Friday 3 October 2014

SBY-Boediono Gagal Lindungi Anak Bangsa

JAKARTA, KOMPAS.com — Menjelang akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, kasus kekerasan terhadap pelajar terus bermunculan. Pelecehan seksual di TK JIS dan kekerasan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) adalah dua di antaranya. Pemerintahan ini dinilai gagal melindungi para pelajar.

"Kasus kejahatan seksual di JIS dan meninggalnya mahasiswa STIP adalah fakta terbaru betapa kekerasan dalam pendidikan senantiasa mengancam masa depan dan kehidupan anak-anak kita," ujar Doni Koesoema dari Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), saat jumpa pers di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Selasa (29/4/2014).

Kekerasan lain yang merenggut nyawa terjadi juga pada mahasiswa Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang pada masa orientasi serta kasus tawuran siswa SMAN 6 dan SMAN 70 di Jakarta. Banyaknya tunas bangsa yang meninggal sia-sia dalam tawuran, menurut Doni, menjadi indikasi bahwa pemerintah SBY-Boediono gagal melaksanakan amanat Pasal 28 Ayat 2 UUD 1945.

Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada 2013, sebut Doni, menunjukkan angka tawuran mencapai 112 kasus dengan korban tewas 20 pelajar.

Dari 1.026 responden anak (SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA) yang tersebar di 9 provinsi, 87,6 persen responden mengaku mengalami tindak kekerasan di sekolah. Doni berharap, pemerintah mampu mengurangi dan menghilangkan kekerasan di lingkungan pendidikan. Caranya, dengan membuat kebijakan pendidikan yang memprioritaskan keamanan dan kenyamanan di lingkungan sekolah.

Selain itu, lanjut Doni, regulasi juga perlu dibenahi terkait sanksi yang konsisten dan ketat. Sanksi untuk sekolah yang terbukti memiliki kasus kekerasan, sebut dia, mulai dari penurunan nilai akreditasi, pencopotan pimpinan sekolah, hingga pencabutan izin operasional lembaga pendidikan bila tetap membiarkan terjadinya aksi kekerasan.

"Pemerintah perlu mengadakan kajian yang tuntas disertai kebijakan pendidikan yang komprehensif agar kekerasan di lingkungan pendidikan, yang kemudian mengorbankan anak, tidak terjadi lagi," ujar Doni.

Sumber: Kompas.com 

Penulis: Arimbi Ramadhiani

Editor

: Palupi Annisa Auliani

Tuesday 5 August 2014

Perubahan Kurikulum Dilakukan secara Gegabah

JAKARTA - Pengamat pendidikan, Doni Koesoema Albertus, menilai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah gegabah dalam melakukan perubahan kurikulum.

Penerapan kurikulum baru, Kurikulum 2013, tidak dilakukan dengan persiapan yang matang dan kehati-hatian. Akibatnya, berbagai masalah timbul dalam penerapannya.

“Jangan gegabah mengubah kurikulum, kalau belum membahasnya secara lengkap dan matang dengan berbagai instansi terkait,” ujar Doni.

Ia mengatakan, perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 ke Kurikulum 2013 terbukti telah menghadirkan sejumlah masalah.

Masalah besar yang timbul saat ini, terutama adalah kurang siapnya guru dan penyediaan buku-buku paket sebagai sarana pembelajaran. Kedua masalah tersebut tidak bisa dipandang ringan karena sangat merugikan siswa.

Pembelajaran yang berlangsung tanpa perencanaan yang baik tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Hasil pembelajaran yang amburadul semacam ini, menurut Doni, akhirnya akan merugikan pendidikan nasional.

“Masalah buku adalah masalah teknis. Masalah tersebut sebenarnya bukan persoalan sulit,” ucap Doni.

Menurutnya, apabila perubahan kurikulum dipersiapkan secara matang, Kemendikbud tidak akan mengalami kesulitan untuk mengatasi persoalan guru dan penyediaan buku seperti yang terjadi sekarang ini.

“Sekarang ini, masalah yang gampang seperti persoalan distribusi buku saja tidak beres, berarti ada persoalan-persoalan lain yang juga belum dapat tertangani dengan baik,” ujarnya.

Doni menduga selain menghadapi persoalan ketidaksiapan guru dan distribusi buku, Kemendikbud saat ini menghadapi persoalan mendasar dalam penerapan Kurikulum 2013. Persoalan tersebut adalah masalah manajemen, koordinasi, dan komunikasi.

Menurut Doni, ketiga hal tersebut yang akan menentukan keberhasilan perubahan kebijakan pendidikan. Untuk itu, Kemendikbud seharusnya mengevaluasi ketiga hal tersebut sebelum menerapkan Kurikulum 2013.

Klinik Guru

Doni mencontohkah program Klinik Guru yang diluncurkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh baru-baru ini. Menurutnya, pengadaan Klinik Guru menjadi pertanda bahwa paradigma Kemendikbud atas Kurikulum 2013 tidak sehat.

Pasalnya, dengan klinik ini, guru yang oleh Kemendikbud dinilai “sakit” atau bermasalah karena tidak mampu memahami Kurikulum 2013. Padahal, menurut Doni, wajar apabila guru tidak mampu memahami Kurikulum 2013. Itu karena persiapan dan pelatihan para guru dilakukan kurang matang.

“Paradigma Kemendikbud sangat tidak sehat. Guru yang dianggap sakit, padahal yang cacat adalah kebijakan Kurikulum 2013-nya,” ujar Doni.

Sementara itu, hingga satu hari menjelang masuk sekolah, hari ini, Selasa (5/8), SH masih menerima sejumlah laporan dari daerah terkait buku yang belum sampai ke sekolah-sekolah. Hesty, seorang guru sebuah SMP di Tomohon Selatan, Sulawesi Utara, mengatakan sekolahnya belum menerima buku paket Kurikulum 2013.

Padahal, tahun ini di sekolahnya ada dua kelas yang menerapkan Kurikulum 2013, yakni kelas VII dan kelas VIII. Ia mengatakan, sekolahnya mendapat instruksi untuk memfotokopi materi dari bahan di compact disk (CD) yang telah diperoleh para guru sebelumnya.

“Kami dapat softcopy-nya. Jadi untuk proses belajar, sementara kami cetak bahan dari situ,” tuturnya, Selasa (5/8) pagi.

Selain Hesty, laporan keterlambatan buku paket Kurikulum 2013 juga datang dari Agnes, seorang guru dari sebuah sekolah di Surabaya, Jawa Timur; Junjun Nugraha, seorang guru SMK dari Tasikmalaya; dan Arnida seorang guru dari sebuah SMP di DKI Jakarta.

Pendidikan Keagamaan