Wednesday 2 September 2009

Publication and Academic Activities

2014

Artikel dan Makalah

1. Menghidupkan Kebhinekaan (Kompas, 21 Januari 2014)
2. Ghettoisme Pendidikan (Kompas, 22 Februari 2014)
3. Pelajaran Mencontek (Kompas, 21 Mei 2014)
4. Hak Pendidikan Penyandang Disabilitas (Media Indonesia, 14 Juli 2014)
5. Dari Keluarga Bersemai Nilai-Nilai Mulia (Tabloid Nakita, No. 799/TH. XVI/23, 29 Juli 2014)
6. Mendesain Karier Guru (Media Indonesia, 8 September 2014)
7. Sandera Kurikulum 2013 (Kompas, 20 September 2014)
8.Strategi Pendidikan Antikekerasan (Media Indonesia, 29 September 2014)
9. Kolaborasi Keluarga dan Sekolah dalam Pendidikan Karakter (Tabloid Nakita, No.809/TH.XVI/1-7 Oktober 2014)
9. Legalitas Moral Dewan Pendidikan Nasional (Kompas, 16 Oktober 2014)

Lokakarya dan Seminar

1. Presentasi di hadapan pelatih Inti Yayasan Cahaya Guru, dengan tema "Pendidikan Karakter Berbasis Kultur Sekolah", di LBH Jakarta, Januari 2014.  

2. Talkshow BeritaSatu TV dalam Dialog Jurnal Pagi, 13 Maret 2014 dengan tema Penyandang Disabilitas Dilarang Kuliah, dengan host: Christian Renaldi.

3. Pembicara dalam acara bedah buku Kekerasan Simbolik karya Nanang Martono dengan makalah berjudul Kekerasan Simbolik, Tantangan Pendidikan Karakter Pendidik, di Universitas Soedirman, Purwokerto, 2 April 2014

4. Narasumber dalam Diskusi Panel Pendidikan yang diadakan oleh KOMPAS dan PGRI dengan tema “Mencari Arah Pendidikan Indonesia” dengan paparan berjudul “Kurikulum dengan Visi Transformasi Sosial “ pada, Senin, 21 April 2014.

5. Narasumber dalam Seminar Nasional Pendidikan yang diadakan oleh Paguyuban Van Lit (PAVALI), dengan tema ”Revolusi Pendidikan dan Kebangkitan Bangsa”, pada 26 April 2014 di Yogyakarta.

6. Memberikan pelatihan keragaman bagi para Guru SD dalam lokakarya yang diadakan oleh Majalah Bobo dan Yayasan Cahaya Guru dengan tema “Arti Keragaman untuk Masa Depan Anak”, Selasa, 13 Mei 2014 di Jakarta.

7. Narasumber bagi para kepala sekolah, wakil kepala sekolah, pembina dan pengawas pendidikan di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan tema “Pendidikan Karakter yang Efektif Tanpa Kekerasan di Sekolah Boarding School”, di Bogor, 20 Mei 2014.


8. Narasumber dan moderator dalam Konferensi Nasional Kebebasan Beragama dan Konferensi diselenggarakan sebagai bentuk kerjasama antara The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), LBH Jakarta, AWC Universitas Indonesia, CRCS Universitas Gajah Mada, Yayasan Cahaya Guru, Sejuk dan HiVOS, di Jakarta, 2 Juni 2014.


9. Pembahas dalam acara bedah buku “Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Kreatif dan Inovatif” karya Retno Listyarti di SMAN 76, Jakarta Timur, 3 Juni 2014.

10. Narasumber workshop penulisan Opini untuk mahasiswa kedokteran dalam rangka program HPEQ Dikti di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 8 Juni 2014.

11. Narasumber dalam diskusi pendidikan the Jakarta Post dengan makalah “Mengembalikan Roh Keragaman dalam Pendidikan,” Jakarta, 12 Juni 2014.

12. Menjadi pembicara dalam acara Diskusi dan Buka Puasa Bersama dengan tema “Refleksi Keragaman dalam Pendidika,” yang diadakan oleh Federasi Serikat guru Indonesia (FSGI), Yayasan Cahaya Guru (YCG) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, 7 Juli 2014.

13. Narasumber dalam rangka Masa Orientasi Peserta Didik Baru dengan tema Lingkungan Hidup dan Kewirausahaan di SMAN 76, Jakarta Timur, 15 Juli 2014.

14. Narasumber workshop penulisan Berita untuk para peserta Pertukaran Pelajar Indonesia-Malaysia (Indonesia Malaysia Youth Exchange Program/IMYEP) yang diadakan oleh Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Jakarta, 14 Agustus 2014.

15. Narasumber untuk diskusi pendidikan Dwi Bulanan yang diadakan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI) dan Pertamina Foundation dengan presentasi berjudul “Pendidikan Indonesia 5 Tahun ke Depan : Kurikulum, Ujian Nasional dan Pendidikan Karakter” di Jakarta, 15 Agustus 2014.

16. Narasumber untuk Focus Group Discussion dengan tema ‘Revitalisasi Kurikulum Sekolah Internasional dalam rangka Pembentukan karakter demi ketahanan nasional” yang diadakan oleh Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas), di Jakarta, 27 Agustus 2014.

17. Menjadi narasumber dan fasilitator untuk pelatihan kepala sekolah se-Jabodetabek dalam rangka pengembangan dan penguatan pendidikan anti radikalisme dengan tema “Damai dalam NKRI” yang diadakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), di Jakarta, 29-31 Agustus 2014.

18. Memberikan pelatihan menulis Opini di media massa untuk Mahasiswa Penulis Muda Kesehatan (Penakes), yang diadakan oleh Health Professional Education Quality Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (HPEQ Dikti) di Jakarta, 30-31 Agustus 2014.

19. Menjadi narasumber dan fasilitator untuk pelatihan para guru pendamping kesiswaan, OSIS dan Rohis se-Jabodetabek, Jawa Barat, dan Banten dalam rangka pengembangan dan penguatan pendidikan anti radikalisme dengan tema “Pencegahan Faham Radikalisme di Sekolah” yang diadakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), di Jakarta, 19-21 September 2014.

20. Menjadi narasumber dan fasilitator untuk pelatihan kepala sekolah dalam rangka pengembangan dan penguatan pendidikan anti radikalisme dengan tema “Damai dalam NKRI” yang diadakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), di Samarinda, 26-28 September 2014.

21. Menjadi narasumber dalam seminar menyambut Hari Guru Internasional yang diadakan oleh Dinas Pendidikan DKI, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan Yayasan Cahaya Guru (YCG) dengan tema Mencari Akar dan Solusi Kekerasan dalam Pendidikan, pada 1 Oktober 2014 di Jakarta.

22. Menjadi narasumber penanggap (Makalah Dr. Yudi Latief, Prof. Theresia dan Prof. Ali Furqon) dalam Rount Table Discussion yang diadakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) dengan tema Revitalitasi Kurikulum Pendidikan Karakter bagi Ketahanan Nasional Bangsa, di Jakarta, 2 Oktober 2014.

23. Memberikan pelatihan menulis Opini di Media Massa untuk para mahasiswa Penulis Muda Kesehatan (PENAkes) dalam rangka National Health Collaboration IYHPS kerjasama antara Health Professional Education Quality (HPEQ) Pendidikan Tinggi, di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 12 Oktober 2014.

24. Menjadi narasumber dan fasilitator untuk pelatihan para guru pendamping kesiswaan, OSIS dan Rohis dalam rangka pengembangan dan penguatan pendidikan anti radikalisme dengan tema “Pencegahan Faham Radikalisme di Sekolah” yang diadakan oleh Satuan Tugas (Satgas Pendidikan) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), di Balikpapan, 17-19 Oktober 2014.

                                                                           
Publikasi Buku

Albertus, Doni Koesoema.(2014). Veronika. Misteri Perempuan Kudus di Jalan Salib Kristus. Kanisius: Yogyakarta


2013

Artikel dan Makalah

1. Bercermin dari Keterbelakangan Kita (Kompas, 14 Januari 2013)
2. Berpusat pada Pembelajar (28 Februari 2013)
3. Eklektisisme Kurikulum 2013 (5 April 2013)
4. Jalan Keempat Pendidikan (Media Indonesia, 19 April 2013)
5. Panik Sertifikasi (Kompas, 4 Mei 2013)
6. Antiklimaks Kurikulum 2013 (Kompas, 8 Juni 2013)
7. Reformasi Perbukuan (Kompas, 17 Juli 2013)
8. Kekerasan Simbolik Pendidikan (Resensi Buku Kompas, 21 Juli 2013)
9. Rumah Kaca Pendidikan (Sinar Harapan, 14 November 2014)

Lokakarya dan Seminar

1.      Memberikan lokakarya Pendidikan Karakter untuk para kepala sekolah di lingkungan Yayasan Salib Suci Bandung, 28 – 30 Januari 2013, di Wisma Pratista Bandung dengan tema Pemimpin Sekolah sebagai Pelaku Perubahan.

2.      Menjadi narasumber Talk Show Onair Radio Suara Edukasi tentang Sejarah Lahirnya Pancasila dan Pendidikan Karakter, 5 Juni 2013.



3.      Menjadi peserta aktif diskusi pendidikan yang diadakah oleh Eksekutif Forum Media Group di Jakarta, 11 Juni 2013.



4.      Memberikan Lokakarya bagi para guru di Semarang dan Jawa Tengah yang diadakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Soegijapranata, Semarang,  dengan makalah berjudul Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Atas, 17 Juli 2013.



5.      Menjadi Pembicara dalam Kongres Indonesia In Diaspora tentang Pengembangan Pendidikan Karakter bagi Masa Depan Pendidikan di Indonesia, JCC, Jakarta, 18 Agustus 2013.



6.      Mendampingi dan memberikan konsultasi bagi Tim Pengembangan Pendidikan Karakter Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian dan Perkebunan (STIPAP), Medan, 22 Agustus 2013.



7.      Menjadi pembicara dalam rangka Orientasi Mahasiswa Baru Trisakti School of Managemen (TSM), Universitas Trisakti tentang Pendidikan Karakter bagi Mahasiswa, Jakarta, 26 Agustus 2013.



8.      Menjadi Pembicara tentang pengembangan pendidikan di masa depan di hadapan Ikatan Alumni Kolese De Britto dengan makalah berjudul “Man for Others : Tantangan De Britto Menuju Pendidikan Global”, di Kolese Kanisius Jakarta, 8 September 2013.



9.      Menjadi pembicara dalam Konvensi Rakyat : Evaluasi Satu Dasawarsa Kebijakan Ujian Nasional, dengan makalah berjudul “13 Dampak Merusak Kebijakan UN”, di Gedung Joeang, Jakarta, 24 September 2013.



10.  Memberikan workshop pelatihan menulis bagi penulis muda kesehatan yang tergabung dalam Higher Professional Education Quality (HPEQ), di Hotel Yasmin, Karawaci, 6-8 Desember 2013.


2012

Artikel dan Makalah

1.      Santa Anna Schaffer : Menjadi Misionaris Karena Menderita (Majalah HIDUP, Edisi No. 46, tanggal 11 November 2012)
2.      Politisasi Pendidikan (Kompas, 5 November 2012)
3.      Memutus Rantai Tawuran Pelajar (Kompas, 31 Juli 2012)
4.      Pelajaran dari Hongaria (Kompas, 9 April 2012)
5.      Merebut Kehormatan di Jalanan (Kompas, 6 Maret 2012)
6.      Antropologi Pendidikan Heideggerian dan Sumbangannya bagi Praksis Pendidikan Kita (Jurnal Filsafat Arete, Vol. 01- nomor 01 – Januari 2012, diterbitkan oleh Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandala Surabaya).

Antologi/Bunga Rampai

1. Albertus, Doni Koesoema.(2012). ”Api itu Tetap Harus Menyala, Mengenang Ludovicus Doewe Prawiradisastra (1907-1966)”, dalam Heri Kartono OSC (Ed.), Ludovicus Doewe, Pelopor Sunda Katolik, Jakarta: Obor, hal 95-103.

2. Albertus, Doni Koesoema. (2012).  ”UN Posisikan Guru sebagai Teroris dan Revolusi Sosial Menentang UN”, dalam Habe Arifin (Ed.), Buku Hitam Ujian Nasional, Yogyakarta: Resist Book, hal 217-221 dan 340-345.

Kegiatan Lokakarya dan Seminar

1.      Menjadi juri dalam Lomba Majalah Dinding SD Katolik Se-Jakarta Selatan, di Sekolah Dasar Asisi, Menteng, 25 Oktober 2012.

2.      Memberikan pelatihan pendidikan karakter dan media literacy bagi para guru Sekolah Dasar Maria Fransisca, Bekasi, 5 Oktober 2012.

3.      Memberikan pelatihan jurnalistik untuk siswa kelas 9, SMP Marsudirini, Bekasi, dalam rangka seminar dengan tema “Mengembangkan Kemampuan Menulis Untuk Meraih Sukses Masa Depan”, 24 Mei 2012.

4.      Memberikan pelatihan jurnalistik untuk siswa kelas 8, SMP Notre Dame, Jakarta Barat, 13 April 2012.

5.      Pembicara dalam seminar nasional pendidikan dengan makalah berjudul Peran Pendidikan Formal dalam Mempersiapkan Generasi Penerus yang Unggul dan Berkaraker dengan fokus Pendidikan Sains yang Unggul dan Berkarakter yang diadakan oleh Fakultas Teknik Universitas Widya Mandala Surabaya, di Surabaya, 5 Mei 2012.

6.      Menjadi moderator dalam seminar Pendidikan Karakter yang diadakan oleh Koran BERANI dengan pembicara utama Bapak Fasli Jalal, di Jakarta, 3 Mei 2012.

7.      Pembicara dalam seminar Pendidikan Karakter dengan makalah berjudul Praksis Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah yang diadakan oleh Perkumpulan Strada dalam rangka Hari Ulang Tahun Perkumpulan Strada ke-88 di Jakarta, 4 Mei 2012.

8.      Pembicara dalam lokakarya dalam rangka Training of Trainers Character Building bagi para dosen dengan makalah berjudul Pendidikan Karakterdan Integrasi Metode Pembelajaran  di Universitas yang diadakan oleh Kopertis X, di Bukit Tinggi, 30 April 2012.

9.      Menjadi moderator dalam Seminar Pendidikan dengan tema Menggugat Praksis Pendidikan Nasional, Bagaimana? yang diadakan oleh Koran Harian KOMPAS dalam rangka peluncuran Yayasan Nusa Membaca, dengan pembicara antara lain Mohammad Nuh (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan KIB 2, Daoed Joesoef (Mantan Menteri Pendidikan Nasional 1987-1993) dan Prof. Dr. Paul Suparno SJ, di Jakarta, 24 April 2012.

10.  Memberikan pelatihan jurnalistik bagai para siswa kelas VII dan VIII di Sekolah Dasar Notre Dame, Jakarta, 13 April 2012.

11.  Menjadi narasumber bagi tim pendidikan karakter dalam rangka pembuatan buku pedoman pendidikan karakter untuk Perkumpulan Strada, Senin, 5 Maret 2012.

2011

Publications in Media (Articles, Opinion)

1. Kebebalan Moral Penguasa (KOMPAS, 28 Januari 2011)
2. Menumbuhkan Keutamaan Kewarganegaraan (Kompas, 22 Februari 2011)
3. Pendidikan Karakter dan Budaya Akademik di Sekolah (Makalah FMIPA UNJ, 1 Oktober 2011)
4. Quo Vadis Pendidikan Karakter di UBS? (Makalah Seminar UBS, 11 Oktober 2011)
5. Alamat Palsu (Kompas, 15 Oktober 2011)
6. Kurikulum Nasional dan Generasi Peneliti (Makalah Integritas Summit 2011, 3 November 2011)


Workshop and seminars


2.   Memberikan pelatihan kepada para guru Sekolah Dasar St. Ursula di BSD tentang Reading Skills, Jumat 9 September 2011.

3.   Menjadi narasumber untuk pelatihan literasi moral guru bersama di Sekolah Dasar Marsudirini, Bekasi, pada 18 Agustus 2011 dengan makalah berjudul 15 Menit yang Mengubah Dunia, dari Reading Literacy Menuju Moral Literacy.

4.   Mengikuti diskusi terbatas yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional dengan tema Revitalisasi Manajemen Berbasis Sekolah, pada 9 Agustus 2011.


5.   Menjadi narasumber untuk pelatihan literasi moral guru bersama di Sekolah Dasar Marie Jose, Jakarta, pada 29 Juli 2011 dengan makalah berjudul 15 Menit yang Mengubah Dunia, dari Reading Literacy Menuju Moral Literacy.

6.   Menjadi narasumber untuk pelatihan literasi moral guru di Sekolah Dasar Strada Bekasi pada 22 Juli 2011 dengan makalah berjudul 15 Menit yang Mengubah Dunia, dari Reading Literacy Menuju Moral Literacy.

7.   Menjadi narasumber untuk pelatihan literasi moral guru bersama dengan tim dari Koran Harian Anak Berani, di Sekolah Dasar Regina Pacis, Jakarta, 16 Juli 2011, dengan makalah berjudul 15 Menit yang Mengubah Dunia, dari Reading Literacy Menuju Moral Literacy.

8.   Menjadi narasumber untuk pelatihan literasi moral guru bersama dengan tim dari Koran Harian Anak Berani, di Sekolah Dasar Tarakanita 3, Patal, Senayan, Jakarta, 6 Juli 2011, dengan makalah berjudul 15 Menit yang Mengubah Dunia, dari Reading Literacy Menuju Moral Literacy.

9.   Menjadi narasumber untuk pelatihan literasi moral guru bersama dengan tim dari Koran Harian Anak Berani, di Sekolah Dasar Assisi, Tebet, Jakarta, 21 Juni 2011, dengan makalah berjudul 15 Menit yang Mengubah Dunia, dari Reading Literacy Menuju Moral Literacy.

10.     Menjadi narasumber untuk pelatihan literasi moral guru bersama dengan tim dari Koran Harian Anak Berani, di Sekolah Dasar Santa Maria, Jakarta, 16 Juni 2011, dengan makalah berjudul 15 Menit yang Mengubah Dunia, dari Reading Literacy Menuju Moral Literacy.

11.  Menjadi narasumber dengan tema Jurnalism dalam rangka Future Quest: Career Day Workshop, May 27, 2011 yang diadakan oleh Sekolah Pelita Harapan Lippo Karawaci Tangerang.

12.     Menjadi nara sumber dalam rangka persiapan pengembangan program pendidikan karakter yang diadakan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk), di Jakarta, 19-20 Mei 2011.

13.  Menjadi pembicara dalam Seminar Hari Pendidikan Nasional yang diadakan oleh     Universitas Satya Wacana, Salatiga, (13-14 Mei 2011) dengan makalah berjudul,     Tantangan Mendidik Calon Guru” dan ” Mendesain Pembelajaran Berjiwa Pembentukan Karakter”.

14.     Menjadi narasumber dan fasilitator pengembangan program pendidikan karakter di lingkungan Yayasan Hati Suci, Jakarta (16 April 2011).

15.  Mengikuti Sarasehan Nasional bersama Wamendiknas Fasli Jalal dengan tema Pengembangan Profesionalisme Guru, Jakarta, 30 Maret 2011.

16.  Menjadi pembicara dalam rangka Lokakarya Guru-Guru Agama Katolik DKI, di Cisarua, Jawa Barat, 26 Maret 2011 dengan makalah berjudul ”Mendesain Pembelajaran Berjiwa Pembentukan Karakter”.

17.  Menjadi Ketua Dewan Juri untuk Pemilihan Jagoan Cerdas Indonesia 2011 bersama Clevo dan Koran Anak BERANI.

2010

Articles and Seminars

1.   Pendidikan Karakter Integral (KOMPAS, 11 Februari 2010)
2.   Kucing Hitam Pendidikan Karakter (KOMPAS, 19 Juli 2010)
3.   Diana, Apa yang Kaucari? (Liputan khusus pendidikan, KOMPAS, 21 Juli 2010)
4.   Mengembangkan Pengajaran dan Pembelajaran yang berjiwa Pendidikan Karakter  (Seminar Nasional HUT BPK Penabur, 17 Juli 2010)
5.   Mencari Format Pendidikan Karakter dalam Konteks  Keindonesiaan (Dalam Education for Change, Buku Kenangan HUT BPK Penabur, Jakarta).
6.   Pendidikan Karakter, Darimana Dimulai? (Makalah disampaikan dalam diskusi terbatas Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia, 18 Agustus 2010)
7.   Mengembangkan Visi Guru sebagai Pendidik Karakter (Makalah seminar pendidikan HUT Yayasan St. Yakobus, Kelapa Gading, Jakarta).
8.   Mengembalikan Kehormatan Guru (KOMPAS, 26 November 2010).
9.   Tantangan Ilmuwan Pendidikan (KOMPAS, 30 Desember 2010)

Workshops



1.    Pembicara Utama dalam rangka Lokakarya (Workshop) Bina Karakter Tingkat TK-SMA/K di Lingkungkan Yayasan Asti Dharma cabang Tegal, 11-14 Januari 2010, di Rumah Retret Parakan, Jawa Tengah.



2.      Pembicara Utama dalam Rangka Lokakarya (Workshop) Pembekalan Pendidikan Karakter bagi Para Guru Sekolah Dasar dalam Yayasan Asti Dharma cabang Tegal (SD Pius Wonosobo, SD St. Maria Parakan, dan SD Maria Purworejo), 12 – 14 Februari 2010.



3.      Fasilitator pendalaman tentang Pendidikan Karakter bagi Tim Pendidikan Karakter di Lingkungan Sekolah BPK Penabur, Jakarta, 23 Maret 2010.



4.      Fasilitator bagi Tim Bina Karakter Yayasan Asti Dharma cabang Tegal, 26 Maret 2010.



5.      Pembicara dalam Lokakarya dan Seminar ”Membaca Membentuk Karakter Bangsa” di Sekolah Dasar Atalia, Jakarta, kerjasama dengan Koran Harian Anak BERANI, 22 Mei 2010.



6.      Pembicara dalam Seminar Nasional HUT BPK Penabur, 17 Juli 2010, di Jakarta dengan makalah berjudul, Mengembangkan Pengajaran dan Pembelajaran yang Berjiwa Pendidikan Karakter.



7.      Fasilitator bagi tim Bina Karakter Yayasan Asti Dharma cabang Tegal dalam membuat Standard Evaluasi Pendidikan Karakter di Jakarta, Sabtu, 24 Juli 2010.



8.      Pembicara pada Lokakarya bagi guru-guru SD Sang Timur, Kebun Jeruk, Jakarta, Sabtu, 24 Juli 2010 yang diadakan dalam rangka kerja sama dengan Koran Harian Anak BERANI, dengan materi berjudul, Media sebagai Alat dalam Pembentukan Karakter.



9.      Pembicara pada diskusi internal Pengurus Besar Persatuan Guru Indonesia, 18 Agustus 2010, di Gedung Guru, Tanah Abang, Jakarta,  dengan makalah berjudul, Pendidikan Karakter, Darimana Dimulai?



10.  Pembicara pada Lokakarya Membaca Membentuk Karakter Bangsa, bekerja sama dengan Koran Harian Anak BERANI, di Sekolah Jubilee, Jakarta, 21 Agustus 2010.



11.  Pembicara pada Seminar Pendidikan HUT Yayasan St. Yakobus, Kelapa Gading, Jakarta 28 Agustus 2010, dengan makalah berjudul, Mengembangkan Visi Guru sebagai Pendidik Karakter, 28 Agustus 2010.



12.  Pembicara pada Seminar dan Lokakarya Konferensi Nasional Asosiasi Psikolog Pendidikan Indonesia (APPI), dengan makalah berjudul Mengembangkan Kultur Akademis Bagi Pembentukan Karakter Bangsa, 17 Oktober 2010, di Malang, Jawa Timur.



13.  Menjadi Narasumber untuk acara brainstorming pengembangan pendidikan di hadapan seluruh pengurus Yayasan Hati Suci, dengan makalah berjudul Mengubah Guru: Tantangan dan Kendala, Hotel Millenium Jakarta, 22 Oktober 2010.



14.  Menjadi pembicara seminar ”Membaca Membentuk Karakter Bangsa” bagi guru-guru se-Jakarta Timur, di Kantor Walikota Jakarta Timur, 30 Oktober 2010.



15.  Menjadi narasumber untuk Seminar Nasional Pendidikan Karakter yang diadakan oleh Lembaga Pengkajian Pengembangan Mutu Pendidikan (LPPM) bekerja sama dengan Universitas Negeri Medan (Unimed), di Medan, 7 November 2010, dengan makalah berjudul Pendidikan Karakter sebagai Basis Penyelenggaraan Pendidikan kita Dewasa Ini (strategi dan Impementasi).



16.  Menjadi narasumber dalam Seminar dan Konferensi Guru Nasional yang diadakan oleh Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, 27 November 2010, dengan makalah berjudul ”Pendidikan Karakter dan Budaya Akademik di Sekolah”.



17.  Menjadi Narasumber untuk seminar Metodologi Belajar dan Pembentukan Karakter di Universitas Media Nusantara (UMN) Jakarta, 15 Desember 2010, dengan makalah berjudul, Cara Belajar di Universitas dan Pembentukan Karakter.



18.  Menjadi narasumber bagi Kluster Pendidikan pada International Summit Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4), Jakarta, 16-18 Desember 2010, dengan makalah berjudul Mengembangkan Pendidikan Nasional Bervisi Transformasi Sosial.


2009

1.      Mengubah Paradigma UN (KOMPAS, 14 Januari 2009)
2.      Siswa (Cerdas), Milik Siapa? (KOMPAS, 17 Februari 2009)
3.      UN, Doa Bersama dan Ikrar Kejujuran (KOMPAS, 20 April 2009)
4.      Ujian Nasional Ulang (KOMPAS, 15 Juni 2009)
5.      Guru sebagai Pelaku Transformasi Sosial (Simposium SMA 6, 15 Juni 2009)
6.      Melahirkan Generasi Peneliti (KOMPAS, 20 Agustus 2009)
7.      Driyarkara: Transformasi Sosial Pendidikan (BASIS, No 09-10, Tahun Ke-58,September-
8.      Oktober 2009)
9.      Desain Besar Pendidikan (KOMPAS, 1 Desember 2009)
10.  Api itu Tetap Harus Menyala – Mengenang Almarhum Bpk. L. Doewe (tulisan untuk buku kenangan pelopor pendidikan di Jawa Barat) (http://doewecileduk.blogspot.com/)

Penerbitan Buku
Albertus, Doni Koesoema, 2009, Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku perubahan dan Pendidik Karakter, Jakarta: Grasindo, 215 hlm.
Lokakarya dan Seminar

1.      Full Day Workshop on Character Education entitled “Introduction to Character Education – From experience to a more comprehensive understanding of Character Education,” at  Sekolah Harapan Bangsa – Bumi Modern Tangerang, Aprile 4, 2009.



2.      Pembicara pada Lokakarya Sehari dengan tema Pendidik Berkarakter yang diadakan oleh KOMPAS dan Grasindo, 20 Mei 2009, dengan presentasi makalah berjudul, “Memahami Pendidikan Karakter secara Lebih Komprehensif”, “Guru sebagai Pendidik Karakter” dan “Pembinaan Diri Pendidik Berkarakter”.



3.      Pembicara pada Seminar, Workshop Nasional dan Ziarah yang diadakan oleh Majelis Nasional Pendidikan Katolik, di Villa Taman Eden, Kaliurang, Jogjakarta, 27-30 Mei 2009 dengan makalah berjudul, “Apa dan Bagaimana Pendidikan Karakter?”,Tiga Basis dan Rationale bagi Pendidikan Karakter di Sekolah”, dan “Latihan Mendisain Program Pendidikan Karakter di Sekolah”.



4.      Pembicara pada Simposium “Peran dan Kedudukan Guru dalam Politik Pendidikan di Indonesia” yang diadakan oleh Musyawarah Pendidikan Guru Sejarah dan Institut Sejarah Indonesia, di SMAN 6 pada 15 Juni 2009, dengan makalah berjudul “Guru sebagai Pelaku Transformasi Sosial



5.      Pembicara pada Rapat Kerja Guru-Guru SMU Gonzaga, Jakarta, di Megemendung Puncak, 17 Juni 2009, dengan makalah berjudul, “Guru sebagai Pendidik Karakter”.



6.      Pembicara pada Lokakarya di SMU Kolese De Britto Jogjakarta, 31 July – 1 Agustus 2009, dengan Memahami Pendidikan Karakter secara lebih Utuh dan Menyeluruh, dan Membentuk Diri sebagai Pendidik Karakter.



7.      Pembicara pada pertemuan guru dan karyawan SMP Kanisius, Jakarta, di Wisma Cibulan, 20-21 November 2009, dengan makalah berjudul Pendidik Karakter sebagai Pelaku Perubahan.


2008
Artikel

1.      Drama Anggaran Pendidikan (KOMPAS, 23 Januari 2008)
2.      Pengangguran Intelektual (KOMPAS, 15 Februari 2008)
3.      Di Balik Pemetaan Pendidikan (KOMPAS, 27 Maret 2008)
4.      UN Harus Dihentikan (KOMPAS, 30 April 2008)
5.      Sepuluh Kesesatan UN (MEDIA INDONESIA, 6 Mei 2008)
6.      Momentum Pasca UN (KOMPAS, 21 Juni 2008)
7.      Miopi Kebijakan Pendidikan (KOMPAS, 29 Juli 2008)
8.      Guru:Agent of change (BASIS, Juli-Agustus 2008)
9.      Guru Swasta Guru Tiri (KOMPAS, 11 September 2008)
10.  Mengurai Masalah Guru (Swasta) (KOMPAS, 19 November 2008)
11.  Kurikulum Lipstik (KOMPAS, 17 Desember 2008)

2007



Lokakarya dan Seminar



1.      Moderator seminar sehari, “Aku ingin dimengerti,” dengan pembicara utama Novita Angie dan DR. Rose Mini A.P., M.Psi yang diselenggarakan oleh Putra Gembala Iman Anak Paroki Santa Maria Tangerang tanggal 21 Januari 2007.



2.      Pembicara dalam Seminar Nasional, dengan makalah berjudul “Menghormati Perbedaan sebagai Dasar Etis Kerukunan Hidup Antarumat Beragama di Indonesia”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dan Dialog Publik dengan tema, “Kerukunan antarumat beragama di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Departemen dalam Negeri dan Yayasan Yusufi Beledung Tangerang, tanggal 6 Februari 2007 di Gedung Serbaguna Base Camp Departemen perhubungan-Jurumudi Lama.



Penerbitan Buku



1.      Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Grasindo, Jakarta, September, 2007, 320 hlm.



Antologi/Bunga Rampai



1.      Rencanaku bukan rencanaMu” (Cahaya Kebangkitan) (cerpen),  Viva Vox edisi 61 Th.

XXXI Juli – Desember 1991, Diterbitkan oleh Elex Media Computindo Jakarta dalam 

kumpulan cerpen Viva Vox Tak Hanya Satu Jalan, 2007.

2.      Penilaian Pendidikan”, dalam Menggugat Ujian Nasional (antologi), Mizan, Bandung,

2007.



Artikel



1.      Menggadaikan Etika Profesi (KOMPAS, Rabu, 14 Maret 2007)

2.      Pendidikan dan Kekerasan (KOMPAS, Rabu 11 April 2007)

3.      Sekolah Mahal, Tanya Kenapa? (GATRA, No.23 Tahun XIII, 18-25 April 2007, hlm.86)

4.      Kanon Moral Komenský dan UN (KOMPAS, Kamis, 26 April 2007)

5.      Telikung Konstitusi (KOMPAS, Rabu, 23 Mei 2007)

6.      Air Mata (Guru) Bangsa (KOMPAS, Jumat, 8 Juni 2007)

7.      Kultur Sekolah (HIDUP, Juni 2007)

8.      Ke Sekolah Katolik, Mengapa Tidak? (Majalah TERANG Juni 2007)

9.      Ironi pendidikan dari Trunyan (KOMPAS, Rabu, 18 Juli 2007)

10.  Berpeluh di tengah Profesi (KOMPAS, Jumat, 24 Agustus 2007)

11.  Tiga Matra Pendidikan Karakter (BASIS, edisi Agustus-September 2007)

12.  Metafora Pendidikan (KOMPAS, Rabu, 19 September 2007)

13.  Membuka Ruang Kebebasan (KOMPAS, Rabu 24 Oktober 2007)

14.  Batas Tanggungjawab Pendidik (MEDIA INDONESIA, Kamis 22 November 2007)

15.  Ketidakadilan dalam Pendidikan (KOMPAS, 29 November 2007)



2006



Artikel



1.      Pendidikan Karakter (KOMPAS, Jumat, 3 Februari 2006)

2.      Politik Guru (KOMPAS, Selasa, 23 Mei 2006)

3.      Penilaian Pendidikan (KOMPAS, Kamis, 8 Juni 2006)

4.      Generasi Penjual Rujak (KOMPAS, Selasa, 27 Juni 2006)

5.      Pendidikan Anak : Bukan Mesin Reproduksi Kultur Sosial (BASIS, Nomor 07-08, Tahun 

6.      ke- 55, Juli-Agustus 2006, hlm 62-68)

7.      Otonomi (Pungutan) Pendidikan (KOMPAS, Kamis, 10 Agustus 2006)

8.      Reformasi Kurikulum (KOMPAS, Jumat, 01 September 2006)

9.      Kurikulum Berubah lagi? (KOMPAS, Jumat, 29 September 2006)

10.  Menjelang PP tentang Guru (KOMPAS, Kamis, 09 November 2006)



2005


Artikel

1.      Pendidikan darurat pasca-bencana (KOMPAS, Jumat, 7 Januari 2005)
2.      Demokrasi dan peran cendekia (KOMPAS, Kamis,17 Maret 2005)
3.      Paus, lembaga kepausan dan dunia (KOMPAS, Selasa, 5 April 2005)
4.      Gereja dan Demokrasi (KOMPAS, Selasa,19 April 2005)
5.      Kemartiran sebagai Pedagogi Rohani (KOMPAS, Senin, 10 oktober 2005)                 
6.   Cendekia, Politisi dan Krisis Solidaritas (KOMPAS, Selasa, 1 november 2005)
7.   Pahlawan Tanpa Tanda Jasa : Legenda yang Telah Tiada (BASIS, No. 07-08,
Tahun ke-54, Juli-Agustus 2005, 59-62)
8.      Konser Armata Russa untuk Paus (HIDUP,24 Oktober 2005)
9.      Papa est Mortuus (HIDUP, 10 April 2005)
10.  Setelah Pemakaman Paus (HIDUP, 17 April 2005)

Laporan Jurnalistik
Di situs resmi Konferensi Waligereja Indonesia ( mirifica.net)

1.      Paus Yohanes Paulus II kembali masuk rumah sakit (25 Februari 2005)
2.      Paus menjalani operasi laring (26 Februari 2005)
3.      "Setiap bentuk penderitaan manusiawi mencerminkan janji keselamatan dan
4.      kegembiraan illahi," ujar Paus Yohanes Paulus II (28 Februari 2005)
5.      Laporan dari Roma seputar passio Bapa Suci (02 April 2005)
6.      Ular naga antrian penghormatan terakhir bagi YP II (04 April 2005)
7.      Paus, Lembaga Kepausan dan Dunia (05 April 2005)
8.      Masyarakat mulai antri memberikan penghormatan terakhir kepada Bapa Suci YP II
(06 April 2005)
9.      Salut buat petugas keamanan Italia (9 april 2005)
10.  Angka-angka fantastis pemakaman Paus (10 April 2005)
11.  Asap dari Kapel Sistina akan mengepul sekitar pukul 12 dan 19 (16 April 2005)
12.  Gereja dan Demokrasi (19 April 2005)
13.  Teater terbuka cerobong kapel Sistina (19 April 2005)
14.  Cerobong kapel Sistina semakin bikin gregetan (19 April 2005)
15.  Paus Panzer itu menggetarkan banyak orang (20 April 2005)
16.  Kirim Email ke Paus Benedektus XVI (23 April 2005)

Penerbitan lain

1. “Pendidikan Darurat Pasca-Bencana” dalam buku Bencana gempa dan Tsunami, Penerbit
     Buku KOMPAS, 2005, hlm 486-489. (Bunga Rampai)


2004 
 

Artikel



1.      Pendidikan dalam Perjumpaan (KOMPAS, Jum’at, 16 Januari 2004)

2.      Guru Itu Kembali ke Jalan (KOMPAS, Jumat, 20 Februari 2004)
3.      Aplaus Palsu Teater Pendidikan Nasional (KOMPAS, Sabtu, 19 Juni 2004)
4.      Anak-anak Tanpa Identitas  (KOMPAS, Kamis, 05 Agustus 2004)
5.      Krisis Universitas  (KOMPAS, Selasa, 07 September 2004)
6.      "Quo Vadis" Pendidikan di Indonesia?”  (KOMPAS, Selasa, 26 Oktober 2004)
7.      Nurlaila, siapa pembelamu kini? (KOMPAS, Selasa, 23 November 2004)
8.      Ketegangan mewarnai Paskah di Vatikan (HIDUP, 25 April 2004)

Penerbitan lain

1. “Pendidikan Manusia versus Kebutuhan Pasar” (artikel dalam buku Pendidikan  Manusia 
    Indonesia, Penerbit buku KOMPAS, 2004)

Penerbitan dalam bahasa asing

1. Riforme Ombre e Speranza sulla Nuova Democrazia Indonesiana  (Mensile internazionale della Compagnia di Gesù, Popoli, Novembre 2004) (Bahasa Italia)




2003 
 

Artikel



1.      Bangsa yang Mendidik Dirinya Sendiri (KOMPAS, Sabtu, 15 November 2003)

2.      Pendidikan Keluarga dan Salus Publica (KOMPAS, Senin, 22 Desember 2003)



Laporan Jurnalistik mirifica.net

Di situs resmi Konferensi Waligereja Indonesia ( mirifica.net)
1.      Laporan Khusus audiensi delegasi Indonesia dengan Bapa Suci Yohanes Paulus II. Paus Yohanes Paulus II, "Jangan  biarkan politik menjadi sumber perpecahan agama-agama." (21 Februari 2003)
2.      Vatikan : KWI akhiri kunjungan ad limina di Roma. Paus Yohanes Paulus II, "Agama yang autentik tidak  mendukung  terorisme dan kekerasan." (29 maret 2003)
3.      Laporan beatifikasi Ibu Theresa (23 Oktober 2003)
4.      Paus Yohanes Paulus II dalam misa beatifikasi (15 November 2003)



2002


Laporan Jurnalistik di Mirifica.net

1.        Roma :Pesan Damai super kongres kaum muda lintas agama  (26 mei 2002)  
2.        Roma: Pertemuan presiden Megawati dengan Masyarakat Indonesia  (11 Juni 2002)
3.        Roma : Lautan manusia membanjiri kanonisasi Padre Pio dari Pietrelcina  (19 Juni 2002)
4.        Roma : Liturgi adalah mulut Gereja, bukan hanya lipstiknya (23 Juni 200)
5.     La Dichiarazione della Conferenza Episcopale Indonesiana sull scoppio della bomba in Bali 15 Oktober 2002  (dalam bahasa Italia)
6.        Beatifikasi 6 orang kudus (21 oktober 2002)
7.        Roma : Kardinal Julius Darmaatmadja SJ, "Hukum, kebenaran dan keadilan harus 
ditegakkan" (22 november 2002)


2001 
 

1.      Tan Malaka : Menuju Indonesia yang Merdeka dan Sosialis (BASIS, No. 01-02, Tahun ke-50, Januari-Februari 2001, hlm 59-71)

2.      Berhenti Mengutuk Gulita, Nyalakan Pelita Harapan (ROHANI, No 05, Tahun ke-48,

Mei 2001, hlm 17-21)

3.      Romo kok berpolitik! (ROHANI, No 08, Tahun ke-48, Agustus 2001, hlm 13-16)

4.      Kebahagiaan Keluarga Kepala Desa (HIDUP, 17 Juni 2001)



2000 
 

1.      Bius Desi Ratnarkotikasari (Majalah AQUILA, No. 2 Th. LXX Maret – Juni 2000, hlm.

10 –13)

2.      Pastor Ars (ROHANI, No 07, Tahun ke-47, Juli 2000, hlm 40)

3.      Ilalang (ROHANI, No 08, Tahun ke-47, Agustus 2000, hlm 40)

4.      Orang tak Beriman (ROHANI, No 09, Tahun ke-47, September 2000, hlm 40)

5.      Ugahari (ROHANI, No 10, Tahun ke-47, Oktober 2000, hlm 40)

6.      Memoria (ROHANI, No 11, Tahun ke-47, November 2000, hlm 40)

7.      Karoling (ROHANI, No 12, Tahun ke-47, Desember 2000, hlm 40)

8.      Mati Sunyi Seorang Guru (BERNAS, Jumat Wage, 28 April 2000)



1999 
 

1.      Dr. Amin Rais, “Lebih cepat dari kesiapan kita...” (HIDUP, 21 Februari 1999)

2.      Tukar Senjata dengan Kedamaian (ROHANI, Juli 1999, hlm 285-294)

3.      Tuhan sudah Mati? (ROHANI, Desember 1999, hlm 518-523)



1998



1.      “Mencari “Kelinci” di Seminari Garum” dalam buku Membuka Topeng Seminari(S)

Catatan perjalanan di Seminari Garum 1987-1995, Epilog Y.B. Mangunwijaja, 1998, hal

5-12.

2.      Analisis Kultural Munculnya Demokrasi (BASIS, Nomor 09-10, Tahun ke-47, September-Oktober 1998, hlm45-47)



1997



1. Ahmad Wahib : Sekam yang Terus Menyala (Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XXIII, no

    2 hlm 24-31)



1996 
 

1.      Slamet Raharjo (HIDUP, 28 Januari 1996)

2.      Okky Asokawati (HIDUP, 18 Februari 1996)

3.      Penerima Anugerah Yap Thiam Hien 1995, Ny. Ade Rostina Sitompoel, “Ini Panggilan

Saya...” (HIDUP, 25 Februari 1996)

4.      Keahlian Berkotbah Bukan Bakat (HIDUP, 10 Maret 1996)

5.      Prof. Dr. Daoed Joesoef (HIDUP, 10 Maret 1996)

6.      Pastoran St. Agustinus TNI-AU: “Cockpit pun bisa jadi Gereja...” (HIDUP, 31 Maret

1996)

7.      Ilen Surianegara (HIDUP, 7 April 1996)

8.      Antara Teritorial dan Kategorial (HIDUP, 7 April 1996)

9.      Menuju Paskah Abadi (HIDUP, 14 April 1996)

10.  Teguh Karya (HIDUP, 28 April 1996)

11.  Tidak Boleh Menyangkal Iman (HIDUP, 23 Juni 1996)

12.  “Pait ya Pait, Legi...” (HIDUP, 28 Juli 1996)

13.  Pastor Joannes Reijnders SJ (HIDUP, 25 Agustus 1996)

14.  Gereja St. Paskhalis : Menghindarkan Umat dari Sakit (HIDUP, 1 September 1996)

15.  Ekaristi tak bisa lepas dari Ibadat Sabda (HIDUP, 15 September 1996)

16.  Spiritualitas Balas Dendam dalam Film Silat Cina (KOMPAS, Minggu, 15 September

1996)

17.  Paquita Widjaja (HIDUP, 22 September 1996)

18.  Simbol Kekalahan Orang-Orang Kecil (HIDUP, 14 Januari 1996)

19.  Kembalinya Firdaus yang Hilang (HIDUP, 3 Maret 1996)

20.  Oedipus Mencari Kebenaran (HIDUP, 24 Maret 1996)

21.  Berita Keselamatan Lewat Wayang (HIDUP, 5 Mei 1996)

22.  Cinta Manusia-Manusia Licik (HIDUP , 21 Juli 1996)

23.  Memperkaya Musik Gereja dengan Post-Romantik (HIDUP, 30 Juli 1995)



1995 
 

1.      Kucing, Homeros, dan Pasal 510 KUHP (HIDUP, 12 Februari 1995)

2.      Kembalikan Supremasi Hukum (HIDUP, 21 Mei 1995)

3.      Jika Kelompok Kategorial Rayakan Paska (HIDUP, 21 Mei 1995, hlm 20-21)

4.      Frans Magnis-Suseno SY (HIDUP, 21 Mei 1995)

5.      Gereja Kita adalah Rumah Allah (HIDUP, 4 Juni 1995)

6.      Magdalena Group : Mencari Anak yang Hilang (HIDUP, 4 Juni 1995)

7.      Ayo..!! Seminari Wacana Bhakti (HIDUP, 11 Juni 1995)

8.      Xanana Gusmao : Saya Tidak Punya Bapa Rohani (HIDUP, 25 Juni 1995)

9.      Kala Teater Putri Beraksi (HIDUP, data?)

10.  Mutiara Iman yang terpendam di Kampung Sawah (HIDUP, 23 Juli 1995)

11.  Bagai Benih di Semak Duri (HIDUP, 23 Juli 1995)

12.  Upacara ala Mahasiswa (HIDUP, 27 Agustus 1995)

13.  Refleksi Berujung debat Kusir (HIDUP, 24 September 1995)

14.  Mencerdaskan Bangsa lewat Otak (HIDUP, 24 September 1995)

15.  Ratna Sarumpaet (HIDUP, 1 Oktober 1995)

16.  Menterjemahkan Iman Katolok dalam Profesi (HIDUP, 8 Oktober 1995)

17.  Ardy Bernardus Wiranata (HIDUP, 15 Oktober 1995)

18.  Soedjati Djiwandono : Membenahi diri (HIDUP, 15 Oktober 1995)

19.  Keterlibatas sebagai Ragi (HIDUP, 22 Oktober 1995)

20.  Ketika Suara Malaikat Bergema Kembali (HIDUP, 29 Oktober 1995)

21.  Temu Hati Lewat Dialog Kemanusiaan (HIDUP, 22 Oktober 1995)

22.  Menilik Bisnis di Luar Sidang (HIDUP, 19 November 1995)

23.  Frederika Sandra Wati (HIDUP, 19 November 1995)

24.  Marrieta Sylvie Bolang (HIDUP, 19 November 1995)

25.  Disediakan Sembilan Bus Ber-AC (HIDUP, 19 November 1995)

26.  Mereka Kooperatif (HIDUP, 19 November 1995)

27.  Evangelisasi Lewat Lagu Tradisional (HIDUP, 26 November 1995)

28.  Katekismus Baru: Depositum Fidei (HIDUP, 3 Desember 1995)

29.  Thomas Paulus Oei Tjoe Tat (HIDUP, 24/31 Desember 1995)

30.  Memahami Penampakan Tidak Lebih (HIDUP, 24/31 Desember 1995)

31.  Sebuah Pusaran bagi Martabat Manusia (HIDUP, 28 Mei 1995)

32.  Cinta di Antara Semak Duri (HIDUP, 9 Juli 1995)

33.  Jangan Curi Kebahagiaan Anak Cucu Kita (HIDUP, 6 Agustus 1995)

34.  Meluruskan Sejarah Lewat Puisi (HIDUP, 3 September 1995)

35.  Ilmu Air dari Syekh Burdah (HIDUP, 17 September 1995)

36.  Pelarangan Buku Memoar Oei Tjoe Tat, Minggirnya Kritik Sastra di Indonesia

37.  (HIDUP, 15 Oktober 1995)

38.  Demi si Jabang Bayi (HIDUP, 29 Oktober 1995)

39.  Menyibak Keterlibatan Umat (HIDUP, 19 November 1995)

40.  Hidup Askesis :Perjalanan Mistik Penemuan Jati Diri Manusia (ROHANI, April 1995)



1989-1992

1.      La Carlota (cerpen), Majalah Viva Vox edisi...

2.      Cahaya Kebangkitan (cerpen),  Viva Vox edisi 61 Th. XXXI Juli – Desember 1991,

Diterbitkan oleh Elex Media Computindo, Jakarta, dalam kumpulan cerpen Viva Vox Tak  

Hanya Satu Jalan, 2007.

 

Guru: Agent of Change

Oleh Doni Koesoema A


Di tengah berbagai macam kebijakan pendidikan yang memangkas kreatifitas dan profesionalitas guru, ada dua cara yang serentak mesti dilakukan oleh guru agar tetap bisa bertahan dalam kinerja profesionalnya. Pertama, bersikap kritis atas berbagai macam kebiijakan pendidikan pemerintah yang menindas otonomi dan profesionalitasnya. Kedua, bersikap kritis terhadap diri sendiri agar tidak semakin diperalat sebagai kepanjangan tangan birokrat, melainkan menemukan kembali kebebasan dan otonominya sebagai pelaku perubahan (agent of change). Ketika berbagai kritik atas kebijakan pendidikan telah mental sebab mental politik otoritarian itu lebih berkuasa dan adu kekuatan itu semakin meminggirkan guru, ada satu daya kekuatan lain yang tersisa yang bisa menjadi daya tawar kekuatan guru, yaitu, meraih kembali kebebasan dan menghayati identitas diri sebagai pelaku perubahan.

Masyarakat berubah, identitas guru juga berubah. Pepatah latin mengatakan, tempora mutantur et nos mutamur in illis (waktu berubah dan kitapun berubah karenanya). Ungkapan bijak ini berlaku bagi perjalanan hidup setiap individu, terlebih lagi bagi mereka yang menghayati panggilannya sebagai guru yang sesungguhnya adalah pelaku perubahan. Memiliki visi sebagai pelaku perubahan merupakan conditio sine qua non bagi pembaharuan dalam dunia pendidikan. Lebih dari itu, guru bisa berperanan lebih aktif dalam membangun tatanan baru masyarakat yang lebih adil dan manusiawi melalui kinerja pendidikan mereka.

Guru adalah pelaku perubahan. Itulah sebenarnya hakekat terdalam keberadaan seorang guru. Dengan kegiatannya mengajar, ia membentuk identitas keguruannya. Melalui identitas inilah ia mengukuhkan dirinya sebagai pelaku perubahan. Kegiatan mengajar yang dilakukan guru di kelas akan memberikan perubahan dalam diri siswanya yang akan berguna bagi hidupnya mengatasi batas-batas kelas. Sebagai pelaku perubahan, guru menngubah siswa menjadi lebih baik, lebih pandai, lebih memiliki ketrampilan yang berguna bagi pengembangan profesi mereka dalam masyarakat. Guru membuat siswa memahami persoalan dengan lebih jernih sehingga mampu membuat keputusan dan bertindak secara tepat dan bertanggungjawab dalam hidup mereka. Guru yang baik membuat siswa siap terjun secara aktif dalam masyarakat sehingga mampu membangun dan menciptakan tatanan masyarakat yang lebih baik dari yang sekarang ini mereka alami.

Berbagai Tarikan Kepentingan

Tantangan pertama yang mesti dihadapi guru dalam mengukuhkan identitas dirinya sebagai pelaku perubahan adalah menyadari berbagai macam tarikan kepentingan kekuasaan yang menggelayuti profesi mereka sebagai guru. Guru selalu berada dalam tegangan kelompok kepentingan yang berpotensi mengerdilkan ciri konstruktif dan liberatif yang mereka miliki. Guru bisa menjadi pelanggeng status quo atau pembangun tatanan baru. Guru mampu terlibat dalam proses pencerahan, pemberdayaan, dan partisipasi dalam masyarakat. Namun guru juga bisa terjebak pada kelompok kepentingan tertentu yang menjadikan mereka sekedar alat-alat kepentingan ideologis kelompok mapan. Yang pertama berbicara tentang fungsi liberatif guru, yang kedua fungsi konservatif.

Cara kita memandang dua fungsi guru tergantung dari bagaimana masyarakat memandang lembaga pendidikan. Pandangan konvensional mengatakan bahwa bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah sebagai mekanisme pemerataan kesempatan belajar bagi semua. Pendidikan akan mengidentifikasi dan menyeleksi individu yang memiliki kemampuan intelektual, bakat-bakat, dan motivasi yang kuat, tidak perduli mereka berasal dari kalangan mana, entah kaya maupun miskin. Untuk itu, pengalaman mengenyam bangku pendidikan akan membekali mereka dengan kemampuan, keterampilan dan pengetahuan yang membuat mereka dapat semakin hidup secara bermartabat dalam masyarakat. Jumlah pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh melalui pendidikan akan menjadi kriteria dan indikator untuk menentukan jenis pekerjaan dan penghargaan materi yang melekat dalam kepemilikan pengetahuan dan keterampilan tersebut (McNamee dan Miller, 2004, hlm. 14).

Pandangan ini menganggap bahwa lembaga pendidikan itu bersifat meritokrasi, yaitu, memberikan kesempatan bagi mereka yang kurang beruntung agar dapat bersaing dan berlomba dengan mereka yang telah mapan untuk menduduki posisi penting yang lebih bermartabat dalam masyarakat. Anak-anak keluarga miskin yang ulet, gigih dan mau belajar, akan dapat mengenyam pendidikan tinggi yang memungkinkan mereka mengalami mobilitas sosial. Tanpa ada jaminan dan persamaan kesempatan dalam mengenyam pendidikan, anak-anak orang miskin dan mereka yang secara sosial terpinggirkan tidak dapat bangkit dari keterpurukannya. Tanpa adanya akses pada pendidikan, mereka akan tetap berkubang dalam kemiskinan dan kemelaratan tanpa ada jalan terbuka untuk membebaskan diri dari situasi sosial yang meminggirkannya. Bagi mereka pendidikan menjadi salah satu sarana mobilitas sosial dalam masyarakat.

Pendidikan membantu mengangkat harkat mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat menjadi setara dengan mereka yang memiliki previlese, entah karena status sosial maupun warisan kekayaan turun temurun yang memungkinkan anak-anak orang kaya menikmati keistimewaan dalam kehidupan sosial mereka. Dalam konteks ini, guru memiliki fungsi liberatif, yaitu, membebaskan mereka dari belenggu kemiskinan dan membuat anak-anak orang miskin mengalami mobilitas sosial dalam masyarakat.

Namun, selain pandangan bahwa pendidikan memberikan persamaan kesempatan belajar pada setiap orang yang memungkinkan terjadinya mobilitas sosial, terdapat juga pandangan lain yang lebih radikal. Alih-alih sebagai lembaga yang membebaskan, pada kenyataannya sekolah hanya melestarikan status quo dan mereproduksi struktur sosial dan ketimpangan dalam masyarakat. Sekolah memiliki fungsi konservatif, yaitu melanggengkan ketimpangan dan semakin memperlebar jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin. Sekolah bukannya membawa si miskin pada mobilitas sosial lebih tinggi melainkan malah membuatnya terpinggir dan tersisih.

Pengikut aliran ini tidak percaya peranan sekolah sebagai lembaga yang mempromosikan persamaan dan kesempatan di mana sekolah dapat menjadi alat mobilitas sosial bagi kaum miskin. Sebaliknya, mekanisme pendidikan sesungguhnya mengotak-ngotakkan individu berdasarkan kelas sosial. Pendidikan hanya mendaur ulang (reproduction) sistem kelas dalam masyarakat. Sistem, struktur, dan kultur di sekolah tidak lain adalah cerminan dari realitas sosial di dalam masyarakat di mana yang kaya akan semakin maju, dan yang miskin akan semakin terpinggirkan. Model kurikulum, cara pengajaran dan evaluasi belajar, misalnya, lebih menguntungkan mereka yang kaya, memiliki sarana dan fasilitas yang baik serta tradisi pendidikan dalam keluarga yang kuat. Anak-anak orang kaya ini memiliki modal sosial dan kultural yang lebih dibandingkan anak-anak orang miskin yang secara faktual hidup dalam kubangan kemiskinan yang membuatnya abai terhadap pendidikan.

Dalam situasi ketimpangan ini, proses penilaian hasil belajar (evaluasi) di sekolah juga berat sebelah. Sekolah memberikan nilai-nilai yang baik pada mereka yang memiliki keistimewaan (bakat, talenta, kepandaian, kecerdasan, dll) yang umumnya telah dimiliki oleh anak-anak orang kaya. Sistem pendidikan lebih menguntungan anak-anak orang kaya daripada daripada orang miskin yang dari sononya memiliki defisit modal budaya. Anak-anak orang kaya yang lebih cerdas mampu menguasai dan menyelaraskan diri dalam sistem pendidikan yang ada. Mereka inilah yang akan mendapatkan ijasah dan sertifikat serta mampu meneruskan ke perguruan tinggi bermutu sehingga status sosial mereka tetap akan berada di kisaran atas dalam tatanan sosial masyarakat.

Sebaliknya, sekolah memberikan hukuman kepada anak-anak orang miskin yang kesulitan belajar. Tidak adanya sarana yang memadai (buku pelajaran, dll), lingkungan belajar yang kondusif untuk memperdalam ilmu, menumbuhkan disiplin, dll, membuat anak-anak orang miskin ini senantiasa terpuruk. Merekalah yang selalu menjadi langganan ketidaklulusan dan drop out dari sekolah.

Tidak jarang sekolah sudah membuat semacam penggolongan dan seleksi (tracking) sejak awal di mana anak-anak orang miskin sering diarahkan untuk mengenyam pendidikan yang dapat langsung membuat mereka bekerja, seperti, mengarahkan mereka untuk memilih jalur SMK. Pendekatan seperti ini, meski sekilas tampaknya baik, namun sesungguhnya semakin menjauhkan mereka dari akuisisi modal budaya yang lebih tinggi yang memungkinkan mereka mengalami mobilitas sosial. Anak-anak ini tetap akan terpuruk dalam lapis bawah hirarki tenaga kerja dalam dunia industri. Ketimpangan seperti ini didaurulang terus dari generasi satu ke generasi yang lain sehingga sekolah bukannya menjadi alat yang memberikan persamaan belajar sehingga setiap siswa memiliki akses pada pengetahuan universal, melainkan pendidikan semakin memperlebar jurang perbedaan dan melanggengkan ketimpangan dalam masyarakat berdasarkan kelas sosial.

Guru, dalam artian tertentu, seperti diindikasikan oleh Harris (1982), memang bisa terjerumus menjadi antek dan kaki tangan pemilik modal (agents of capital) yang melayani kepentingan ideologis kapitalisme global dengan cara menanamankan kesadaran dalam diri anak didiknya untuk menjaga, mempertahankan dan mendaurulang corak hubungan sosial kapital dalam masyarakat yang telah ada. Guru pun yakin bahwa anak-anak orang miskin ini pun tidak akan memiliki harapan di masa depan. Paling tinggi mereka hanya bisa sekolah di sekolah kejuruan. Keyakinan guru yang seperti ini semakin mempercepat self-fulfiling prophecy bagi anak-anak orang miskin. Ketika anak-anak orang miskin juga yakin bahwa paling tinggi mereka bisa sekolah hanyalah sampai SMK, semakin lengkaplah reproduksi tatanan sosial dalam masyarakat terbentuk. Sekolah bukan lagi menawarkan harapan bagi pertumbuhan yang lebih penuh, sebaliknya, menjadi tempat untuk melestarikan dan memertahankan kemiskinan dan keterpurukan.

Contoh kebijakan pendidikan yang menyuburkan self-fulfilling propechy dan menutup harapan anak-anak miskin untuk mengalami mobilitas sosial adalah gagasan Mendiknas Bambang Sudibyo untuk menurunkan rasio pendidikan SMA dan SMK dengan lebih menekankan peningkatan pada pendidikan SMK. Pendekatan pendidikan seperti ini asumsi dasarnya adalah sekolah sebagai perpanjangan tangan dunia industri yang menjadi penyedia tenaga kerja bagi pemilik modal. Kebijakan ini hanya akan melanggengkan ketimpangan dan melestarikan status quo, karena mereka yang melanjutkan ke perguruan tinggi tetap akan menduduki jabatan tinggi, sedangkan lulusan SMK tetap menjadi pekerja kelas bawah yang tidak memiliki kemungkinan mobilitas sosial selain menjadi kaki tangan yang siap diekslpoitasi oleh kepentingan pemilik modal.

Di jaman persaingan ekonomi bebas seperti ini, memperbanyak sekolah SMK hanya akan memosisikan anak-anak Indonesia menjadi pekerja kasar pada jabatan paling bawah dalam hirarki industri. Mengarahkan anak didik hanya ke SMK hanya akan menghalangi anak-anak kita akses anak-anak terhadap pengetahuan universal. Yang dibutuhkan adalah akses masuk ke akademi teknik yang setara dengan perguruan tinggi sehingga meningkatnya kualitas pendidikan memberi para siswa daya tawar lebih yang memungkinkan terjadinya mobilitas sosial. Memperbanyak SMK tanpa menyediakan keterbukaan akses untuk memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi tetap akan memosisikan anak-anak orang miskin pada posisi marginal. Di balik semua ini, lembaga pendidikan sesungguhnya memosisikan guru sebagai tukang, teknisi dan kaki tangan pemilik modal. Sekolah menjadi sebuah lembaga yang mempertahankan hubungan sosial dan modal dalam masyarakat. Karena itu, guru menjadi sekedar perpanjangan tangan ideologi kapitalis.

Akan selalu ada tegangan antara kepentingan negara, kepentingan masyarakat (termasuk di dalamnya kepentingan bisnis dan kekuatan media), serta kepentingan individu guru dalam mewujudkan identitas dirinya sebagai pekerja budaya. Sebagai pekerja budaya, guru bisa menjadi perpanjangan tangan kultur kapital yang mempertahankan status quo, namun tidak menyentuh persoalan ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Namun guru juga memiliki potensi sebaliknya. Mereka dapat menjadi pelaku aktif pemberdayaan siswa dan masyarakat melalui pendidikan. Dalam konteks perdebatan inilah kiranya pengembangan visi guru sebagai pelaku perubahan mesti diletakkan.

Guru sebagai intelektual transformatif

Lembaga pendidikan memang bisa diredusir fungsi dan peranannya menjadi sekedar kaki tangan pemilik modal untuk melanggengkan kepentingannya. Namun demikian, lembaga pendidikan juga bisa memiliki peranan strategis lain yang berbeda dengan kepentingan pemiliki modal. Giroux dan McLaren (1989) berpendapat bahwa cara kita mendefinisikan peranan guru dalam masyarakat menentukan cara di mana kita mengonstruksi tatanan masyarakat. “Alih-alih mendefinisikan guru sebagai petugas administratif (clerk) atau teknisi, kita mesti memahami kembali peranan para guru sebagai intelektual transformatif dan terlibat (engaged and transformative intellectuals). Guru semestinya bersikap kritis dan mampu merefleksikan prinsip-prinsip ideologis yang menjadi panduan bagi praksis mereka. Mereka mestinya juga mampu menghubungkan teori pedagogi dengan persoalan sosial yang lebih luas sehingga mampu menguasai dan mengarahkan kinerja mereka secara lebih aktif dan transformatif. Dengan cara ini, guru mengembangkan visi pembangunan tata masyarakat baru, yaitu, sebuah visi tentang kehidupan yang lebih baik dan manusiawi melalui pendidikan dan pengajaran yang mereka berikan. Guru mesti lebih menghayati keberadaan dan peranan dirinya sebagai pelaku perubahan dalam masyarakat.

Melalui kinerja profesionalnya, guru bisa berperanan lebih aktif dalam mengembangkan kesadaran kritis yang lebih produktif dalam diri para siswa. Untuk itu, guru mesti meninggalkan inspirasi konservatif dan mulai memeluk inspirasi demokratis. Jika pendidikan merupakan sebuah sarana pembebasan yang memungkinkan setiap orang berpartisipasi aktif dalam membentuk tatanan sosial dalam masyarakat, inspirasi demokratis merupakan jiwa yang menghidupi kinerja guru sebagai pelaku perubahan.

Untuk menjadi pelaku perubahan, guru tidak dapat melestarikan pandangan dan paradigma pendidikan yang sifatnya daur ulang dan sekedar menjadi kaki tangan kapitalisme global. Untuk itu guru mesti mengembangkan paradigma baru yang inspirasi dasarnya adalah nilai-nilai demokratis yang mengutamakan partisipasi tiap individu dalam pengaturan tata kehidupan masyarakat. Hanya melalui inspirasi demokratis inilah terdapat jaminan bahwa setiap warga masyarakat memiliki hak dan persamaan dalam menata hubungan sosial, politik, dan ekonomi antar mereka. Keterlibatan dan partisipasi aktif dalam berdemokrasi memungkinkan terwujudnya keadilan, dilindunginya hak-hak kelompok minoritas dan jaminan bagi mereka yang kurang beruntung, agar mereka dapat tetap terlibat aktif dalam kehidupan masyarakat. Tanpa ada keadilan dan persamaan dalam mengenyam pendidikan, lembaga pendidikan hanya akan melestarikan ketimpangan dan mengelompokkan orang-orang miskin menjadi bagian pasif dan beban bagi masyarakat.

Gagasan dasar inspirasi demokrasi dalam pendidikan adalah kepercayaan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam pembangunan masyarakat. Individu bersama komunitas membangun diskursus dan praksis dalam kehidupan bersama yang saling menumbuhkan, bukan saling menindas atau mendominasi satu sama lain. Ada keseimbangan dan keadilan dalam memaknai peranan masing-masing dalam kebersamaan yang sifatnya konstruktif dan penuh rasa hormat.

Dalam konteks inilah guru memiliki peranan sangat sentral dalam menanamkan inspirasi demokratis ini pada setiap siswa agar kelak ketika mereka terjun dalam masyarakat, mereka dapat terlibat secara aktif dan produktif. Dengan demikian mereka dapat menyumbangkan potensi pembentukan masyarakat baru yang lebih manusiawi, adil dan memberikan rasa aman dan damai bagi anggota masyarakat tersebut. Guru mesti menghayati identitasnya sebagai intelektual transformatif yang melalui kinerjanya menyumbangkan pembangunan tata masyarakat baru.

Dialektis dan simultan

Namun memandang peranan guru dalam dua binari, yaitu, konservatif dan radikal, kiranya terlalu menyederhanakan persoalan perubahan yang terjadi dalam lembaga pendidikan. Jejaring yang saling kait mengait dalam profesi guru tidak dapat dipahami secara utuh jika dilihat hanya dari sudut pandang struktural atau pun individual. Pada kenyataannya, dua hal ini bersifat dialektis, simultan dan saling tergantung satu sama lain. Struktur adalah konstelasi internal yang membuat keberadaan individu bermakna. Ketidakseimbangan pembagian kekuasaan dalam sebuah struktur pendidikan bisa menimbulkan sebuah relasi yang sifatnya dominatif. Struktur bisa menindas individu. Namun demikian, individu pun juga bisa memiliki kewenangan absolut dan otoriter yang mengatasi keberadaan struktur. Untuk itu memahami dinamika kinerja guru sebagai pelaku perubahan tidaklah mencukupi jika kita sekedar mengandalkan pendekatan biner.

Secara hakiki, guru memiliki preferensi individual yang bisa serentak bersifat politis. Kinerja guru tidak dapat terlepas dari jaringan relasi kekuasaan yang mereka miliki. Karena setiap relasi kekuasaan hanya bisa hadir dalam sebuah lembaga, dan ketika kita berbicara tentang lembaga mau tidak mau kita mesti mempertimbangkan individu sebagai unsur konstitutif yang membentuknya, nilai-nilai, keyakinan dan praksis individu dalam lembaga pendidikan menjadi penting untuk dianalisis. Nilai, keyakinan dan praksis individu dengan demikian bisa bersifat politis atau apolitis, konservatif atau radikal.

Jika keyakinan dan praksis yang dimiliki guru itu cenderung mempertahankan status quo, apa yang terjadi dalam pengajaran bukanlah sesuatu yang produktif. Sebaliknya, jika praksis guru diyakini sebagai bagian dari kinerja pembangunan masyarakat, apa yang dilakukan guru di sekolah bisa bersifat transformatif, membebasakan, dan memberikan ruang bagi partisipasi individu dalam masyarakat demokratis.

Analisis struktural membantu kita bersikap kritis dalam mencermati ketimpangan dan ketidakadilan dalam sebuah sistem organisasi. Demikian juga menganalisis faktor-faktor individual yang membentuk sebuah sistem memungkinkan kita melihat alternatif baru bagi sebuah perubahan. Tanpa keyakinan bahwa individu mampu mengubah sistem dengan demikian mengubah corak relasional antar individu menjadi lebih adil, gagasan guru sebagai pelaku perubahan tidak relevan. Memiliki visi guru sebagai pelaku perubahan mengandaikan bahwa kinerja individual dapat mengubah stuktur dan tradisi yang menindas, yang menghalangi tiap individu mencapai kepenuhan dirinya sebagai pribadi.

Saya yakin, lembaga pendidikan bukan hanya mampu menjadi salah satu mekanisme bagi penyelaras perbedaan dalam masyarakat, pemberi kesempatan belajar terhadap semua saja tanpa kecuali sehingga terjadi mobilitas sosial. Lebih dari itu, guru sebagai pelaku perubahan diharapkan tidak lagi menjadi pendidik yang mendaur ulang tumpukan pengetahuan, atau sekedar mempersiapkan anak-anak didik agar dapat hidup aktif dalam masyarakat global, melainkan juga mampu membangun tatanan masyarakat baru yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih bermartabat.

Percaya bahwa individu mampu mengubah struktur dan membangun tatanan baru dalam lingkungannya mempersyaratkan kepemilikan keterampilan agar guru dapat memulai, mengembangkan dan mempertahankan inisiatif perubahan dalam dirinya. Setiap inisiatif perubahan yang terjadi dalam diri individu tanpa disertai keterampilan yang memungkinkannya secara efektif melaksanakan perubahan yang ingin diarah hanya akan membuat gagasan tentang perubahan itu tidak realistis dan karena itu apa yang telah dimulai bisa gagal di tengah jalan, atau tidak dapat berkelanjutan.

Menjadi pelaku perubahan mempersyaratkan agar guru memiliki kemampuan dan kompetensi dalam merealisasikan visi dan komitmen pribadinya. Guru mesti memiliki rasa penguasaan (personal mastery) diri dan hidupnya yang akan memberikan dalam dirinya semacam kontrol atas hidup, dan mampu memberikan penilaian bagi situasinya sendiri secara seimbang dan sehat (Senge, 1994). Guru dapat mengenali dinamika dan situasi hidupnya sendiri ketika berhadapan dengan tantangan di luar dirinya. Tanpa rasa penguasaan atas hidupnya sendiri guru hanya akan ikut arus ke sana ke mari tanpa memiliki otoritas dan kuasa atar dirinya sendiri. Salah satu cara agar guru tetap mampu menumbuhkan kemampuan dirinya sebagai pelaku perubahan adalah dengan menghayati visi pribadi.

Menghidupi visi dan inspirasi pribadi

Salah satu cara pengembangan keberadaan guru sebagai pelaku perubahan adalah kemampuannya dalam menghidupi visi dan inspirasi yang menjadi jiwa bagi kinerja profesional mereka. Tantangan berat guru sebagai pelaku perubahan dalam sebuah masyarakat yang ditandai dengan jungkir balik tatanan nilai adalah menghidupi visi dan inspirasi yang menjadi jiwa bagi kinerja lembaga pendidikan.

Dalam bahasa manajemen, visi dipahami sebagai gambaran mental tentang keadaan organisasi yang diinginkan di masa depan (Senge, 1990, hlm. 9). Lembaga pendidikan yang tidak memiliki visi seperti sebuah kerumunan orang tanpa tujuan yang bekerja sendiri-sendiri. Visi mengacu pada kenyataan (realism), kepercayaan (credibility) dan ketertarikan (attractiveness) (Nanus, 1992). Ada kondisi atau keadaan nyata yang ingin dicapai melalui visi tersebut. Keadaan yang akan dicapai itu merupakan sesuatu yang layak diperjuangkan karena ada nilai dan kebaikan yang menjadi daya penarik, pengikat, pendorong semangat yang memberikan tiap individu yang terlibat dorongan moral dan rasa memiliki tugas dan panggilan bagi kehidupan. Karena itu, mengembangkan visi bisa berarti menciptakan gambaran mental tentang situasi yang diinginkan di masa depan, seperti, dalam konteks pengajaran dan pembelajaran. Termasuk di dalamnya menumbuhkan lingkungan yang kondusif untuk mengajar dan belajar.

Visi menjadi panduan untuk menentukan isi dan proses tentang bagaimana sekolah dan guru dapat melaksanakan tugasnya dalam mendidik dan mengajar siswa. Tanpa memiliki visi ini, guru akan kehilangan inspirasi. Tanpa inspirasi seperti ini, guru hanya akan menjadi bulan-bulanan permainan jungkir balik nilai yang ada di dalam masyarakat, sebab pada kenyataannya tidak semua nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat menjadi gagasan baru yang senantiasa relevan bagi lembaga pendidikan pada umumnya, dan kinerja guru pada khususnya.

Gagasan baru seperti kecepatan, produktifitas, efektifitas dan efisiensi merupakan mantra yang telah menyerambah hampir ke semua bidang kehidupan. Inilah nilai-nilai baru yang menguasai dinamika kehidupan dalam masyarakat kita. Situasi ini jika tidak dicermati akan menggerus visi dan mematikan inspirasi guru.

Kecepatan membuat apa yang kita lewati kemarin menjadi barang lampau yang tidak relevan dibicarakan. Sementara laju perubahan ke depan belum dapat diperkirakan dan kembali ke masa lalu sudah tidak bisa lagi, guru bisa terjebak dalam sebuah sindrom yang oleh Lortie (1975) disebut dengan sindrom kekinian (presentism), yaitu, sibuk mengurusi tugas hari ini yang sifatnya jangka pendek, hasil bisa langsung dilihat dan dirasakan, seperti misalnya bekerja sekedar memenuhi tuntutan agar siswa lulus ujian. Yang penting membuat anak didik lulus Ujian Nasional, itu cukup. Yang lain dipikirkan belakangan. Pendidikan budi pekerti? Apalagi. Pendidikan moral? Apa itu? Kedisiplinan? Hm. jangan lagi bicara itu. Guru terpangkas kebebasan dan otonominya menjadi sekedar kaki tangan birokrat pendidikan yang tidak mengerti makna pembelajaran dan pengajaran. Guru tampaknya saja bekerja dan bahagia, padahal pelan-pelan kelelahan fisik dan psikologis sedang menyerang dan menggerogoti hidupnya.

Kegandrungan guru akan hari ini telah menggerus dan mematikan inspirasi, visi serta harapannya di masa depan. Jika guru telah kehilangan visi dan inspirasi yang menjadi pandu bagi pencarian makna pekerjaannya hari ini dan di masa depan, kehampaan dan kesia-siaanlah yang akan ia rasakan ketika seluruh tubuhnya sudah tidak mampu lagi bekerja sebagai guru. Masa senja lantas berubah wajah menjadi saat-saat yang menakutkan. Padahal menjadi tua dan kehilangan tenaga itu sudah merupakan kodrat manusia. Guru tentu juga mengerti bahwa tidak selamanya ia akan menjadi guru. Ada saatnya ia mesti berhenti dan menikmati jerih payah pengabdian di senja usianya. Namun karena telah lama terjebak dalam sindrom kekinian, masa pensiun lantas datang seperti teror. Ia tidak mampu memetik makna dari pengabdiannya selama ini. Bukan hanya itu, ia akan menjadi frustasi saat tidak dapat bekerja lagi, sebab sebagaimana ia percaya bahwa pekerjaan hanya bermakna hari ini, ketika tubuhnya rapuh dan tak mampu lagi bekerja, ia akan merasa eksistensinya juga hilang seiring menurunnya kemampuan fisiknya.

Visi dan inspirasi yang memotivasi para guru dalam bekerja selalu terbentang di depan dan menjadi horison yang samar-samar ingin digapai. Tanpa kekuatan menatap ke depan seorang guru bisa kehilangan tempat di mana ia berpijak. Ia bisa kehilangan roh yang mempersatukan pengalamannya di masa lalu, sekarang dan masa depan. Sayangnya, dinamika masyarakat telah memangkas ikatan masa lalu ini dengan logika kecepatan yang diusungnya dan menjerumuskan guru pada dinamika kekinian yang membuatnya sibuk, aktif, namun kering dan miskin akan visi dan inspirasi atas apa yang sedang dikerjakannya.

Logika kecepatan juga bertentangan dengan dinamika sebuah lembaga pendidikan yang menghargai proses. Pertumbuhan individu tidak dapat dipaksakan. Ia berkembang selaras dengan bertambahnya usia. Anak didik tidak dapat dikarbit dan dipaksa matang sebelum waktunya. Selain itu, ada hal-hal dalam hidup yang tidak dapat ditera melalui nilai efisiensi dan efektititas. Jika kita kaitkan dengan perkembangan kepribadian individu akan semakin kelihatan bahwa untuk menjadi dewasa membutuhkan waktu. Kedewasaan tidak dapat dipercepat. Memahami makna sebuah proses merupakan bagian integral dari sebuah kinerja pendidikan.

Produktifitas adalah nilai-nilai baru yang menjadi jargon kehidupan modern. Sekedar menerima gagasan ini tanpa mengkritisinya membuat sekolah kita berubah wujud menjadi pabrik yang memproduksi anak-anak pinter sementara mereka yang kurang mampu akan ditinggalkan dan disingkirkan. Anak-anak yang tidak produktif, memiliki kebutuhan khusus, lambat belajar, akan tersingkir dari sekolah-sekolah kita karena mereka tidak produktif dan kehadiran mereka tidak memungkinkan sekolah bersaing dalam mengejar rangking dan prestasi dengan sekolah lain. Logika produktifitas yang diterapkan dalam dunia pendidikan bisa berubah menjadi praktik diskriminasi yang menyingkirkan anak-anak yang lemah dan memiliki kebutuhan khusus. Padahal pendidikan adalah hak bagi semua warga negara, tidak perduli mereka itu sehat, ataupun memiliki kelemahan, baik itu fisik, maupun mental.

Produktifitas di satu sisi jika dipahami dengan lebih baik dalam konteks pendidikan akan membantu guru menanamkan nilai-nilai pembaharuan dan inovasi yang membantu perkembangan dan pertumbuhan masyarakat. Banyak kritik terhadap sekolah sebagai sebuah lembaga yang tidak produktif, melainkan sekedar mendaur ulang, mereproduksi pengetahuan dari tahun ke tahun yang bukannya malah mempercerdas siswa, melainkan memperbodoh.

Dunia dan masyarakat menawarkan nilai-nilai baru yang bisa selaras dengan cita-cita pendidikan, namun bisa juga bertentangan dengan logika yang berlaku dalam dunia pendidikan. Guru dapat menjadi pelaku perubahan jika memiliki sikap terbuka dan kritis serta kemauan untuk menemukan dan menegaskan kembali nilai-nilai yang diyakininya selama ini. Pencarian makna di tengah dinamika perubahan merupakan sikap dasar yang tidak boleh hilang dalam horisan kehidupan seorang guru. Terjebak antara masa depan dan masa lalu, guru semestinya menghayati makna pekerjaanya di masa kini dengan tetap merawat visi dan inspirasi yang menjadi roh dan jiwa bagi kinerjanya sekarang tanpa terjebak dalam logika kecepatan, efisiensi dan efektifitas yang menjerumuskannya dalam sindrom kekinian.

Pemimpin adalah pelaku perubahan

Guru sebagai pelaku perubahan tidak lain adalah menjadi pemimpin (leader) bagi diri sendiri dan bagi orang lain sehingga mereka secara bersama-sama mampu membangun sebuah tatanan baru sesuai dengan cita-cita dan harapan mereka. Pandangan ini mengandaikan bahwa dalam diri individu ada potensi untuk berkembang. Kalau kita tidak memiliki kepercayaan bahwa dalam diri individu terdapat potensi kebaikan dan pertumbuhan, gagasan tentang perubahan radikal yang ingin kita kembangkan dalam diri guru tidak relevan. Percaya bahwa dalam diri setiap individu ada kebaikan, potensi, dan pertumbuhan adalah syarat mutlak pengembangan diri guru sebagai pelaku perubahan.

Menjadi pelaku perubahan hanya bisa mungkin jika ada keyakinan bahwa dalam diri individu ada protensi pertumbuhan untuk berubah menjadi lebih baik dan berkembang menjadi lebih sempurna. Untuk itu setiap individu guru memiliki potensi untuk menjadi pemimpin. Guru merupakan pemimpin (leader) dan pelaku perubahan pendidikan karena tanpa keterlibatan guru setiap usaha untuk memperbaharui dunia pendidikan akan gagal. Dalam setiap pembaharuan sekolah, inisiatif perubahan yang tidak menyentuh kehidupan guru tidak akan mengubah banyak hal. Guru adalah garda depan dan pelaku perubahan dalam dunia pendidikan. Berbagai macam peraturan, kebijakan, dan perubahan manajemen, dll, meskipun baik, namun jika tidak sampai mengubah praksis guru di dalam kelas hanya akan tinggal sebagai macan kertas perubahan.

Pemahaman kepemimpinan yang eksklusif sudah tidak jamannya lagi. Kepemimpinan model ini menganggap bahwa tidak semua orang terlahir menjadi pemimpin. Hanya individu yang terbentuk dengan kualitas dan kemampuan khusus, ambisi, visi, kharisma dan pengalaman tertentu yang dapat menjadi pemimpin. Pemimpin heroik adalah mereka yang mampu menyelamatkan seluruh lembaga dan anggota-anggotan dari jurang kehancuran. Mereka percaya bahwa individu itu dapat menjadi pemimpin besar karena ia terlahir untuk itu. Pandangan demikian ini sesungguhnya mitos belaka.

Sebaliknya adalah benar bahwa setiap orang terlahir dengan potensi menjadi pemimpin. Individu terlahir untuk menjadi pelaku perubahan dalam hidupnya dan pembangun bagi masyarakatnya. Sebuah lembaga bisa saja maju dengan kehadiran para pemimpin istimewa ini. Mereka bisa saja menghasilkan perubahan, namun perubahan terjadi hanya dalam jangka pendek dan gagal bertahan untuk seterusnya.

Masih banyak guru memiliki pandangan bahwa diri mereka bukanlah pemimpin. Pemimpin dalam benak mereka adalah kepala sekolah, direksi, dan jabatan struktural lain. Tidak mengherankan jika inisiatif perubahan dari bawah jarang muncul. Guru lebih suka menyesuaikan diri dengan keinginan atasan daripada melaksanakan visi dan inspirasinya sebagai pendidik. Secara struktural-formal kepala sekolah adalah pemimpin pendidikan. Namun guru sesungguhnya guru adalah pemimpin pendidikan yang sesungguhnya sebab ia mengelola kelas dan berjumpa langsung dengan siswa. Kemampuan guru sebagai pemimpin benar-benar diuji dalam perjumpaan dengan para murid.

Tidak mudah mengubah konsep dasar yang kita miliki tentang kepemimpinan. Menimpakan kesalahan dan ketidakberesan yang terjadi dalam lembaga pendidikan pada pimpinan memang tindakan paling mudah yang bisa dilakukan oleh guru. Kultur sekolah yang mengutamakan pendekatan “asal pimpinan senang” bisa menghambat perubahan dalam lembaga pendidikan karena mereka yang terlibat di dalam lembaga pendidikan merasa tidak enak dan rikuh jika mesti menyampaikan data-data permasalahan yang sesungguhnya dihadapi di sekolah atau dirasakan sebagai persoalan oleh anggota komunitas sekolah tersebut.

Guru pada dasarnya adalah pemimpin bagi hidupnya sendiri dan dengan itu ia bersama-sama membangun sebuah idealisme dan cita-cita bersama. Kepemimpinan (leadership) merupakan sebuah kapasitas manusiawi untuk bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik dan mampu mempertahankan proses perubahan yang terus berjalan (Senge, 1999). Perubahan ini pada gilirannya menumbuhkan dan mengukuhkan identitas individu sebagai pelaku perubahan. Setiap individu yang bekerja dalam lembaga pendidikan adalah pelaku perubahan sebab mereka merancang masa depan pertumbuhannya sendiri dalam kebersamaan dengan orang lain.

Guru merupakan profesi dan panggilan hidup yang diperuntukkan untuk mengubah hidup orang lain dan dengan demikian mengubah hidupnya sendiri dan masyarakat. Lembaga pendidikan melalui kinerjanya sesungguhnya dapat membantu menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang lebih baik dari yang sekarang ini ada kalau guru benar-benar dapat merealisasikan peranannya sebagai pelaku perubahan. Namun, apakah para guru mau menyadarinya dan sedia membentuk diri menjadi pelaku perubahan?

Doni Koesoema A Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.

Daftar pustaka

Giroux, H., & McLaren, P. (1989). Introduction: Schooling, cultural, politic, and the struggle for democracy, dalam Giroux, H., & McLaren, P. (Eds). Critical pedagogy, the state, and cultural struggle. Albany, NY: SUNY Press.

Harris, K. (1982). Teacher and classes: a Marxis analysis. London: Routledge & Paul Kegan.

Lortie, D.C. (1975). Schoolteacher. A Sociological study. Chicago, IL : University of Chicago Press.

McNamee, S.J. & Miller Jr, R. K. (2004). The Meritocracy Myth. New York, NY: Rowman & Littlefield.

Nanus, B. (1992). Visionary Leadership. San Fransisco: Jossey-Bass.

Senge, P.M. (1990). The Fifth Discipline. New York: Doubleday

Senge, P.M., Kleiner, A., Roberts, C., Ross, R., & Smith, B (Eds.). (1994). The fifth discipline fieldbook: Strategies for building a learning organization. New York: Doubleday.

Senge, P., et al. (1999). The dance of change. The challenge of sustaining momentum in learning organization. New York: Doubleday.


My Philosphy of Education

I believe that education is human activities intended to help youngsters growing more mature and integral in all dimensions of their life (intellectual, religious, moral, personal, social, cultural, temporal, institutional, relational, physic, psychology, etc). It is an on going formation to make sense their personal life history, to be true to their selves in trustful communion with others in the world. In this trustful communion with others, they confirm their existence, affirm their freedom and express their creativity and productivity.

For the realization of their creativity and productivity they transform the existing society into a better one, more just, satisfying, democratic, egalitarian and more humane. Education for social reconstruction would be the line for developing my curriculum philosophy.

In that philosophy, I believe that schooling is to develop the intellectual dimension of the students in a way that through this knowledge they could understand and perceived better who they are and their society so that the students might participate to construct it actively.

Further, schooling is to stimulate various kinds of students’ skills so that they could be more active and creative member of the society. Schooling means preparing students to become more active and creative members of the society. In this sense schooling means to grow students’ awareness that as human being, they are actor of their own life and of the society by developing their strong moral character. To be agent of his own history (individual and social) is the purpose of schooling.

Knowledge is socially constructed, culturally mediated, and historically situated out of social interaction for social, political, economic and cultural purposes. The worth knowledge is the trustful one. It makes human being understand better their life as individual and social person, and giving them power to create and reconstruct the better world through it. Knowledge is socially constructed, but individual creates and constructs it personally to make it sense and intelligible for him or her. In this personal reconstruction, individual contributes his or her agency for the benefits of the society.

Learning is always an act of construction, simultaneously individually and socially. Thus, it is constructivist in perspective. To have the constructivist learning, students would be more capable of reconstructing their world, because what is realities is what we construct it. Thus, giving them the freedom to construct their own knowledge in the community, they would prepare their selves as agent for their life.

Child learns actively through assimilation and accommodation of experience to construct meaning based on what one already knows (from direct or indirect experiences). By this, he or she participates in construction of their world. By this I believe that learning is a natural process. We can not foster it better for their growth with a kind of acceleration program for talented students. Learning is a natural process but we should pay attention to the personal needs, because every one steps on learning is difference.

Learning is intrapersonal and interpersonal (social act), an interaction between individual with their environment, to make their life (personal history, nature, and culture) more intelligible and meaningful. Further, learning should be creative, enjoying and stimulating all children’s potentials, especially stimulating their brain to be more intelligent, their body to be more skillful, and their heart to be more sensitive to the need of others.

Child is an integrated unique person, capable of meaning maker, and potential actor in the history. To help them grow in their whole dimension of their life is a necessary condition of a good and health education. Child creates knowledge and understanding based on their personal and social experience. He or she can produce and reproduce knowledge. When it is authentic, their learning will be a productive and creative one. Education should bring their student to become an authentic learner who creates the meaningful knowledge for their life.

However, child needs others persons to guide him or her to understand their world (its heredity and achievements), their self (life history) and their society (culture) so that they could become active member of the society. Child will learn faster when there are mature and competence person who accompany them in their learning activities.

Indeed, he or she is capable to educate their selves by exercising their freedom through their creativity, in action and thoughts. Childs experiences are various. By this background, their accommodation and acquisition of knowledge is difference with each other. Giving the freedom they will grow better.

Teaching is to help students to form and educate themselves through learning relevance knowledge and skills so that they can contribute to the reconstruction of society. Knowledge means understanding the richness of cultural heredity of science. Skills means practical competency to be human in the social life. It is not only a reproductive skill but productive one. The knowledge is not only repetition, remembering, but more that this, is creative and contextual knowledge. Thus teaching them to be creative learner and competency person should animate my teaching.

Teaching means stimulating them to find the method and critical thinking to perceive and interpreting personal and social event so that they can envision the better society. It is a promotion of a personal engagement to individual life, so that through his or her personal experience he or she has the better ideal for the social living in the society. Critical thinking is very important to be developed as the contextual methods for analyzing our society.

Teaching is a trustful cooperation between individuals to grow their awareness as social agent and creator of human history. If you have no trust to your students, there would not be teaching and learning activities. The same thing happens when your students have no trust in you. Because learning is cooperative acts, thus trust each other is the key success for teaching and learning activities as teacher.

My preferred instructional practices is group discussion on actual problems in the society to get insight of what they perceived about the problems, how the people perceived it, and how they could find a better understanding and interpretation of the topic. Thus it is contextual learning that will help the student to understand better their selves as a member of the society.

The best methods are experience method, learning by experience through exposure,laboratory work, live in, or direct observation in a real social living, so that they could find the proper actions to improve or participate in the life of the society; deep critical thinking about the case study or a topic, group discussion and personal studies to make sense their learning.

It is also a creative learning by constructing meaning from individual experience on social concern. Teacher guides the students to develop their social sensibility as individuals who are also member of the society. By creative learning my students will develop their and create their knowledge which is relevance and meaningful to their life.

An authentic learning accommodates diverse learners. I will encourage the students to get involved one another so that the advance could have challenges to improve their capacity to help his of her underachievement classmates. It means that I will support my student to have responsibility to their fellow classmates in their learning. Diverse learner in the classroom is a natural setting of learning. Through these differences, then each student would be enriched.

Teaching and learning is not only transmission of knowledge. Moreover it is an active personal engagement of individual with the material in their relation with other. By these all students could gain benefits in reconstructing their own knowledge through the community. Learning together is better than learning privately. Especially where there are diverse learners, because in learning together in a group we are more enriched by the presence of others.

Every student is stimulated to help and learn each other, because by learning together, regardless of their differences they really experience of how to construct a respectful community in which every one felt that his of her dignity is respected.

Teaching and learning are always related to the knowledge that is socially constructed, historically situated. Thus they could oppress individual and do injustice. Thus, social injustice could happen in the classroom context. To be critical to the way we teach, to the material we present to the students is very important for promoting more just education.

But it is also true, because teaching, learning and constructing knowledge are located in history, they are amendable. Thus, teaching, learning and constructing knowledge could be the means for criticizing injustice and promoting social justice in the society. In this view I believe that school has great chance to promote the social justice. By doing so, education contributes to the development of the society and human civilization that is more humane.

Creating social justice in the educational context is the calling for every authentic educator. Every educator has the challenge to promote the social justice. Especially in the society that disrespect human rights and dignity, educator could contribute more grounded formation, giving them the internal capacity to select what is just and deign for human being. By considering the dimension of social justice in our teaching and learning, we will make our world better, more humane, in which every member of its society enjoy their fullness growth as human being.

By considering the dimension of social justice in our teaching and learning, we will make our our world better, more humane, in which every member of its society enjoy their fullness growth as human being. One of the great contributions of school is to realize the value of social justice in the society.

I will implement all these ideas in my works. Particularly, because my work in the future would be in school administration, I need to communicate and disseminate my philosophy to teachers who work with me in my school. Promoting the curriculum philosophy which has it main purpose to reconstruct our society to be better, more just than the existed one, is still very rare in my country. So I think, the firs implementation of my curriculum philosophy would be its dissemination and then together with the teacher I will develop the curriculum and practices that will help us to arrive at this purpose.

My Profile

Born in 1973 in Klaten, Jawa Tengah province. I studied at St. Vincent de Paul High School, Garum, Blitar, East Java (1989-1992). Earning the baccalaureate degree in philosophy (Indonesian Literature Department) at Driyarkara School of Philosophy, Jakarta (1994-1998), writing thesis entitled Keadilan dari Sudut Pandang Liberalisme Politis Menurut John Rawls (Political Liberalism according to John Rawls) under the supervision of Prof. Dr. Frans-Magnis Suseno, SJ dan Dr. I Wibowo, SJ. The baccalaureate degree on theology is obtained from the Gregorian University, Rome, Italy (2002-2005). Participating in a year course on Pedagogy and Professional Development in the Department of Science of Education at the Pontifical Salessian University, Rome, Italy (2005-2006). Joint with the Department of Curriculum and Instruction, and taking my Master degree in Education at Boston College Lynch School of Education, Boston, US (2009).

Educational experience:
Taching Latin and Religious Instruction at the St. Peter Canisius, Mertoyudan, in Magelang, Central Java, Indonesia (1998-2000); The dean of student discipline and teaching religous instruction at John De Britto High School, In Jogjakarta, Central Java, Indonesia (2000-2001). Assistance Principal for Student Affair and Extracurricular Activities and English Teacher at Gonzaga High School, In Jakarta, Indonesia (2006-2007). Working as Journalist (Wapimred) for Children News Paper BERANI (2009-now)

Professional works:
Education Consultant and Character Education trainer at pendidikankarakter.org
Speaker at various workshops and seminar on Character Education and Teacher's Professional Development.

Honor
Receiving the honorary title from Indonesian Minister of Education as the Most Productive Article Writer on Media on Education 2008-2009.

Books:
1
. Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter - Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: Grasindo, 2007.
2. Doni Koesoema A, Pendidik Karakter di Zaman Keblinger - Mengembangkan visi guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik Karakter, Jakarta : Grasindo, 2009.

Articles published with various authors (anthology):

Newest :
Mencari Format Pendidikan Karakter dalam Konteks Keindonesiaan. Article on the Education for Change (Buku kenangan HUT BPK Penabur Jakarta, 2010)

1.
Pendidikan Manusia vs Kebutuhan Pasar (human education vs market challenge) (2004) with Tonny, D. W (Ed.) in Pendidikan Manusia Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas dan Toyota.
2. Pendidikan Darurat Pasca Bencana (Emergency education after Aceh Tsunami), in Bencana Gempa dan Tsunami (2004);
3. Penilaian Pendidikan (Education Evaluation) in Menggugat Ujian Nasional. Memperbaiki Kualitas Pendidikan (2007).

Pendidikan Keagamaan