Friday 28 November 2014

UN Disarankan Dihapus



Kamis, 27 November 2014, 17:20 WIB 


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pendidikan Doni Koesoema A. mengatakan, Ujian Nasional (UN) memang harus dihapuskan karena secara konsep dan praktis tidak membantu peningkatan kualitas pendidikan. Adanya UN tidak meningkatkan kepandaian anak-anak.

Pemerintah, ujar Doni, harus mendesain sistem evaluasi pendidikan sesuai dengan perkembangan mutakhir terkait riset tentang proses belajar individu. "UN tidak dibutuhkan untuk kelulusan," ujarnya, di Jakarta, Kamis, (27/11).

Namun UN memang dibutuhkan untuk pemetaan saja. Kelulusan siswa sebaiknya diserahkan pada guru dan sekolah.

Lebih baik pemerintah sekarang fokus pada peningkatan kualitas layanan pendidikan. Menyediakan pelatihan bagi guru yang efektif, mengajak guru membuat soal-soal berkualitas dengan banyak variasi dan metode.

Diharapkan kriteria kelulusan sekolah bisa semakin baik ke depan. "Komponen penentu kelulusan sebaiknya  nilai-nilai  akademis, sikap dan perilaku siswa," kata Doni.

Sumber: Republika
 


Pemerintah Tak Perlu Bangun Universitas Maritim Baru



Thursday, 27 November 2014, 17:53 WIB 


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pendidikan Doni Koesoema A. mengatakan,  pemerintah  tidak perlu secara khusus membangun universitas maritim yang  fokus pada kelautan. Pemerintah hanya perlu fokus mengembangkan universitas yang sudah memiliki jurusan kelautan.

"Jadi jurusan kelautan yang ada di universitas yang harus dikembangakan dengan maksimal. Tidak perlu mulai dari nol dengan membangun universitas baru,"kata Doni, Kamis, (27/11).

Apalagi membangun universitas baru jelas membutuhkan biaya yang  sangat tinggi. Padahal Indonesia sudah punya universitas yang  bisa dikembangkan ke arah sana. Untuk memiliki universitas maritim yang besar membutuh konsep yang besar. Bukan bangunan fisik yang  besar.

Menurut Doni yang perlu disiapkan adalah kurikulum kemaritiman, tenaga dosen, dan laboratorium kemaritiman. Dosen ini tidak bisa diambil dari praktisi di kelautan tetapi harus bergelar S3 yang terkait dengan  bidang kelautan dan kemaritiman.

Laboratorium perlu dibangun baik yang  buatan maupun alam. Kemaritiman itu luas bidang kajiannya."Laboratorium alam berupa potensi laut yang memiliki sumber daya alam melimpah. Ini  perlu dijaga dan dirawat sebagai konservasi sekaligus laboratorium alam,"kata Doni.

Sumber: Republika


Guru Indonesia Tak Paham UU Guru


06 Oktober 2014 16:00 Wheny Hari Muljati




JAKARTA - Sebagian besar pendidik yang berprofesi sebagai guru belum memahami tentang Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD). Para guru tidak memahami dengan jelas hak dan kewajiban mereka. Ketidakpahaman guru terhadap UUGD tersebut akan berakibat pada kualitas hasil layanan guru pada para siswa.   Hal tersebut diungkapkan pengamat pendidikan Doni Koesoema Albertus kepada SH, Senin (6/10), terkait Hari Guru Internasional yang diperingati pada Minggu (5/10).    

“Guru-guru Indonesia yang tidak paham UU tentang profesi mereka akan terhambat pengembangan profesionalnya. Hal itu juga memengaruhi hasil layanan mereka pada siswa,” ucap Doni.   Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, mengatakan hal senada. Ketidakpahaman guru terhadap UUGD akan berpengaruh pada pengetahuan tentang hak dan kewajiban para guru sendiri. Rendahnya pengetahuan tentang hak dan kewajiban selanjutnya akan berpengaruh pada kualitas mereka dalam menjalankan profesinya.  

Retno mencontohkan, para guru umumnya tidak mengetahui bahwa Ayat 2 Pasal 35 UUGD mereduksi tugas guru. Tugas guru yang bermacam-macam seperti disebutkan pada ayat 1 pasal yang sama, direduksi menjadi hanya tugas tatap muka pada ayat 2.   “Ternyata, banyak guru belum tahu mengenai hal itu. Banyak guru yang tidak pernah membaca UUGD,” tutur Retno, akhir pekan silam.

Ia menyatakan, ketidakpahaman guru pada UUGD terungkap dalam Seminar Peringatan Hari Guru Internasional yang diselenggarakan di Kantor Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Kamis (2/10). Dalam acara tersebut, banyak guru yang mengaku tidak mengetahui peraturan perundangan yang mengatur diri mereka. Menurut Retno, para guru umumnya mengaku tahu ada UU tentang guru. Namun, ternyata kebanyakan dari mereka belum pernah membacanya.   “Oleh karena itu, tidak mengherankan para guru menganggap bahwa organisasi profesi guru hanya Persatuan Guru Republik Indonesia atau PGRI,” kata Retno.   

Hak Berorganisasi


Retno menyebutkan, para guru perlu memahami hak mereka berorganisasi. Jika organisasi guru tidak diperkuat, guru akan selalu dipolitisasi.   Ia mencontohkan, selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, guru sudah dipolitisasi untuk memenangkan partai tertentu yang berkuasa saat itu. Saat  ini, di era otonomi daerah, guru dipolitisasi birokrasi di daerah, terutama oleh para kepala daerah. 

“Hanya pindah pelaku politisasinya. Kalau saat desentralisasi, pelakunya birokrasi di daerah. Kalau sentralisasi, pelakunya adalah pemerintah pusat,” ujar Retno.   Menurut Retno, hal lain yang memperlemah organisasi guru adalah kenyataan bahwa organisasi  profesi guru ternyata tidak diurus guru. Padahal, UUGD mensyaratkan organisasi profesi guru harus dibentuk dan diurus guru. Ia mencontohkan, organisasi berskala nasional, PGRI dan IGI, justru tidak diurus guru. Ini menyalahi Pasal 1 Butir 13 UUGD yang menyatakan organisasi profesi guru adalah perkumpulan berbadan hukum yang didirikan dan diurus guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.      

“Pasal tersebut sekaligus mempertegas bahwa siapa pun yang bukan guru semestinya tidak boleh mengurus organisasi guru,” katanya.   Retno mengungkapkan, data menunjukkan bahwa organisasi guru selama ini malah diurus dan dipimpin birokrat pendidikan, mantan birokrat, bahkan oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jika organisasi guru tidak diurus para guru, organisasi guru tidak independen dan mandiri dan ini tidak sesuai ketentuan Pasal 41 yang menyebutkan bahwa guru dapat membentuk organisai profesi yang bersifat independen.     

“Seharusnya organisasi guru secara politis berperan mendorong dan memengaruhi kebijakan pendidikan, baik di level daerah maupun nasional,” ujar Retno.    Retno menyakini, jika organisasi guru kuat dan sehat, organisasi tersebut akan dapat mendorong para anggota menjadi guru pembelajar yang profesional dan kritis.   

Sumber : Sinar Harapan

Thursday 27 November 2014

Momentum Penghapusan Penyeragaman Ujian Nasional

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Publik pemangku kepentingan dunia pendidikan kini sedang menanti-nanti apa yang akan dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan untuk meningkatkan mutu pendidikan di tanah air.

Pengamat pendidikan Doni Koesoema A memotivasi Anies untuk segera melakukan gebrakan pendidikan, setidaknya pada salah satu dari lima persoalan pendidikan yang menyangkut tema Ujian Nasional, Kurikulum 2013, lunturnya nilai-nilai keragaman dalam pendidikan, kekerasan dalam pendidikan dan korupsi pendidikan.

Dari lima persoalan di atas, agaknya yang paling mendesak untuk digebrak atau dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah soal Ujian Nasional dan jika masih perlu gebrakan lagi, ya korupsi pendidikan.

Menurut pemerhati pendidikan, kerusakan akibat ujian nasional itu akan segera terhenti seketika dengan solusi simpel, yakni menghapus Ujian nasional.

Ujian Nasional untuk masa kini sesungguhnya juga tidak senafas dengan semangat zaman di mana penyeragaman dalam tatanan luas apapun, tidak lagi dianjurkan. Dunia telah mengapresiasi keunikan, kreativitas dan kearifan lokal. Untuk apa penyeragaman itu dilakukan bila kekhasan itulah yang kini dijunjung tinggi karena di dalam fitur kekhasan itulah terdapat nilai tambah.

Penyeragaman ujian Nasional agaknya mengandung paradoks yang melawan hukum alam keragaman kualitas manusia. Di mana-mana, kualitas manusia tak pernah seragam.

Anies diharapkan tak punya keraguan lagi untuk segera menghapus sistem ujian nasional, baik untuk jenjang menengah atas maupun di atasnya. Untuk menguatkan tekad penghapusan itu, agaknya Anies perlu membentuk tim pembaharu sistem pendidikan dengan melibatkan tokoh-tokoh ahli dan praktisi pendidikan, seperti Profesor Iwan Pranoto, Acep Iwan Saidi, Anita Lie dan Doni Koesoema A.

Baca lebih lengkap (klik di sini)

Pendidikan Keagamaan