Saturday 26 September 2009

Menggadaikan Etika Profesi

KOMPAS, Rabu, 14 Maret 2007
Doni Koesoema, A

Gong kematian pendidikan nasional kita telah dibunyikan. Sekolah dan guru tidak lagi percaya dan dipercaya sebagai pendidik dan pengajar siswa. Tugas mereka telah digantikan oleh lembaga bimbingan belajar (bimbel). Guru dan sekolah tak ubahnya tukang kelontong dan toko grosiran yang lagi cuci gudang. Etika profesi pun telah mereka gadaikan demi setumpuk uang!

Silap akan uang, itulah yang membuat sebuah pemerintahan hancur. Intuisi Solon (630-560 SM) juga berlaku bagi dunia pendidikan kita. Jika mereka yang bertanggungjawab dalam mengurus pendidikan di negeri ini silap uang, mulai dari pejabat di tingkat pusat, sampai para guru di tingkat sekolah negeri, kesudahan dunia pendidikan kita sudah berada di depan mata.

Kehadiran lembaga bimbel yang di sekolah-sekolah negeri adalah tanda paling jelas tentang hancurnya moralitas dan matinya etika profesi. Menjadi guru adalah menghayati sebuah profesi. Apa yang membedakan sebuah profesi dengan pekerjaan lain adalah bahwa untuk sampai pada profesi tersebut seseorang berproses lewat belajar.

“Profesi merupakan pekerjaan, dapat juga berwujud sebagai jabatan di dalam suatu hierarki birokrasi, yang menuntut keahlian tertentu serta memiliki etika khusus untuk jabatan tersebut serta pelayanan baku terhadap masyarakat.” (H.A.R.Tilaar,2002,86)

Tanpa etika profesi, lembaga pendidikan hanya akan diisi oleh orang-orang yang bernafsu memuaskan kepentingan diri dan kelompoknya. Tanpa etika profesi, nilai kebebasan dan individu tidak dihargai. Untuk inilah, setiap lembaga pendidikan memerlukan sebuah keyakinan normatif bagi kinerja pendidikan yang sedang diampunya.

Etika profesi dan standard moral mesti dimiliki oleh setiap individu yang terlibat di dalam dunia pendidikan. Ini penting sebab corak relasional antar individu di dalam lembaga pendidikan itu tidak imun dari unsur kekuasaan yang memungkinkan ditindasnya individu yang satu oleh individu lain. Selain itu, etika profesi menjadi pedoman ketika muncul konflik kepentingan agar kepentingan masyarakat umum tetap terjamin melalui pelayanan profesional tersebut. Tanpa etika profesi, lembaga pendidikan berubah menjadi toko grosiran di mana keuntungan dan tumpukan uang menjadi tujuan.

Dalam kenyataan, setiap individu dalam dunia pendidikan terlibat dalam negosiasi dan perjumpaan dengan orang lain, seperti, para guru, karyawan, orang tua, siswa, masyarakat, pegawai pemerintahan, lembaga bimbingan belajar, dll. Peristiwa perjumpaan ini sangatlah rentan dengan konflik kepentingan. Jika konflik kepentingan ini muncul, manakah standard moral dan etika profesi yang dipakai sebagai sarana untuk memecahkan konflik?

Maksim moral Kant

Setiap profesi, apapun jenisnya, termasuk para guru, tidak dapat melepaskan diri dari prinsip moral dasar yang diajukan oleh Immanuel Kant. Maksim moral Immanuel Kant berbunyi demikian, “bertindaklah terhadap kemanusiaan itu sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan pribadi itu sendiri atau yang lain bukan sebagai alat, melainkan sebagai tujuan di dalam diri mereka sendiri.”

Dengan memperlakukan individu atau pribadi dalam kerangka tujuan keberadaan mereka, Kant secara implisit mengakui bahwa setiap individu memiliki nilai-nilai intrinsik. Individu itu bernilai di dalam diri mereka sendiri. Karena itu, setiap penguasaan atau perbuatan yang menundukkan mereka menjadi sarana bagi tujuan pribadi individu merupakan pelanggaran atas norma moral itu.

Kerjasama antara lembaga sekolah dengan lembaga bimbingan belajar menyiratkan adanya konflik kepentingan ini. Demi kepentingan siapa lembaga bimbel itu ada? Siswa, guru dan sekolah, orang tua, atau lembaga bimbel? Mungkin ada yang berpendapat, bahwa yang diuntungkan adalah semua, yaitu, siswa, guru/sekolah, orang tua dan lembaga bimbingan belajar. Siswa dapat semakin percaya diri dalam menghadapi Ujian Nasional (UN). Orang tua merasa nyaman dan aman bahwa anaknya akan siap menghadapi UN dan tes Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri, sekolah untung karena prestasi jadi tinggi, guru untung sebab dapat tambahan uang saku, dan lembaga bimbingan belajar untung karena dapat fulus dari proyek ini. Namun tidak semua berpendapat demikian, sebab tidak semua siswa, guru, dan orang tua diuntungkan!

Kehadiran lembaga bimbel di sekolah merupakan indikasi nyata konflik kepentingan yang mengorbankan kemartabatan guru, memperalat siswa, mengelabui orangtua, dan menipu masyarakat. Maksim moral Kant, mempersyaratkan bahwa dalam setiap hal kita mesti menghormati pribadi atau yang lain sebagai bernilai di dalam dirinya sendiri dan tidak pernah memanfaatkan mereka sebagai alat demi tujuan tertentu (bahkan yang tampaknya baik dan menguntungkan!)

Tugas mendidik dan mengajar siswa merupakan hak istimewa yang menjadi monopoli guru. Ketika tugas ini diserahkan pada lembaga lain yang tidak memiliki monopoli profesi satu pertanyaan muncul. Apa yang telah dilakukan para guru selama ini atas tugasnya dalam mendidik dan mengajar siswa? Keinginan menghadirkan lembaga bimbel di sekolah menjadi tanda bahwa para guru tidak melaksanakan profesinya secara profesional dan total.

Fenomena bimbel di sekolah menunjukkan kenyataan bahwa kepentingan siswa telah diperalat demi kepentingan lain, terutama, demi kepentingan bisnis. Lembaga bimbingan belajar yang datang ke sekolah tidaklah lelahanan (gratis). Mereka dibayar untuk itu, dan demi kepentingan ini, siswa dan orang tua harus membayar mahal. Aturan moral yang berlaku untuk kasus ini adalah jika bimbingan belajar itu diperlukan oleh sekolah demi perbaikan prestasi siswa, sekolah tidak berhak menarik bayaran atas kegiatan tambahan ini. Les tambahan merupakan tanggungjawab sekolah demi kepentingan siswa. Namun, yang gratisan seperti ini tidak ada! Maka sekolah dan guru telah memanipulasi siswa menjadi alat demi kepentingannya sendiri. Guru menarik keuntungan dengan melacurkan martabat profesinya sendiri!

Apa yang harus dilakukan?

Berhadapan dengan situasi ini, apa yang dapat kita lakukan? Pertama, pemerintah dan guru semestinya segera bertindak untuk memulihkan martabat profesional mereka. Praksis kerjasama sekolah dengan lembaga bimbel harus segera dihentikan, kalau perlu sekolah yang melakukan diberi teguran keras, sebab mereka telah melecehkan etika profesi guru yang membuat fungsi mereka tidak dipercaya lagi dalam masyarakat.

Kedua, untuk itu perlu segera dibentuk Dewan Kehormatan Guru agar profesi guru itu tetap terjaga kemartabatannya dan kepentingan masyarakat luas tetap terjamin.

Guru sesungguhnya hanya bisa menjaga kemartabatannya melalui perilaku dan keteladanan hidup mereka. Jika para guru dan pendidik telah menggadaikan etika profesi mereka, tidak ada lagi yang akan dapat mempertahankan kemartabatan dan keluhuran profesi mereka. Sebab, etika profesi itu harta paling berharga yang mereka miliki. Tanpa penghargaan atas etika profesi, guru tak ubahnya pedagang kelontongan dan sekolah berubah jadi toko grosiran. Mereka akan terus menjual kepentingan siswa demi menggelembungkan pundi-pundi pribadi.

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Menjelang PP tentang Guru

KOMPAS, Kamis, 9 November 2006
Oleh Doni Koesoema, A

Pendidikan nasional tidak akan pernah bangkit dari keterpurukannya jika program profesionalisasi formasi guru tidak digarap secara serius, integral, melalui pendekatan konseptual yang relevan dan responsif atas tantangan jaman.

Undang-Undang tentang Guru dan Dosen (UUGD) mencantumkan persyaratan kepemilikan sertifikat pendidik sebagai salah satu kriteria profesionalitas guru. Namun keseriusan pemerintah dalam menghargai peran dan martabat guru bisa terancam melalui klausul pasal 11 ayat 4 tentang proses sertifikasi yang akan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP). PP ini jika tidak digarap serius dan transparan akan menjadi bencana baru bagi pendidikan nasional. Sertifikasi berpotensi menjadi politisasi peranan guru, penjarahan uang rakyat, dan lahan empuk korupsi yang malah kontraproduktif bagi usaha perbaikan pendidikan nasional.

Dua pendekatan

Tampaknya telah terjadi kekeliruan konseptual di kalangan para pembuat UUGD ketika memasukkan pasal-pasal tentang sertifikasi guru sebagai salah satu cara meningkatkan kualitas pendidik. Akar permasalahan utamanya adalah kekeliruan dalam membaca realitas dan kesalahan dalam menerapkan strategi dalam menyikapi persoalan seputar kualitas pendidik.

Debat pokok tentang formasi pendidik biasanya terpolarisasi pada dua bidang isi yang bertentangan satu sama lain (Cochran-Smith & Fries, 2001). Pertama, mereka yang berusaha menderegulasi pengajaran. Kedua, mereka yang berusaha untuk membuatnya semakin profesional.

Mereka yang mau menderegulasi pengajaran berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk menilai proses pembelajaran siswa dan kualitas guru adalah dengan menerapkan sebuah ujian standard. Mencetak guru lewat proses pendidikan yang lama dan panjang dianggap sebagai pemborosan tenaga, waktu dan uang. Jadi, para pembela deregulasi berusaha untuk memperpendek proses pendidikan guru dan menggantikannya dengan sekumpulan program alternatif berupa sertifikasi.

Asumsi dasar program sertifikasi guru adalah bahwa para guru dapat belajar sedikit yang mereka butuhkan tentang proses pengajaran sementara mereka akan belajar banyak ketika terjun langsung di lapangan.

Sebaliknya, mereka yang berpendapat bahwa formasi guru semestinya semakin profesional mengatakan bahwa jalan pintas proses formasi guru lewat sertifikasi tidak akan menghasilkan para pendidik yang berkualitas. Mereka yang membela profesionalisme guru yakin bahwa proses pengajaran berkaitan erat dengan dimensi keadilan sosial dan pemberdayaan guru sebagai bagian dari proses pengembangan terus menerus atas kemampuan akademis yang dimilikinya, sehingga program sertifikasi sebagai jalan pintas peningkatan kualitas guru dianggap sebagai antitesis bagi hakekat profesionalisme guru.

Sertifikasi pendidik yang diterapkan secara pukul rata, termasuk bagi para guru yang telah lulus S-1 dari universitas yang terakreditasi oleh pemerintah akan menjadi lahan baru untuk memeras uang rakyat. Sertifikasi pendidik lebih kental muatan ekonomis dan politisnya ketimbang keseriusan dalam meningkatkan mutu guru.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa di kalangan guru telah ada mereka yang memiliki kualifikasi akademis setaraf sarjana strata-1 atau D-4 alumni dari universitas yang telah terakreditasi oleh pemerintah. Mereka ini telah secara profesional dipersiapkan untuk menjadi guru. Para lulusan sarjana strata-1 dan D-4 dari perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah semestinya tidak memerlukan sertifikasi pendidik lagi. Hak-hak mereka sebagai pendidik telah dilindungi dengan pasal 11 ayat 2, yang menyatakan bahwa, “Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah.”

Jika nanti keluar PP tentang sertifikasi pendidik dan peraturan itu ternyata masih mewajibkan sertifikasi pendidik bagi para guru lulusan perguruan tinggi yang telah terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah, PP tersebut jelas bertentangan dengan pasal 11 ayat 2. Ngotot menerapkan sertifikasi untuk kasus seperti ini bisa dicap sebagai politisasi peran guru demi kepentingan ekonomis para penguasa.

Kualitas akademis yang dituntut oleh pemerintah bagi para guru, berupa kualitas akademis setingkat sarjana strata-1 atau diploma 4, yang diterapkan secara pukul rata, termasuk terhadap para guru senior yang telah bekerja dan memiliki pengalaman pengajaran bertahun-tahun, hanya akan menjadi beban bagi kinerja guru yang telah penuh dedikasi memberikan seluruh waktu dan tenaganya bagi perbaikan pendidikan di negeri ini.

Sertifikasi akan menjadi kontraproduktif bagi para guru senior, karena mereka sendiri telah teruji dalam mendidik dan mengajar anak didik. Sertifikasi pendidik bagi mereka sesungguhnya tidak diperlukan lagi sebab pengalaman telah menguji mereka menjadi guru yang handal. Sertifikasi bagi mereka hanya akan memperkuat kesan bahwa pemerintah ingin mengeruk uang rakyat yang telah berjasa besar bagi pendidikan di negeri ini.

Sertifikasi mungkin lebih tepat sasaran jika diterapkan bagi para guru bantu, sebab kehadiran mereka di sekolah-sekolah biasanya tidak disertai dengan persiapan yang memadai, dicomot begitu saja karena langkanya guru, tanpa membekali mereka dengan kecakapan dan kemampuan dasar sebagai pendidik. Guru bantu biasanya dihadirkan karena langkanya tenaga pendidik di suatu daerah. Karena itu, program sertifikasi pendidik bagi mereka semestinya dilakukan melalui test standard disertai dengan pelatihan hal-hal pokok yang dibutuhkan bagi proses pembelajaran. Biaya untuk proses sertifikasi ini semestinya ditanggung oleh negara seperti diamanatkan dalam UUGD.

Sertifikasi pendidik yang diterapkan bagi semua secara pukul rata menunjukkan bahwa pemerintah kurang dapat melihat realitas pendidikan di negeri ini secara jernih. Karena itu, pemerintah bisa keliru dalam merencanakan strategi bagi peningkatan kualitas guru melalui berupa sertifikasi pendidik.

Isu politik dan ekonomi

Sebenarnya, persoalan pokok perbaikan kualitas guru bukan terletak pada pertentangan antara formasi tradisional dan alternatif berupa sertifikasi, melainkan lebih pada kepentingan politik dan ekonomi suatu pemerintahan. Membangun dan meningkatkan kualitas guru, baik pada masa sebelum maupun sesudah mereka memasuki dunia pengajaran mau tidak mau akan mempengaruhi jumlah gaji yang mesti mereka terima. Kenyataan inilah yang lantas menekan para pengambil keputusan pemerintahan di bidang pendidikan untuk memikirkan kembali bagaimana sekolah-sekolah mesti dibiayai.

Pada titik ini, dibutuhkan political will pemerintah untuk sungguh-sungguh merealisasikan dukungannya bagi hadirnya para pendidik yang berkualitas. Besarnya akolasi anggaran negara bagi pendidikan menunjukkan besarnya political will sebuah pemerintahan untuk serius memperbaiki kehancuran dunia pendidikan kita.

Merekrut dan mempertahanan para guru yang memiliki kualifikasi akademis, kompetensi pada bidangnya, serta mengenal komunitas di mana ia mengajar membuat model kurikulum wajib yang sifatnya top-down, sistem pembelajaran text book, dan kebijakan ujian yang sifatnya nasional tidak relevan lagi bagi proses reformasi pendidikan. Pembaharuan pendidikan mempersyaratkan reformasi total bagi para pengambil keputusan yang membuat mereka sungguh-sungguh serius dan konsisten ingin memperbaiki dunia pendidikan. Keluarnya kurikulum tingkat satuan pendidikan disertai dengan sikap keras kepala untuk tetap mengadakan Ujian Nasional merupakan salah satu bukti inkonsistensi dan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani persoalan pendidikan!

Kita menantikan PP tentang sertifikasi pendidik yang sungguh berpihak pada keadilan dan demi perbaikan kualitas pendidik, bukan sekedar proyek menjarah uang rakyat di tengah kebangkrutan dunia pendidikan di negara kita. Dikotomi antara persiapan tradisional dan alternatif semestinya ditinggalkan dengan mengedepankan hadirnya kebijakan pendidikan yang integratif, adil, tepat sasaran, dan relevan dengan tantangan jaman.

Doni Koesoema, A Mahasiswa jurusan pedagogi sekolah dan pengembangan profesional pada fakultas ilmu pendidikan Universitas Salesian, Roma.

Thursday 24 September 2009

Reformasi Kurikulum

KOMPAS Jum’at, 1 September 2006
Oleh Doni Koesoema, A

Keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006 menandai babak baru sejarah reformasi kurikulum di Indonesia. Namun sebagaimana reformasi lainnya, reformasi kurikulum ini masih tampak setengah hati dan kurang matang digarap. Selain itu, Permen secara substansial masih belum mampu memberikan roh untuk menghidupi otonomi pendidikan yang sesungguhnya.

Antinomi pedagogi

Salah satu antinomi pedagogi yang menjadi ‘penyakit kronis’ dunia pendidikan kita adalah ketegangan antara sistem kurikulum terpusat dan organisasi lokal di tingkat sekolah. Hadirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sesungguhnya ingin menjembatani adanya bipolarisasi antara kurikulum kuota nasional dan lokal. Karena itu, Permen sekedar mengatur Standard Isi (SI) dan Standard Kompetensi Lulusan (SKL) minimal, serta membiarkan Satuan Tingkat Pendidikan menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar proses pembelajaran mencapai tujuannya.

Reformasi pendidikan memang bisa dimulai dari pembaharuan di bidang kurikulum, sebab kurikulum merupakan semacam satelit yang melacak dan memberikan identitas edukatif bagi setiap siklus pendidikan.

Secara pedagogis dan didaktis tujuan kurikulum adalah untuk mempercantik busana kultural maupun formatif, entah melalui pengayaan secara berkesinambungan atas identitas intelektual anak didik mulai dari sekolah taman-kanak sampai pada tingkat perguruan tinggi, atau melalui penguatan otonomi pendidikan yang sifatnya subsidiaris, jauh dari sentralisasi edukatif, secara didaktis memberikan otonomi penuh pada anak didik sebagai agen yang belajar sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.

Globalisasi yang mengakibatkan turun pamornya monosentrisme pendidikan yang lantas digantikan dengan polisentrisme sumber-sumber pengetahuan membuat reformasi pendidikan, khususnya pembaharuan kurikulum, menghadapi tantangan besar berkaitan dengan identitas dan peranan sekolah dalam situasi masyarakat yang semakin kompleks. Bipolarisme pendidikan yang memperhadapkan kekuasaan sentral dengan kekuasaan lokal tak dapat menghindarkan diri dari dua pertanyaan kritis seputar persoalan pedagogis berkaitan dengan tujuan reformatif yang ingin dilakukannya.

Pertama, apakah pembaharuan kurikulum itu menjadi sebuah alat penuntun bagi peserta didik atau penuntun bagi objek pengajaran itu sendiri? Di sini antinomi pendidikan terlihat paling kentara. Pertama, jika kurikulum dipahami sebagai sebuah ‘kendaraan’ yang membimbing anak didik pada tujuannya, kurikulum semestinya memberikan otonomi besar bagi peserta didik untuk ikut ambil bagian aktif dalam perjalanan formatifnya. Titik berangkat posisi ini adalah pada siswa itu sendiri.

Di lain pihak, jika kurikulum dipahami sebagai sebuah alat penuntun bagi pembuatan objek-objek pengetahuan yang perlu diajarkan kepada siswa, persoalan pokoknya adalah nilai-nilai budaya macam apa yang akan dipilih, dikembangkan, sehingga peserta didik memiliki hak untuk dapat mengolah dan memperdalam warisan simbol-simbol budaya yang mereka miliki, mengaktualisasikannya selaras dengan kemajuan teknologi dan informasi, serta relevan bagi kesiapan mereka memasuki dunia kerja.

Kedua, apakah kurikulum lebih dipahami sebagai sebuah sarana untuk menerapkan program-program, atau sebaliknya menjadi alat untuk belajar membuat program itu sendiri? Jika yang pertama dipilih, kurikulum lantas sekedar menjadi sebuah alat untuk menerapkan program-program yang telah jadi, pelaksanaannya bersifat wajib, sifatnya terpusat dan mengikat, misalnya, berupa kurikulum dengan kuota nasional.

Di lain pihak, jika kurikulum dipahami sebagai sebuah sarana untuk membuat program pendidikan, kurikulum lantas merupakan sebuah sarana pendukung yang sifatnya opsional, tidak wajib, yang sepenuhnya diserahkan pada otonomi sekolah lewat kuota lokal.

Dua pendekatan di atas tampaknya lepas dari analisis Permen, sebab lampiran Permen yang memberikan indikasi teoritis berupa programasi kurikulum yang ditawarkan masih bersifat sentralistis, kurang memberi tempat pada dimensi otonomi dari peserta didik untuk memilih jalur formasi yang ingin dijalaninya.

Permen juga membatasi fungsi kurikulum sekedar sebagai penuntuk pembuatan objek-objek pengetahuan yang mesti disosialisasikan pada peserta didik. Di lain tempat malah memberikan keleluasaan pada sekolah untuk menjiplak begitu saja program yang ditawarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan(BSNP). Proses aplikasi program inipun masih terlihat sangat memusat, kental muatan kurikulum dengan kuota nasional, sedangkan muatan lokal hanya diberi alokasi rata-rata 2 jam mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan.

Reformasi setengah hati seperti ini alih-alih membantu menumbuhkan otonomi pendidikan dalam arti sesungguhnya, malah membingungkan pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan (guru, yayasan, sekolah, dan masyarakat). Pertanyaan masyarakat tentang adanya kontradiksi antara KTSP dengan Ujian Nasional semakin menunjukkan bahwa KTSP memang digarap secara kurang integral sebab ada inkonsistensi di sana-sini.

Integrasi

Reformasi pendidikan memang semestinya dimulai dari reformasi kurikulum, sebab kurikulum merupakan jembatan yang menjadi fondasi bangunan pendidikan. Karena itu, reformasi kurikulum semestinya bersifat integratif yang mampu mengakomodasi dimensi konfliktual yang terjadi antara peserta didik sebagai agen pendidikan dan kebudayaan sebagai obyek-obyek pengetahuan. Selain itu reformasi kurikulum semestinya juga mampu mengatasi ketimpangan yang terjadi antara pendekatan pusat dan pinggiran (baca, otonomi sekolah).

Reformasi kurikulum semestinya menjadikan kebijakan pemerintah sebagai semacam termostat yang menyeimbangan visi pendekatan yang berpusat pada anak didik dan visi yang berpusat pada kebudayaan.

Jadi ada semacam dialektika terus menerus antara bipolarisasi pendidikan dan penguatan otonomi sekolah dengan menjauhkan diri dari kecenderungan kurikulum yang hiperformal (semua diatur, direncanakan dan diprogramkan dari atas, sekolah tinggal mengikuti), atau hiperinformal (kurikulum menjadi cerminan atas semua yang diputuskan oleh sekolah).

Permen no 22, 23, dan 24 tahun 2006 bisa menjadi reformasi kurikulum yang sesungguhnya jika memperhatikan dimensi integralitas di atas.

Kekurangmatangan dalam membuat reformasi kurikulum menghasilkan hilangnya dimensi otonomi pendidikan yang sesungguhnya ingin diarah lewat adanya KTSP, yaitu, kebebasan peserta didik dalam menentukan sendiri perjalanan formatif intelektualnya dan mandulnya otonomi sekolah. Jika ini terjadi, roh otonomi pendidikan akan semakin jauh dari harapan kita.

Doni Koesoema, A
Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma

Otonomi (Pungutan) Pendidikan

Doni Koesoema, A

Kesewenang-wenangan sekolah dalam menarik dana pendidikan dari masyarakat sudah berada pada taraf yang mengkhawatirkan. Banyak orang tua mengeluhkan, misalnya, besarnya biaya yang harus dibayar untuk Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI).

Otonomi pendidikan oleh insan pendidikan tampaknya baru dipahami sekedar sebagai sebuah otonomi untuk memungut dana dari orang tua. Tapi apa daya orang tua? Mereka tidak bisa marah sebab anak mesti sekolah. Mereka pasrah meski telah dijadikan sapi perah! Siswa dari keluarga miskin akhirnya hengkang dari sekolah. Mereka tak dapat membayar uang sekolah.

Menarik dana pendidikan dari masyarakat memang merupakan sesuatu yang wajar, terlebih bagi sekolah-sekolah swasta yang hidup matinya banyak tergantung dari dana yang diperolehnya dari masyarakat. Namun proses ini menjadi tidak wajar ketika lembaga pendidikan memanfaatkan posisi lemah kekuatan tawar menawar orang tua terhadap kebijakan sekolah. Ada ketidakberesan dalam komunikasi pendidikan dan cara memahami otonomi sekolah. Alih-alih memosisikan orang tua sebagai partner malah menjadikannya ‘sapi perah’!

Orang tua dalam kerangka pendidikan masih dipahami sekedar sebagai institusi legal yang hanya bertanggungjawab bagi proses pendidikan anak-anak mereka secara ekonomis. Di luar itu, peran serta orang tua nol.

Otonomi pendidikan yang berubah wajah menjadi otonomi pungutan pendidikan melahirkan ketimpangan, menyuburkan ketidakadilan dan mengerdilkan solidaritas. Elitisme sekolah menyingkirkan keluarga miskin dari sekolah. Yang kaya semakin berjaya. Yang miskin semakin tak berdaya.

Ketidakadilan dalam memperoleh akses pendidikan bagi kalangan miskin menjadi semakin besar ketika jumlah kursi sekolah yang ada ternyata lebih kecil dibandingkan para lulusan yang semestinya melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Akibatnya, sekolah (negri dan swasta) semakin berlomba menarik dana dari orang tua dengan memanfaatkan rasa khawatir atas terbatasnya jumlah sekolah yang ada.

Situasi pendidikan seperti ini sangat kontraproduktif dengan usaha-usaha untuk konsolidasi demokrasi. Tanpa adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga untuk mengenyam pendidikan, di mana negara semestinya menjamin hak-hak dasar ini, sekolah kita menjadi semakin elitis dan antidemokrasi. Sebab bukannya persamaan yang kita perjuangkan, melainkan diseminasi perbedaan dan ketimpangan.

Usaha untuk konsolidasi demokrasi hanya bisa mungkin dimulai dengan menciptakan sebuah sekolah yang sungguh memiliki otonomi.

Dua sasaran

Sekolah yang memiliki visi otonomi dalam masyarakat demokratis semestinya mengarahkan diri pada dua sasaran yang semestinya berjalan secara seimbang.

Pertama, otonomi pendidikan semestinya memusatkan kinerja dan perhatiannya terutama pada dan bagi anak didik. Instansi yang terlibat dalam kerangka pendidikan, seperti, sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat, merupakan sebuah jaringan demi tujuan formasi anak didik. Karena itu, program pendidikan yang diusulkan, sistem kurikulum yang ditawarkan, penganggaran pendapatan dan belanja sekolah semestinya diarahkan pada satu tujuan bersama yaitu proses pembentukan (formasi) anak didik.

Otonomi pendidikan baru akan memiliki arti ketika anak didik mampu bertumbuh, berkembang dan menyempurnakan diri melalui akuisisi pengetahuan, pembiasaan perilaku baik, pemahaman nilai, pembentukan karakter, yang disertai dengan rasa solidaritas dan kebebasan yang bertanggungjawab, bagi perkembangan diri sendiri maupun bagi kebaikan orang lain. Hanya melalui visi ini, otonomi pendidikan mampu menciptakan suasana demokratis yang membantu melahirkan warga negara yang terbuka dan mampu bekerja sama demi kebaikan bersama.

Kedua, otonomi sekolah merupakan sebuah sintesis antara kebijakan makro (visi dan kebijakan Menteri Pendidikan tentang Tujuan pendidikan nasional dan perangkat praktis ke arah sana), dan kebijakan mikro (sistem organisasi sekolah, pengayaan kurikulum, tanggungjawab sekolah atas program formasi, dll). Dalam level mikro inilah orang tua sungguh-sungguh dilibatkan dalam proses formasi anak didik dengan memberikan masukan, usulan dalam program kurikuler yang dipilih dan ditawarkan oleh sekolah. Orang tua semestinya menjadi partner dalam proses formasi anak didik. Di sini komunikasi pendidikan dan transparansi dijiwai dengan semangat demokratis, keterbukaan, disertai dengan kepekaan akan kebutuhan masyarakat lokal.

Komunikasi pendidikan yang memperhatikan berbagai dimensi relasional antara pihak-pihak yang terkait dengan proses formasi (orang tua, pendidik, sekolah, masyarakat, dll) merupakan jalinan relasional kompleks yang saling menghargai otonomi serta peran serta masing-masing dalam kerangka pendidikan.

Karena itu, otonomi pendidikan tidak sekedar dipahami dari kacamata ekonomis yang menjadikan orang tua, dalam relasinya dengan lembaga pendidikan sekedar sebagi obyek penarikan dana, melainkan juga melibatkan dimensi partisipatif (kesinambungan pendampingan orang tua pada anak didik pasca-sekolah), komunikatif (sistem kontrol dan propositif atas transparansi keuangan dan perencanaan program formatif sekolah), konsiliatif (keterbukaan untuk menerima masukan dari masyarakat berkaitan dengan program pendidikan yang ditawarkan).

Sekolah yang memiliki otonomi, jika dipahami lewat kaca mata seperti ini akan menjadi pembaharu dalam arti yang sesungguhnya, dan menghilangkan tiga jenis penyakit pendidikan yang muncul dalam konteks pendidikan terpusat (sentralistis), seperti, inefisiensi (buang banyak uang dan tidak produktif), kemandulan produksi (dalam arti menjadi mesin yang memproduksi kekosongan, menghasilkan pemahaman pengetahuan yang tidak mendalam, pemborosan otak anak didik), serta anti demokrasi (tidak adanya kesempatan menerima pendidikan yang sama, drop out karena miskin, konsep tentang anak didik yang abstrak dan jauh dari lingkungan).

Otonomi pendidikan jika dipahami secara sempit sekedar sebagai sebuah otonomi (=kesewenangan) dalam menarik dana dari masyarakat pada gilirannya akan menjadi bumerang bagi dunia pendidikan itu sendiri.

Mengingat nilai-nilai demokrasi yang dipertaruhkan, dalam sistem pendidikan yang elitis dan sektarian seperti ini, pemerintah perlu mengusahakan dijaminnya hak-hak kaum miskin untuk tetap dapat mengenyam pendidikan yang dalam sistem pendidikan sekarang ini semakin tersingkirkan dari dunia pendidikan.

Mengharapkan anak didik untuk menjadi ‘aktor’ dalam lingkup budaya yang dihidupinya, memimpikan otonomi pendidikan yang memiliki jiwa demokratis kiranya sebuah usaha yang tak pernah boleh berhenti kita usahakan.

Doni Koesoema, A Penulis adalah mahasiswa jurusan ilmu pendidikan dan pengembangan profesional Universitas Salesian, Roma.

Monday 21 September 2009

Kemartiran Sebagai Pedagogi Rohani

Senin 10 Oktober 2005
Doni Koesoema, A

Terorisme di Indonesia pada kenyataannya bukan merupakan karakter bangsa Indonesia melainkan lebih merupakan konflik politik dan ekonomi yang mempergunakan agama dan memanfaatkan orang-orang beriman. Analisis K.H. Hasyim Muzadi dalam seminar Islam in a pluralistic Society, yang diadakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Tahta Suci Vatikan (KBRI-TSV) di auditorium Yohanes Paulus II, Universitas Kepausan Urbaniana, Roma,(30/9), mengingatkan kita betapa kecerobohan dalam menggeneralisir akar permasalahan terorisme bisa berakibat fatal dalam kerangka membangun dialog persaudaraan antar umat beriman, terlebih lagi dalam menakar kesejatian pengalaman iman.

K.H.Hasyim Muzadi juga menegaskan bahwa persentase kelompok teroris dibandingkan dengan umat beriman yang memiliki kehendak baik untuk membangun persaudaraan sejati sangatlah kecil. Demikian juga Rm. Thomas Michel sebagai anggota dewan penasehat kepausan untuk urusan dialog antar agama, misalnya, memaparkan bahwa sejak reformasi 1998 telah hadir sekitar 465 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), baik lokal maupun internasional yang bekerja dalam membangun perdamaian di daerah konflik (peacebuilding Ngo’s) yang memiliki ciri lintas agama.

Karena itu, konflik yang menciptakan teror yang bermula dari sikap salah interpretasi, baik atas ajaran agama maupun simbol agama, merupakan bagian yang kecil saja yang kadang tidak selalu menghadirkan teror. Namun yang signifikan, ujar K.H. Hasyim Muzadi, adalah ketika salah tafsir dan penyalahgunaan agama dan simbol agama ini berbenturan dengan kepentingan politik, ketidakadilan, rendahnya mutu pendidikan, kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi.

Selama para politisi masih berkelahi untuk mempertahankan kekuasaannya, alih-alih mempergunakan kewenangan untuk melayani rakyat, selama keadilan tak dapat ditemukan di pengadilan, selama dunia pendidikan ditelantarkan, negeri kita akan menjadi sekam membara yang mudah disulut kelompok teroris untuk menghanguskan keberadaban negeri ini.

Bom bunuh diri jilid II di Bali mengingatkan kita betapa ternyata pedagogi rohani yang keliru dalam memaknai kemartiran bisa berakibat fatal bagi keberlangsungan hidup manusia. Dalam sebuah negara yang sistem keamanannya masih kedodoran seperti di negeri kita, di mana di setiap tempat para teroris bisa berpesta pora dan melakukan aksinya tanpa perlu melukai diri sendiri, di mana kaum teroris dengan mudah melancarkan aksinya tanpa halangan ketatnya penjagaan petugas keamanan, bom bunuh diri di Bali hanya menyiratkan satu pesan : keyakinan iman akan kemartiran itu telah ada pada level personal yang tak bisa dibendung oleh satu instansi manapun! Membunuh semakin banyak orang seolah sebuah keyakinan integral akan keselamatan. Seolah ingin mengatakan bahwa baik pengebom maupun korban adalah jiwa-jiwa yang mati syahid, sehingga layak langsung menerima mahkota surgawi. Betapa ironisnya pedagogi kerohanian seperti ini.

Pedagogi rohani

Pedagogi macam apa yang bisa diwariskan dan ditanamkan pada anak didik kita dalam situasi seperti ini?

Dalam masyarakat yang mengakui keesaan Tuhan sebagai sang sumber hidup, anak didik semestinya belajar memahami bahwa kemartiran sesungguhnya merupakan ekpresi terdalam sebuah keyakinan iman yang fondasi utamanya adalah penghargaan atas hidup itu sendiri. Kemartiran sejati bukanlah bom bunuh diri yang mengajak orang lain mati suci, seolah diri adalah Tuhan, sang penentu hidup mati orang lain. Kemartiran sejati adalah kesediaan untuk memberikan diri secara total bagi berlangsungnya kehidupan orang lain secara pribadi maupun sebagai sebuah masyarakat.

Kemartiran Riyanto, pemuda NU yang menyelamatkan umat kristen yang sedang beribadah, kemartiran Romo Dewanto yang melindungi jemaat di Gereja Suai, Timor-Timur, kemartiran Munir sang pembela orang-orang hilang, dll, merupakan contoh kemartiran lokal yang sesungguhnya menjadi saksi bahwa kemartiran otentik seperti ini dapat terwujud di negeri kita dan bukanlah impian semata. Teladan kemartiran seperti ini bukanlah sebuah ide di atas awang-awang yang tidak memiliki relevansi dan dampak berhadapan dengan berbagai macam krisis multi dimensi yang dihadapi oleh bangsa kita.

Bagi sebuah masyarakat yang semakin beradap, memupuk sebuah keyakinan dalam diri setiap anak didik bahwa nilai-nilai luhur religiusitas, seperti pengorbanan diri, jerih payah dan pelayanan total demi kepentingan orang banyak, kejujuran, belaskasih, pengampunan, merupakan bagian dari keluhuran nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya masih ada, masih relevan, dan masih dapat diraih dalam menciptakan sebuah masyarakat yang semakin menghargai kemartabatan setiap orang sebagai sesama ciptaan Tuhan.

Pembela kehidupan

Tepatlah, jika K.H. Hasyim Muzadi mengatakan bahwa terorisme bukanlah karakter bangsa kita. Jika terorisme akhir-akhir ini mencoreng muka kita sehingga kita menjadi bangsa yang tidak memiliki kepribadian, atau malahan dicap sebagai bangsa yang menyemai teroris, mungkin baik jika kita kembali bercermin pada para pahlawan kemanusiaan, para martir kita seperti Riyanto, Romo Dewanto, Munir, dan masih banyak lagi yang menjalani kemartiran tersembunyi yang tak perlu secara gegap gempita dirayakan sebab hidup manusia itu sendiri akan menjadi saksi paling jujur atas kesahihan kemartiran seseorang.

Teladan para pembela hidup dan kemartabatan manusia ini semestinya menjadi pedagogi rohani bagi setiap orang dalam memurnikan keaslian pengalaman imannya dalam masyarakat yang mengakui keesaan Tuhan, di mana keadilan dan keberadaban manusia merupakan jaminan nyata dan bukti dihargainya keluhuran hidup manusia itu sendiri di hadapan Tuhan dan sesama. Semoga!

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Gereja dan Demokrasi

Kompas, Selasa, 15 April 2005
Doni Koesoema A

“Gereja, lembaga karismatis per eccellenza, mengadopsi metode yang lebih demokratis untuk memilih pemimpinnya.” Demikian salah satu komentar yang dikutip dari harian Avenire (17/4) untuk memaparkan salah satu fakta paling menonjol dalam konklaf pertama di millenium ketiga.

Masuknya ide-ide demokratis yang ditetapkan secara transparan melalui Konstitusi Apostolis Universi Dominici Gregis (UDG) (22 februari 1996) ini tak lepas dari sentuhan tangan almarhum Paus Yohanes Paulus II yang telah memperbaharui proses dan prosedur pemilihan penggantinya secara jelas.

Pada artikel no.62, almarhum Yohanes Paulus II menghapus cara pemilihan secara aklamasi atau berdasarkan inspirasi (per acclamationem seu inspirationem) atau proses pemilihan berdasarkan kompromi (per compromissum). Ia menegaskan bahwa “Proses pemilihan Paus sekarang ini dan kemudian hari akan ditentukan secara unik melalui pemungutan suara (per scrutinium)” di mana keabsahan pemilihan Paus akan ditentukan melalui terpenuhinya dua pertiga suara berdasarkan jumlah (kardinal) pemilih yang hadir.

Memperoleh 2/3 suara dari 115 kardinal tanpa melalui saat-saat kampanye tentu pekerjaan yang tidak mudah. Terlebih dengan adanya kebijakan isolasi total para kardinal selama konklaf sehingga mereka tidak memiliki satu kontakpun dengan dunia luar, baik melalui koran, televisi, radio, dan alat komunikasi lainnya sampai mereka memilih penerus tahta Santo Petrus yang ke 265.

Di tengah terabasan simoni (politik uang), di tengah hamburan janji palsu yang kerap keluar dari mulut para kandidat politik menjelang pemilihan, Gereja Katolik, menawarkan kepada dunia suatu alternatif demokrasi melalui struktur dan sistem kelembagaan yang dimilikinya selama hampir 20 abad yang terbukti bisa proaktif dan sigap dalam menyesuaikan derap dan arus jaman.

Pemilihan pemimpin yang demokratis tidak lagi ditentukan bukan melalui aklamasi sehingga siapa yang bersuara keras mampu menggiring suara mayoritas. Juga tidak melalui intuisi di mana model ‘kira-kira’ atau ‘senang tidak senang’ menjadi bahan pertimbangan. Bukan pula berdasarkan kompromi atau bagi-bagi kue kekuasaan. Demokrasi model inilah yang ingin disingkirkan Almarhum Paus Yohanes Paulus II dalam proses pemilihan penggantinya.

Demokrasi yang ada dalam benak Yohanes Paulus II merupakan penggabungan antara pilihan rasional real seluruh pemilih dan pilihan spiritual personal berdasarkan intuisi hati serta kesadaran nurani bening. Hanya dengan cara seperti inilah proses demokrasi selama konklaf mampu memilih pemimpin yang berjiwa melayani, tanggap akan situasi jaman, kokoh di tengah badai persoalan di setiap jaman.

Strategi vatikan

Untuk menghasilkan output pemimpin ideal Vatikan memiliki strategi demokrasi yang agak khas. Strategi ini merupakan proses-proses dan tata cara yang menghantar setiap kandidat berada dalam situasi fisik, batin dan rohani yang dewasa dalam melakukan pemilihan.

Strategi itu antara lain. Pertama, kegiatan selama masa berkabung. Pada masa ini para kandidat memiliki kesempatan untuk secara bersama-sama mendiskusikan situasi aktual Gereja serta tantangannya pada masa kini, tanpa satupun mengacu pada nama-nama. Ini sekaligus untuk memperkuat sensibilitas kegembalaan universal yang mesti disandang dengan wafatnya Paus sebelumnya.

Kedua, kerahasiaan dalam seluruh proses. Setiap pihak yang terlibat dalam proses konklaf, entah secara langsung maupun tidak langsung dituntut untuk mengucapkan janji dan sumpah untuk tidak membocorkan berbagai macam informasi yang diterima sebelum maupun selama proses konklaf berlangsung.

Ketiga, setiap tindakan pembocoran atas rahasia, penyadapan, usaha suap, dikenakan hukuman ekskomunikasi secara otomatis (latae sententiae) di mana hukuman atau pelepasan atasnya hanya dapat diberikan oleh Paus yang akan terpilih.

Keempat, iklim spiritual yang mendukung berupa perayaan ritus peribadatan selama konklaf. Iklim spiritual sudah dimulai pada hari pertama masa berkabung yang diawali dengan perayaan ekaristi pemakaman Paus. Selam konklaf juga disediakan Imam yang menerima pengakuan dari para kardinal yang akan memilih Paus.

Kelima, kebijakan extra omnes. Pada hari pertama kardinal memasuki Kapel Sistina untuk memulai proses pemilihan, diserukan agar semua hal lain yang tidak ada kepentingan dengan proses konklaf ditinggalkan, termasuk pamrih, kepentingan, dan agenda pribadi. Extra omnes ini ditandai dengan isolasi total komunikasi antara cardinal pemilih dengan dunia luar.

Karena itu, selama proses pemilihan para kardinal tidak diperkenankan berhubungan dengan dunia luar, selain berkanjang dalam doa untuk memilih Paus yang dikehendaki Allah bagi penggembalaan Gereja Universal. Tidak ada kontak telpon, koran, radio, televisi, dan bahkan tempat sekitar kapel Sistina telah diblokir sehingga telpon genggam tidak berfungsi.

Strategi inilah yang membuat proses demokratisasi pemilihan Paus menjadi begitu istimewa. Karena itu, model pemilihan pemimpin seperti ini bisa dijadikan alternatif model pemilihan secara demokrasi. Sebuah proses demokrasi yang tidak sekedar mempersyaratkan kejernihan moral para calon pemimpin, lebih dari itu, keyakinan iman bahwa panggilan menjadi pemimpin tak lain adalah sebuah pelayanan bagi kemanusiaan yang dipercayakan Tuhan kepadanya.

Fenomena dan praksis demokrasi seperti ini bukan sekedar menjadi bukti bahwa Gereja merupakan sebuah lembaga kharismatis per eccellenza yang tidak sekedar latah dalam memaknai praksis demokrasi, melainkan sebuah komunitas yang para petingginya peka dalam membaca tanda-tanda jaman, yang di lubuk hati dan jiwanya selalu bergema seruan bahwa kekuasaan itu bukan untuk kesewenangan, melainkan demi kemaslahatan kemanusiaan.

Doni Koesoema, A penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

Thursday 3 September 2009

Pendidikan Anak : Bukan Sekedar Mesin Reproduksi Kultur Sosial

BASIS, Nomor 07-08, Tahun ke- 5 5, Juli-Agustus 2006, hlm 62-68

Doni Koeseoema, A

Keluarga sebagai locus educationis telah lama menjadi bahan permenungan bagi para filsuf dan pemikir pendidikan. Paling tidak ada dua arus besar pemikiran berkaitan dengan peranan keluarga dalam kerangka pendidikan anak. Yang pertama, aliran antifamiliarisme dengan tokoh utamanya Plato. Kedua, familiarisme dengan juru bicara utamanya Aristoteles.

Fenomena adanya keluarga yang melemparkan tanggungjawab pendidikan anak-anak mereka pada lembaga sekolah merupakan satu dari ribuan data tentang praksis pendidikan dalam masyarakat. Mempertanyakan kembali peranan keluarga dalam kerangka pendidikan anak dalam relasinya dengan lembaga edukatif lain bisa berarti mempertanyakan kembali asumsi-asumsi dasar pemikiran Plato dan Aristoteles serta para pengikutnya, melihatnya dalam kerangka modernitas, menemukan sisi-sisi lemah dan kuat pendekatan tersebut, mengintegrasikan dan mengaktualisasikannya dalam konteks dunia pendidikan di Indonesia.

Tulisan ini mencoba mengulas persoalan filosofis seputar peranan keluarga dalam kerangka pendidikan anak dalam relasinya dengan lembaga pendidikan lain. Di sini keluarga dipahami pertama-tama dari sudut pandang pedagogi, yaitu, sejauh mana keberadaan keluarga memfasilitasi pertumbuhan atau malahan menghalangi pertumbuhan pribadi.

Pedagogi dan pendidikan

Mungkin kita akan heran menemukan kenyataan bahwa persoalan pendidikan yang kita hadapi sesungguhnya memiliki akar pada masalah teoritis-filosofis, daripada praksis pendidikan itu sendiri.

Pendidikan (educatio) merupakan kenyataan manusiawi yang menjangkarkan dirinya pada fakta, tindakan, dan pengalaman. Semua mata bisa melihatnya. Pendidikan ada di mana saja, di rumah, di sekolah, di jalan, di televisi, di internet, di mana-mana. Tindakan edukatif ini bersifat umum dan ada dalam setiap kesempatan.

Berbeda halnya dengan pedagogi. Pedagogi terdapat bukan dalam praksis, tapi dalam teori. Teori berbicara tentang cara-cara untuk memahami pendidikan, bukan cara-cara mempraktekkannya. Bidang cakupannya ada dalam refleksi kritis atas praksis pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, fungsi pokok pedagogi bukanlah bermaksud untuk menggantikan praksis, melainkan menerangi, membimbing, membantu, dan jika mungkin menutup lobang-lobang kelemahan untuk menyempurnakan praksis.

Kelemahan dalam pemahaman teoritis bisa memandulkan praksis pendidikan itu sendiri, sebab tanpa penerangan teoritis praksis seperti seorang buta berjalan tanpa tuntunan. Di lain pihak, mengutamakan pemahaman teoritis saja bisa diibaratkan seorang pengendara mobil sedang membaca peta, tapi tidak turun langsung ke jalan melalui mana ia ingin menuju. Dan karena itu, ia tetap ada di tempat dan tidak efektif.

Kultur pedagogi mendasarkan dirinya pada pengalaman historis praksis pendidikan, karena sifatnya historis. Melalui analisis kritis atas pengalaman praksis pendidikan, pedagogi memiliki kemungkinan menentukan tujuan melalui mana sebuah praksis pendidikan diarahkan.

Dalam kerangka ini, pedagogi yang diajukan Plato dan Aristoles merupakan dua contoh ekstrem pendekatan teoritis tentang posisi keluarga dalam konteks pendidikan.

Antifamiliarisme Plato

Plato, misalnya, sama sekali tidak percaya pada fungsi pedagogis keluarga. Karena itu ia lebih menyerahkan persoalan pendidikan itu di tangan negara. Baginya, keluarga bukanlah tempat yang valid dan ideal bagi sebuah proses pendidikan karena kaum lelaki dewasa telah begitu tersedot perhatiannya demi kehidupan publik (menjadi politisi dalam arti luas), sedangkan kaum perempuan lebih disibukkan dengan urusan domestik yang sifatnya kuratif, memberi makan, minum, yang lebih cocok disebut sebagai tindakan memiara (anatrophè), daripada tindakan mendidik anak (paidéia).

Dalam diskursus hukumnya, Plato menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk generasi muda menjadi orang-orang yang berkarakter utama, dengan menumbuhkan di dalam dirinya cinta dan keinginan sempurna untuk menjadi warga negara melalui mana ia mampu memerintah dan taat sebagaimana sudah layak dan sepantasnya untuk melakukannya. Setiap kegiatan formatif yang cenderung untuk mencari kekayaan atau sekedar menumbuhkan kekuatan fisik tanpa mau melihat dimensi kebijaksanaan dan keadilan ia anggap sebagai proses pendidikan tingkat rendahan yang tak layak dilakukan oleh manusia bebas. Proses pembentukan seperti ini tidak layak disebut dengan pendidikan. (Leggi, I, 644a).

Secara antropologis Plato melihat bahwa setiap orang tidak dapat mencukupi dirinya sendiri. Karena itu lahirlah negara. “Negara terbentuk karena setiap dari kita tidak dapat mencukupi dirinya sendiri, kita memiliki kekurangan dalam banyak hal”. Kebutuhan-kebutuhan ini lantas melahirkan 3 kelas warga negara yang berbeda, yaitu, kalangan pengusaha, tentara penjaga, dan pemimpin yang sempurna dalam mengatur urusan negara secara bijaksana. Tujuan pendidikan Plato lebih mengarah pada proses pembentukan sosok politisi filsuf yang mampu menginkarnasikan keadilan dan kebaikan dalam kehidupan bersama. Karena itu, pendidikan tak lain adalah kinerja politik itu sendiri.

Melihat pentingnya dimensi politis pendidikan Plato mengusulkan bahwa penanggung jawab pendidikan publik adalah negara yang dilaksanakan oleh seorang fungsionaris utama yang dipilih oleh negara berdasarkan ketentuan hukum. Kriteria pengurus pendidikan itu antara lain, mereka haruslah pribadi yang memiliki kematangan karakter dan terkenal karena keutamaannya, mampu dan memiliki kemungkinan untuk meraih kebaikan yang ideal. Karena itu, berbeda dengan tradisi kultur yunani sebelumnya yang membiarkan anak-anak mengenyam pendidikan dalam keluarga, Plato membubarkan institusi keluarga sebagai instansi pendidikan anak dan menggantikannya dengan peranan negara.

Reformasi yang diajukan oleh Plato sangatlah revolusioner pada jamannya mengingat secara umum masyarakat Yunani membatasi peranan kaum perempuan pada batas-batas dinding rumah dan memberikan kepada mereka sekedar hal-hal yang berurusan dengan dimensi kuratif, makan, minum, dan pemeliharaan anak, sementara menjauhkan mereka dari kegiatan kebudayaan, seluk beluk persiapan perang dan partisipasi politik. Tidak mengherankan, pola pendidikan ala Plato lebih bersifat spartan, di mana keseimbangan proses pendidikan, yaitu, fisik, mental, karakter, lebih diutamakan.

Garis pemikiran pedagogi antifamiliarisme Plato muncul kembali pada saat sejarah pedagogi mengalami revolusi kopernikan dengan ditemukannya ‘anak-anak’ yang menjadi pokok perhatian utama pedagogi. Puerocentrisme yang merayakan spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat di awal abad 19 banyak menimba inspirasi dari pedagogi negatif naturalnya J.J.Rousseau (1712-1778).

Kodrat manusia itu baik. Namun kodrat itu rusak di tangan manusia. Terlebih pretensi pendidik dalam mendewasakan anak-anak lewat pemaksaan kriteria orang dewasa membatasi kebebasan dan malahan membatasi pertumbuhan anak. Dalam Emile, Rousseau menegaskan bahwa “segala hal diciptakan oleh Pencipta itu baik adanya, namun semuanya menjadi semakin rusak karena tangan manusia.”

Hal yang sama berlaku bagi pedagogi anak. Gambaran bahwa dalam diri anak terdapat sosok pribadi dewasa tersembunyi adalah menyalahi kodrat. Pretensi adultisme pendidik harus dijauhkan dari diri anak agar anak menemukan kebebasan sesuai dengan kodratnya sehingga mampu bertumbuh dengan lebih sempurna. Anak mesti dipandang sebagai anak dengan kekhasannya, bukan dilihat sebagai orang dewasa yang mesti dipaksa menjalankan peran dan mempelajari nilai-nilai yang hanya berlaku bagi orang dewasa.

Karena itu, bagi Rousseau, tujuan utama pendidikan adalah untuk menjaga dimensi kebebasan si anak, dengan cara membiarkannya bergerak dan bermain secara bebas, membiarkan spontanitas dalam setiap permainan dan dalam tindakannya. Untuk merealisasikan tujuan individualnya, sejauh mungkin anak-anak dihindarkan dari intervensi edukatif yang membatasi.

Tujuan pertumbuhan individu mendahului tujuan sosial, karena itu anak mesti dijauhkan dari situasi masyarakat, dari keluarga karena keluarga akan menjadi momok yang membahayakan bagi kelembutannya. Anak juga mesti dijauhkan dari masyarakat yang menjadi sumber pembelajaran tentang ketidakadilan, karena masyarakat mendasarkan dirinya pada perbedaan, bukan persamaan.

Deklarasi paling jelas dan tegas tentang antifamilirisme pendidikan tampil dalam diri pemikir jerman, Gustav Wyneken (1875-1964) yang menyatakan bahwa, “antara keluarga dan pendidikan merupakan dua hal yang sama sekali tidak berhubungan. Keluarga merupakan sebuah lembaga yang berfungsi untuk melanggengkan keturunan spesies manusia,…dari sudut lain, merupakan sebuah lembaga yang mengorganisasi konsumsi,…seandainya orang tua mencintai anak-anak mereka, mereka tidak mencintai keremajaan yang ada di dalam diri mereka.” (Schule und Jugendkultur, 1919,13).

Antifamiliarisme pendidikan juga tampil dalam diri para pemikir sekolah Frankfurt (Adorno, Horkheimer, Marcuse), para psikiatri seperti R. Laing, D. Cooper, dan psikososiolog G. Mendel yang semakin menambah panjang jajaran pemikir pedagogi antifamiliarisme. Mendel, misalnya, malahan menganggap bahwa keluarga merupakan halangan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi yang sehat. Demikian juga ia melihat adanya kecenderungan egoisme dari faktor-faktor genetis yang ada dalam diri manusia yang terwariskan lewat keluarga yang cenderung menjadi penghalang proses pendidikan bagi setiap subyek yang belajar (educandi).

Tampaknya, visi pedagogi antifamiliarisme sepanjang sejarah pedagogi masih memiliki basis dan fondasi yang tetap menarik untuk direfleksikan dalam kerangka pedagogi pendidikan. Namun garis ini bukannya tanpa tandingan.

Familiarisme Aristoteles

Lain halnya dengan Aristoteles. Bagi pemikir Stagirit ini keluarga (oikos) merupakan inti pokok fondasi masyarakat (polis). Karena itu, hidup matinya masyarakat akan banyak tergantung pada proses pendidikan yang terjadi di dalam keluarga.

Bagi Aristoteles, liquidasi lembaga keluarga yang diajukan oleh Plato merupakan sesuatu yang artifisial. Masyarakat tidak bisa langgeng tanpa adanya keluarga. Dan sebaliknya, keluarga tidak dapat bertumbuh tanpa dukungan dari masyarakat. Lebih lagi, bagi Aristoteles, Plato telah keliru dalam menentukan tujuan pendidikan. Paidea yang bertujuan untuk membentuk warganegara yang baik dengan melalui proses pendidikan massal lewat sentralisasi negara mematikan dimensi otonomi pribadi.

Pedagogi Aristoteles lebih dekat dengan pendekatan modern tentang formasi permanen setiap subyek yang belajar melalui mana dimensi otonomi dalam mengambil keputusan bagi hidupnya merupakan tolok ukur berhasil tidaknya sebuah pendidikan. Ada dimensi etis yang menekankan kebebasan dan tanggungjawab dalam proses pendidikan. Baginya, tujuan pendidikan adalah pembentukan manusia-manusia yang menjadi warga negara otonom, yang dengan kehendak bebasnya mampu memilih para pemimpin yang akan mengatur kehidupan masyarakat. Pedagoginya lebih bersifat demokratis daripada statalis.

Bagi Aristoteles, pedagogi yang baik tidak dapat bersifat preventif, dalam arti bersifat menyaring dan menyeleksi para kader pemimpin di masa depan. Pendidikan baginya merupakan sebuah proses dinamis pembentukan diri terus menerus untuk menjadi sosok pribadi yang berkualitas, terlebih secara moral (on going formation).

Aristoteles tidak sekedar membuka jalan-jalan pedagogis dalam membentuk tiap pribadi menjadi ‘orang yang baik’, atau menjadi ‘warga negara yang baik’, melainkan juga memberikan peluang bagi mereka yang ‘tidak baik’ untuk tetap dapat hidup berdampingan secara damai dalam kerangka demokrasi, jika tata cara kehidupan bersama ini telah menjadi habitus baginya.

Garis pemikiran familiarisme semakin menemukan realisasi konkret secara politis di jaman romawi kuno. Model pendidikan pater familias telah menjadi fondasi kokoh bagi berlangsungnya tata kehidupan masyarakat roma. Dalam sistem pater familias, keluarga memiliki kedudukan sentral dalam pendidikan anak. Sang ayah memiliki kekuasaan tertinggi atas seluruh urusan rumah, anak, istri, budak, milik pribadi, bahkan sampai menentukan hidup mati mereka.

Dalam sistem pater familias, proses pendidikan terutama lebih menekankan dimensi praktis-imitatif di mana sang anak sejak kecil telah dibiasakan untuk melihat dan merasakan bagaimana sang ayah melakukan tugas-tugas publiknya. Tradisi politik dan sosial berkaitan erat dengan peranan orang tua dalam pendidikan kebudayaan anak-anaknya. Selain itu, sampai si anak berumur tujuh tahun, tugas utama pendidik dipercayakan pada ibu. Ibu memiliki peranan penting dalam pendidikan anak. Karena itu, mereka tidak sekedar taat pada otoritas suaminya, tapi juga aktif terlibat dalam pendidikan anak.

Sikap dasar pendidik pada masa romawi kuno bisa dipadatkan dalam ungkapan Giovenale, maxima debetur puero reverentia (rasa hormat tertinggi seharusnya diberikan terhadap anak-anak).

Prioritas keluarga bagi pendidikan bernafaskan nilai-nilai kristiani hadir lewat pemikiran Santo Thomas Aquinas (1224-1274), yang menekankan bahwa kehadiran keluarga bukanlah sekedar untuk melanggenggkan spesies umat manusia (nutritio), melainkan juga bertanggungjawab atas pendidikan anak (geniti educatio). Pendidikan terutama diarahkan pada penyempurnaan akal budi manusia melalui pengajaran (ratio perfectior ad instruendum) yang memuncak pada pendidikan bagi jiwa (instructione quantum ad animam).

Pada masa humanisme rinascimento Jan Amos Komensky (1529-1670) melengkapi pedagogi dengan dengan pemahaman baru tentang pentingnya pendidikan diri secara terus menerus yang mesti dimulai sejak kecil. “Tak seorangpun dapat percaya bahwa dia dapat menjadi manusia, jika tidak bertindak seperti manusia, yaitu, dididik sesuai dengan nilai-nilai yang membuatnya menjadi manusia.” Pendidikan demikian ini mesti dimulai sejak kecil. Tugas ini secara natural merupakan tanggungjawab orang tua.

Mengingat bahwa orang tua yang dapat, mampu serta memiliki banyak waktu untuk mendidik anak begitu jarang, ia mengusulkan agar didirikan banyak sekolah bagi kaum muda di setiap kampung, setiap desa dan setiap tempat di mana anak-anak muda dapat menimba ilmu. Mengingat konteks historis masa itu di mana akses pada sekolah masih langka ide Komensky sangatlah revolusioner dan profetis.

Bertentangan dengan antifamiliarisme pendidikan ala Rousseau, Johann Heinrich Pestalozzi (1746-1827) merupakan sosok lain yang menekankan dimensi real intervensi sebuah pendidikan. Dasar pengalaman edukatifnya adalah praksis. Jika Rousseau lewat Emile nya bisa banyal berteori tentang metode dan sistem pendidikan yang natural dan spontan, tetaplah apa yang direfleksikan Rousseau tidak memiliki basis kokoh dalam kenyataan. Kisah itu hanya ada dalam novel, bahkan cara hidup Rousseau yang menitipkan anak-anaknya di panti asuhan menunjukkan adanya inkonsistensi atas garis pemikirannya tentang pendidikan yang hanya bersifat imajinatif-ideal. Pada kenyataannya ia sendiri gagal mendidik anak-anaknya.

Perbedaan khas Pestalozzi dari Rousseau adalah bahwa Pestalozzi secara faktual benar-benar merupakan pendidik. Ia mendidik anak-anak yang terpinggirkan, mereka adalah mahluk nyata yang berdarah dan berdaging, yang hidupnya jauh dari perhatian masyarakat. Karena itu, baginya pendidikan merupakan fakta yang berasal dari pengalaman, bukan dari sebuah roman ata imajinasi belaka, melainkan inheren dalam kehidupan masyarakat terutama dalam keluarga dan masyarakat sipil. Ia menyentuh pendidikan bagi mereka yang terpinggirkan yang dalam masa Rousseau hal ini tidak pernah mendapatkan perhatian.

Masih banyak pemikir lain yang sungguh menekankan peranan keluarga dalam pendidikan anak, seperti Frobel lewat taman kanak-kanaknya, Hegel dengan trasformasi cinta dalam keluarga yang diobjektivasi lewat anak-anak mereka, Macchiavelli yang menganalisis bahwa perbedaan kualitas tiap keluarga tidak sekedar berasal dari pewarisan keturunan darah melainkan melalui perbedaan cara-cara mendidik anak dalam tiap keluarga, dll.

Pemikiran familiarisme yang pro keluarga dalam kerangka pendidikan tampaknya tidak akan pernah kering sebagai sumber inspirasi bagi para pendidik untuk memetakan dan memperdalam corak relasional sesungguhnya yang terjadi antara keluarga dalam kerangka proses pertumbuhan dan perkembangan anak didik dalam relasinya dengan masyarakat dan negara.

Pengalaman Indonesia

Tampaknya ada kecenderungan dalam dunia pendidikan di Indonesia untuk melihat gejala semakin banyaknya lepas tanggungjawab orang tua dalam kerangka pendidikan anak hanya dalam relasi antar lembaga. Yaitu, keluarga dan sekolah dilihat dalam kerangka kerja sama kelembagaan di mana aspek kewajiban dan tanggungjawab satu sama lain yang lebih ditekankan. Namun, unsur-unsur ini dilihat dilihat dalam kaca mata ekonomis saja.

Keluarga dipandang sebagai lembaga hukum yang dalam kerangka pendidikan berhadapan dengan lembaga sosial lain. Corak analisis relasional yang sekedar melihat dari sisi yuridis kelembagaan membuat tujuan dasar pendidikan terabaikan, sebab meredusir perananan instansi pendidikan (sekolah, keluarga, Negara, lembaga kursus dll) dalam kerangka melulu demi kepentingan ekonomis. Pola pemikiran yuridis seperti ini memiliki dampak yang tidak kecil bagi proses pendidikan.

Salah satu dampak nyata adalah bahwa keluarga dipandang sekedar sebagai tukang bayar bagi pelayanan sekolah. Lepas dari itu, antara sekolah dan rumah tidak ada hubungan lagi. Orang tua bayar biaya pendidikan, sekolah terima uang. Di sini gagasan keluarga sebagai lembaga sosialisasi nilai terabaikan.

Pihak sekolahpun tidak pernah memiliki keinginan untuk melihat dimensi valorial yang bisa disumbangkan keluarga bagi pendidikan anak di sekolah. Lebih parah lagi adalah hilangnya dimensi nilai pembentukan karakter siswa dalam kinerja mereka. Dalam iklim pasar global, pendidikan pun telah dikomersilkan sehingga sekolah dengan pretensi ideal pendidikannya telah berubah menjadi tukang tagih, debt collector yang menodong orang-orang tua kaya yang tak memiliki waktu dan tenaga untuk mendidik anak lewat bisnis pendidikan.

Dua pendekatan, baik pedagogi antifamiliarisme dan familiarisme, telah membuka mata kita betapa pendidikan merupakan sebuah lapangan realitas mahaluas dan kompleks. Mungkin kita bisa setuju dengan salah satu atau dua pendekatan di atas. Namun yang jelas, setiap opsi yang kita pilih mengandaikan asumsi tertentu berkaitan dengan prinsip dasar pendidikan.

Menganalisis secara kritis peranan orang tua dan sekolah dalam kerangka pedagogi pendidikan anak tidak bisa berangkat dari data-data dan praksis pendidikan itu sendiri. Yang semestinya kita mulai adalah menjernihkan pemahaman kita tentang prinsip-prinsip dasar dan tujuan pendidikan itu sendiri, sembari menyadari bahwa setiap keputusan yang kita ambil mau tidak menyertakan asumsi tertentu yang sifatnya parsial sektorial lewat opsi yang kita pilih. Karena itu, memahami pokok persoalann pedagogis dibalik fenomena ‘orang tua ndandakke anaknya ke sekolah’, dengan alasan ‘telah bayar mahal’, merupakan langkah awal yang penting.

Dalam kerangka pengembangan pedagogi pendidikan dalam keluarga, baiklah kita ingat beberapa percikan ide yang bisa kita jadikan bahan refleksi kritis.

Pertama, proses pendidikan yang melibatkan berbagai macam kapasitas dan kemampuan manusiawi yang ada dalam diri anak didik terutama bertujuan untuk mengembangkan kepribadiannya sehingga menjadi pribadi yang bertumbuh secara sempurna.

Pendidikan yang dipahami sebagai proses pertolongan individu dan sosial demi perkembangan pribadi bagi hidupnya sendiri dan bagi orang lain, secara pribadi maupun komuniter, yang memusatkan dirinya terutama pada formasi pribadi agar semakin mampu menumbuhkan unsur kesadaran, solidaritas, kebebasan dan tanggungjawab dalam seluruh proses historis perkembangan dirinya sebagai manusia semestinya diletakkan dalam kerangka formasi yang lebih luas, yaitu, sebuah kegiatan yang secara inheren membawa proses penyempurnaan dari apa yang secara alamiah masih belum sempurna.

Karena itu, yang mesti selalu dikritisi adalah gagasan-gagasan kita sendiri tentang pendidikan, bukan terutama praksis pendidikannya. Jika pendidikan dipahami secara integral dalam kerangka perkembangan pribadi yang berproses menuju ke kesempurnaan dalam relasinya dengan lingkungan material dan non-material, melalui pendampingan individu dan lembaga yang bertujuan untuk mengembangkan unsur keilmuan, pematangan kepribadian dan pembentukan karakter moral dewasa, peningkatan ketrampilan, dll, pendidikan yang integral semestinya memiliki visi humanisme universal. Dalam arti mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan yang bisa menjadi berkat bagi pribadi dan bagi semua orang.

Untuk ini, personalisme Mounier, misalnya bisa menjadi alternatif, di mana pribadi menjadi pangkal dan tujuan setiap proses pendidikan. Pribadi merupakan individu yang tidak dengan mudah ditundukkan keberadaannya pada otoritas negara (statalisme, antifamiliarisme Plato) yang merampok otonominya, atau ditundukkan pada kepentingan keluarga (familiarisme Aristotelian) dalam kerangka kehidupan politik (menganggap anak didik sebagai proyek politik demi stabilitas suatu masyarakat). Personalisme Mounier merupakan sebuah pembelaan diri terhadap desakan individualisme yang merajalela dalam masyarakat. Karena itu, personalisme bisa memberikan alternatif yang baik ditengah gejala statalisme, familiarisme, antifamiliarisme dan individualisme. Dalam kerangka pedagogi pribadi anak didik merupakan individu yang independen yang bukan menjadi milik (properti) Negara atau keluarga, atau sekedar mesin reproduksi kultur sosial.

Kedua, tanggungjawab pendidikan tidak bisa dipahami melalui sudut pandang sektorial, mengingat bahwa corak relasional proses pendidikan melibatkan jalinan-jalinan relasional yang kompleks. Karena itu, setiap instansi pendidikan semesti memahami fungsi dan peranannya. Orang tua tidak bisa mengklaim sebagai satu-satunya agen tunggal dalam pendidikan anak. Juga mereka tidak dapat sekedar bertanggungjawab secara ekonomis, seolah mereka sekedar membeli jasa sekolah demi mereparasi dan membentuk anak-anak mereka. Mau tidak mau, keluarga masih memiliki peran penting dalam proses sosialisasi nilai bagi diri anak sebab bersama keluargalah anak-anak mengenali dimensi valorial bagi hidup mereka.

Di lain pihak, instansi pendidikan lain seperti sekolah tidak dapat berpretensi netral atau acuh tak acuh dalam kinerja edukatifnya dengan memusatkan diri pada dimensi instruksional pengajaran (teaching), sementara lalai pada dimensi pembentukan nilai moral anak didik. Mereka tidak bisa mengatakan bahwa pembentukan karakter anak didik adalah tugas para orang tua, bukan bagian dari bagian eksistensial kinerja mereka. Ekonomisme, prinsi-prinsip dagang dalam dunia pendidikan merusak setiap proses formasio yang hanya melahirkan instabilitas, pendangkalan kultur, dan pemiskinan makna eksistensial manusia dan meredusirnya melulu sebagai homo economicus.

Manusia merupakan mahluk kompleks (homo complexus) yang didalamnya bertemu berbagai macam antinomi. Di satu sisi manusia adalah mahluk bijaksana (homo sapiens), namun di lain pihak juga mahluk yang mengalami defisit akal (homo demens), manusia teknis (homo faber) sekaligus manusia yang suka bermain (homo ludens), manusia yang lekat dengan pengalaman (homo empiricus), sekaligus manusia yang kaya imaginasi (homo imaginarius), dll.

Tampaknya, sistem pendidikan kita seringkali mengajarkan hal-hal yang sifatnya lebih sektorial fragmentaris daripada mengetengahkan situasi hidup yang memang kompleks. Mengutamakan satu sisi bisa malah membuat timpang proses pendidikan itu sendiri. Tidak mengherankan jika Edgar Morin membidik dimensi kompleksitas kenyataan hidup manusia sebagai materi yang mesti diajarkan oleh setiap pendidik di masa depan. Mengajarkan kondisi manusia yang nyata dalam kerangka pendidikan merupakan sebuah tantangan yang tak dapat diabaikan.

Ketiga, menganggap bahwa dengan sekolah semua persoalan sosial bisa diselesaikan merupakan pandangan yang keliru. Benar bahwa tanpa proses pendidikan yang baik masyarakat tidak akan stabil, sebab ada defisit dalam hal akuisisi nilai-nilai non material sebuah kebudayaan. Namun kelirulah menganggap bahwa lembaga pendidikan, seperti sekolah, merupakan tempat ‘ndandakke’ siswa agar menjadi pribadi yang baik. Sekolah bukanlah panasea yang bisa mengobati segala macam penyakit.

Karena itu tepat kritik, Jacques Maritain (1882-1973) yang menganalisis tujuh kekeliruan dasar dalam pendidikan modern dengan mengatakan bahwa salah satu kekeliruan dalam pendidikan modern adalah anggapan bahwa setiap hal dapat dipelajari melalui pengajaran. Sekolah, bukanlah lembaga serba bisa yang bertanggungjawab bagi proses pendidikan seluruh anak didik. Lingkungan di luar dunia pendidikan justru memiliki pengaruh esensial dan memiliki dimensi formatif lebih kuat bagi proses penyempurnaan diri seorang pribadi.

Epilog

Pendidikan merupakan fakta yang kompleks, yang memiliki jalur relasional yang bercabang, antara masyarakat sebagai lembaga politik, keluarga sebagai lembaga sosial dan lembaga hukum, antara sekolah sebagai salah satu pelayan bidang pendidikan, dan kebudayaan sebagai tempat bertemunya pergulatan ideal-real dalam proses menyejarah suatu masyarakat.

Pedagogi akan tetap memberikan pencerahan dan sikap kritis atas berbagai macam praksis pendidikan, dan praksis pendidikan jika direfleksikan akan semakin memperkaya khasanah pemikiran sebuah pedagogi. Sikap kritis, keterbukaan atas kompleksitas kenyataan, penegasan corak relasional antar lembaga, kebijakan praktis relasi antara sekolah dan rumah dalam kerangka pendidikan semestinya diletakkan dalam kerangka idealisme tujuan dasar pendidikan. Tanpa memiliki idealisme bagi tujuan pendidikan kita, setiap praksis pendidikan yang cenderung mencari pemecahan masalah praktis akan menemukan kebuntuan dan gagal mengenyam kemajuan sebab tanpa gambaran yang jelas tentang idealisme pendidikan, kita, meminjam istilah Kartini, masih tetap tinggal dalam kegelapan. Pedagogi yang baik akan menerangi praksis yang baik dan efektif. Dengannya kita bisa merasakan kuatnya impian Kartini yang menginginkan bahwa bangsa ini segera keluarga dari kegelapan menuju terang, agar dapat berjalan dan menuju tujuan pendidikan dengan lebih percaya diri.

Pendidikan Keagamaan