Thursday 3 September 2009

Penilaian Pendidikan

KOMPAS, Kamis, 8 juni 2006
Doni Koesoema, A

Banyak kalangan, seperti orang tua, intelektual, pendidik, anggota parlemen dan masyarakat, mempertanyakan makna Ujian Nasional (UN). Berhadapan dengan disparitas kultur akademis, ketersediaan tenaga guru, sarana, prasarana pendidikan, dll,UN alih-alih memecahkan persoalan peningkatan mutu pendidikan malah menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Karena itu banyak yang mengusulkan agar UN dihapuskan saja.

Namun yang dihadapi oleh dunia pendidikan bukanlah persoalan sekedar ‘nasional’ atau ‘lokal’ semata. Sistem penilaian yang dipraktekkan dalam dunia pendidikan, seperti, ujian, evaluasi, pemeringkatan, pengisian rapor, dll, telah lama dipersoalkan tingkat keabsahan (validity) dan tingkat keandalannya (affidability) sebagai tolok ukur hasil suatu proses pendidikan. Jadi, modus operandi dalam menilai sebuah kinerja pendidikan itu sendirilah yang dipertanyakan.

Docimologi

Berbagai macam ketidakakuratan dan ketidaktepatan dalam menilai suatu hasil pendidikan melahirkan studi khusus yang oleh H. Piéron (1963) disebut docimologi (dari kata Yunani, dokimàzo, menilai, dan logòs, diskursus sistematis dan ilmiah). Docimologi merupakan suatu studi kritis yang mempelajari persoalan seputar tata cara penilaian hasil-hasil suatu intervensi pendidikan.

Tata cara penilaian suatu proses pendidikan biasanya dipengaruhi oleh gambaran manusia macam apa yang menjadi titik pijaknya. Sayangnya, antropologi UN inilah yang biasanya luput dari bahasan para anggota parlemen (politisi) dan birokrat pemerintah ketika menghadapi polemik seputar UN.

Dalam kerangka menilai perkembangan peserta didik, misalnya, semakin disadari bahwa gambaran manusia mekanis yang diredusir pada kemampuan akademis tak mampu menjawab integritas manusia sebagai pribadi yang dikaruniai berbagai macam fasilitas, pikiran, budi, kehendak, emosi, dll. Model quantifikasi hasil pendidikan dalam jumlah nilai dianggap terlalu meredusir makna pendidikan dan gambaran tentang manusia yang melatarbelakanginya.

Karena itulah mulai dikembangkan suatu cara penilaian di mana akuisisi ilmu dipahami bukan dalam artian ‘banyaknya’ jumlah gagasan, pengetahuan yang dapat dipahami dan diterima oleh peserta didik, melainkan sejauh mana pengetahuan itu mengubah sikap, perilaku yang koheren dengan konsep sebuah sekolah yang mendidik. (J.M.Prellezo-L.Calonghi,1997,1159)

Populisme murahan

Penilaian hasil pendidikan dalam lingkup nasional melalui UN dalam batas-batas tertentu masih bisa dipakai sejauh diterapkan dalam kerangka evaluasi dan perbaikan secara struktural, bukan dalam kerangka evaluasi kinerja individu. Karena itu, banyaknya kritik yang muncul berkaitan dengan ‘pemaksaan’ pelaksanaan UN 2006 tidak bisa dijadikan alasan untuk menghapuskan begitu saja UN. Para politisi yang membabibuta meminta UN segera dihapuskan tanpa memberikan alternatif bisa jatuh pada sikap populisme murahan.

Sebaliknya, sikap pemerintah yang ngotot agar UN tetap dijalankan tanpa memberikan pertimbangan yang valid dan sah, tanpa ada tindak lanjut dalam kebijakan pendidikan post-UN, bahkan bersikap tuli atas masukan dari banyak pihak bisa dicap sekedar melakukan politik bagi-bagi uang. Dana 238 milyard untuk UN bukanlah jumlah yang sedikit!

Pendidikan merupakan sebuah intervensi sosial demi tujuan tertentu yang ingin diraih. Setiap keputusan intervensif dalam bidang pendidikan mesti memperhatikan dan melihat dampak-dampak atas intervensi tersebut dalam konteks yang lebih fundamental. Membuat suatu program bagi intervensi pendidikan namun tidak mau mempertimbangkan dampak-dampaknya merupakan perilaku yang tidak bertanggungjawab.

Salah satu dampak UN yang paling eksistensial adalah digantikannya makna pribadi menjadi sekumpulan barang produksi yang dapat distandardisasi.

Hilangnya pribadi

Ujian Nasional yang dipakai sebagai tolok ukur kelulusan siswa merupakan program yang tidak menghargai keunikan pribadi. UN telah meredusir kekayaan pribadi menjadi sekedar barang produksi yang bisa distandardisasi. Dalam UN yang diutamakan adalah hasil akhir, bukan proses. Akibatnya, individu kehilangan nilainya sebagai pribadi yang unik dan tak tergantikan (person). Lewat UN dimensi etis individu tidak diakui lagi. Individu menjadi materi tanpa ikatan sejarah yang bisa dilipat-lipat seperti kardus sehingga menjadi kotak-kotak kosong yang sama.

Selain itu, proses penilaian UN tidak mengacu pada sekumpulan nilai (set of value) melainkan pada efektifitas dan efisiensi, yaitu, sejauh mana seseorang mempergunakan sumber-sumber pengetahuan yang tersedia baginya. Dengan adanya disparitas sumber-sumber pengetahuan yang ada, entah karena keterbatasan dana, sarana, tenaga guru, dll, UN yang berpretensi membuat ‘penyamaan’ telah menjadi alat untuk menyebarkan ketidakadilan.

Karena pribadi itu unik dan tak tergantikan yang dianugerahi dengan banyak bakat, talenta, dan kreatifitas, juga kebebasan dalam mengembangkan dirinya secara penuh, penilaian kelulusan yang semata-mata mendasarkan diri pada standardisasi akademis merupakan pelecehan atas integritas harkat dan martabat mereka.

Kemampuan akademis memang merupakan batu pijakan (corner stone) bagi dunia pendidikan. Namun pertumbuhan karakter adalah fondasi bagi hidup seseorang. Pendidikan semestinya memberikan tolok ukur penilaiannya pada sikap perilaku yang baik (good doing) bukan sekedar mencetak orang-orang sesuai dengan spesifikasi kuantitatif yang dipaksakan.

Menerapkan kriteria ekonomi lewat efisiensi dan efektivitas bagi tolok ukur sebuah proses pendidikan membuat banyak hal yang bernilai dalam diri pribadi hilang, seperti, kesadaran sebagai satu warga (citizenship), ketulusan dan kejujuran (honesty), rasa hormat, persahabatan, penghargaan atas perbedaan, jerih payah, kerja keras, ketekunan, dll.

Pribadi-pribadi dengan kriteria inilah yang sekarang ini sangat kita butuhkan agar masyarakat kita dapat hidup berdampingan dengan damai, tidak gampang berkelahi atau adu otot, melainkan mampu menghargai keanekaragaman dalam kesatuan. Padahal, kebhinekaan yang ika inilah sesungguhnya kekayaan tak ternilai bangsa kita.

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Politik Guru

KOMPAS, Selasa, 23 mei 2006
Oleh Doni Koesoema, A

Pendidikan merupakan sebuah proses politik. Relasi guru dengan pihak lain, entah itu dalam lingkup mikro (di dalam kelas) maupun makro (di luar kelas), merupakan relasi kekuasaan. Di dalamnya guru berjumpa dengan banyak pihak, seperti, kepala sekolah, komite sekolah, dewan guru, karyawan, yayasan, orang tua, lembaga-lembaga non pemerintah, birokrat, politisi, masyarakat, dll. Hubungan antar kelompok ini tidaklah imun dari praktek kekuasaan. Relasi ini terstruktur dan terbentuk melalui sebuah sistem yang menyangga sistem kekuasaan satu sama lain. Dalam kerangka inilah kinerja guru sungguh menjadi sebuah pergulatan politik par exellence.

Ginsburg (1996) mendefinisikan politik sebagai “kontrol atas alat-alat produksi, reproduksi, konsumsi dan akumulasi daya-daya material dan simbolis.” Proses ini tidak terbatas pada arena kekuasaan oleh negara. Dunia pendidikan menjadi contoh ideal proses politik sebab jaringan relasi sosial yang dimilikinya berhubungan langsung dengan kategori sumber-sumber material maupun non-material tersebut. Ketidakadilan atas distribusi sumber-sumber daya ini biasanya ditentukan oleh praksis politik dan corak relasi kekuasaan yang ada.

Marginalisasi guru

Persoalan seputar efektifitas Ujian Nasional, inkonsistensi aturan pemerintah tentang otonomi guru dalam proses pendidikan, perbaikan kurikulum tanpa menyertakan proses pra-formasi yang mempersiapkan secara matang tenaga pendidik, dll, hanyalah salah satu dari banyak corak relasi kekuasaan yang memangkas kinerja dan otonomi guru. Berhadapan dengan perubahan kurikulum, guru tak pernah dijadikan rekan dialog. Kalau toh ada dialog, dialog terjadi hanyalah dari sisi teknis pelaksanaan, bukan dari segi visi antropologi-filosofis yang memberikan semacam visi fundamental pendidikan nasional kita.

Sebaliknya, proses politik yang terjadi di negeri ini adalah justru upaya-upaya untuk meminggirkan guru dari bidang kerjanya. Guru dibuat sedemikian rupa sehingga berada dalam posisi marginal, baik secara sosial, ekonomi, politik, maupun professional. Pemberangusan otonomi guru oleh negara pada gilirannya membatasi kinerja potensial sebagai guru sebagai agen transformasi.

Jika guru mesti berjuang untuk memperoleh kembali kontrol atas bidang kerjanya, usaha ini tidaklah bisa dibuat secara sambil lalu, atau secara spontanitas, seperti misalnya, demonstrasi turun ke jalan seperti pernah terjadi dalam kasus Kampar. Atau berjuang seorang diri seperti ibu Nurlaila yang mesti berhadapan dengan aparat hukum ketika kinerja profesionalnya sebagai guru digusur kekerasan otot petugas tramtib. Guru mesti dapat memadukan tenaga dan terlibat dalam suatu aksi politik yang terencana dan teratur rapi. Namun ini mengandaikan bahwa para guru itu melek dan aktif secara politik. Perilaku dan kemampuan ini tidak bisa terjadi secara kebetulan. Karena itu, pendidikan politik semestinya menjadi bagian dari program pendidikan guru.

Posisi strategis guru sebagai aktor politik dan agen trasformasi dalam dunia pendidikan inilah yang membuat kekuasaan politik ingin selalu ikut campur dalam ‘menjinakkan’ kinerja guru. Guru yang dimahkotai mitos ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ selalu diharapkan memahami kinerjanya yang mengatasi kepentingan politik. Karena itu, salah satu otonomi dan kinerja guru ini perlu dipotong agar para guru tetap berada dalam situasi apolitik.

Guru sesungguhnya bisa kembali merenggut kinerja politiknya yang dirampok oleh negara, entah dalam lingkup mikro maupun makro.

Mikro dan makro

Dalam lingkup mikro (relasi kekuasaan guru-murid dalam kelas) para guru bisa memulai dengan mengembangkan suasana dialogis dan demokratis. Perlu dipraktekkan suatu cara pengajaran yang di satu sisi mampu membawa siswa pada tujuan pengajaran, di lain sisi membuat siswa menemukan makna dan kegembiraan dalam belajar. Kelas semestinya menjadi sebuah ruang di mana proses belajar memperkaya siswa akan nilai-nilai hidup, menghargai perbedaan dan sekaligus cinta pada kegiatan belajar itu sendiri. (Brophy, 1983,1988). Guru juga bisa menerapkan cara pengajaran yang berwibawa lewat ketegasan prinsip dan transparansi sistem perilaku. Para siswa umumnya mengharapkan bahwa guru menjadi figur kekuasaan yang mampu menciptakan situasi stabil dengan tata perilaku yang standard. (Brantilinger, 1993, Mets, 1978).

Dalam lingkup makro (relasi kekuasaan guru dengan sistem kekuasaan lain), yang paling mendesak adalah masuknya kurikulum tentang kesadaran politik dalam kerangka proses formasi tenaga guru. Guru dengan demikian tidak sekedar dipersiapkan melalui kemampuan teknis-praktis tata cara pengajaran dalam menjalankan kurikulum, melainkan juga mampu secara kreatif dan kritis menyadari dan menumbuhkan dimensi politis atas kinerjanya.

Dalam level nasional, independensi organisasi guru semestinya dipertahankan agar kekuasaan negara tidak dengan mudah ikut campur. Independensi ini tak akan dapat terjadi jika rasa solidaritas satu sama lain masih lemah. Kasus Kampar, misalnya, hanya menimbulkan geliat di Kampar saja. Kasus Ibu guru Nurlaila hanya bergema di Jakarta, padahal kasus serupa banyak terjadi di tempat lain. Soliditas dan solidaritas guru adalah bagian dari proses pertumbuhan kesadaran politik guru itu sendiri.

Pendidikan memang merupakan proses politik, dan guru sesungguhnya aktor utama dari proses politik ini. Sebagai aktor politik, guru mampu mentransformasi situasi masyarakat menjadi sebuah dunia yang lebih baik.

Mati hidupnya dunia pendidikan memang tidak tergantung semata-mata pada kinerja politik guru, namun kesadaran politik guru atas kinerjanya adalah kondisi yang dibutuhkan agar proses trasformasi dalam masyarakat berjalan secara efektif. Guru memang ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ yang kinerjanya mengatasi sekat-sekat politik, namun mitos ini menjadi tiada guna ketika dengannya pelan-pelan otonomi dan kebebasan guru dikebiri. Karena itu, para guru lebih baik segera menyadari diri sebagai aktor politik daripada sekedar menjadi pahlawan tanpa tanda jasa yang dengannya membuat mereka lena atas kinerja politiknya.

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Cendekia, Politisi dan Krisis Identitas

KOMPAS, 01 November 2005
Oleh. Doni Koesoema, A

Masalah BBM, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (menkominfo), Sofyan A Djalil, bukanlah masalah pemerintah SBY-JK, tetapi masalah bangsa (Kompas, 12/10/2005). Ia mengkritik keras wacana Effendi Gazali lewat tulisannya Bersama Kita Bisa (Menderita) sebagai sebuah insinuasi atas kebijakan pemerintah yang seakan-akan menzalimi rakyatnya. Karena itu, mengutip menkominfo, ‘we have to choose the lesser of two evils”. Dan ia mengharapkan agar ‘ilmuwan bersikap fair dan broad minded’.

Memang benar bahwa para politisi dan cendekia semestinya bersatu dan bahu-membahu dalam mengatasi persoalan bangsa. Namun mengatakan bahwa masalah BBM bukanlah masalah pemerintah SBY-JK, malahan menunjuk suatu entitas absurd yang disebut dengan ‘masalah bangsa’ bisa dituduh sebagai sebuah eskapisme politis.

Masalah bangsa menjadi makin parah ketika para politisi ternyata juga merupakan bagian dari kelompok elite yang disebut cendekia. Intelektualisme politisi merupakan ancaman besar bagi sebuah masyarakat yang menghargai nilai-nilai demokrasi. Terlebih kalau pragmatisme politik-ekonomi lantas menjadi satu-satunya acuan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Pendidikan kontemporer, menurut Jacques Maritain ((1882-1973), karena bersifat parsial dan mendewakan spesialisasi, memiliki kelemahan dalam membangun fondasi kokoh sebuah masyarakat demokrasi. Dalam bukunya, Pendidikan berada di simpang jalan (1943), ia menengarai kesalahan-kesalahan dalam pendidikan kontemporer yang mengakibatkan hilangnya rasa integralitas seorang pribadi. Dua diantaranya adalah pragmatisme dan intelektualisme.


Pragmatisme intelektual


Kritik Maritain atas pragmatisme intelektual tidak mengacu pada perilaku partisipasipatif atas kehidupan sosial, sebuah aspek yang oleh para filsuf dianggap sebagai hal-hal yang fundamental dan positif bagi hidup sosial setiap manusia, melainkan menukik langsung pada prinsip yang mendasarinya, yaitu, bahwa kegiatan berpikir terjadi karena ada persoalan yang muncul dalam kehidupan praktis yang harus dihadapi dan harus segera dipecahkan.

“Adalah sebuah penghinaan mendefinisikan pemikiran manusia sebagai sebuah organ untuk menjawab berbagai macam rangsangan atas situasi lingkungan nyata. Terminologi seperti ini hanya tepat untuk menggambarkan pengetahuan dan reaksi binatang, sehingga berpikir secara persis dengan definisi seperti ini mengukuhkan cara berpikir khas untuk binatang tanpa rasio,” tulis Maritain.

Manusia mempergunakan daya penalarannya bukan sekedar sebagai jawaban atas rangsangan dari luar, melainkan tertuju pada suatu nilai, yaitu, kebenaran. Kebenaran inilah yang perlu diverifikasi, baik secara rasional maupun lewat pengalaman, bukan melalui kegunaan praktisnya semata. Hidup itu sendiri memiliki tujuan yang membuat hidup itu sendiri semakin layak dihayati. Pragmatisme mengaburkan kebenaran yang mesti menjadi acuan setiap ilmuwan. Pragmatisme intelektual semakin efektif menggoyahkan sendi-sendi demokrasi ketika dibarengi dengan intelektualisme politisi.

Intelektualisme politisi

Intelektualisme, lanjut Maritain, merupakan konsekuensi logis pola pikir yang mendewakan fungsi praktis dan sosial pengetahuan manusia. Kegiatan intelektual manusia tidak dilihat sebagai sebuah pejiarahan luas untuk mencari kebenaran, melainkan diredusir pada pengetahuan yang semakin lama semakin khusus dan terspesialisasi. Intelektualisme modern termanifestasi dalam pemahaman bahwa kesempurnaan pendidikan tercapai ketika anak didik memiliki spesialisasi akademis dan kemampuan teknis.


Kelemahan dasar model berpikir spesialisasi ini adalah mencetak manusia sempurna yang kenal betul akan tugas-tugas khususnya namun tidak memiliki kemampuan dan kepekaan dalam menilai sesuatu yang berada diluar bidang spesialisasinya.

“Kultus spesialisasi memiskinkan manusia dan melukai martabatnya,” kritik Maritain.

Dalam kerangka politik, pemiskinan manusia ini merupakan hal yang fatal bagi pembentukan masyarakat sosial yang demokratis. Masyarakat yang demokratis membutuhkan cendekia yang terbuka, luas horisonnya, bukan sebuah jiwa yang tertutup pada spesialisasinya saja.

Dihitung secara matematis dan ekonomis, menaikkan harga BBM memang sebuah keputusan yang secara rasional gamblang paling menguntungkan dan praktis. Menghapus subsidi BBM dan menaikkan harga BBM akan menjaga keberlangsungan APBN yang sehat dan menjamin nilai rupiah, mengurangi penyelundupan dan pengoplosan BBM, dll. Dana kompensasi langsung BBM bagi orang miskin mungkin memang diperlukan. Namun untuk apa keberlangsungan APBN jika uang negara masih dengan mudah dijarah sehingga proyek padat karya dan perbaikan infrastruktur yang dianggarkan tetap menjadi ladang empuk korupsi? Untuk apa dana kompensasi kalau hanya menjadi kesempatan bagi mereka yang berkuasa untuk memanipulasi data dan menjarah kembali uang negara?

Yang dibutuhkan rakyat adalah keadilan, di mana para penyelundup BBM yang merugikan negara dihukum; transparansi keuangan, di mana para manipulator dana compensasi diproses di pengadilan. Yang diminta dari rakyat adalah jaminan sosial secara terstruktur dan legal bagi mereka yang kurang beruntung (bukan sekedar aksidental dengan memberi kartu keluarga miskin!).

Kebijakan kenaikan harga BBM mengindikasikan bahwa aristokrasi ekonomi di Indonesia telah sampai pada tahap yang membahayakan sendi-sendi demokrasi dan keadilan sosial.

Intelektualisme politisi seperti ini membawa kehidupan politik di ambang kehancuran, sebab kehidupan politik yang semestinya menjadi kinerja bersama seluruh warga, di mana masyarakat sipil mengemban peran sebagai pengawal kebijakan publik, akhirnya hanya dipegang oleh sekelompok kecil politisi spesialis.
Kelompok kecil teknokrat politik-ekonomi yang menentukan hidup mati semua orang.

Krisis solidaritas

Pragmatisme intelektual ditambah dengan fenomena intelektualisme politisi akan menghasilkan krisis solidaritas. Krisis solidaritas menggerogoti tatanan kehidupan sosial masyarakat. Krisis solidaritas terjadi karena warga semakin menyadari bahwa para politisi alih-alih memiliki sense of crisis, malah jatuh pada eskapisme politis. Kompleksitas masalah BBM yang dipicu oleh kebijakan politik ekonomi pemerintah digeneralisir sebagai masalah bangsa, bukan karena kekeliruan analisis pemerintah dalam mengatur negara. Eskapisme politis menyepelekan efektifitas struktur kekuasaan politik dalam menentukan kebijakan publiknya.

Cuci tangan atas keputusan politik yang diambil bukanlah perilaku terpuji seorang demokrat. Para politisi (baca, pemerintah, pembuat hukum, dan pegawai pengadilan) dalam sebuah masyarakat demokratis bekerja pertama-tama untuk melayani melayani republik (baca=hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, di sini termasuk BBM). Sebab, dari kodrat kekuasaan yang dimilikinya, setiap keputusan politik yang mereka ambil akan memiliki dampak nyata bagi setiap warga negara.

Masalah BBM mungkin memang merupakan masalah bangsa. Namun keputusan menaikkan harga BBM yang berimbas pada meroketnya harga-harga, sulitnya mendapat pasokan gas, dll, merupakan tetap menjadi tanggungjawab politik pemerintahan SBY-JK.

Masyarakat akan tetap berpikir bahwa kebijakan pemerintah telah menzalimi dan melukai martabat warganya, jika dengan keputusan politiknya, pemerintahan SBY-JK tidak dapat mempertanggungjawabkan transparansi keuangan dan kelancaran penyaluran dana kompensasi bagi rakyat miskin, menjamin stabilitas kehidupan sosial ekonomi di dalam masyarakat serta perbaikan berbagai macam infrastruktur yang dijanjikan setelah mengambil keputusan politiknya, yang menurut Sofyan A DJalil. “we have to choose the lesser of two evils”.

Mungkin sekaranglah saat yang tepat mengatakan pada pemerintah bahwa sebagai warga kita juga berhak mengatakan, “‘we have to choose the lesser of two evils”. Apakah pemerintah memang mau lari dari tanggungjawab politik, atau rakyat harus terus mendendangkan tembang duka dengan judul Bersama Kita Bisa (Menderita).

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Kemartiran sebagai Pedagogi Rohani

KOMPAS, 10 Oktober 2005
Oleh Doni Koesoema, A

Terorisme di Indonesia pada kenyataannya bukan merupakan karakter bangsa Indonesia melainkan lebih merupakan konflik politik dan ekonomi yang mempergunakan agama dan memanfaatkan orang-orang beriman. Analisis K.H. Hasyim Muzadi dalam seminar Islam in a pluralistic Society, yang diadakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Tahta Suci Vatikan (KBRI-TSV) di auditorium Yohanes Paulus II, Universitas Kepausan Urbaniana, Roma,(30/9), mengingatkan kita betapa kecerobohan dalam menggeneralisir akar permasalahan terorisme bisa berakibat fatal dalam kerangka membangun dialog persaudaraan antar umat beriman, terlebih lagi dalam menakar kesejatian pengalaman iman.

K.H.Hasyim Muzadi juga menegaskan bahwa persentase kelompok teroris dibandingkan dengan umat beriman yang memiliki kehendak baik untuk membangun persaudaraan sejati sangatlah kecil. Demikian juga Rm. Thomas Michel sebagai anggota dewan penasehat kepausan untuk urusan dialog antar agama, misalnya, memaparkan bahwa sejak reformasi 1998 telah hadir sekitar 465 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), baik lokal maupun internasional yang bekerja dalam membangun perdamaian di daerah konflik (peacebuilding Ngo’s) yang memiliki ciri lintas agama.

Karena itu, konflik yang menciptakan teror yang bermula dari sikap salah interpretasi, baik atas ajaran agama maupun simbol agama, merupakan bagian yang kecil saja yang kadang tidak selalu menghadirkan teror. Namun yang signifikan, ujar K.H. Hasyim Muzadi, adalah ketika salah tafsir dan penyalahgunaan agama dan simbol agama ini berbenturan dengan kepentingan politik, ketidakadilan, rendahnya mutu pendidikan, kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi.

Selama para politisi masih berkelahi untuk mempertahankan kekuasaannya, alih-alih mempergunakan kewenangan untuk melayani rakyat, selama keadilan tak dapat ditemukan di pengadilan, selama dunia pendidikan ditelantarkan, negeri kita akan menjadi sekam membara yang mudah disulut kelompok teroris untuk menghanguskan keberadaban negeri ini.

Bom bunuh diri jilid II di Bali mengingatkan kita betapa ternyata pedagogi rohani yang keliru dalam memaknai kemartiran bisa berakibat fatal bagi keberlangsungan hidup manusia. Dalam sebuah negara yang sistem keamanannya masih kedodoran seperti di negeri kita, di mana di setiap tempat para teroris bisa berpesta pora dan melakukan aksinya tanpa perlu melukai diri sendiri, di mana kaum teroris dengan mudah melancarkan aksinya tanpa halangan ketatnya penjagaan petugas keamanan, bom bunuh diri di Bali hanya menyiratkan satu pesan : keyakinan iman akan kemartiran itu telah ada pada level personal yang tak bisa dibendung oleh satu instansi manapun! Membunuh semakin banyak orang seolah sebuah keyakinan integral akan keselamatan. Seolah ingin mengatakan bahwa baik pengebom maupun korban adalah jiwa-jiwa yang mati syahid, sehingga layak langsung menerima mahkota surgawi. Betapa ironisnya pedagogi kerohanian seperti ini.

Pedagogi rohani

Pedagogi macam apa yang bisa diwariskan dan ditanamkan pada anak didik kita dalam situasi seperti ini?

Dalam masyarakat yang mengakui keesaan Tuhan sebagai sang sumber hidup, anak didik semestinya belajar memahami bahwa kemartiran sesungguhnya merupakan ekpresi terdalam sebuah keyakinan iman yang fondasi utamanya adalah penghargaan atas hidup itu sendiri. Kemartiran sejati bukanlah bom bunuh diri yang mengajak orang lain mati suci, seolah diri adalah Tuhan, sang penentu hidup mati orang lain. Kemartiran sejati adalah kesediaan untuk memberikan diri secara total bagi berlangsungnya kehidupan orang lain secara pribadi maupun sebagai sebuah masyarakat.

Kemartiran Riyanto, pemuda NU yang menyelamatkan umat kristen yang sedang beribadah, kemartiran Romo Dewanto yang melindungi jemaat di Gereja Suai, Timor-Timur, kemartiran Munir sang pembela orang-orang hilang, dll, merupakan contoh kemartiran lokal yang sesungguhnya menjadi saksi bahwa kemartiran otentik seperti ini dapat terwujud di negeri kita dan bukanlah impian semata. Teladan kemartiran seperti ini bukanlah sebuah ide di atas awang-awang yang tidak memiliki relevansi dan dampak berhadapan dengan berbagai macam krisis multi dimensi yang dihadapi oleh bangsa kita.

Bagi sebuah masyarakat yang semakin beradap, memupuk sebuah keyakinan dalam diri setiap anak didik bahwa nilai-nilai luhur religiusitas, seperti pengorbanan diri, jerih payah dan pelayanan total demi kepentingan orang banyak, kejujuran, belaskasih, pengampunan, merupakan bagian dari keluhuran nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya masih ada, masih relevan, dan masih dapat diraih dalam menciptakan sebuah masyarakat yang semakin menghargai kemartabatan setiap orang sebagai sesama ciptaan Tuhan.

Pembela kehidupan

Tepatlah, jika K.H. Hasyim Muzadi mengatakan bahwa terorisme bukanlah karakter bangsa kita. Jika terorisme akhir-akhir ini mencoreng muka kita sehingga kita menjadi bangsa yang tidak memiliki kepribadian, atau malahan dicap sebagai bangsa yang menyemai teroris, mungkin baik jika kita kembali bercermin pada para pahlawan kemanusiaan, para martir kita seperti Riyanto, Romo Dewanto, Munir, dan masih banyak lagi yang menjalani kemartiran tersembunyi yang tak perlu secara gegap gempita dirayakan sebab hidup manusia itu sendiri akan menjadi saksi paling jujur atas kesahihan kemartiran seseorang.

Teladan para pembela hidup dan kemartabatan manusia ini semestinya menjadi pedagogi rohani bagi setiap orang dalam memurnikan keaslian pengalaman imannya dalam masyarakat yang mengakui keesaan Tuhan, di mana keadilan dan keberadaban manusia merupakan jaminan nyata dan bukti dihargainya keluhuran hidup manusia itu sendiri di hadapan Tuhan dan sesama. Semoga!

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Gereja dan Demokrasi

Kompas, Selasa, 15 April 2005
Doni Koesoema A

“Gereja, lembaga karismatis per eccellenza, mengadopsi metode yang lebih demokratis untuk memilih pemimpinnya.” Demikian salah satu komentar yang dikutip dari harian Avenire (17/4) untuk memaparkan salah satu fakta paling menonjol dalam konklaf pertama di millenium ketiga.

Masuknya ide-ide demokratis yang ditetapkan secara transparan melalui Konstitusi Apostolis Universi Dominici Gregis (UDG) (22 februari 1996) ini tak lepas dari sentuhan tangan almarhum Paus Yohanes Paulus II yang telah memperbaharui proses dan prosedur pemilihan penggantinya secara jelas.

Pada artikel no.62, almarhum Yohanes Paulus II menghapus cara pemilihan secara aklamasi atau berdasarkan inspirasi (per acclamationem seu inspirationem) atau proses pemilihan berdasarkan kompromi (per compromissum). Ia menegaskan bahwa “Proses pemilihan Paus sekarang ini dan kemudian hari akan ditentukan secara unik melalui pemungutan suara (per scrutinium)” di mana keabsahan pemilihan Paus akan ditentukan melalui terpenuhinya dua pertiga suara berdasarkan jumlah (kardinal) pemilih yang hadir.

Memperoleh 2/3 suara dari 115 kardinal tanpa melalui saat-saat kampanye tentu pekerjaan yang tidak mudah. Terlebih dengan adanya kebijakan isolasi total para kardinal selama konklaf sehingga mereka tidak memiliki satu kontakpun dengan dunia luar, baik melalui koran, televisi, radio, dan alat komunikasi lainnya sampai mereka memilih penerus tahta Santo Petrus yang ke 265.

Di tengah terabasan simoni (politik uang), di tengah hamburan janji palsu yang kerap keluar dari mulut para kandidat politik menjelang pemilihan, Gereja Katolik, menawarkan kepada dunia suatu alternatif demokrasi melalui struktur dan sistem kelembagaan yang dimilikinya selama hampir 20 abad yang terbukti bisa proaktif dan sigap dalam menyesuaikan derap dan arus jaman.

Pemilihan pemimpin yang demokratis tidak lagi ditentukan bukan melalui aklamasi sehingga siapa yang bersuara keras mampu menggiring suara mayoritas. Juga tidak melalui intuisi di mana model ‘kira-kira’ atau ‘senang tidak senang’ menjadi bahan pertimbangan. Bukan pula berdasarkan kompromi atau bagi-bagi kue kekuasaan. Demokrasi model inilah yang ingin disingkirkan Almarhum Paus Yohanes Paulus II dalam proses pemilihan penggantinya.

Demokrasi yang ada dalam benak Yohanes Paulus II merupakan penggabungan antara pilihan rasional real seluruh pemilih dan pilihan spiritual personal berdasarkan intuisi hati serta kesadaran nurani bening. Hanya dengan cara seperti inilah proses demokrasi selama konklaf mampu memilih pemimpin yang berjiwa melayani, tanggap akan situasi jaman, kokoh di tengah badai persoalan di setiap jaman.

Strategi vatikan

Untuk menghasilkan output pemimpin ideal Vatikan memiliki strategi demokrasi yang agak khas. Strategi ini merupakan proses-proses dan tata cara yang menghantar setiap kandidat berada dalam situasi fisik, batin dan rohani yang dewasa dalam melakukan pemilihan.

Strategi itu antara lain. Pertama, kegiatan selama masa berkabung. Pada masa ini para kandidat memiliki kesempatan untuk secara bersama-sama mendiskusikan situasi aktual Gereja serta tantangannya pada masa kini, tanpa satupun mengacu pada nama-nama. Ini sekaligus untuk memperkuat sensibilitas kegembalaan universal yang mesti disandang dengan wafatnya Paus sebelumnya.

Kedua, kerahasiaan dalam seluruh proses. Setiap pihak yang terlibat dalam proses konklaf, entah secara langsung maupun tidak langsung dituntut untuk mengucapkan janji dan sumpah untuk tidak membocorkan berbagai macam informasi yang diterima sebelum maupun selama proses konklaf berlangsung.

Ketiga, setiap tindakan pembocoran atas rahasia, penyadapan, usaha suap, dikenakan hukuman ekskomunikasi secara otomatis (latae sententiae) di mana hukuman atau pelepasan atasnya hanya dapat diberikan oleh Paus yang akan terpilih.

Keempat, iklim spiritual yang mendukung berupa perayaan ritus peribadatan selama konklaf. Iklim spiritual sudah dimulai pada hari pertama masa berkabung yang diawali dengan perayaan ekaristi pemakaman Paus. Selam konklaf juga disediakan Imam yang menerima pengakuan dari para kardinal yang akan memilih Paus.

Kelima, kebijakan extra omnes. Pada hari pertama kardinal memasuki Kapel Sistina untuk memulai proses pemilihan, diserukan agar semua hal lain yang tidak ada kepentingan dengan proses konklaf ditinggalkan, termasuk pamrih, kepentingan, dan agenda pribadi. Extra omnes ini ditandai dengan isolasi total komunikasi antara cardinal pemilih dengan dunia luar.

Karena itu, selama proses pemilihan para kardinal tidak diperkenankan berhubungan dengan dunia luar, selain berkanjang dalam doa untuk memilih Paus yang dikehendaki Allah bagi penggembalaan Gereja Universal. Tidak ada kontak telpon, koran, radio, televisi, dan bahkan tempat sekitar kapel Sistina telah diblokir sehingga telpon genggam tidak berfungsi.

Strategi inilah yang membuat proses demokratisasi pemilihan Paus menjadi begitu istimewa. Karena itu, model pemilihan pemimpin seperti ini bisa dijadikan alternatif model pemilihan secara demokrasi. Sebuah proses demokrasi yang tidak sekedar mempersyaratkan kejernihan moral para calon pemimpin, lebih dari itu, keyakinan iman bahwa panggilan menjadi pemimpin tak lain adalah sebuah pelayanan bagi kemanusiaan yang dipercayakan Tuhan kepadanya.

Fenomena dan praksis demokrasi seperti ini bukan sekedar menjadi bukti bahwa Gereja merupakan sebuah lembaga kharismatis per eccellenza yang tidak sekedar latah dalam memaknai praksis demokrasi, melainkan sebuah komunitas yang para petingginya peka dalam membaca tanda-tanda jaman, yang di lubuk hati dan jiwanya selalu bergema seruan bahwa kekuasaan itu bukan untuk kesewenangan, melainkan demi kemaslahatan kemanusiaan.

Doni Koesoema, A penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

Paus, Lembaga Kepausan dan Dunia

KOMPAS, 05 April 2005
Oleh Doni Koesoema, A

Dunia berduka, dunia merasakan kehilangan sosok besar Carol Wojtyla ketika Pengganti Sekertaris Negara Uskup Agung Leonardo Sandri mengumumkan kematiannya di hadapan ribuan umat yang berjejal di pelataran Basilika Vatikan sejak hari jumat. Harus diakui bahwa fenomena Vatikan terpusat hanya pada satu pribadi, yaitu, Paus Yohanes Paulus II.

Dalam relasinya dengan negara-negara lain, kedudukan Paus bisa dikatakan setaraf dengan Presiden. Namun dalam kedudukannya sebagai pemimpin rohani umat katolik sedunia, kedudukan Paus adalah Uskup Gereja Roma, Kepala Dewan para Uskup, Wakil Kristus dan Gembala Gereja universal di dunia.

Struktur kekuasaan dan kewenangan yang begitu unik dan berpusat pada Paus menciptakan suatu sistem kelembagaan yang istimewa dalam kerangka hubungan antar bangsa, antara Gereja universal dan Gereja lokal, antara sosok pribadi Paus dalam relasi personalnya dengan setiap orang yang dijumpainya.

Karena itu ada tiga hal yang bisa dibedakan, namun tak dapat dipisahkan berkaitan dengan kedudukan istimewa Paus. Pertama, Paus sebagai Uskup Gereja Roma yang mewarisi secara tetap tugas yang secara istimewa diberikan kepada Petrus (Uskup Roma Pertama) memiliki kedudukan dan kewenangan yang tidak berbeda dengan kedudukan seluruh Uskup Gereja Katolik di dunia.

Kedua, sebagai penerus tahta Santo Petrus, Paus merupakan yang pertama di antara para rasul (primi inter pares) dan bertindak sebagai Kepala Dewan para Uskup sedunia. Paus Paulus VI, misalnya, menyebut hubungan istimewa antara antara Uskup Roma dengan para Uskup dengan istilah kesatuan ikatan hirarki (hierarchicae communionis vincula). Kesatuan dengan hirarki inilah yang melahirkan jabatan keuskupan di mana Katedral Santo Petrus merupakan pusat dan prinsip kesatuan iman dalam kesatuannya dengan Gereja untuk mengaktualisasikan dan menunjukkan dimensi universalitas Gereja.

Ketiga, relasi langsung Paus dengan seluruh umat kristiani di dunia, baik yang terstruktur maupun tidak terstruktur. Anggota tarekat hidup bakti yang membaktikan dirinya secara khusus untuk pelayanan terhadap Allah dan seluruh Gereja, misalnya, mereka wajib taat kepada Paus sebagai pemimpin tertinggi mereka.

Seputar suksesi

Kedudukan khas Paus membangkitkan banyak pertanyaan seputar suksesi kepausan. Bagaimana proses pemilihannya? Apakah Paus bisa mengundurkan diri dari jabatannya? Siapa kira-kira kardinal papabilis pasca Yohanes Paulus II? Mungkin tidak ada satu proses suksesi kekuasaan di dunia ini yang diliputi banyak teka-teki selain proses pemilihan seorang Paus.

Kabut misteri yang menyelimuti proses suksesi kepausan mungkin bisa dijelaskan dengan dua alasan. Pertama, jumlah kandidat yang papabilis begitu banyak dan secara tipologis tersebar dari seluruh penjuru dunia. Kedua, struktur hirarkis Gereja Katolik Roma menempatkan Paus sebagai pemimpin tertinggi dengan otonomi struktural dan personal secara penuh.

Dalam dalam Konstitusi Apostolis Universi Apostolis Gregi (22 februari 1996) yang membahas situasi sede vacante dan proses pemilihan Paus, hanya para Kardinal Gereja Romawi Kudus yang memiliki hak penuh untuk memilih. Dari 183 kardinal yang ada, satu masih in pectore(terpilih namun masih dirahasiakan), ada 118 kardinal yang papabilis.

Secara teoritis, Paus terpilih tidak harus selalu berasal dari kalangan Kardinal yang telah menerima tahbisan Uskup. Sejarah Gereja membuktikan bahwa seorang diakon pun dapat dipilih menjadi Paus. Proses pemilihan Paus Gregorius Agung, Gregorius VII, Innosensius III, dll, hanyalah salah satu bukti sejarah di mana tidak perlu seseorang pertama-tama telah menerima tahbisan uskup untuk dapat dipilih menjadi Paus. Karena itu, seorang diakon, imam, Uskup, atau Kardinal memiliki kemungkinan untuk terpilih menjadi Paus. Luasnya rentang kemungkinan inilah yang sering membuat para wartawan keliru dalam menebak hasil konklav.

Hal lain adalah bahwa Uskup Roma tidaklah selalu harus berasal dari keuskupan Roma. Paus Yohanes Paulus II, misalnya, beliau merupakan Paus pertama non-italia yang terpilih semenjak Paus Adrianus VI(1522-1523).

Tidak otomatis

Nama Paus yang terpilih dalam sebuah konklav tidak otomatis menjadi Paus jika Paus terpilih menolaknya. Syarat sahnya jabatan seorang Paus adalah pemilihan sah dan penerimaan jabatan dari pihak yang terpilih. Begitu terpilih dan menyatakan diri menerima pilihan itu, saat itu jugalah berfungsi secara efektif kewenangan yurudis yang dimilikinya. Karena itu, meskipun Paus terpilih belum memiliki meterai tahbisan Uskup, seandainya proses pemilihan itu dilakukan secara sah dan ia menerimanya, pada saat itu juga setiap pernyataannya berkaitan dengan tata aturan hukum yang diproklamasikannya berlaku secara efektif. Kewenangan yurudis berfungsi secara otomatis begitu Paus terpilih menyatakan menerima proses pemilihannya.

Saat ini Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 mempersyaratkan bahwa jika Paus terpilih belum menerima meterai tahbisan Uskup hendaknya ia segera ditahbiskan menjadi Uskup (KHK 332, §1).

Paus memiliki kuasa jabatan tertinggi, penuh, langsung dan universal dalam reksa penggembalaannya pada Gereja Universal. Kekuasaannya tidak ada di bawah subordinasi Kolegio para Kardinal. Namun dalam menjalankan tugas penggembalaannya ia selalu terikat dalam persekutuan dengan para Uskup lain, bahkan dengan seluruh Gereja: tetapi ia mempunyai hak untuk menentukan cara, baik personal maupun kolegial, pelaksanaan jabatan itu, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan Gereja (KHK 333 §2).

Karena itu, apabila Paus mengundurkan diri dari jabatannya, untuk sahnya hanya dituntut agar pengunduran diri itu terjadi dengan bebas dan dinyatakan semestinya, tetapi tidak dituntut bahwa harus diterima oleh siapapun.

Paus Global

Kedudukan Paus yang sangat istimewa sesungguhnya mencerminkan struktur hirarki Gereja dan corak pelayanan asali yang telah mereka terima sejak pendiriannya. Kolegialitas antar Uskup Roma denga para Uskup sedunia, kesatuan dengan para imam, bahkan dengan umat Allah secara pribadi, kehadiran diplomat kepausan yang ada di hampir setiap negara, luasnya jalur-jalur diplomatik di tingkat internasional, merupakan tanda kehidupan Gereja untuk berdialog dengan dunia. Dalam hal ini Yohanes Paulus II bukanlah sekedar pemimpin rohani yang karismatis, tapi juga seorang pribadi yang merengkuh semua, tua, muda, besar, kecil.

Dalam perjalan sejarah Gereja kita banyak menemukan Paus yang begitu termasyur dan terkenal, namun Yohanes Paulus II adalah satu-satunya Paus Global yang kehadirannya dan pesannya menjangkau telinga, mata dan hati seluruh dunia. Kehadiran dan setiap kegiatannya menjangkau batas-batas yang tak pernah dimiliki oleh para Paus sebelumnya.

Dia adalah seorang pastor Universal yang ajaran-ajarannya bisa disimpulkan dengan satu kata, penghargaan terhadap nilai hidup manusia beserta seluruh dimensinya yang terentang sejak masih dalam kandungan hingga sampai akhir hidup.

Keberadaan dirinya sebagai aktor sejarah, dan pesan-pesan Injili yang disampaikannya selama 26 tahun masa pemerintahan kepausannya telah mewarnai lembaran sejarah dunia abad millennium ini.

Terlepas dari kebesarannya, Carol Wojtyla adalah juga sosok manusia biasa yang rapuh, lemah, fana, sakit, seperti kita semua. Dengan kelemahan dan ketidakberdayaan yang dialaminya Carol Wojtyla membuktikan keliru anggapan banyak orang tentang ketidakmampuannya dalam memerintah dan menggembalakan Gereja. Bergulat dengan kerapuhan dan sakitnya ia tidak kehilangan kemampuan untuk menjalankan tugas kegembalaannya bagi perawatan jiwa-jiwa umat yang dipercayakan kepadanya.

“Bahkan Yesus pun tidak turun diri dari salib!” Begitulah Yohanes Paulus II selalu menjawab pertanyaan wartawan tentang kemungkinan pengunduran dirinya pada saat kondisi kesehatannya mulai menurun.

Paus Yohanes Paulus II tetaplah gembala umat hingga akhir hayatnya. Pergulatannya dengan maut dan penderitaan meruakan saat-saat terakhir di mana Paus sebagai gembala jiwa seluruh umat menunjukkan dirinya sebagai guru iman dan guru kemanusiaan. Kini ia menyampaikan ajarannya bukan lagi dengan surat-surat gembala apostolik, bukan melalui proklamasi ensiklik, melainkan melalui ketabahan dan kesediaannya mengalami derita dari kamar pribadinya yang pengaruhnya bisa dirasakan dan disaksikan oleh milyaran orang seluruh dunia.

Penderitaannya mewartakan satu pesan kemanusiaan : hidup manusia berharga apapun keadaannya. Dan ia telah menunjukkan pada dunia lewat teladan hidupnya.

Selamat Jalan Carol Wojtyla.

Doni Koesoema, A penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana Roma

Demokrasi dan Peran Cendekia

KOMPAS, KAMIS, 17 Maret 2006
Oleh Doni Koesoema, A

Kalangan cendekiawan merupakan kelompok sosial otonom dan independen, atau setiap kelompok sosial sesungguhnya memiliki kalangan cerdik pandai yang khas bagi mereka? Pertanyaan awal yang diajukan oleh Antonio Gramsci (1891-1937) dalam Catatan dari Penjara (Quaderni del Carcere, 12) relevan untuk kita simak ketika momentum kenaikan BBM ternyata membawa polemik tentang status dan kedudukan cendekiawan dalam masyarakat demokratis yang selama ini jarang mendapat perhatian kita.

Peranan utama kalangan cendekiawan tradisional dalam masyarakat, lanjut Gramsci, adalah untuk menghasilkan konsensus. Karena itu, pekerjaan kaum cerdik pandai lebih berada pada jalur pengembangan masyarakat sipil (civil society), bukan pada lingkup politik (political society), namun ini bukanlah alasan untuk menyatakan bahwa kinerja mereka tidak memiliki muatan politis.

Polemik tentang status cendekiawan yang dipicu tayangan iklan Freedom Institute hanyalah satu contoh paling transparan untuk mempertanyakan kehadiran para intelektual dalam masyarakat kita. Benarkah intelektual dari sononya dianugerahi kebebasan dan otonomi dalam menyuarakan pendapatnya, sehingga dengan dalih otonomi, kebebasan dan demokrasi mereka bisa merasa steril dan cuek bebek dengan jeritan massa karena melambungnya harga-harga?

Ponsiuspilatisme

Membongkar otonomi palsu kalangan intelektual merupakan kritik keras Gramsci atas filsafat Benedetto Croce (Q 10). “Apa yang penting bagi Croce adalah bahwa kalangan cendekiawan tidak merendahkan dirinya pada tingkatan massa, sebaliknya supaya mereka memahami bahwa ideologi merupakan perangkat praktis untuk memerintah...”

Bagi Croce, kalangan intelektual yang merendahkan dirinya pada kepentingan massa telah menggadaikan status dan kehormatannya sebagai kalangan cendekiawan. Para cendekiawan seharusnya memerintah, bukan diperintah. Mereka seharusnya membentuk ideologi dengan tujuan untuk memerintah yang lain.

Gramsci melihat bahwa intelektual yang steril dari massa dan lebih mengedepankan kerja ideologis berpotensi melahirkan kekerasan dan mendiseminasi suatu otonomi palsu yang cenderung jauh dari moralitas. “Posisi murni intelektual dapat menjadi Jacobinismo yang lebih buruk..atau suatu ponsiuspilatisme busuk, atau kadang berurutan dari satu posisi ke posisi lain, atau bisa jadi secara simultan keduanya”(Q 10).

Sama seperti Ponsius Pilatus yang membiarkan Yesus di salib oleh keputusan massa, cendekiawan yang berpegang pada posisi ‘murni intelektual’ merasa enggan untuk memikul setiap tanggungjawab dan tidak ingin merendahkan dirinya pada kehendak dan keinginan massa. Pernyataan mereka yang menyatakan diri lepas dari kepentingan politis hanyalah sebuah posisi; dalam kenyataan, mereka memainkan peranan fundamental secara politis, sebab dengan bersikap seolah-oleh netral, mereka telah membuat sebuah konsensus politik.

Ponsiuspilatisme yang lihai memainkan peranan di panggung media menemukan antagonisnya dalam diri intelektual jalanan yang berusaha menyalurkan dan menjadi aspirasi orang kebanyakan (demos). Namun, cendekiawan jalanan seperti ini tak jarang mendapat kritik keras pula karena kecenderungan mereka untuk anti-intelektual. Mereka lebih menyukai ritualisme politik kiri seperti demonstrasi, membuat pernyataan, tuntutan dan sebagainya.

Dalam masyarakat demokratis, kecenderungan anti-intelektual akan menjadi racun yang mematikan bagi regenerasi iklim demokrasi yang lebih baik. Di mana pun, demokrasi yang dewasa tak pernah bermula dari jalanan. Demokrasi yang dewasa mengandaikan kedewasaan politik, dan kedewasaan politik mengandaikan formasi yang memadai bagi politisi untuk menyampaikan visi perjuangannya di parlemen.

Tiga makna

Fenomena ponsiuspilatisme dan kehadiran cendekiawan jalanan bisa dibaca dari tiga sudut pandang.

Pertama, pendidikan tinggi kita ternyata telah gagal menanamkan nilai-nilai demokratis dalam diri para cendekiawannya. Di kalangan kampus telah terjadi semacam pembangkangan para dosen atas panggilan intektual mereka. Mereka telah gagal menanamkan semangat humanisme universal dalam diri para mahasiswanya sehingga menghasilkan cendekiawan yang ‘murni intelektual’.

Kedua, di lain pihak, pendidikan tinggi ternyata juga menghasilkan lulusan yang anti-intelektual, lebih suka memilih cara-cara jalanan, dengan memasang pamflet, membuat orasi dan membaur jadi satu dengan kehendak massa di luar kampus untuk menyuarakan kepentingan mereka.

Akar permasalahan dua hal di atas pada dasarnya adalah korupsi yang terjadi di dalam kampus. Karena itu, penyehatan kehidupan berbangsa hanya bisa dilakukan dengan membenahi sektor pendidikan berupa perbaikan model pengajaran dan kurikulum yang lebih menekankan pada akuisisi modal kultural (capital cultural) sehingga memungkinkan para lulusan terlibat dalam kehidupan demokrasi yang lebih sehat.

Pendekatan konservatif yang semata-mata melihat adanya korupsi di kampus, pengkhianatan para intelektual atas status sosial mereka, dan kecenderungan anti-intelektual yang bersemi di kampus sebagai biang keladi tak kunjung berseminya kedewasaan demokrasi di negeri menjadi satu kemendesakan untuk memulai pembaharuan di kalangan kampus, misalnya melalui reformasi di bidang kurikulum maupun metode pengajaran.

Ketiga, diagnosis ketidakberesan yang terjadi seputar kinerja kampus hanya akan merupakan tambal sulam yang tidak menyentuh esensi persoalan tanpa memperhatikan analisis relasional antara demokrasi dalam kaitannya dengan keberfungsian peranan intelektual.

Analisis terakhir menyatakan bahwa pertama-tama bukan pendidikan tinggi yang telah gagal menciptakan kedewasaan demokrasi bagi para cendekiawannya. Sebaliknya, demokrasi ternyata telah gagal menciptakan pendidikan tinggi yang bermutu dengan cara menyelingkuhi para cendekiawannya sehingga melahirkan intelektual haram yang memiliki semangat ponsiuspilatisme atau sebaliknya melahirkan intelektual jalanan yang cenderung anti-intelektual, yang keduanya sama-sama jauh dari klaim ‘integritas moral intelektual” maupun “keberpihakan rasional pada massa” yang sangat dibutuhkan dalam proses konsolidasi demokrasi.

Gejala ponsiuspilatisme secara positif bisa dibaca sebagai tumbuhnya kesadaran pentingnya kekuatan moral kalangan intelektual untuk mengkritisi kebijakan publik dalam kerangka perlindungan hak-hak warga negara dari terabasan para petualang politik. Di lain pihak, kehadiran intelektual jalanan dalam kacamata gramscian bisa dibaca sebagai suatu usaha diseminasi konsensus bagi perjuangan kontra hegemoni atas kekuasaan yang ada, sekaligus konsolidasi kekuatan subaltern dalam kerangka pertumbuhan demokrasi yang sehat.

Kelompok sosial yang menjadi korban keputusan poltik penguasa semakin menyadari bahwa kekuasaan permanen dan kebenaran universal yang menjadi basis kekuatan hegemoni kelompok penguasa sekarang ini telah kehilangan otoritasnya. Setiap kelas sosial dan kelompok masyarakat lain berhak memiliki konsepsi berbeda tentang keteraturan sosial yang menjadi suara hati, pikiran dan gagasan mereka.

Konsolidasi perjuangan kelas subaltern semakin nyata ketika mereka pada akhirnya berhasil melahirkan intelektualnya sendiri. ‘Ke-lain-an’(otherness) yang terlahir dari kelompok subaltern miliki hak untuk di dengarkan jika kita mengaku diri sebagai demokratis.

Pendidikan dasar bagi semua

Jika demokrasi telah telah gagal menciptakan iklim akademis yang melahirkan cendekiawan berintegritas, konsolidasi demokrasi itu sendiri hanya bisa tumbuh lewat kesadaran kritis yang muncul lewat kekokohan formasi pendidikan yang terbuka bagi semua warga yang memungkinkan kekuatan sipil memiliki kekuatan dalam mengontrol kekuasaan. Langkah awal untuk formasi seperti ini adalah dijaminnya pendidikan dasar bagi semua. Di sini yang dipertaruhkan adalah kualitas dan kontinuitas formasi pendidikan yang mampu mempersiapkan anak didik terlibat dalam ranah politik.

Gramsci meyakini bahwa krisis lembaga pendidikan yang terjadi di jamannya terjadi bukan karena kelemahan lembaga pendidikan itu sendiri dalam mengantisipasi tantangan modern, melainkan karena lembaga pendidikan telah menjadi korban bulan-bulanan krisis sosial, budaya dan politik di jamannya. Kita ingat bagaimana lembaga pendidikan di Italia, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi sungguh-sungguh dimanfaatkan untuk sarana propaganda ideologis bagi perjuangan Fasis Mussolini.

Tidak diragukan bahwa pendidikan umum dan keadaan sekolah-sekolah di negeri ini telah dan semakin hari semakin memasuki titik kritis yang mengkhawatirkan. Ini terjadi karena ketidakbecusan politisi mengurus lembaga pendidikan. Korupsi terjadi bukan semata-mata di kalangan kampus, melainkan di kalangan parlemen.

Berjuang secara sistematis agar terbuka akses pendidikan dasar bagi semua warga, itulah sesungguhnya yang sejak awal digagas oleh kalangan intelektual mengapa mereka mendesak agar subsidi BBM segera dicabut. Sebab hanya dengan realisasi akses pendidikan dasar bagi semua kompensasi BBM menjadi efektif di tengah telikung para politisi yang suka menjarah uang rakyat.

Memimpikan kehadiran intelektual yang independen dan otonom pada masa sekarang adalah ilusi, namun perjuangan untuk membuka akses pendidikan bagi semua warga tak pernah boleh menjadi mimpi jika kita inginkan perbaikan demokrasi di negeri ini.

Doni Koesoema, A. Mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

Pendidikan Keagamaan