmisikan ke generasi muda
lalu dikembangkan. Transmisi itu terjadi dalam pendidikan dasar hingga
menengah, barulah di pendidikan tinggi dikembangkan. ''Jadi pendidikan
tinggi itu pengembang budaya dan tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan
dasar menengah,'' ujar nya.
JEF merupakan inisiatif publik yang
prihatin dengan isu pendidikan saat ini, terutama soal menurunnya konsep
keberagaman, kebernegaraan, dan Pancasila di kalangan anak didik
ataupun pendidik. Pada April lalu, lanjutnya, JEF berdiskusi untuk
memasukkan konsep perbaikan pendidikan, baik visi, strategi, maupun
rekomendasi ke presiden baru nanti.
Sunday 5 October 2014
Friday 3 October 2014
SBY-Boediono Gagal Lindungi Anak Bangsa
JAKARTA, KOMPAS.com — Menjelang akhir pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, kasus
kekerasan terhadap pelajar terus bermunculan. Pelecehan seksual di TK
JIS dan kekerasan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) adalah dua di
antaranya. Pemerintahan ini dinilai gagal melindungi para pelajar.
"Kasus kejahatan seksual di JIS dan meninggalnya mahasiswa STIP adalah fakta terbaru betapa kekerasan dalam pendidikan senantiasa mengancam masa depan dan kehidupan anak-anak kita," ujar Doni Koesoema dari Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), saat jumpa pers di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Selasa (29/4/2014).
Kekerasan lain yang merenggut nyawa terjadi juga pada mahasiswa Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang pada masa orientasi serta kasus tawuran siswa SMAN 6 dan SMAN 70 di Jakarta. Banyaknya tunas bangsa yang meninggal sia-sia dalam tawuran, menurut Doni, menjadi indikasi bahwa pemerintah SBY-Boediono gagal melaksanakan amanat Pasal 28 Ayat 2 UUD 1945.
Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada 2013, sebut Doni, menunjukkan angka tawuran mencapai 112 kasus dengan korban tewas 20 pelajar.
Dari 1.026 responden anak (SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA) yang tersebar di 9 provinsi, 87,6 persen responden mengaku mengalami tindak kekerasan di sekolah. Doni berharap, pemerintah mampu mengurangi dan menghilangkan kekerasan di lingkungan pendidikan. Caranya, dengan membuat kebijakan pendidikan yang memprioritaskan keamanan dan kenyamanan di lingkungan sekolah.
Selain itu, lanjut Doni, regulasi juga perlu dibenahi terkait sanksi yang konsisten dan ketat. Sanksi untuk sekolah yang terbukti memiliki kasus kekerasan, sebut dia, mulai dari penurunan nilai akreditasi, pencopotan pimpinan sekolah, hingga pencabutan izin operasional lembaga pendidikan bila tetap membiarkan terjadinya aksi kekerasan.
"Pemerintah perlu mengadakan kajian yang tuntas disertai kebijakan pendidikan yang komprehensif agar kekerasan di lingkungan pendidikan, yang kemudian mengorbankan anak, tidak terjadi lagi," ujar Doni.
Sumber: Kompas.com
"Kasus kejahatan seksual di JIS dan meninggalnya mahasiswa STIP adalah fakta terbaru betapa kekerasan dalam pendidikan senantiasa mengancam masa depan dan kehidupan anak-anak kita," ujar Doni Koesoema dari Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), saat jumpa pers di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Selasa (29/4/2014).
Kekerasan lain yang merenggut nyawa terjadi juga pada mahasiswa Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang pada masa orientasi serta kasus tawuran siswa SMAN 6 dan SMAN 70 di Jakarta. Banyaknya tunas bangsa yang meninggal sia-sia dalam tawuran, menurut Doni, menjadi indikasi bahwa pemerintah SBY-Boediono gagal melaksanakan amanat Pasal 28 Ayat 2 UUD 1945.
Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada 2013, sebut Doni, menunjukkan angka tawuran mencapai 112 kasus dengan korban tewas 20 pelajar.
Dari 1.026 responden anak (SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA) yang tersebar di 9 provinsi, 87,6 persen responden mengaku mengalami tindak kekerasan di sekolah. Doni berharap, pemerintah mampu mengurangi dan menghilangkan kekerasan di lingkungan pendidikan. Caranya, dengan membuat kebijakan pendidikan yang memprioritaskan keamanan dan kenyamanan di lingkungan sekolah.
Selain itu, lanjut Doni, regulasi juga perlu dibenahi terkait sanksi yang konsisten dan ketat. Sanksi untuk sekolah yang terbukti memiliki kasus kekerasan, sebut dia, mulai dari penurunan nilai akreditasi, pencopotan pimpinan sekolah, hingga pencabutan izin operasional lembaga pendidikan bila tetap membiarkan terjadinya aksi kekerasan.
"Pemerintah perlu mengadakan kajian yang tuntas disertai kebijakan pendidikan yang komprehensif agar kekerasan di lingkungan pendidikan, yang kemudian mengorbankan anak, tidak terjadi lagi," ujar Doni.
Sumber: Kompas.com
Penulis | : Arimbi Ramadhiani |
Editor |
: Palupi Annisa Auliani |
Tuesday 5 August 2014
Perubahan Kurikulum Dilakukan secara Gegabah
JAKARTA - Pengamat
pendidikan, Doni Koesoema Albertus, menilai Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) telah gegabah dalam melakukan perubahan kurikulum.
Penerapan kurikulum baru, Kurikulum 2013, tidak dilakukan dengan persiapan yang matang dan kehati-hatian. Akibatnya, berbagai masalah timbul dalam penerapannya.
“Jangan gegabah mengubah kurikulum, kalau belum membahasnya secara lengkap dan matang dengan berbagai instansi terkait,” ujar Doni.
Ia mengatakan, perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 ke Kurikulum 2013 terbukti telah menghadirkan sejumlah masalah.
Masalah besar yang timbul saat ini, terutama adalah kurang siapnya guru dan penyediaan buku-buku paket sebagai sarana pembelajaran. Kedua masalah tersebut tidak bisa dipandang ringan karena sangat merugikan siswa.
Pembelajaran yang berlangsung tanpa perencanaan yang baik tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Hasil pembelajaran yang amburadul semacam ini, menurut Doni, akhirnya akan merugikan pendidikan nasional.
“Masalah buku adalah masalah teknis. Masalah tersebut sebenarnya bukan persoalan sulit,” ucap Doni.
Menurutnya, apabila perubahan kurikulum dipersiapkan secara matang, Kemendikbud tidak akan mengalami kesulitan untuk mengatasi persoalan guru dan penyediaan buku seperti yang terjadi sekarang ini.
“Sekarang ini, masalah yang gampang seperti persoalan distribusi buku saja tidak beres, berarti ada persoalan-persoalan lain yang juga belum dapat tertangani dengan baik,” ujarnya.
Doni menduga selain menghadapi persoalan ketidaksiapan guru dan distribusi buku, Kemendikbud saat ini menghadapi persoalan mendasar dalam penerapan Kurikulum 2013. Persoalan tersebut adalah masalah manajemen, koordinasi, dan komunikasi.
Menurut Doni, ketiga hal tersebut yang akan menentukan keberhasilan perubahan kebijakan pendidikan. Untuk itu, Kemendikbud seharusnya mengevaluasi ketiga hal tersebut sebelum menerapkan Kurikulum 2013.
Klinik Guru
Doni mencontohkah program Klinik Guru yang diluncurkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh baru-baru ini. Menurutnya, pengadaan Klinik Guru menjadi pertanda bahwa paradigma Kemendikbud atas Kurikulum 2013 tidak sehat.
Pasalnya, dengan klinik ini, guru yang oleh Kemendikbud dinilai “sakit” atau bermasalah karena tidak mampu memahami Kurikulum 2013. Padahal, menurut Doni, wajar apabila guru tidak mampu memahami Kurikulum 2013. Itu karena persiapan dan pelatihan para guru dilakukan kurang matang.
“Paradigma Kemendikbud sangat tidak sehat. Guru yang dianggap sakit, padahal yang cacat adalah kebijakan Kurikulum 2013-nya,” ujar Doni.
Sementara itu, hingga satu hari menjelang masuk sekolah, hari ini, Selasa (5/8), SH masih menerima sejumlah laporan dari daerah terkait buku yang belum sampai ke sekolah-sekolah. Hesty, seorang guru sebuah SMP di Tomohon Selatan, Sulawesi Utara, mengatakan sekolahnya belum menerima buku paket Kurikulum 2013.
Padahal, tahun ini di sekolahnya ada dua kelas yang menerapkan Kurikulum 2013, yakni kelas VII dan kelas VIII. Ia mengatakan, sekolahnya mendapat instruksi untuk memfotokopi materi dari bahan di compact disk (CD) yang telah diperoleh para guru sebelumnya.
“Kami dapat softcopy-nya. Jadi untuk proses belajar, sementara kami cetak bahan dari situ,” tuturnya, Selasa (5/8) pagi.
Selain Hesty, laporan keterlambatan buku paket Kurikulum 2013 juga datang dari Agnes, seorang guru dari sebuah sekolah di Surabaya, Jawa Timur; Junjun Nugraha, seorang guru SMK dari Tasikmalaya; dan Arnida seorang guru dari sebuah SMP di DKI Jakarta.
Sumber : Sinar Harapan, 05 Agustus 2014
Penerapan kurikulum baru, Kurikulum 2013, tidak dilakukan dengan persiapan yang matang dan kehati-hatian. Akibatnya, berbagai masalah timbul dalam penerapannya.
“Jangan gegabah mengubah kurikulum, kalau belum membahasnya secara lengkap dan matang dengan berbagai instansi terkait,” ujar Doni.
Ia mengatakan, perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 ke Kurikulum 2013 terbukti telah menghadirkan sejumlah masalah.
Masalah besar yang timbul saat ini, terutama adalah kurang siapnya guru dan penyediaan buku-buku paket sebagai sarana pembelajaran. Kedua masalah tersebut tidak bisa dipandang ringan karena sangat merugikan siswa.
Pembelajaran yang berlangsung tanpa perencanaan yang baik tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Hasil pembelajaran yang amburadul semacam ini, menurut Doni, akhirnya akan merugikan pendidikan nasional.
“Masalah buku adalah masalah teknis. Masalah tersebut sebenarnya bukan persoalan sulit,” ucap Doni.
Menurutnya, apabila perubahan kurikulum dipersiapkan secara matang, Kemendikbud tidak akan mengalami kesulitan untuk mengatasi persoalan guru dan penyediaan buku seperti yang terjadi sekarang ini.
“Sekarang ini, masalah yang gampang seperti persoalan distribusi buku saja tidak beres, berarti ada persoalan-persoalan lain yang juga belum dapat tertangani dengan baik,” ujarnya.
Doni menduga selain menghadapi persoalan ketidaksiapan guru dan distribusi buku, Kemendikbud saat ini menghadapi persoalan mendasar dalam penerapan Kurikulum 2013. Persoalan tersebut adalah masalah manajemen, koordinasi, dan komunikasi.
Menurut Doni, ketiga hal tersebut yang akan menentukan keberhasilan perubahan kebijakan pendidikan. Untuk itu, Kemendikbud seharusnya mengevaluasi ketiga hal tersebut sebelum menerapkan Kurikulum 2013.
Klinik Guru
Doni mencontohkah program Klinik Guru yang diluncurkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh baru-baru ini. Menurutnya, pengadaan Klinik Guru menjadi pertanda bahwa paradigma Kemendikbud atas Kurikulum 2013 tidak sehat.
Pasalnya, dengan klinik ini, guru yang oleh Kemendikbud dinilai “sakit” atau bermasalah karena tidak mampu memahami Kurikulum 2013. Padahal, menurut Doni, wajar apabila guru tidak mampu memahami Kurikulum 2013. Itu karena persiapan dan pelatihan para guru dilakukan kurang matang.
“Paradigma Kemendikbud sangat tidak sehat. Guru yang dianggap sakit, padahal yang cacat adalah kebijakan Kurikulum 2013-nya,” ujar Doni.
Sementara itu, hingga satu hari menjelang masuk sekolah, hari ini, Selasa (5/8), SH masih menerima sejumlah laporan dari daerah terkait buku yang belum sampai ke sekolah-sekolah. Hesty, seorang guru sebuah SMP di Tomohon Selatan, Sulawesi Utara, mengatakan sekolahnya belum menerima buku paket Kurikulum 2013.
Padahal, tahun ini di sekolahnya ada dua kelas yang menerapkan Kurikulum 2013, yakni kelas VII dan kelas VIII. Ia mengatakan, sekolahnya mendapat instruksi untuk memfotokopi materi dari bahan di compact disk (CD) yang telah diperoleh para guru sebelumnya.
“Kami dapat softcopy-nya. Jadi untuk proses belajar, sementara kami cetak bahan dari situ,” tuturnya, Selasa (5/8) pagi.
Selain Hesty, laporan keterlambatan buku paket Kurikulum 2013 juga datang dari Agnes, seorang guru dari sebuah sekolah di Surabaya, Jawa Timur; Junjun Nugraha, seorang guru SMK dari Tasikmalaya; dan Arnida seorang guru dari sebuah SMP di DKI Jakarta.
Sumber : Sinar Harapan, 05 Agustus 2014
Wednesday 23 July 2014
Hak Pendidikan Penyandang Disabilitas
Media Indonesia, 14 Juli 2014
Oleh Doni Koesoema A.
Oleh Doni Koesoema A.
Baru pertamakalinya di dalam
sejarah, kedua tim sukses dari masing-masing kubu, yaitu Prabowo-Hatta dan
Jokowidodo-Jusuf Kalla, berdialog dengan para penyandang disabilitas untuk
membahas masa depan mereka. Tema tentang hak-hak penyandang disabilitas bisa
dikatakan sangat marjinal, jarang bahkan tidak dibahas dalam debat visi dan
misi calon presiden, serta luput dari gelora kampanye.
Dalam dialog yang diadakan di
aula Pegadaian, Kramat Raya, beberapa waktu lalu, perwakilan dari kedua tim
sukses, Edy Prabowo (kubu Prabowo-Hatt), Rieke Dyah Pitaloka (kubu Jokowi-JK)
berjanji untuk tetap memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas siapapun
Presidennya. Kedua juru bicara adalah wakil rakyat yang lolos ke senayan dalam
pileg lalu. Janji ini tentu menggembirakan. Namun, persoalan penyandang
disabilitas bukanlah masalah janji-janji manis, melainkan aksi nyata yang
membuat keberadaan mereka lebih bermartabat.
Kasus persyaratan SNMPTN yang
diskriminatif bagi penyandang disabilitas, diskriminasi masuk SMA/SMK hanyalah
gunung es dari persoalan fundamental pendidikan yang tidak memandang penyandang
disabilitas sebagai manusia. Mereka dianggap sebagai objek penghalang dan
beban, bahkan kalau toh dianggap sebagai manusia, mereka dianggap sebagai orang
yang harus dikasihani. Paradigma ini sesat dan harus dikoreksi.
Penyandang disabilitas adalah
manusia yang bermartabat dan memiliki hak. Perjuangan mereka adalah perjuangan
demi penegakan kemanusiaan itu sendiri. Hak memperoleh pendidikan yang layak
bagi penyandang disabilitas dilindungi oleh Konstitusi kita. Mereka bukan hanya
memiliki hak untuk memperoleh pendidikan, melainkan juga sama seperti individu
non-disabel, mereka memiliki keseluruhan hak untuk berpartisipasi secara aktif
dalam kehidupan bernegara, di bidang politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
Publik mulai menyadari persoalan
penyandang disabilitas ketika penyandang disabilitas sendiri mulai menyadari
pentingnya menyuarakan hak-hak mereka. Bahkan, para penyandang disabilitas
sudah sangat maju dengan secara resmi mengajukan Rancangan Undang-Undang
Penyandang Disabilitas (RUU Penyandang Disabilitas), sebagai pengganti
Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Perubahan Radikal
RUU Penyandang disabilitas sudah
masuk dalam salah satu prioritas Prolegnas 2014. RUU ini akan mengubah secara
radikal paradigma kita terhadap penyandang disabilitas, dan tentu saja,
perubahan paradigma ini akan memiliki pengaruh besar pada praksis pendidikan
kita.
Perubahan radikal pertama adalah
perubahan filosofis dari paradigma karitatif menjadi hak asasi manusia. UU No.
4 tahun 1997 masih memandang penyandang disabilitas sebagai individu yang patut
dikasihani, namun tidak memiliki hak. Karena itu, perlakuan terhadap mereka
sekedar karitatif, berdasarkan rasa belas kasihan semata. Paradigma ini berubah
menjadi pendekatan hak. Sebagai hak asasi, hak para penyandang disabilitas
bersifat universal, langgeng, tidak dapat dikurangi, dibatasi, dicabut, atau
dihilangkan oleh siapapun termasuk Negara.
Konvensi Hak-Hak Penyandang
Disabilitas yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia pada 2007 dan
dikuatkan dengan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Hak-Hak Penyandang Disabilitas mewajibkan bahwa keseluruhan peraturan
perundang-undangan yang ada melindungi hak-hak asasi penyandang disabilitas.
Kedua, persoalan penyandang
disabilitas bukanlah persoalan individual, yaitu masalah ada pada penyandang
disabilitas, melainkan pada unsur sosial, yaitu pemahaman masyarakat, negara,
dan aparatur negara terhadap keberadaan penyandang disabilitas sebagai warga
negara. Mereka selama ini dianggap sebagai aib, objek penghalang. Masyarakatlah
yang harus mengubah cara pandang mereka terhadap penyandang disabilitas. Mereka
juga manusia yang memiliki hak dan martabat yang luhur, yang tidak pernah boleh
dilecehkan oleh siapapun.
Ketiga, secara hukum yuridis,
konsep tentang penyandang disabilitas berubah. Bila dalam UU No. 4/1997 masih
memakai istilah penyandang cacat, istilah ini sudah tidak tepat lagi dan harus
dihilangkan, sebab cacat fisik dan mental bukanlah sebuah kecelakaan yang
membedakan manusia satu dengan yang lainnya. Istilah yang lebih manusiawi dan
dipakai sekarang adalah penyandang disabilitas. Pembedaannya bukan antara yang
cacat dengan normal, melainkan pada disabel dan non-disabel. Mereka semua
adalah sama-sama manusia yang memiliki hak dan martabat yang tak dapat diganggu
gugat oleh siapapun.
Bukan Inklusi
Pemenuhan hak-hak para penyandang
disabilitas dalam praksis pendidikan kita selama ini hanyalah tempelan dan
tambahan. Ini terbukti dengan adanya lembaga pendidikan yang inklusif. Padahal,
semestinya tidak ada sekolah yang inklusi, sebab pendidikan itu pada hakikatnya
adalah inklusi. Bila pendidikan adalah inklusi, yaitu membantu setiap warga
negara, siapapun mereka untuk dapat terlibat dan berbaur dalam pengembangan
kehidupan bernegara dan bermasyarakat, pembatasan-pembatasan apapun atas dasar
alasan disabilitas merupakan sikap tidak adil dan diskriminatif. Setiap
penyandang disabilitas memiliki hak untuk masuk dan mengenyam pendidikan dari
jenjang, jalur, dan jenis pendidikan apapun mulai dari pendidikan dasar sampai
pendidikan tinggi.
Konsep kita tentang pendidikan umum
dengan program inklusi harus dihapus. Pemahaman yang distortif terhadap
pendidikan inklusi telah berakibat bahwa praksis pendidikan inklusi sekedar formalitas.
Pemerintah secara formal menyediakan keberadaan pendidikan inklusi, namun hal-hal
fundamental, seperti ketersediaan sarana belajar, guru, akomodasi wajar proses
belajar siswa, sistem evaluasi dan kurikulum, tidak berubah. Ini sama saja
memberikan kesempatan berenang pada penyandang disabilitas, namun tidak
disediakan pelampung, atau penjaga kolam renang, sehingga penyandang
disabilitas akhirnya tenggelam dalam pendekatan sekolah inklusi sebab tak
memperoleh akomodasi satu pun.
Ketiadaan sarana-prasarana dan
tenaga di Perguruan Tinggi tidak bisa menjadi alasan untuk menyingkirkan para
penyandang disabilitas dari akses mereka terhadapa pendidikan di setiap jenjang
pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, sampai tinggi. Negara bertanggungjawab
untuk menyediakan akses ini mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan
tinggi
Bukan Semalam
Membalik keadaan, di mana sistem
pendidikan kita memiliki jiwa adil dan menerapkan prinsip non-diskriminasi
terhadap penyandang disabilitas bukanlah pekerjaan semalam. Namun, pekerjaan
ini tidak dapat dilakukan bila paradigma dan visi kita tentang kehadiran para
penyandang disabilitas tidak berubah. Dalam konteks pendidikan, perubahan
radikal ini harus disertai desain jangka panjang dan eksplisitasi penghargaan
terhadap penyandang disabilitas dalam aturan hukum dan perundang-undangan kita.
Untuk itu, ada tiga prioritas yang mesti segera dikerjakan.
Pertama, pemerintah harus secara
eksplisit dan tegas menyatakan dan mengukuhkan dalam produk hukum dan praksis bahwa
penyandang disabilitas tidak didiskriminasi dalam mengenyam pendidikan dalam
jenjang manapun, mulai dari pendidikan dasar sampai tinggi. Pemerintah tidak
boleh sekedar lipservice dengan menghapus persyaratan diskiminatif dalam
SNMPTN, namun tetap mempraktikkan perilaku diskriminatif secara diam-diam.
Kedua, pemerintah harus mendesain
secara jelas kebijakan afirmatif apa yang akan mereka lakukan untuk
mengakomodasi kehadiran para penyandang disabilitas agar memiliki keterbukaan
akses pada setiap jalur pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai tinggi.
Pemerintah harus secara jelas menyatakan bahwa pendidikan dari tingkat dasar
sampai tinggi adalah inklusif, dan pemerintah memiliki program dan agenda yang
jelas untuk menyediakan berbagai macam perangkat dan sistem agar kebijakan ini
diterapkan dengan semakin baik dan masa depan.
Ketiga, harus ada proses
penilaian dan asesmen yang utuh ketika pemerintah menentukan seseorang harus
masuk sekolah khusus, melalui kriteria dan proses yang secara objektif dapat
dipertanggungjawabkan. Sekolah khusus hanya diperuntukkan bagi mereka yang
sungguh-sungguh secara khusus tidak dapat berintegrasi dengan sekolah umum baik
dari segi kurikulum, metode, sarana, guru dan tujuan.
Masyarakat dan para pengambil
kebijakan harus terbuka dan berani mengoreksi konsep dan paradigma mereka
tentang kehadiran para penyandang disabilitas. Sebuah masyarakat yang beradab
dan manusiawi hanya bisa dilihat dari bagaimana sistem, struktur, dan perilaku
masyarakat itu menghargai kehadiran para penyandang disabilitas, terutama dalam
kehidupan publik.
Penyandang disabilitas adalah manusia.
Mereka adalah saudara-saudara kita, yang patut kita perlakukan dengan penuh
cinta, dan dilindungi dalam sebuah produk hukum, undang-undang, peraturan, dan
praksis kehidupan bermasyarakat yang menghargai harkat dan martabat mereka
sebagai ciptaan Tuhan.
Doni Koesoema A. – Pemerhati
Pendidikan
Tuesday 1 July 2014
Menyingkap Misteri Veronika
Apakah Anda tahu siapakah Veronika, perempuan kudus yang mengusap wajah Yesus di jalan salibNya? Hampir bisa dipastikan, setiap umat Katolik tahu siapa Veronika. Namun, bila ditanya lebih jauh tentang sosok ini, mereka tidak dapat memberikan jawaban lain selain, "ia adalah perempuan yang mengusap wajah Yesus." Lain itu tidak ada informasi lain. Siapakah dia sesungguhnya, berasal dari mana, bagaimana kisahnya, dll. Veronika tetap menjadi misteri bagi kita, sebab namanya tidak tertulis dalam Injil, namun menjadi sangat populer dalam prosesi doa jalan salib terutama pada pemberhentian ke-enam, yang menampilkan sosok penuh belas kasih ini.
Buku ini mengajak pembaca untuk menelusur dari mana sebenarnya asal-usul gambaran dan kisah Veronika yang sampai pada kita saat ini, yaitu sosok perempuan kudus yang mengusap wajah Yesus di perjalanan menuju Kalvari, di mana ia kemudian memperoleh gambar wajah Yesus.
Kisah tentang Veronika bukanlah tanpa asal. Ketika merekonstruksi Veronika dari perspektif sejarah, ditemukan beberapa fakta menarik. Kisah tentang Veronika yang sampai pada kita saat ini bukanlah satu-satunya kisah yang ada tentang Veronika, baik sebagai sosok perempuan kudus ataupun kisat tentang gambar Yesus. Di berbagai tempat, terdapat berbagai kisah legendaris tentang Veronika. Siapakah dia sebenarnya?
Bila Anda memiliki nama Baptis Veronika, Anda wajib memiliki buku ini karena buku ini akan memandu Anda bagaimana menghayati nama pelindung Veronika. Bagi Anda yang punya kenalan bernama Veronika, Anda mesti memastikan bahwa Andalah orang pertama yang menghadiahi teman Anda tersebut dengan buku luar biasa ini. Bagi Anda yang tidak memiliki saudara atau teman yang bernama Veronika, namun penasaran dengan sosok yang sangat legendaris di kalangan umat Katolik ini, Anda wajib membaca buku ini, dan mendapatkan pencerahan yang luar biasa dari buku ini.
Mungkin Anda tidak tahu, beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa Vatikan menyembunyikan fakta-fakta tentang Veronika ini? Dan banyak yang menyimpulkan bahwa Selubung Veronika yang berada di Vatikan yang sering dieskpose setiap Tahun Yubileum itu palsu. Benarkah? Apa kepentingan Vatikan merahasiakan misteri keberadaan Selubung Veronika ini?
Dan apakah misteri lain yang tersembunyi dari kisah Veronika ini?
Jawabnya hanya bisa Anda temukan di Buku ini!
Buku ini mengajak pembaca untuk menelusur dari mana sebenarnya asal-usul gambaran dan kisah Veronika yang sampai pada kita saat ini, yaitu sosok perempuan kudus yang mengusap wajah Yesus di perjalanan menuju Kalvari, di mana ia kemudian memperoleh gambar wajah Yesus.
Kisah tentang Veronika bukanlah tanpa asal. Ketika merekonstruksi Veronika dari perspektif sejarah, ditemukan beberapa fakta menarik. Kisah tentang Veronika yang sampai pada kita saat ini bukanlah satu-satunya kisah yang ada tentang Veronika, baik sebagai sosok perempuan kudus ataupun kisat tentang gambar Yesus. Di berbagai tempat, terdapat berbagai kisah legendaris tentang Veronika. Siapakah dia sebenarnya?
Bila Anda memiliki nama Baptis Veronika, Anda wajib memiliki buku ini karena buku ini akan memandu Anda bagaimana menghayati nama pelindung Veronika. Bagi Anda yang punya kenalan bernama Veronika, Anda mesti memastikan bahwa Andalah orang pertama yang menghadiahi teman Anda tersebut dengan buku luar biasa ini. Bagi Anda yang tidak memiliki saudara atau teman yang bernama Veronika, namun penasaran dengan sosok yang sangat legendaris di kalangan umat Katolik ini, Anda wajib membaca buku ini, dan mendapatkan pencerahan yang luar biasa dari buku ini.
Mungkin Anda tidak tahu, beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa Vatikan menyembunyikan fakta-fakta tentang Veronika ini? Dan banyak yang menyimpulkan bahwa Selubung Veronika yang berada di Vatikan yang sering dieskpose setiap Tahun Yubileum itu palsu. Benarkah? Apa kepentingan Vatikan merahasiakan misteri keberadaan Selubung Veronika ini?
Dan apakah misteri lain yang tersembunyi dari kisah Veronika ini?
Jawabnya hanya bisa Anda temukan di Buku ini!
Tuesday 3 September 2013
Pendidikan di Kongres Diaspora
Reformasi pendidikan nasional tidak dapat
diharapkan dari rezim yang berkuasa sekarang. Rezim telah berlaku pongah, abai
terhadap suara rakyat, serta tidak serius mengurus pendidikan. Itulah pesan
utama dari diskusi Task Force Pendidikan dalam Kongres Indonesia Diaspora II di
Jakarta, Minggu, 18 Agustus 2013.
Paparan dari juru bicara pemerintah, seperti
proyeksi peningkatan ekonomi, banyaknya pengenyam pendidikan tinggi,
meningkatnya kualitas pendidikan, serta janji-janji dan asumsi generasi emas,
sudah tidak lagi membuat peserta terpukau.
Bahkan, paparan yang berisi janji langitan itu
dikonfutasi dengan fakta-fakta tentang hilangnya nasionalisme di
sekolah-sekolah negeri, kacau-balaunya pelaksanaan Kurikulum 2013, kemandirian
Panti Asuhan Roslin di Kupang, Nusa Tenggara Timur, kreativitas warga Banten,
di tengah situasi kemiskinan yang mampu memaksimalkan potensi lokal, yang semua
itu jauh dari dukungan pemerintah. HAR Tilaar, pendidik senior Indonesia,
bahkan mengatakan bahwa dalam presentasi perwakilan pemerintah telah terjadi
pembohongan publik.
Tiga pesan
Diskusi dan debat tentang pendidikan nasional
saat ini sudah tidak akan efektif lagi. Masyarakat sudah lelah dengan banyak
teori. Berharap kepada pemerintah seperti mengharapkan jatuhnya rembulan.
Namun, Kongres Diaspora Indonesia II telah
menyadarkan bahwa siapa pun orangnya, di mana pun kedudukannya, baik yang
diaspora maupun yang ”diaspora” di negeri sendiri, perlu menyadari tugas dan
tanggung jawabnya untuk memajukan bangsa ini. Hal ini karena tantangan ke depan
begitu dahsyat.
Ada tiga pesan penting dari Kongres Diaspora
Indonesia yang perlu dijadikan pemikiran dan segera direalisasikan sebagai
bagian tanggung jawab setiap warga yang masih memiliki harapan, cerdas, dan
terdidik (well-educated).
Pertama, kita perlu membentuk Dewan
Pendidikan Nasional yang bersifat independen. Ini untuk menjaga agar kebijakan
pendidikan terawasi dan tidak menjadi ajang rebutan kekuasaan dan uang oleh
para politisi yang telah mati nurani. Keberadaan Dewan Pendidikan Nasional
merupakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang bersifat independen dan merupakan partisipasi publik dalam
pengembangan kebijakan pendidikan nasional.
Kedua, perlu diciptakan sebuah budaya
belajar nirdinding melalui pemanfaatan berbagai macam media—baik yang
tradisional, cetak, elektronik, maupun digital—agar budaya belajar dan
kegairahan belajar dapat dinikmati seluruh rakyat Indonesia. Dalam penciptaan
budaya belajar multimedia, multidimensi ini, peranan pemerintah semestinya
hanya menjadi fasilitator yang memberikan ruang bagi genius lokal agar
bertumbuh secara kontekstual bagi pemberdayaan dan transformasi sosial
masyarakat sekitar.
Ketiga, tantangan pendidikan yang begitu
luas dan besar tidak bisa diatasi secara sektarian dan parsial. Setiap individu
warga negara dan lembaga, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri,
mesti membangun semacam jembatan yang menghubungkan satu dengan yang lain
melalui berbagai macam media. Langkah ini diperlukan tak lain agar sinergi bagi
realisasi pembentukan masyarakat Indonesia yang berkeadilan, berbudaya, dan
berkelanjutan ini dapat segera terwujud.
Tiga kritik
Tiga pesan di atas secara tepat memotret dan
merefleksikan kegagalan kebijakan pemerintah dalam menunjukkan kredibilitas dan
akuntabilitasnya. Proses ”pemaksaan” Kurikulum 2013—baik dari segi pengembangan
naskah akademik, kerangka teoretis, kinerja tim teknis, seperti pembuatan buku
pelajaran, sinkronisasi aturan dan regulasi, maupun praksis di lapangan yang
hampir semuanya dilakukan secara tergesa-gesa, seolah-olah bulan esok hari
hendak menabrak bumi pertiwi—merupakan sebuah langkah mundur pengembangan
pendidikan di Indonesia. Jika dibentuk secara benar, sesuai dengan amanah UU
Sistem Pendidikan Nasional 2003, hal itu akan dapat menjadi motor perubahan
pendidikan Indonesia yang menjaga stabilitas kebijakan pendidikan, sehingga
tidak mudah diperalat dan dimanipulasi para politisi yang berganti wajah setiap
lima tahun.
Pesan kedua merupakan sebuah kritik keras bagi
para pemikir dan praktisi pendidikan tradisional yang masih percaya bahwa
otoritas akan memainkan kekuasaan dalam menguasai ilmu. Ilmu adalah kekuatan,
dan itu memang benar.
Namun, setiap orang pada dasarnya terlahir
sebagai pembelajar dan karena itu, mereka bisa berilmu, mereka bisa berkuasa,
dan bisa mandiri dalam bertumbuh dan berkembang. Teknologi telah meretas batas
ruang dan waktu bagi proses belajar sehingga terjadi akuisisi kekuatan itu
secara tersebar melalui berbagai macam media. Kukuh memegang kekuasaan, seolah
warga negara tidak memiliki kuasa, hak, untuk ikut serta dalam kinerja
pendidikan perlu segera ditinggalkan.
Pesan ketiga menyiratkan pemerintah telah salah
memahami bahwa perubahan pendidikan itu seolah berjalan secara linear, yaitu
apabila sudah ada kurikulum, ada buku pelajaran dan panduan, ada pelatihan
guru, seolah harapan dan janji tentang generasi emas itu akan terjadi. Logika
berpikir tentang perubahan pendidikan yang linear ini sudah banyak ditinggalkan
para teoretikus perubahan pendidikan kontemporer, seperti Andy Hargreaves, Dean
Fink, dan Michael Fullan. Mereka telah melihat bahwa Jalan Keempat perubahan
pendidikan, yang intinya mengatakan pendidikan akan berkelanjutan apabila
melibatkan dan didukung semua warga, sistem kebijakan yang integral,
efektivitas penggunaan anggaran, pemberdayaan lokal genius, serta perlunya
kepemimpinan yang memiliki hati dan komitmen bagi perubahan.
Kongres Diaspora Indonesia II telah membuka
cakrawala pemikiran, pembelajaran bagi bangsa ini, yang warganya tersebar di
seantero jagat. Daya luar biasa, berupa pemikiran, pengetahuan, keterampilan,
komitmen, dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang menjaga kemartabatan umat
manusia dan peradaban inilah, menurut saya, merupakan daya luar biasa yang membawa
bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan bermartabat di antara bangsa-bangsa
lain.
Harapan besar ini tidak lagi dapat diandalkan
kepada pemerintahan sekarang, tetapi pada daya-daya reformasi para diaspora itu
sendiri, dan komitmen calon pemimpin bangsa ini bagi pendidikan Indonesia pada
masa depan. (Kompas, 29 Agustus 2013)
Doni Koesoema A
— Pemerhati Pendidikan
Saturday 18 August 2012
Telah terbit buku : Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh
Judul: Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh
Penulis: Doni Koesoema A.
Penerbit: Kanisius Yogyakarta
Tahun: 2012
Penulis: Doni Koesoema A.
Penerbit: Kanisius Yogyakarta
Tahun: 2012
“Saat ini banyak sekolah mulai memikirkan dan
menyelenggarakan pendidikan karakter dengan berbagai bentuk yang berbeda. Dalam
usaha untuk mencari bentuk pendidikan karakter yang lebih menyeluruh dan utuh,
tulisan sdr. Doni Koesoema ini memberikan banyak gagasan, masukan dan
alternatif dalam merencanakan pendidikan karakter. Doni menjelaskan arti,
dasar, filosofi, dan berbagai metode pendidikan karakter yang integral.
Analisis persoalan dalam pendidikan karakter dibahas mendalam. Yang tidak kalah
penting, juga dibicarakan bagaimana
menilai dan mengukur keberhasilan pendidikan karakter, yang sering menjadi
kesulitan di lapangan. Singkatnya, tulisan ini banyak memberikan kekayaan pada pembaca
yang berminat dalam pendidikan karakter di Indonesia.”
Paul Suparno, S.J.,
guru besar pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
“Karakter
adalah dasar dari segala bentuk keberhasilan. Tanpa karakter maka kekayaan,
jabatan, dan kekuasaan yang dimiliki seseorang bukanlah keberhasilan. Oleh
sebab itu pendidikan karakter sangatlah penting bagi bangsa. Bahkan karakter
adalah inti dari pendidikan yang kita tanamkan pada siswa. Kegagalan menanamkan
karakter pada siswa akan mendatangkan bencana. Di sinilah pentingnya buku Doni
Koesoema ini. Buku ini membahas permasalahan pendidikan karakter sejak teori
sehingga praksisnya. Buku ini sangat komprehensif membahas tentang Pendidikan
Karakter dan merupakan buku yang sangat layak untuk dijadikan referensi bagi
para pendidik yang ingin mengajarkan dan menanamkan karakter bangsa pada anak
didiknya.”
Satria
Dharma, Ketua Umum Ikatan Guru Independen
“Pendidikan karakter telah menjadi gerakan nasional. Ada
kerinduan untuk merevitalisasi pendidikan karakter dalam praksis pendidikan
kita. Dalam rangka revitalisasi itu, sudah ada banyak buku dan telaah yang
membahas tentang pendidikan karakter. Namun semua itu dirasa masih kurang. Buku
sumber tentang pendidikan karakter masih langka. Buku Mas Doni tentang
Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh memperkaya wacana dan praksis kita
tentang pendidikan karakter. Buku ini pantas dibaca oleh para pendidik, orang
tua, pemerhati pendidikan dan masyarakat umum agar revitalisasi pendidikan
karakter berjalan dengan lebih baik.”
Fasli Jalal, Mantan Wakil Menteri Pendidikan
Nasional.
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
Kompas, Selasa, 15 April 2005 Doni Koesoema A “Gereja, lembaga karismatis per eccellenza, mengadopsi metode yang lebih demokratis untuk memi...
-
BASIS, Nomor 07-08, Tahun ke- 5 5, Juli-Agustus 2006, hlm 62-68 Doni Koeseoema, A Keluarga sebagai locus educationis telah la...
-
Doni Koesoema A. Pendidikan karakter pertama kali dicetuskan oleh pedagog Jerman F.W.Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter yang menekank...