Tuesday 3 September 2013

Pendidikan di Kongres Diaspora



Reformasi pendidikan nasional tidak dapat diharapkan dari rezim yang berkuasa sekarang. Rezim telah berlaku pongah, abai terhadap suara rakyat, serta tidak serius mengurus pendidikan. Itulah pesan utama dari diskusi Task Force Pendidikan dalam Kongres Indonesia Diaspora II di Jakarta, Minggu, 18 Agustus 2013.
Paparan dari juru bicara pemerintah, seperti proyeksi peningkatan ekonomi, banyaknya pengenyam pendidikan tinggi, meningkatnya kualitas pendidikan, serta janji-janji dan asumsi generasi emas, sudah tidak lagi membuat peserta terpukau.

Bahkan, paparan yang berisi janji langitan itu dikonfutasi dengan fakta-fakta tentang hilangnya nasionalisme di sekolah-sekolah negeri, kacau-balaunya pelaksanaan Kurikulum 2013, kemandirian Panti Asuhan Roslin di Kupang, Nusa Tenggara Timur, kreativitas warga Banten, di tengah situasi kemiskinan yang mampu memaksimalkan potensi lokal, yang semua itu jauh dari dukungan pemerintah. HAR Tilaar, pendidik senior Indonesia, bahkan mengatakan bahwa dalam presentasi perwakilan pemerintah telah terjadi pembohongan publik.

Tiga pesan

Diskusi dan debat tentang pendidikan nasional saat ini sudah tidak akan efektif lagi. Masyarakat sudah lelah dengan banyak teori. Berharap kepada pemerintah seperti mengharapkan jatuhnya rembulan.

Namun, Kongres Diaspora Indonesia II telah menyadarkan bahwa siapa pun orangnya, di mana pun kedudukannya, baik yang diaspora maupun yang ”diaspora” di negeri sendiri, perlu menyadari tugas dan tanggung jawabnya untuk memajukan bangsa ini. Hal ini karena tantangan ke depan begitu dahsyat.
Ada tiga pesan penting dari Kongres Diaspora Indonesia yang perlu dijadikan pemikiran dan segera direalisasikan sebagai bagian tanggung jawab setiap warga yang masih memiliki harapan, cerdas, dan terdidik (well-educated).

Pertama, kita perlu membentuk Dewan Pendidikan Nasional yang bersifat independen. Ini untuk menjaga agar kebijakan pendidikan terawasi dan tidak menjadi ajang rebutan kekuasaan dan uang oleh para politisi yang telah mati nurani. Keberadaan Dewan Pendidikan Nasional merupakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang bersifat independen dan merupakan partisipasi publik dalam pengembangan kebijakan pendidikan nasional.

Kedua, perlu diciptakan sebuah budaya belajar nirdinding melalui pemanfaatan berbagai macam media—baik yang tradisional, cetak, elektronik, maupun digital—agar budaya belajar dan kegairahan belajar dapat dinikmati seluruh rakyat Indonesia. Dalam penciptaan budaya belajar multimedia, multidimensi ini, peranan pemerintah semestinya hanya menjadi fasilitator yang memberikan ruang bagi genius lokal agar bertumbuh secara kontekstual bagi pemberdayaan dan transformasi sosial masyarakat sekitar.

Ketiga, tantangan pendidikan yang begitu luas dan besar tidak bisa diatasi secara sektarian dan parsial. Setiap individu warga negara dan lembaga, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri, mesti membangun semacam jembatan yang menghubungkan satu dengan yang lain melalui berbagai macam media. Langkah ini diperlukan tak lain agar sinergi bagi realisasi pembentukan masyarakat Indonesia yang berkeadilan, berbudaya, dan berkelanjutan ini dapat segera terwujud.

Tiga kritik

Tiga pesan di atas secara tepat memotret dan merefleksikan kegagalan kebijakan pemerintah dalam menunjukkan kredibilitas dan akuntabilitasnya. Proses ”pemaksaan” Kurikulum 2013—baik dari segi pengembangan naskah akademik, kerangka teoretis, kinerja tim teknis, seperti pembuatan buku pelajaran, sinkronisasi aturan dan regulasi, maupun praksis di lapangan yang hampir semuanya dilakukan secara tergesa-gesa, seolah-olah bulan esok hari hendak menabrak bumi pertiwi—merupakan sebuah langkah mundur pengembangan pendidikan di Indonesia. Jika dibentuk secara benar, sesuai dengan amanah UU Sistem Pendidikan Nasional 2003, hal itu akan dapat menjadi motor perubahan pendidikan Indonesia yang menjaga stabilitas kebijakan pendidikan, sehingga tidak mudah diperalat dan dimanipulasi para politisi yang berganti wajah setiap lima tahun.

Pesan kedua merupakan sebuah kritik keras bagi para pemikir dan praktisi pendidikan tradisional yang masih percaya bahwa otoritas akan memainkan kekuasaan dalam menguasai ilmu. Ilmu adalah kekuatan, dan itu memang benar.

Namun, setiap orang pada dasarnya terlahir sebagai pembelajar dan karena itu, mereka bisa berilmu, mereka bisa berkuasa, dan bisa mandiri dalam bertumbuh dan berkembang. Teknologi telah meretas batas ruang dan waktu bagi proses belajar sehingga terjadi akuisisi kekuatan itu secara tersebar melalui berbagai macam media. Kukuh memegang kekuasaan, seolah warga negara tidak memiliki kuasa, hak, untuk ikut serta dalam kinerja pendidikan perlu segera ditinggalkan.

Pesan ketiga menyiratkan pemerintah telah salah memahami bahwa perubahan pendidikan itu seolah berjalan secara linear, yaitu apabila sudah ada kurikulum, ada buku pelajaran dan panduan, ada pelatihan guru, seolah harapan dan janji tentang generasi emas itu akan terjadi. Logika berpikir tentang perubahan pendidikan yang linear ini sudah banyak ditinggalkan para teoretikus perubahan pendidikan kontemporer, seperti Andy Hargreaves, Dean Fink, dan Michael Fullan. Mereka telah melihat bahwa Jalan Keempat perubahan pendidikan, yang intinya mengatakan pendidikan akan berkelanjutan apabila melibatkan dan didukung semua warga, sistem kebijakan yang integral, efektivitas penggunaan anggaran, pemberdayaan lokal genius, serta perlunya kepemimpinan yang memiliki hati dan komitmen bagi perubahan.

Kongres Diaspora Indonesia II telah membuka cakrawala pemikiran, pembelajaran bagi bangsa ini, yang warganya tersebar di seantero jagat. Daya luar biasa, berupa pemikiran, pengetahuan, keterampilan, komitmen, dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang menjaga kemartabatan umat manusia dan peradaban inilah, menurut saya, merupakan daya luar biasa yang membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan bermartabat di antara bangsa-bangsa lain.

Harapan besar ini tidak lagi dapat diandalkan kepada pemerintahan sekarang, tetapi pada daya-daya reformasi para diaspora itu sendiri, dan komitmen calon pemimpin bangsa ini bagi pendidikan Indonesia pada masa depan. (Kompas, 29 Agustus 2013)
Doni Koesoema A — Pemerhati Pendidikan

Saturday 18 August 2012

Telah terbit buku : Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh

Judul: Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh
Penulis: Doni Koesoema A.
Penerbit: Kanisius Yogyakarta
Tahun: 2012


“Saat ini banyak sekolah mulai memikirkan dan menyelenggarakan pendidikan karakter dengan berbagai bentuk yang berbeda. Dalam usaha untuk mencari bentuk pendidikan karakter yang lebih menyeluruh dan utuh, tulisan sdr. Doni Koesoema ini memberikan banyak gagasan, masukan dan alternatif dalam merencanakan pendidikan karakter. Doni menjelaskan arti, dasar, filosofi, dan berbagai metode pendidikan karakter yang integral. Analisis persoalan dalam pendidikan karakter dibahas mendalam. Yang tidak kalah penting, juga  dibicarakan bagaimana menilai dan mengukur keberhasilan pendidikan karakter, yang sering menjadi kesulitan di lapangan. Singkatnya, tulisan ini banyak memberikan kekayaan pada pembaca yang berminat dalam pendidikan karakter di Indonesia.”

Paul Suparno, S.J., guru besar pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

“Karakter adalah dasar dari segala bentuk keberhasilan. Tanpa karakter maka kekayaan, jabatan, dan kekuasaan yang dimiliki seseorang bukanlah keberhasilan. Oleh sebab itu pendidikan karakter sangatlah penting bagi bangsa. Bahkan karakter adalah inti dari pendidikan yang kita tanamkan pada siswa. Kegagalan menanamkan karakter pada siswa akan mendatangkan bencana. Di sinilah pentingnya buku Doni Koesoema ini. Buku ini membahas permasalahan pendidikan karakter sejak teori sehingga praksisnya. Buku ini sangat komprehensif membahas tentang Pendidikan Karakter dan merupakan buku yang sangat layak untuk dijadikan referensi bagi para pendidik yang ingin mengajarkan dan menanamkan karakter bangsa pada anak didiknya.”
  
Satria Dharma, Ketua Umum Ikatan Guru Independen 

“Pendidikan karakter telah menjadi gerakan nasional. Ada kerinduan untuk merevitalisasi pendidikan karakter dalam praksis pendidikan kita. Dalam rangka revitalisasi itu, sudah ada banyak buku dan telaah yang membahas tentang pendidikan karakter. Namun semua itu dirasa masih kurang. Buku sumber tentang pendidikan karakter masih langka. Buku Mas Doni tentang Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh memperkaya wacana dan praksis kita tentang pendidikan karakter. Buku ini pantas dibaca oleh para pendidik, orang tua, pemerhati pendidikan dan masyarakat umum agar revitalisasi pendidikan karakter berjalan dengan lebih baik.”

Fasli Jalal, Mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional.

Pendidikan Keagamaan