Wednesday 2 September 2009

Pendidikan Manusia VS Kebutuhan Pasar

Oleh Doni Koesoema, A

"Pemerintah melalui aparatur negaranya, tidak dapat melarikan diri dari tanggungjawabnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa seperti diamanatkan oleh para pendiri bangsa dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Keputusan politik di bidang pendidikan yang lebih berpihak pada dunia pendidikan merupakan tanda adanya orientasi politik yang berkomitmen pada kehidupan bangsa. Dibutuhkan kebijakan politik yang kuat agar negara tetap berada dalam jalurnya sebagai penanggungjawab utama hidup matinya dunia pendidikan. Tak berlebihanlah bila masyarakat mengharapkan, melalui dukungan penuh pemerintah, bahwa lembaga pendidikan menemukan kembali semangat aslinya sebagai lembaga yang mendidik rakyat. Bukan lembaga yang malahan mendodosi (menggerogoti) rakyat."


Prolog

Siapapun yang terlibat dalam dunia pendidikan merasakan adanya semacam ketidakpastian dengan sistem pendidikan yang kita miliki saat ini. Kecepatan laju ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta kemajuan di bidang informatika membuat kinerja lembaga pendidikan megap-megap dalam memenuhi panggilan tugasnya. Ada ketegangan antara dimensi formatif humanistis pendidikan dan dimensi teknis praktis yang dimiliki para alumni untuk dapat memasuki dunia kerja. Kemajuan teknologi-informasi ternyata lebih cepat dibandingkan dengan kesiapan lembaga pendidikan dalam mencermati kurikulum, metode dan sarana yang dimilikinya agar menghasilkan orang-orang yang siap memasuki dunia kerja.

Singkatnya, tidak ada kontinuitas antara teori yang diterima di sekolah dengan praktek yang dibutuhkan di tempat kerja. Pertanyaan pertama yang langsung muncul adalah 'bagaimana dunia pendidikan tetap mempertahankan eksistensinya di dunia yang berlari seperti sekarang ini?"

Dalam situasi ini yang dipertanyakan bukan hanya relevansi pendidikan bagi para alumni dalam kerangka persiapan mereka memasuki dunia kerja berupa pembekalan teoritis-praktis-teknis sesuai dengan tuntutan jaman dan teknologi, melainkan juga relevansi dimensi struktural pedagogis-didaktis, berupa teknik pengajaran, kurikulum, metode, tempat belajar, dll.

Namun lebih dari itu, reformasi apapun yang dilakukan dalam bidang pendidikan tanpa memperhatikan dimensi teleologis pendidikan, hanya akan menghasilkan sebuah proses memutar, gerakan jalan di tempat, terjerumus dalam sebuah perilaku reaktif karena sempitnya wawasan. Degradasi kemanusiaan merupakan konsekuensi logis reformasi pendidikan yang digarap serampangan.

Tulisan ini menganalisis secara khusus persoalan seputar tegangan antara dunia pendidikan berhadapan dengan tuntutan masyarakat, kepentingan industri, tantangan akan persaingan di era pasar bebas. Dunia pendidikan tidak dapat menutup mata atas tantangan dari dunia luar yang dibebankan di pundaknya. Sudah selayaknya dunia pendidikan menanggapi secara aktif dan arif jika tidak tak ingin kehilangan relevansinya dalam masyarakat.

Situasi-situasi menuju krisis

Dunia pendidikan tak dapat berdiam diri melihat berbagai macam perubahan dalam masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung menyentuh eksistensinya. Proses perubahan secara mendalam biasanya berawal dari kesadaran kritis atas posisi dunia pendidikan terhadap perubahan dunia yang makin kompleks. Karena itu, pemahaman atas situasi dan latar belakang permasalahan merupakan sebuah evaluasi yang realistis.

Jika kita telusur lebih mendalam, ada beberapa situasi yang menghantar dunia pendidikan semakin memasuki situasi kritis ketika berhadapan dengan tuntutan ekonomi pasar.

Pertama, laju modernisasi teknologi menghasilkan berbagai macam modalitas baru dalam hal penguasaan teknologi. Ini semua berawal dari revolusi teknologi dan informasi yang setiap hari menawarkan inovasi dan temuan baru. Penemuan baru di bidang teknologi dan informasi semakin membuat jarak antara dunia pendidikan dan kebutuhan masyarakat, khususnya, kebutuhan akan tersedianya tenaga kerja yang melek teknologi dan paham mengolah informasi.

Yang sering dikeluhkan adalah bahwa lulusan di sekolah kita, baik yang di sekolah menengah maupun di perguruan tinggi, tidak memiliki kapasitas dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk memasuki dunia kerja. Persoalan kurikulum, metode pengajaran, prasarana praktek, Link and Match (keterpautan dan kesepadanan) dalam lembaga pendidikan, dll, menjadi sangat aktual untuk dibahas.

Kedua, di balik pemenuhan akan kebutuhan pasar demi mengantisipasi persaingan bebas muncul pula kekhawatiran lain, yaitu hilangnya dimensi humaniora pendidikan. Hilangnya dimensi humaniora pendidikan bisa ditelaah dari dua sisi, a) berkaitan dengan dampak-dampak teknologi informasi dalam kerangka perkembangan pendidikan, b) berkaitan cara berpikir baru untuk menilai kinerja sebuah lembaga. Kriteria baru ini mau tak mau mengubah cara pandang masyarakat dalam menilai kinerja lembaga pendidikan.

Dampak-dampak nyata kemajuan teknologi-informasi bagi dunia pendidikan adalah adanya gejala buta huruf fungsional. Kemajuan teknologi informasi melalui media cetak seperti, koran, majalah, buku,dll, dan media elektronik (televisi, internet, perangkat multimedia, dll) di satu sisi memberi manusia informasi alternatif, menawarkan jutaan imajinasi, dll, namun di lain pihak menghasilkan gejala buta huruf jenis baru, yaitu, buta huruf fungsional. Buta huruf fungsional adalah sebuah keadaan di mana kapasitas dan kemampuan manusia paling mendasar dalam berekspresi dan berpikir menjadi mandeg. Di lain pihak, cara baru mengukur daya kerja sebuah lembaga dalam masyarakat yang memasuki masa post industri kita temukan dari refleksi Jean-Francis Lyotard yang mulai melihat adanya pergeseran atas perubahan status ilmu. Efisiensi dan efektifitas merupakan ciri masyarakat modern dengan teknologi maju. Dalam masyarakat post industri, tulisnya, kriteria untuk menilai daya hasil sebuah lembaga adalah kinerjanya (performativity). "Pendidikan mau tak mau terpengaruh oleh kriteria paling dominan yang ada dalam masyarakat, yaitu, kemampuannya bertindak secara efisien dan efektif (performativity)1." Kinerja berarti maksimalisasi masukan(input) dan keluaran(output). Jika kinerja lembaga pendidikan dipahami secara sempit sekedar sebagai proses persiapan tenaga kerja bagi kepentingan pasar, degradasi kemanusiaanlah yang akan kita tuai.

Ketiga , dunia pendidikan kita semakin kelabakan ketika krisis ekonomi menerpa negeri ini sejak pertengahan 90-an. Lesunya dunia industri membuat banyak perusahaan menaikkan harga-harga untuk menghidupi dirinya. Banyak perusahaan menghentikan usahanya. Pemutusan hubungan kerja adalah akibat dan sekaligus momok bagi kebanyakan karyawan. Krisis ekonomi membawa banyak korban, terutama orang-orang kecil, kaum miskin dan orang-orang sederhana. Termasuk di antara mereka adalah para guru. Karena itu mulai muncullah demonstrasi para guru yang terjadi di mana-mana. Sesuatu yang tidak pernah terjadi selama kita mengenyam kemerdekaan.

Belum habis carut marut dunia pendidikan kita terobati pemerintah menerapkan kebijakan privatisasi Perguruan Tinggi Negeri pada 1999. Sejak saat itu, dunia pendidikan di negeri kita semakin lumpuh. Semakin banyak anak-anak dari keluarga miskin tidak dapat memperoleh pendidikan tinggi berkualitas karena privatisasi PTN.

Inilah situasi dramatis yang dihadapi dunia pendidikan kita. Situasi ini membuat banyak kalangan mempertanyakan kembali sistem pendidikan yang kita miliki selama ini. Ada yang merindukan kembali model pendidikan klasik yang menekankan dimensi humaniora, di mana pertumbuhan pribadi secara penuh dan integral merupakan tujuan utama pendidikan. Pendidikan memerlukan sentuhan humaniora agar menghasilkan orang-orang yang memiliki kreativitas, daya seni, daya cipta, daya rasa, kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, dll, bukan sekedar transformasi ilmu atau penguasaan ketrampilan teknis belaka. Namun ada yang realistis melihat urgensi pendidikan model teknokrasi yang memberi bekal ketrampilan langsung bagi siswa agar siap memasuki persaingan kerja.

Kenyataan ini mendorong dunia pendidikan pada dua macam krisis sekaligus, yaitu krisis dari dalam dan dari luar. Krisis dari lembaga pendidikan lebih berkaitan dengan dimensi filosofis-pedagogis-didaktis dalam mengadopsi tuntutan dunia luar. Sedangkan krisis dari luar berkaitan independensi teknologi informasi, yang tak hanya berpengaruh terhadap kinerja lembaga pendidikan, melainkan mempengaruhi kualitas masukan yang diterima lembaga pendidikan.

Kebijakan reaksioner

Dunia pendidikan kita bukannya tidak menyadari adanya krisis ini. Negara sebagai instansi yang mengemban amanat rakyat untuk menyelenggarakan pendidikan tidak menutup mata akan kenyataan ini. Proyek sekolah inpres, program wajib belajar, program pengentasan angka buta huruf, perubahan kurikulum pendidikan nasional, revisi atas Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 1989, diperkenalkannya program Link and Match , kurikulum muatan lokal, privatisasi PTN, dll, merupakan sebuah sikap tanggap atas berbagai macam persoalan yang terjadi dalam dunia pendidikan.

Namun sayang, tanggapan pemerintah atas berbagai persoalan dalam dunia pendidikan terkesan lebih bersifat reaksioner ketimbang visioner. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam meningkatkan kualitas dunia pendidikan hanya didasarkan pada sikap reaktif, kaget, bingung, bahkan sekedar memenuhi kepentingan dan kebutuhan praktis sesaat. Keluhan bahwa ganti menteri ganti kebijakan, ganti buku pelajaran, dll adalah afirmasi atas situasi ini.

Di tengah krisis mendalam ini, pemerintah sepertinya lengah, bingung dan tidak tahu lagi bagaimana mengurai benang kusut carut marut dunia pendidikan yang kita miliki. Sikap reaktif berawal dari sempitnya horizon pendidikan dan tak adanya visi jangka jauh. Suburnya sikap instan ingin cepat lihat hasil seolah-olah dunia pendidikan dapat ditata dan diubah dalam satu atau dua tahun membuat pemerintah hanya mengambil keputusan yang sekedar memenuhi kebutuhan sesaat. Mentalitas instan seperti ini mengabaikan kompleksitas permasalahan, sekaligus menunjukkan kemalasan berpikir yang termanifestasi dengan gejala simplifikasi persoalan.

Contoh penyederhanaan itu misalnya demikian. Pendidikan kita ditengarai menghasilkan orang-orang yang tidak siap memasuki dunia kerja. Karena itu, satu-satunya cara untuk memperbaikinya adalah mempersiapkan sekolah-sekolah kita agar menghasilkan orang-orang yang siap memasuki dunia kerja. Bagaimana caranya? Diperkenalkan program Link and Match. P rogram Link and Match dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud, sekarang berubah menjadi Mendiknas) Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro (1993-1998) yang mengaitkan berbagai macam program dan kurikulum di sekolah dengan tuntutan yang dibutuhkan perusahaan. Link and Match lantas menjadi bahasa baru.

Sikap reaktif tanpa disertai visi yang jernih alih-alih menjernihkan persoalan malahan mempercepat kehancuran dunia pendidikan. Program Link and Match yang secara massif diterapkan, baik pada lembaga pendidikan tingkat menengah dan tinggi, bahkan pada tingkat dasarpun ada pula yang berusaha menerapkannya, lebih didasari pada kesalahan visi dalam memandang relasi keseluruhan antara dunia pendidikan dengan kepentingan pasar. Dibalik kesalahan visi ini adalah kekeliruan dalam memandang tujuan pendidikan. Sikap reaktif semakin menjauhkan dunia pendidikan dari permasalahan esensial yang mesti dihadapinya.

Langkah pertama yang harus dibuat dalam mengurai benang kusut yang terjadi dalam dunia pendidikan kita adalah memetakan permasalahan dan menganalisis pengandaian-pengandaian yang selama ini kita miliki. Pembaharuan apapun yang dilakukan untuk mengembalikan lagi fungsi pendidikan kita sekarang ini mesti berangkat dari analisis atas model pendidikan, pengandaian-pengandaian yang ada dibalik setiap kebijakan, serta situasi konkret yang dihadapi dunia pendidikan kita dewasa ini. Dari sini kita pelan-pelan menelusur akar permasalahan sehingga kita bisa menemukan sebuah solusi alternatif. Diagnosis yang keliru membuat proses pengobatan keliru. Kekhilafan dalam diagnosis hanya akan menghasilkan korban. Dalam kerangka pendidikan, kesalahan diagnosis akan membawa banyak korban dalam taraf yang masif, mulai dari siswa, guru, orang tua, masyarakat.

Pendidikan dan kepentingan pasar

Persoalan pertama yang kita hadapi adalah adanya tegangan antara dimensi humanistis pendidikan dan tuntutan praktis kepentingan pasar (baca, kepentingan tenaga profesional dalam dunia industri dan teknologi). Ada tegangan antarpendidikan manusia vs pelatihan untuk ekonomi pasar. Ada ketimpangan atau ketidakterkaitan antara keluaran (output) suatu lembaga pendidikan dengan tuntutan yang ada dalam dunia kerja. Dunia kerja membutuhkan masukan (input) berupa orang-orang yang memiliki kemampuan profesional teknis agar mereka tetap dapat menjaga keberlangsungan roda produksinya di tengah persaingan bebas.

Dunia industri, perusahaan jasa, dll, akan macet jika tidak disertai kehadiran tenaga-tenaga profesional yang menyokong eksistensi mereka. Dari mana mereka memperoleh tenaga-tenaga profesional ini? Tenaga-tenaga profesional ini hanya dapat dipenuhi dari lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Karena itu secara struktural dunia industri dan jasa mesti memiliki hubungan erat dengan lembaga pendidikan jika ingin tetap hidup. Dunia industri memperoleh sumber-sumber personalia yang handal dan terampil dari lembaga pendidikan. Karena itu, hubungan antara dunia industri dan dunia pendidikan adalah mutlak.

Sebaliknya, meskipun lembaga pendidikan merupakan satu-satunya tempat di mana perusahaan memperoleh sumber tenaga profesional yang dapat diandalkan, tidak berarti bahwa tujuan pendidikan secara mutlak adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dalam kerangka ini, hubungan antara dunia pendidikan dengan dunia industri menjadi relatif karena pendidikan memiliki tujuan lebih luas daripada sekedar memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkan pasar.

Ada dua tujuan yang perlu dipertimbangkan peranannya dalam dunia pendidikan. Yang pertama adalah pendidikan yang memiliki tujuan lebih filosofis ( philosophical ), mengarahkan dirinya untuk mengkontemplasikan dan menemukan gagasan-gagasan umum. Yang lainnya memiliki tujuan lebih mekanik berupa pengetahuan praktis terapan terhadap dunia di luar dirinya.

Pendidikan yang memiliki tujuan filosofis menganggap bahwa kegiatan belajar itu bernilai di dalam dirinya sendiri karena kondisi alamiah manusia menuntut agar dirinya senantiasa belajar secara terus menerus tentang banyak hal, tentang diri, lingkungan, keterbatasan dan kemungkinan dari keberadaannya. Belajar dan mencari ilmu merupakan salah satu proses aktualisasi diri manusia yang autentik. Bahkan seandainya tidak memiliki kepentingan praktis atas kepemilikian ilmu itu sendiri. Menjadi orang yang berilmu sudah merupakan nilai di dalam dirinya sendiri.

Meminjam kata-kata Henry Newman, " pengetahuan.itu bernilai karena karena ia ada dan hadir dalam diri kita, meskipun ia sama sekali tidak dipergunakan untuk satu kepentinganpun, atau bahkan jika tak diarahkan demi tujuan tertentu. 2"

Keinginan mencari ilmu adalah tanda kesempurnaan keluhuran manusia yang secara alamiah dibekali oleh Sang Pencipta dengan akal budi. "Kita semua terdorong untuk mencari ilmu setinggi langit karena setiap usaha dalam mengejar kesempurnaan merupakan perilaku luhur ( exellent ), sedangkan kesalahan, kekeliruan, ketidaktahuan, keterkecohan ( to be deceived ) merupakan cacat dan perendahan martabat ( disgrace )."

Selain itu, "ada pengetahuan yang diinginkan meski tak ada hasil apapun dari kepemilikan pengetahuan ini, ia menjadi semacam harta karun di dalam dirinya sendiri, cukuplah bila dianggap sebagai upah atas kerja keras bertahun-tahun."

Rupanya pemahaman akan tujuan pendidikan yang integral seperti inilah yang tidak disadari para pengambil keputusan ketika menerapkan program Link and Match dengan memperkenalkan Pendidikan Sistem Ganda (PSG).

Pendidikan Sistem Ganda, sering secara populer disebut dengan model belajar sambil magang kerja, merupakan suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja dan terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu 3.

Tidak ada yang salah dengan Pendidikan Sistem Ganda. Yang salah adalah kedok ideologis dan kerancuan visi pendidikan dibalik program ini. Link and match digembar-gemborkan sebagai sebuah keharusan yang mesti diterapkan di seluruh jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Link and match lantas menjadi jargon populer. Semua orang mengucapkannya. Berbagai macam kerja sama yang terjadi antara sekolah dan dunia usaha lantas segera diberi label Link and Match. Orang tak bisa membedakan antara Link and Match dengan promosi gratis dan publikasi produk dengan sasaran kaum terpelajar. Inilah kekerasan terselubung dunia industri yang dibiarkan begitu saja merangsek dunia pendidikan kita.

Di Madiun misalnya, ketika perusahaan Telkom menggelar acara pawai kebudayaan, konser, pengenalan produk-produk terbaru telkom melalui pameran terbuka yang melibatkan berbagai instansi pendidikan baik di dalam maupun luar negeri, kegiatan inipun lantas dicatut sebagai realisasi Link and Match . Orang semakin rancu melihat apa yang sesungguhnya di link dan apa yang di match.

Program mata pelajaran muatan lokal seperti tercantum dalam PP No. 28 Tahun 1990 yang diterapkan di jenjang pendidikan dasar pun tak luput dari jargon Link and Match ini. Mata pelajaran muatan lokal pun juga dilihat dalam kerangka mempersiapkan ketrampilan kerja siswa pada tingkat dasar begitu ia lulus.

Di daerah Bantul, misalnya di Kasongan, kerajinan tradisional yang terkenal dan secara ekonomis menghidupi banyak warga serta meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) adalah keramik. Semestinya muatan lokal yang diberikan adalah pengetahuan dan ketrampilan tentang seni keramik. Namun ternyata mata pelajaran muatan lokal yang diberikan adalah ketrampilan mengetik, elektronika dan pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK). Karena ketidakcocokan atas pemberian materi muatan lokal ini, sekolah dasar itu lantas segera dikritik sebagai tidak Link and Match dalam program pendidikannya.

Berharap bahwa pendidikan kita ikut serta mempersiapkan para alumninya untuk memasuki dunia kerja merupakan sebuah harapan yang wajar. Sebab, jika pendidikan dipahami sebagai proses pertumbuhan seorang pribadi dalam totalitasnya, termasuk keberadaannya pada masa kini maupun kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan dalam hidupnya, kehadiran sebuah lembaga pendidikan yang mempersiapkan para alumninya terjun ke masyarakat dengan membekalinya berbagai macam kemampuan yang dibutuhkan sehingga kemampuan dan bakat-bakat yang dimilikinya bertumbuh, mempersiapkan para alumni dengan ketrampilan dan kecakapan merupakan sebuah sikap bijak yang mesti dikembangkan oleh setiap lembaga pendidikan.

Lembaga pendidikan tinggi yang responsif terhadap kemajuan iptek, memiliki sumbangan yang besar untuk menciptakan kinerja yang semakin baik bagi sebuah sistem sosial. Untuk ini ia harus tetap terus menerus mampu menyediakan orang-orang yang memiliki berbagai macam ketrampilan ( skills ) yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sebab hanya dengan demikian masyarakat mampu melanggengkan dirinya dan mempertahankan kohesi internalnya.

Karena itu, menciptakan sebuah kebijakan dalam dunia pendidikan agar tetap relevan kehadirannya dalam masyarakat merupakan sebuah tuntutan yang mendesak. Namun, reformasi pendidikan tidak dapat efektif jika sekedar mendasarkan diri pada sikap reaktif, horison pendidikan terbatas serta kesalahan dalam mendiagnosis permasalahan. Dunia pendidikan memiliki fungsi lebih esensial dalam proses humanisasi daripada sekedar sebuah pabrik robot yang siap mencetak tenaga kerja profesional yang dibutuhkan pasar. Menganggap bahwa tujuan pendidikan semata-mata demi memenuhi kebutuhan praktis sesaat, atau bahkan dunia pendidikan mesti 'menghambakan diri pada kepentingan dunia industri' membuat dunia pendidikan kehilangan relevansi dalam mengemban amanat kemanusiaan, meningkatkan harkat hidup, dan membantu manusia memaksimalkan berbagai macam potensi dan talenta yang dimilikinya.

Mengaitkan kriteria kemajuan pendidikan dengan dimensi eksternal dunia material merupakan perwujudan ketidakpahaman dalam memahami keluhuran sebuah karya pendidikan. Intuisi Antonio Gramsci (1891-1937) tentang situasi pendidikan di Italia pada awal abad-19 dimana mulai terjadi konflik kepentingan antara lembaga pendidikan dan dunia industri membenarkan kenyataan ini. "Tidak ada situasi eksternal dan kondisi material yang dapat memuaskan sebuah kinerja pendidikan. Sebab, karya pendidikan adalah sebuah kenyataan etis, sebuah peristiwa intelektual yang menyentuh kemampuan manusiawi pada tingkatan yang lebih tinggi, dan karena itu tidak dapat begitu saja dengan mudah merupakan cerminan mekanistis suatu masyarakat. 4"

Dunia pendidikan bukanlah sekedar cerminan kebutuhan material masyarakat, melainkan juga sebuah kinerja terus menerus, sebuah usaha pembaharuan yang membutuhkan penegasan berkesinambungan sebab yang terlibat di dalamnya adalah manusia itu sendiri. Manusialah yang mestinya menjadi orientasi pendidikan, bukan kepentingan pasar. Untuk inilah reformasi di bidang pendidikan merupakan kerja keras yang tidak mudah.

"Perjuangan melawan sekolah model kuno memang dibenarkan, namun gerakan pembaharuan atasnya tidaklah semudah seperti yang dibayangkan, sebab pembaharuan tidak berkaitan dengan program yang tersistematis, melainkan berkaitan dengan manusia, bukan manusia yang sejak awal menjadi guru ( maestri ), melainkan seluruh kompleksitas permasalahan sosial di mana manusia merupakan ekspresinya. 5"

Kerancuan dalam visi pendidikan membawa akibat degradasi kemanusiaan. Lembaga pendidikan bukanlah pabrik yang menciptakan orang-orang yang nantinya diletakkan di salah satu fungsi mesin besar industri, seperti sebuah rantai, mur, atau tombol yang membuat seluruh mesin berfungsi. Karena itu, pertama-tama yang perlu dijernihkan adalah pemahaman visi tentang pendidikan dalam relasinya dengan kepentingan pasar. Dunia industri dalam artian tertentu memang mutlak memiliki kaitan dengan dunia pendidikan, namun tidak demikian halnya dengan dunia pendidikan.

Kinerja lembaga pendidikan dan dampak teknologi

Perubahan situasi masyarakat menghasilkan cara-cara baru dalam menaksir kualitas kerja sebuah lembaga. Perubahan status pengetahuan dalam masyarakat post-industri mau tak mau mempengaruhi juga cara masyarakat menilai kinerja sebuah lembaga pendidikan.

Jean-François Lyotard menganalisis perubahan status pengetahuan ketika masyarakat memasuki era post-industri dan kebudayaan memasuki jaman post-modern 6. Pada era ini pengetahuan memperoleh legitimasi terutama melalui kriteria kinerja yang dimilikinya. Pengetahuan menjadi legitim jika bertujuan meningkatkan kekuasaan melalui kinerja yang dimilikinya berupa proses pencarian kemungkinan hasil terbaik yang didasarkan pada kriteria masukan/keluaran. ( the best possible input/output equation ).

Pendidikan sebagai salah satu bidang yang berurusan dengan transmisi pengetahuan tak luput dari kriteria ini. Kualitas sebuah pendidikan hanya bisa diukur dari kriteria dominan yang ada, yaitu, kriteria daya hasil yang dilihat melalui kinerjanya. Maka yang menjadi kriteria umum adalah bagaimana sekolah mendidik dan mengajar masukan (siswa) yang mereka terima sehingga menghasilkan keluaran yang baik dan maksimal. Jadi sekolah dinilai berdasarkan kriteria input/output yang diharapkan memiliki relevansi dalam menanggapi tuntutan masyarakat.

Usaha untuk menghasilkan orang yang memiliki kecakapan teknologi dan siap kerja di tengah tuntutan masyarakat global merupakan salah satu saja dari keseluruhan tujuan pendidikan manusia. Aristoteles (384-322 SM), misalnya, membedakan tiga tujuan pendidikan sebagai sebuah disiplin pengetahuan, yaitu a) pengetahuan sebagai disiplin teoritis, b)pengetahuan sebagai disiplin praktis dan c) pengetahuan sebagai disiplin produktif. Kinerja yang diukur dengan kriteria kecakapan kerja dan melek teknologi termasuk bagian dari pengetahuan sebagai disiplin produktif. Dikatakan produktif karena tujuan ( telos ) yang dimiliknya adalah untuk menghasilkan sesuatu (seperti benda-benda seni, lukisan, artifak, dll) yang mengandaikan adanya ketrampilan teknis tertentu.

Di masa lalu pendidikan diarahkan agar siswa sampai pada penemuan kebenaran melalui kontemplasi. Pencarian kebenaran menurut Aristoteles merupakan dari disiplin teoritis sebab kegiatan tertinggi yang dapat dilakukan oleh manusia adalah mencari kebenaran melalui kontemplasi. Tujuan ( telos ) dalam disiplin teoritis adalah dengan melalui kontemplasi si pelajar mencari dan menemukan pengetahuan demi kepentingan pengetahuan itu sendiri.

Di lain pihak, pencarian kebenaran pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri hanyalah akan menjadi sikap egois yang tak memiliki dampak langsung pada kehidupan sosial jika tidak diimbangi dengan hadirnya disiplin praktis sebuah pendidikan. Kontemplasi atas kebenaran mesti menjadi panduan dalam proses penataan kehidupan bersama. Karena itu, Aristoteles mengintegralkan kepentingan praktis tujuan pendidikan. Disiplin praktis terarah pada kebijaksanaan harian yang berurusan erat dengan dimensi etis dan politis. Di sinilah kontemplasi memperoleh jembatan dalam rangka kehidupan masyarakat. Kebijaksanaan praktis yang dimotivasi terutama oleh nilai-nilai etis dan politis memungkinkan proses pendarahdagingan kebenaran dalam kerangka hidup bersama.

Sayangnya, di era post-industri legitimasi pengetahuan rupanya tidak lagi didasarkan pada kebenaran, melainkan pada peningkatan kekuasaan melalui kinerja yang dimilikinya. Masyarakat yang memasuki era komputer membutuhkan orang-orang yang mampu bekerja dalam bahasa komputer. Ilmu yang berkembangpun tak jauh dari 'bahasa' teknologi yang ada, seperti sains komputer, ahli sibernetik, dll. Mereka yang tidak produktif dan efektif akan dengan sendirinya tersingkir dari laju masyarakat.

Lembaga pendidikan akan dilirik banyak orang ketika menawarkan sebuah keluaran yang mampu bekerja dan masuk dalam sistem bahasa informatika. Di sinilah Lyotard melihat mulai lenyapnya narasi humanis-idealis yang dulu menjadi monopoli negara. "Gagasan bahwa pembelajaran selalu ada dalam kontrol negara sebagai otak dan pikiran masyarakat makin hari akan makin tidak relevan seiring dengan meningkatnya kekuatan prinsip-prinsip yang menentangnya yang menganggap bahwa masyarakat akan eksis dan mengalami kemajuan hanya jika pesan-pesan yang beredar di dalamnya merupakan informasi yang kaya dan dapat dengan mudah dikodifikasi. 7"

Jika analisis Lyotard benar, lembaga pendidikan dalam masyarakat post-industri akan memiliki defisit dan timpang dalam strategi kerjanya sebab pendidikan hanya dilihat dari tujuan produktifnya semata. Yang terancam adalah idealisme pendidikan yang ingin menekankan integrasi pendidikan dalam tiga dimensinya seperti direfleksikan oleh Aristoteles, yaitu, pribadi kontemplatif yang mampu mendarahdagingkan kebenaran pengetahuan dalam kerangka tindakan politis-etis lewat tindakan produktifnya.

Kriteria dengan model input-output seperti ini sebenarnya tolok ukur yang ambigu dan relatif tergantung pada masukan dan keluaran macam apa yang diinginkan. Walau demikian, kriteria yang mengukur kualitas lembaga pendidikan berdasarkan kinerja tetaplah relevan dengan catatan tidak meredusirnya hanya pada dimensi produktif semata. Peredusiran seperti ini jelas mempermiskin sebuah kenyataan tentang manusia dan peranan penting lembaga pendidikan.

Kinerja pendidikan yang baik mesti memperhatikan pertumbuhan tiga dimensi penting seperti direfleksikan oleh Aristoteles, yaitu, siswa yang mampu menemukan kebenaran, mampu menerapkan dan melaksanakan dalam terang kehidupan praktis (dimensi etis dan politis) dan memiliki kemampuan teknis-produktif yang terinspirasi dari kebenaran itu. Hanya dengan cara seperti inilah sebuah masyarakat bisa melanggengkan keutuhannya, sebab berisi manusia yang hidup, bukan hanya robot-robot yang bekerja tanpa otak tanpa hati dan tanpa panduan moral.

Matinya budaya baca tulis

Selain adanya tegangan antara tujuan lembaga pendidikan dengan tuntutan pelatihan demi ekonomi pasar, kemajuan teknologi informasi ternyata secara sistematis dan struktural memperlemah kemampuan-kemampuan dasariah manusia.

Kemajuan teknologi informasi melalui media cetak seperti, koran, majalah, buku,dll, dan media elektronik (televisi, internet, perangkat multimedia, dll) di satu sisi memberi manusia informasi alternatif, menawarkan jutaan imajinasi, dll, namun di lain pihak menghasilkan gejala buta huruf jenis baru, yaitu, buta huruf fungsional.

Buta huruf fungsional adalah sebuah keadaan di mana kapasitas dan kemampuan manusia paling mendasar dalam berekspresi dan berpikir menjadi mandeg. Membanjirnya informasi membuat kemampuan membaca, menulis, menghitung, dan mengingat lumpuh. Para pelajar menjadi semakin pasif dan miskin perbendaharaan kata. Melimpahnya data memposisikan manusia sebagai sekedar keranjang sampah informasi semata sehingga kemampuannya untuk mengolah data dan membuat refleksi secara sistematis dan tergarap dengan baik makin menurun. Pasifitas adalah dampak nyata dari kemajuan teknologi ini.

Fenomena ini tidak terjadi tak hanya di negeri kita, namun juga di Eropa, sebuah zona di mana pendidikan telah menjadi tradisi selama berabad-abad.

"Jika abad 19 bisa disebut sebagai abad kehadiran sekolah-sekolah ( scolarizzazione ), abad 20, menurut beberapa pengamat, berresiko menjadi sebuah jaman yang ditandai dengan matinya kemampuan membaca dan kemampuan menulis, 8" ujar pemerhati pendidikan Maria Cavallieri dalam harian La Repubblica 17 Januari 1999.

Di negeri kita, kebiasaan baca tulis ini bahkan belum sempat berkembang. Secara sinis bisa dikatakan kita tidak mengalami kematian budaya baca tulis, sebab budaya membaca dan menulis yang kita miliki belum sempat hidup namun masyarakat sudah terlanjur diterjang oleh keganasan media elektronik yang memandulkan kebiasaan membaca dan menulis.

Kenyataan ini dapat dibaca dengan jelas melalui data yang dikeluarkan oleh National Labour Survey pada tahun 2000 yang membahas tentang daya jangkau orang Indonesia terhadap media massa. Dari tahun 1993-2000 terdapat peningkatan signifikan dalam masyarakat (berusia lebih dari 10 tahun) atas kebiasaan menonton televisi, yaitu dari 64.77% (1993) meningkat menjadi 87.97% (2000). Sedangkan mereka yang mendengarkan radio semakin menurun, dari 63.59% (1993) menjadi 43.72%(2000). Yang lebih parah adalah penurunan drastis pada minat baca (koran dan majalah), yaitu, dari 23.31% (1993) sampai 17.47% (2000).

Matinya budaya baca dan budaya tulis membuat masyarakat kita terjerumus sekedar menjadi masyarakat penonton yang dijejali berbagai macam data, imajinasi, yang kebenaran dan keakuratannya tak dapat diandalkan. Masyarakat menjadi tak tahu lagi mana yang isu, fitnah, berita sungguhan, kejadian sungguhan atau rekaan,dll. Masyarakat global yang ditunjang dengan internet menghantar kita memasuki era baru yang disebut 'masyarakat informasi'. Dengan adanya internet, bank data, dll, tidak ada lagi 'rahasia intelektual'. Ilmu pengetahuan menjadi semacam 'data publik' yang dengan mudah diakses oleh siapapun. Masyarakat belajar dari milyaran data yang disodorkan lewat internet.

Di satu sisi, akses pada pengetahuan semakin mudah, namun di lain pihak kita juga kesulitan untuk mendefinisikan batas-batas berkaitan dengan penyebaran data tersebut. Siapa pemimpin, siapa pengikut, siapa pengguna siapa pembuat, ada semacam anonimitas dalam dunia internet. Simulasi, dunia maya yang ditawarkan internet bisa membuat orang terkecoh, salah data, dan kemampuannya memandang kenyataan berpotensi terdistorsi. Dalam situasi ini mendesak adanya etika media dan penegakan etika di kalangan para intelektual agar degradasi kemanusiaan dapat dihindari.

Krisis ekonomi dan privatisasi PTN

Privatisasi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) adalah contoh lain kebijakan reaksioner yang dilakukan pemerintah. Korban kebijakan reaksioner atas privatisasi ini adalah orang-orang miskin, matinya cabang ilmu yang tidak menghasilkan banyak uang, makin jauhnya universitas pengabdian pada masyarakat. Privatisasi membuat Universitas menjadi menara gading.

Privatisasi PTN sesungguhnya berawal krisis ekonomi yang mendera bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 90-an dan memuncak pada tahun 1997. Krisis ekonomi memaksa bangsa Indonesia bekerja sama dengan lembaga keuangan internasional (IMF). IMF mau memberikan pinjaman dengan syarat adanya pencabutan beberapa subsidi di sektor publik. Semenjak itu terjadi berbagai macam kenaikan harga, seperti tarif listrik, bahan bakar minyak, yang lantas diikuti melmabungnya berbagai macam kebutuhan harian masyarakat. Bagi dunia pendidikan, dampak paling nyata adalah Privatisasi PTN.

Privatisasi PTN dituangkan dalam peraturan pemerintah P P 61/1999 dan PP 153/2000 yang mengubah status Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara. Privatisasi berarti berarti pencabutan subsidi pendidikan secara bertahap selama 5 tahun terhitung sejak tahun 1999. Semenjak itu Perguruan tinggi dituntut mencari dana secara mandiri untuk membiayai pendidikannya.

Dampak langsung dari kebijakan ini antara lain, melambungnya biaya pendidikan tinggi di universitas negeri, semakin jauhnya harapan orang miskin untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi yang bermutu. Di Universitas Gadjah Mada, misalnya, pada tahun 2002 terdapat sekurang-kurangnya 1000 calon mahasiswa yang mengundurkan diri karena ketidakmampuan membiayai ongkos pendidikan. Universitas yang terkenal dengan visi kerakyatannya itupun tak bisa berbuat lain selain menaikkan biaya sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) akibat dicabutnya subsidi pemerintah tersebut.

Dalam kerangka kemajuan ilmu, privatisasi PTN membawa dampak lain bagi nasib bidang studi yang tidak menghasilkan uang, seperti, sejarah, filsafat,teologi, antropologi, sosiologi, dll. Bidang-bidang ilmu yang makin laku, sebab menghasilkan banyak uang dan cukup aktual dengan yang dibutuhkan dunia industri dalam masyarakat kapitalis, misalnya, informatika, akuntansi-keuangan, ilmu hukum perdagangan, ilmu bisnis dan manajemen, akan semakin dipenuhi banyak mahasiswa.

Privatisasi PTN yang memiliki maksud baik untuk membuat setiap perguruan tinggi negeri semakin mandiri

dalam kerangka kerja ilmunya, ternyata menyimpan bara ketidakadilan sosial, melanggengkan kemiskinan, dan mencabut-hak-hak orang miskin atas pendidikan tinggi yang semestinya disediakan oleh negara. Sebab, kemandirian ternyata dipahami sekedar sebagai pembebasan universitas untuk mencari uang demi melaksanakan roda pendidikannya. Maka tak mengherankan jika Universitas makin menjadi menara gading dan makin jauh dari pengabdian masyarakat.

Privatisasi semakin membuat Universitas kehilangan otonomi, baik dalam kinerja intelektual, maupun penelitian. Sebab hanya proyek penelitian yang laku dijual di pasar sajalah yang akan menjadi ladang garapan para akademisi. Ilmu-ilmu yang tak menghasilkan uang seperti, filsafat, sosiologi, antropologi, teologi, sejarah, arkeologi, dll makin kurang peminat. Universitas makin kehilangan identitasnya sebagai sebuah tempat yang mengklaim memberikan pengajaran universal 9.

Kedok ideologis dibalik privatisasi PTN adalah persaingan dan pasar bebas. Namun yang terjadi sesungguhnya adalah lepasnya tanggungjawab negara dalam memberikan pelayanan publik paling esistensial demi kelanggengan sebuah negara. Tugas negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti amanat agung yang terdapat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, dan tugas negara untuk menjamin dipenuhi hak-hak warga negara atas pengajaran (UUD 1945 pasal 31) inilah yang ingin dihapus dalam kebijakan privatisasi PTN.

Epilog

Situasi pendidikan yang carut marut seperti ini menuntut sebuah reformasi sistemis di bidang pendidikan. Berhadapan dengan persoalan dalam dunia pendidikan yang begitu kompleks dibutuhkan semangat pembaharuan, bukan semangat mempertahankan status quo . Kita tidak bisa memandang pembaharuan dalam ruang tertutup dan menostalgiakan sekolah di masa lalu yang sesungguhnya tidak ada lagi.

Di mana pun, penelaahan tentang situasi pendidikan mesti diletakkan dalam kerangka kehidupan sosial yang lebih luas. Sebab meskipun pendidikan menempatkan para siswa dalam sebuah ruang kelas tertutup, apa yang mereka pelajari menembus batas-batas dinding tembok sekolah mereka, apa yang mereka pelajari memiliki dampak langsung bagi kelanggengan sebuah masyarakat dan negara. Pendidikan memiliki visi terarah ke masa depan. Karena itu, persoalan tentang pendidikan tidak dapat dilihat sekedar sebagai persoalan yang terjadi dalam dunia pendidikan itu sendiri. Reformasi bidang pendidikan sebenarnya lebih merupakan pekerjaan yang lebih kental dengan muatan politis dan kultural. Karena itu, reformasi bidang pendidikan mesti dijiwai dengan reformasi politik dan kultural. Proyek politik-kultural suatu pemerintahan dalam bidang pendidikan akan menentukan hidup matinya sebuah lembaga pendidikan.

Ada beberapa alternatif yang bisa kita ajukan menghadapi kompleksitas permasalahan tegangan antara pendidikan manusia dengan tuntutan pelatihan kerja bagi ekonomi global.

Pertama, dalam memandang keterkaitan antara pendidikan manusia dengan kebutuhan nyata yang diharapkan oleh pasar, diperlukan sebuah visi yang jernih tentang relasi antara lembaga pendidikan dengan lembaga bisnis. Lembaga bisnis memiliki relasi yang cukup esistensial dengan dunia pendidikan, namun tidak sebaliknya. Pendidikan memiliki tujuan yang lebih luhur dibandingkan sekedar tanggapan untuk memenuhi kebutuhan atas permintaan pasar. Karena itu, kebijakan Link and Match hanya dapat diterapkan secara parsial-proporsional sesuai dengan relevansi setiap bidang ilmu dalam kerangka kemajuan teknologi industri dan informasi.

Meskipun dunia pendidikan tidak selalu harus memiliki kaitan dengan apa yang dituntutkan oleh pasar, sikap responsif aktif terbuka dan proporsional dalam mengantisipasi kemajuan teknologi merupakan conditio sine qua non yang mesti segera dipertimbangkan dalam model pedagogis-didaktisnya. Masyarakat kita akan makin terbiasa dengan model pembelajaran yang memanfaatkan multimedia (gambar-suara-gerakan). Pemanfaatan teknologi multimedia bagi pendidikan merupakan sebuah kemendesakan yang tak dapat ditunda.

Kedua , lembaga pendidikan tidak dapat hidup secara independen terlepas dari kaitannya dengan negara dan masyarakat. Fakta bahwa lembaga pendidikan kita menghasilkan orang-orang yang tidak siap masuk pada dunia kerja, menjelaskan kenyataan bahwa lembaga pendidikan kita agak tertinggal dalam hal struktur dan infrastruktur dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Lembaga pendidikan dengan kekuatannya sendiri tidak dapat memperbaiki infrastruktur yang dimilikinya tanpa dukungan kuat dari negara. Pendidikan membutuhkan pembiayaan yang mahal. Negara tidak bisa membiarkan lembaga pendidikan mengemis ke sana kemari pada dunia bisnis untuk menyambung nafasnya hari demi hari, sementara milyaran uang negara hasil pajak rakyat dikorupsi dan dikemplang oleh para pengusaha hitam!

Karena itu, kebijakan Link and Match paling mendesak bukanlah Link and Match antara dunia pendidikan dengan dunia industri. Link and Match yang strategis adalah keterkaitan dan kesepadanan antara kebijakan pemerintah yang disejajarkan dengan tujuan jangka panjang pendidikan nasional selaras dengan kebutuhan nyata yang ada dalam dunia pendidikan. Kalau banyak sekolah-sekolah inpres mulai ambruk, yang perlu di link adalah kebijakan pemerintah dalam memperbaiki sarana-sarana pendidikan ini, sehingga dunia pendidikan memiliki kesepadanan dalam melaksanakan misi pendidikannya bagi masyarakat. Karena itu, yang perlu di integralkan adalah konsistensi kebijakan pemerintah bagi berkembang dan bertumbuhnya dunia pendidikan. Link and Match kebijakan pemerintah dengan dunia pendidikan sangat mendesak untuk segera diwujudnyatakan.

Pemerintah melalui aparatur negaranya, tidak dapat melarikan diri dari tanggungjawabnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa seperti diamanatkan oleh para pendiri bangsa dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Keputusan politik di bidang pendidikan yang lebih berpihak pada dunia pendidikan merupakan tanda adanya orientasi politik yang berkomitmen pada kehidupan bangsa. Dibutuhkan kebijakan politik yang kuat agar negara tetap berada dalam jalurnya sebagai penanggungjawab utama hidup matinya dunia pendidikan. Tak berlebihanlah bila masyarakat mengharapkan, melalui dukungan penuh pemerintah, bahwa lembaga pendidikan menemukan kembali semangat aslinya sebagai lembaga yang mendidik rakyat. Bukan lembaga yang malahan mendodosi (menggerogoti) rakyat.

Ketiga, dunia pendidikan semakin hari semestinya semakin meningkatkan kinerjanya. Tolok ukur kinerja pendidikan berdasarkan maksimalisasi hasil antara masukan dan keluaran tetap merupakan kriteria yang relevan untuk mengukur sejauh mana pendidikan yang kita lakukan memang efektif dan efisien. Namun kriteria kinerja ini tidak dapat dipersempit sekedar formasi masukan dan keluaran yang siap terjun dalam dunia kerja yang dibutuhkan masyarakat, lebih dari itu, kriteria kinerja dilihat dalam kerangka lebih luas, yaitu, dalam kerangka pendidikan dan pertumbuhan manusia secara penuh pribadi-per pribadi. Maka ukuran yang dipakai adalah sejauh mana pendidikan kita mampu membuat setiap pribadi bertumbuh dalam keseluruhan dimensi hidupnya baik secar kualitatif maupun kuantitatif (intelektual, moral, teknis, emosi, dll). Adanya kasus katrol nilai ebtanas merupakan salah satu contoh bahwa dunia pendidikan belum dapat menilai kinerja pendidikan di lingkungannya sendiri secara meyakinkan. Jika membuat penilaian atas hal-hal kuantitatif-terukur seperti, menentukan hasil ebtanas saja lembaga pendidikan kita tidak bisa, bagaimana menentukan kriteria lain yang lebih mendasar seperti menilai pertumbuhan budi pekerti seoarang siswa misalnya? Jangan bicara soal budi pekerti jika membuat evaluasi nilai ebtanas saja tidak becus!

Tiga hal di atas merupakan syarat-syarat mendasar yang semestinya dipertimbangkan jika kita ingin memulai sebuah reformasi pendidikan yang benar-benar memiliki visi. Kita tahu, memperbaiki dunia pendidikan bukanlah pekerjaan rumah setahun dua tahun. Reformasi pendidikan semestinya merupakan sebuah usaha konsisten, terarah, dan berkesinambungan dengan tolok ukur jangka pendek dan jangka panjang yang dapat dievaluasi dan diteruskan oleh siapapun yang memegang tampuk pemerintahan. Kita menantikan sebuah pemerintahan yang benar-benar dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dalam kehidupan nyata, bukan malahan menjerumuskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa, itulah amanat luhur para pendiri Republik ini ketika mereka membangun negeri Republik Indonesia.

Artikel dimuat dalam buku Pendidikan Manusia Indonesia, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2004, hlm. 196 - 216.

Referensi

1.Jean-Francis Lyotard, The Postmodern condition : a report on knowledge, University of Minnesota Press , Mineapolis,(1979), hlm.47

2.John Henry Cardinal Newman, The Idea of University defined and illustrated , Longmans, London , 1907, hlm.104

3.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Konsep Sistem Ganda pada Pendidikan Menengah Kejuruan di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

4.Lorenzo Capitani dan Roberto Villa (editor), dalam Scuola, intellettuali e identità nazionale nel pensiero di Antonio Gramsci , Penerbit Gamberetti, Roma, 1997, hlm 13

5.Antonio Gramsci, Quaderni del Carcere (Vol III), edisi kritis Institut Gramsci, oleh Valentino Gerratana, Torino. Enaudi, 2001, Quaderno 12 (1932:Per la storia degli intellettuali ), hlm.1542

6.Jean-Francis Lyotard, Op.cit . hlm. 3

7.Lyotard. J.F., Op.cit hlm 5

8.Lorenzo Capitani dan Roberto Villa (editor), Op.cit hlm. 18.

9.Newman, J.H., op.cit . hlm 20

Publication and Academic Activities

2014

Artikel dan Makalah

1. Menghidupkan Kebhinekaan (Kompas, 21 Januari 2014)
2. Ghettoisme Pendidikan (Kompas, 22 Februari 2014)
3. Pelajaran Mencontek (Kompas, 21 Mei 2014)
4. Hak Pendidikan Penyandang Disabilitas (Media Indonesia, 14 Juli 2014)
5. Dari Keluarga Bersemai Nilai-Nilai Mulia (Tabloid Nakita, No. 799/TH. XVI/23, 29 Juli 2014)
6. Mendesain Karier Guru (Media Indonesia, 8 September 2014)
7. Sandera Kurikulum 2013 (Kompas, 20 September 2014)
8.Strategi Pendidikan Antikekerasan (Media Indonesia, 29 September 2014)
9. Kolaborasi Keluarga dan Sekolah dalam Pendidikan Karakter (Tabloid Nakita, No.809/TH.XVI/1-7 Oktober 2014)
9. Legalitas Moral Dewan Pendidikan Nasional (Kompas, 16 Oktober 2014)

Lokakarya dan Seminar

1. Presentasi di hadapan pelatih Inti Yayasan Cahaya Guru, dengan tema "Pendidikan Karakter Berbasis Kultur Sekolah", di LBH Jakarta, Januari 2014.  

2. Talkshow BeritaSatu TV dalam Dialog Jurnal Pagi, 13 Maret 2014 dengan tema Penyandang Disabilitas Dilarang Kuliah, dengan host: Christian Renaldi.

3. Pembicara dalam acara bedah buku Kekerasan Simbolik karya Nanang Martono dengan makalah berjudul Kekerasan Simbolik, Tantangan Pendidikan Karakter Pendidik, di Universitas Soedirman, Purwokerto, 2 April 2014

4. Narasumber dalam Diskusi Panel Pendidikan yang diadakan oleh KOMPAS dan PGRI dengan tema “Mencari Arah Pendidikan Indonesia” dengan paparan berjudul “Kurikulum dengan Visi Transformasi Sosial “ pada, Senin, 21 April 2014.

5. Narasumber dalam Seminar Nasional Pendidikan yang diadakan oleh Paguyuban Van Lit (PAVALI), dengan tema ”Revolusi Pendidikan dan Kebangkitan Bangsa”, pada 26 April 2014 di Yogyakarta.

6. Memberikan pelatihan keragaman bagi para Guru SD dalam lokakarya yang diadakan oleh Majalah Bobo dan Yayasan Cahaya Guru dengan tema “Arti Keragaman untuk Masa Depan Anak”, Selasa, 13 Mei 2014 di Jakarta.

7. Narasumber bagi para kepala sekolah, wakil kepala sekolah, pembina dan pengawas pendidikan di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan tema “Pendidikan Karakter yang Efektif Tanpa Kekerasan di Sekolah Boarding School”, di Bogor, 20 Mei 2014.


8. Narasumber dan moderator dalam Konferensi Nasional Kebebasan Beragama dan Konferensi diselenggarakan sebagai bentuk kerjasama antara The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), LBH Jakarta, AWC Universitas Indonesia, CRCS Universitas Gajah Mada, Yayasan Cahaya Guru, Sejuk dan HiVOS, di Jakarta, 2 Juni 2014.


9. Pembahas dalam acara bedah buku “Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Kreatif dan Inovatif” karya Retno Listyarti di SMAN 76, Jakarta Timur, 3 Juni 2014.

10. Narasumber workshop penulisan Opini untuk mahasiswa kedokteran dalam rangka program HPEQ Dikti di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 8 Juni 2014.

11. Narasumber dalam diskusi pendidikan the Jakarta Post dengan makalah “Mengembalikan Roh Keragaman dalam Pendidikan,” Jakarta, 12 Juni 2014.

12. Menjadi pembicara dalam acara Diskusi dan Buka Puasa Bersama dengan tema “Refleksi Keragaman dalam Pendidika,” yang diadakan oleh Federasi Serikat guru Indonesia (FSGI), Yayasan Cahaya Guru (YCG) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, 7 Juli 2014.

13. Narasumber dalam rangka Masa Orientasi Peserta Didik Baru dengan tema Lingkungan Hidup dan Kewirausahaan di SMAN 76, Jakarta Timur, 15 Juli 2014.

14. Narasumber workshop penulisan Berita untuk para peserta Pertukaran Pelajar Indonesia-Malaysia (Indonesia Malaysia Youth Exchange Program/IMYEP) yang diadakan oleh Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Jakarta, 14 Agustus 2014.

15. Narasumber untuk diskusi pendidikan Dwi Bulanan yang diadakan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI) dan Pertamina Foundation dengan presentasi berjudul “Pendidikan Indonesia 5 Tahun ke Depan : Kurikulum, Ujian Nasional dan Pendidikan Karakter” di Jakarta, 15 Agustus 2014.

16. Narasumber untuk Focus Group Discussion dengan tema ‘Revitalisasi Kurikulum Sekolah Internasional dalam rangka Pembentukan karakter demi ketahanan nasional” yang diadakan oleh Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas), di Jakarta, 27 Agustus 2014.

17. Menjadi narasumber dan fasilitator untuk pelatihan kepala sekolah se-Jabodetabek dalam rangka pengembangan dan penguatan pendidikan anti radikalisme dengan tema “Damai dalam NKRI” yang diadakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), di Jakarta, 29-31 Agustus 2014.

18. Memberikan pelatihan menulis Opini di media massa untuk Mahasiswa Penulis Muda Kesehatan (Penakes), yang diadakan oleh Health Professional Education Quality Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (HPEQ Dikti) di Jakarta, 30-31 Agustus 2014.

19. Menjadi narasumber dan fasilitator untuk pelatihan para guru pendamping kesiswaan, OSIS dan Rohis se-Jabodetabek, Jawa Barat, dan Banten dalam rangka pengembangan dan penguatan pendidikan anti radikalisme dengan tema “Pencegahan Faham Radikalisme di Sekolah” yang diadakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), di Jakarta, 19-21 September 2014.

20. Menjadi narasumber dan fasilitator untuk pelatihan kepala sekolah dalam rangka pengembangan dan penguatan pendidikan anti radikalisme dengan tema “Damai dalam NKRI” yang diadakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), di Samarinda, 26-28 September 2014.

21. Menjadi narasumber dalam seminar menyambut Hari Guru Internasional yang diadakan oleh Dinas Pendidikan DKI, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan Yayasan Cahaya Guru (YCG) dengan tema Mencari Akar dan Solusi Kekerasan dalam Pendidikan, pada 1 Oktober 2014 di Jakarta.

22. Menjadi narasumber penanggap (Makalah Dr. Yudi Latief, Prof. Theresia dan Prof. Ali Furqon) dalam Rount Table Discussion yang diadakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) dengan tema Revitalitasi Kurikulum Pendidikan Karakter bagi Ketahanan Nasional Bangsa, di Jakarta, 2 Oktober 2014.

23. Memberikan pelatihan menulis Opini di Media Massa untuk para mahasiswa Penulis Muda Kesehatan (PENAkes) dalam rangka National Health Collaboration IYHPS kerjasama antara Health Professional Education Quality (HPEQ) Pendidikan Tinggi, di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 12 Oktober 2014.

24. Menjadi narasumber dan fasilitator untuk pelatihan para guru pendamping kesiswaan, OSIS dan Rohis dalam rangka pengembangan dan penguatan pendidikan anti radikalisme dengan tema “Pencegahan Faham Radikalisme di Sekolah” yang diadakan oleh Satuan Tugas (Satgas Pendidikan) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), di Balikpapan, 17-19 Oktober 2014.

                                                                           
Publikasi Buku

Albertus, Doni Koesoema.(2014). Veronika. Misteri Perempuan Kudus di Jalan Salib Kristus. Kanisius: Yogyakarta


2013

Artikel dan Makalah

1. Bercermin dari Keterbelakangan Kita (Kompas, 14 Januari 2013)
2. Berpusat pada Pembelajar (28 Februari 2013)
3. Eklektisisme Kurikulum 2013 (5 April 2013)
4. Jalan Keempat Pendidikan (Media Indonesia, 19 April 2013)
5. Panik Sertifikasi (Kompas, 4 Mei 2013)
6. Antiklimaks Kurikulum 2013 (Kompas, 8 Juni 2013)
7. Reformasi Perbukuan (Kompas, 17 Juli 2013)
8. Kekerasan Simbolik Pendidikan (Resensi Buku Kompas, 21 Juli 2013)
9. Rumah Kaca Pendidikan (Sinar Harapan, 14 November 2014)

Lokakarya dan Seminar

1.      Memberikan lokakarya Pendidikan Karakter untuk para kepala sekolah di lingkungan Yayasan Salib Suci Bandung, 28 – 30 Januari 2013, di Wisma Pratista Bandung dengan tema Pemimpin Sekolah sebagai Pelaku Perubahan.

2.      Menjadi narasumber Talk Show Onair Radio Suara Edukasi tentang Sejarah Lahirnya Pancasila dan Pendidikan Karakter, 5 Juni 2013.



3.      Menjadi peserta aktif diskusi pendidikan yang diadakah oleh Eksekutif Forum Media Group di Jakarta, 11 Juni 2013.



4.      Memberikan Lokakarya bagi para guru di Semarang dan Jawa Tengah yang diadakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Soegijapranata, Semarang,  dengan makalah berjudul Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Atas, 17 Juli 2013.



5.      Menjadi Pembicara dalam Kongres Indonesia In Diaspora tentang Pengembangan Pendidikan Karakter bagi Masa Depan Pendidikan di Indonesia, JCC, Jakarta, 18 Agustus 2013.



6.      Mendampingi dan memberikan konsultasi bagi Tim Pengembangan Pendidikan Karakter Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian dan Perkebunan (STIPAP), Medan, 22 Agustus 2013.



7.      Menjadi pembicara dalam rangka Orientasi Mahasiswa Baru Trisakti School of Managemen (TSM), Universitas Trisakti tentang Pendidikan Karakter bagi Mahasiswa, Jakarta, 26 Agustus 2013.



8.      Menjadi Pembicara tentang pengembangan pendidikan di masa depan di hadapan Ikatan Alumni Kolese De Britto dengan makalah berjudul “Man for Others : Tantangan De Britto Menuju Pendidikan Global”, di Kolese Kanisius Jakarta, 8 September 2013.



9.      Menjadi pembicara dalam Konvensi Rakyat : Evaluasi Satu Dasawarsa Kebijakan Ujian Nasional, dengan makalah berjudul “13 Dampak Merusak Kebijakan UN”, di Gedung Joeang, Jakarta, 24 September 2013.



10.  Memberikan workshop pelatihan menulis bagi penulis muda kesehatan yang tergabung dalam Higher Professional Education Quality (HPEQ), di Hotel Yasmin, Karawaci, 6-8 Desember 2013.


2012

Artikel dan Makalah

1.      Santa Anna Schaffer : Menjadi Misionaris Karena Menderita (Majalah HIDUP, Edisi No. 46, tanggal 11 November 2012)
2.      Politisasi Pendidikan (Kompas, 5 November 2012)
3.      Memutus Rantai Tawuran Pelajar (Kompas, 31 Juli 2012)
4.      Pelajaran dari Hongaria (Kompas, 9 April 2012)
5.      Merebut Kehormatan di Jalanan (Kompas, 6 Maret 2012)
6.      Antropologi Pendidikan Heideggerian dan Sumbangannya bagi Praksis Pendidikan Kita (Jurnal Filsafat Arete, Vol. 01- nomor 01 – Januari 2012, diterbitkan oleh Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandala Surabaya).

Antologi/Bunga Rampai

1. Albertus, Doni Koesoema.(2012). ”Api itu Tetap Harus Menyala, Mengenang Ludovicus Doewe Prawiradisastra (1907-1966)”, dalam Heri Kartono OSC (Ed.), Ludovicus Doewe, Pelopor Sunda Katolik, Jakarta: Obor, hal 95-103.

2. Albertus, Doni Koesoema. (2012).  ”UN Posisikan Guru sebagai Teroris dan Revolusi Sosial Menentang UN”, dalam Habe Arifin (Ed.), Buku Hitam Ujian Nasional, Yogyakarta: Resist Book, hal 217-221 dan 340-345.

Kegiatan Lokakarya dan Seminar

1.      Menjadi juri dalam Lomba Majalah Dinding SD Katolik Se-Jakarta Selatan, di Sekolah Dasar Asisi, Menteng, 25 Oktober 2012.

2.      Memberikan pelatihan pendidikan karakter dan media literacy bagi para guru Sekolah Dasar Maria Fransisca, Bekasi, 5 Oktober 2012.

3.      Memberikan pelatihan jurnalistik untuk siswa kelas 9, SMP Marsudirini, Bekasi, dalam rangka seminar dengan tema “Mengembangkan Kemampuan Menulis Untuk Meraih Sukses Masa Depan”, 24 Mei 2012.

4.      Memberikan pelatihan jurnalistik untuk siswa kelas 8, SMP Notre Dame, Jakarta Barat, 13 April 2012.

5.      Pembicara dalam seminar nasional pendidikan dengan makalah berjudul Peran Pendidikan Formal dalam Mempersiapkan Generasi Penerus yang Unggul dan Berkaraker dengan fokus Pendidikan Sains yang Unggul dan Berkarakter yang diadakan oleh Fakultas Teknik Universitas Widya Mandala Surabaya, di Surabaya, 5 Mei 2012.

6.      Menjadi moderator dalam seminar Pendidikan Karakter yang diadakan oleh Koran BERANI dengan pembicara utama Bapak Fasli Jalal, di Jakarta, 3 Mei 2012.

7.      Pembicara dalam seminar Pendidikan Karakter dengan makalah berjudul Praksis Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah yang diadakan oleh Perkumpulan Strada dalam rangka Hari Ulang Tahun Perkumpulan Strada ke-88 di Jakarta, 4 Mei 2012.

8.      Pembicara dalam lokakarya dalam rangka Training of Trainers Character Building bagi para dosen dengan makalah berjudul Pendidikan Karakterdan Integrasi Metode Pembelajaran  di Universitas yang diadakan oleh Kopertis X, di Bukit Tinggi, 30 April 2012.

9.      Menjadi moderator dalam Seminar Pendidikan dengan tema Menggugat Praksis Pendidikan Nasional, Bagaimana? yang diadakan oleh Koran Harian KOMPAS dalam rangka peluncuran Yayasan Nusa Membaca, dengan pembicara antara lain Mohammad Nuh (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan KIB 2, Daoed Joesoef (Mantan Menteri Pendidikan Nasional 1987-1993) dan Prof. Dr. Paul Suparno SJ, di Jakarta, 24 April 2012.

10.  Memberikan pelatihan jurnalistik bagai para siswa kelas VII dan VIII di Sekolah Dasar Notre Dame, Jakarta, 13 April 2012.

11.  Menjadi narasumber bagi tim pendidikan karakter dalam rangka pembuatan buku pedoman pendidikan karakter untuk Perkumpulan Strada, Senin, 5 Maret 2012.

2011

Publications in Media (Articles, Opinion)

1. Kebebalan Moral Penguasa (KOMPAS, 28 Januari 2011)
2. Menumbuhkan Keutamaan Kewarganegaraan (Kompas, 22 Februari 2011)
3. Pendidikan Karakter dan Budaya Akademik di Sekolah (Makalah FMIPA UNJ, 1 Oktober 2011)
4. Quo Vadis Pendidikan Karakter di UBS? (Makalah Seminar UBS, 11 Oktober 2011)
5. Alamat Palsu (Kompas, 15 Oktober 2011)
6. Kurikulum Nasional dan Generasi Peneliti (Makalah Integritas Summit 2011, 3 November 2011)


Workshop and seminars


2.   Memberikan pelatihan kepada para guru Sekolah Dasar St. Ursula di BSD tentang Reading Skills, Jumat 9 September 2011.

3.   Menjadi narasumber untuk pelatihan literasi moral guru bersama di Sekolah Dasar Marsudirini, Bekasi, pada 18 Agustus 2011 dengan makalah berjudul 15 Menit yang Mengubah Dunia, dari Reading Literacy Menuju Moral Literacy.

4.   Mengikuti diskusi terbatas yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional dengan tema Revitalisasi Manajemen Berbasis Sekolah, pada 9 Agustus 2011.


5.   Menjadi narasumber untuk pelatihan literasi moral guru bersama di Sekolah Dasar Marie Jose, Jakarta, pada 29 Juli 2011 dengan makalah berjudul 15 Menit yang Mengubah Dunia, dari Reading Literacy Menuju Moral Literacy.

6.   Menjadi narasumber untuk pelatihan literasi moral guru di Sekolah Dasar Strada Bekasi pada 22 Juli 2011 dengan makalah berjudul 15 Menit yang Mengubah Dunia, dari Reading Literacy Menuju Moral Literacy.

7.   Menjadi narasumber untuk pelatihan literasi moral guru bersama dengan tim dari Koran Harian Anak Berani, di Sekolah Dasar Regina Pacis, Jakarta, 16 Juli 2011, dengan makalah berjudul 15 Menit yang Mengubah Dunia, dari Reading Literacy Menuju Moral Literacy.

8.   Menjadi narasumber untuk pelatihan literasi moral guru bersama dengan tim dari Koran Harian Anak Berani, di Sekolah Dasar Tarakanita 3, Patal, Senayan, Jakarta, 6 Juli 2011, dengan makalah berjudul 15 Menit yang Mengubah Dunia, dari Reading Literacy Menuju Moral Literacy.

9.   Menjadi narasumber untuk pelatihan literasi moral guru bersama dengan tim dari Koran Harian Anak Berani, di Sekolah Dasar Assisi, Tebet, Jakarta, 21 Juni 2011, dengan makalah berjudul 15 Menit yang Mengubah Dunia, dari Reading Literacy Menuju Moral Literacy.

10.     Menjadi narasumber untuk pelatihan literasi moral guru bersama dengan tim dari Koran Harian Anak Berani, di Sekolah Dasar Santa Maria, Jakarta, 16 Juni 2011, dengan makalah berjudul 15 Menit yang Mengubah Dunia, dari Reading Literacy Menuju Moral Literacy.

11.  Menjadi narasumber dengan tema Jurnalism dalam rangka Future Quest: Career Day Workshop, May 27, 2011 yang diadakan oleh Sekolah Pelita Harapan Lippo Karawaci Tangerang.

12.     Menjadi nara sumber dalam rangka persiapan pengembangan program pendidikan karakter yang diadakan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk), di Jakarta, 19-20 Mei 2011.

13.  Menjadi pembicara dalam Seminar Hari Pendidikan Nasional yang diadakan oleh     Universitas Satya Wacana, Salatiga, (13-14 Mei 2011) dengan makalah berjudul,     Tantangan Mendidik Calon Guru” dan ” Mendesain Pembelajaran Berjiwa Pembentukan Karakter”.

14.     Menjadi narasumber dan fasilitator pengembangan program pendidikan karakter di lingkungan Yayasan Hati Suci, Jakarta (16 April 2011).

15.  Mengikuti Sarasehan Nasional bersama Wamendiknas Fasli Jalal dengan tema Pengembangan Profesionalisme Guru, Jakarta, 30 Maret 2011.

16.  Menjadi pembicara dalam rangka Lokakarya Guru-Guru Agama Katolik DKI, di Cisarua, Jawa Barat, 26 Maret 2011 dengan makalah berjudul ”Mendesain Pembelajaran Berjiwa Pembentukan Karakter”.

17.  Menjadi Ketua Dewan Juri untuk Pemilihan Jagoan Cerdas Indonesia 2011 bersama Clevo dan Koran Anak BERANI.

2010

Articles and Seminars

1.   Pendidikan Karakter Integral (KOMPAS, 11 Februari 2010)
2.   Kucing Hitam Pendidikan Karakter (KOMPAS, 19 Juli 2010)
3.   Diana, Apa yang Kaucari? (Liputan khusus pendidikan, KOMPAS, 21 Juli 2010)
4.   Mengembangkan Pengajaran dan Pembelajaran yang berjiwa Pendidikan Karakter  (Seminar Nasional HUT BPK Penabur, 17 Juli 2010)
5.   Mencari Format Pendidikan Karakter dalam Konteks  Keindonesiaan (Dalam Education for Change, Buku Kenangan HUT BPK Penabur, Jakarta).
6.   Pendidikan Karakter, Darimana Dimulai? (Makalah disampaikan dalam diskusi terbatas Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia, 18 Agustus 2010)
7.   Mengembangkan Visi Guru sebagai Pendidik Karakter (Makalah seminar pendidikan HUT Yayasan St. Yakobus, Kelapa Gading, Jakarta).
8.   Mengembalikan Kehormatan Guru (KOMPAS, 26 November 2010).
9.   Tantangan Ilmuwan Pendidikan (KOMPAS, 30 Desember 2010)

Workshops



1.    Pembicara Utama dalam rangka Lokakarya (Workshop) Bina Karakter Tingkat TK-SMA/K di Lingkungkan Yayasan Asti Dharma cabang Tegal, 11-14 Januari 2010, di Rumah Retret Parakan, Jawa Tengah.



2.      Pembicara Utama dalam Rangka Lokakarya (Workshop) Pembekalan Pendidikan Karakter bagi Para Guru Sekolah Dasar dalam Yayasan Asti Dharma cabang Tegal (SD Pius Wonosobo, SD St. Maria Parakan, dan SD Maria Purworejo), 12 – 14 Februari 2010.



3.      Fasilitator pendalaman tentang Pendidikan Karakter bagi Tim Pendidikan Karakter di Lingkungan Sekolah BPK Penabur, Jakarta, 23 Maret 2010.



4.      Fasilitator bagi Tim Bina Karakter Yayasan Asti Dharma cabang Tegal, 26 Maret 2010.



5.      Pembicara dalam Lokakarya dan Seminar ”Membaca Membentuk Karakter Bangsa” di Sekolah Dasar Atalia, Jakarta, kerjasama dengan Koran Harian Anak BERANI, 22 Mei 2010.



6.      Pembicara dalam Seminar Nasional HUT BPK Penabur, 17 Juli 2010, di Jakarta dengan makalah berjudul, Mengembangkan Pengajaran dan Pembelajaran yang Berjiwa Pendidikan Karakter.



7.      Fasilitator bagi tim Bina Karakter Yayasan Asti Dharma cabang Tegal dalam membuat Standard Evaluasi Pendidikan Karakter di Jakarta, Sabtu, 24 Juli 2010.



8.      Pembicara pada Lokakarya bagi guru-guru SD Sang Timur, Kebun Jeruk, Jakarta, Sabtu, 24 Juli 2010 yang diadakan dalam rangka kerja sama dengan Koran Harian Anak BERANI, dengan materi berjudul, Media sebagai Alat dalam Pembentukan Karakter.



9.      Pembicara pada diskusi internal Pengurus Besar Persatuan Guru Indonesia, 18 Agustus 2010, di Gedung Guru, Tanah Abang, Jakarta,  dengan makalah berjudul, Pendidikan Karakter, Darimana Dimulai?



10.  Pembicara pada Lokakarya Membaca Membentuk Karakter Bangsa, bekerja sama dengan Koran Harian Anak BERANI, di Sekolah Jubilee, Jakarta, 21 Agustus 2010.



11.  Pembicara pada Seminar Pendidikan HUT Yayasan St. Yakobus, Kelapa Gading, Jakarta 28 Agustus 2010, dengan makalah berjudul, Mengembangkan Visi Guru sebagai Pendidik Karakter, 28 Agustus 2010.



12.  Pembicara pada Seminar dan Lokakarya Konferensi Nasional Asosiasi Psikolog Pendidikan Indonesia (APPI), dengan makalah berjudul Mengembangkan Kultur Akademis Bagi Pembentukan Karakter Bangsa, 17 Oktober 2010, di Malang, Jawa Timur.



13.  Menjadi Narasumber untuk acara brainstorming pengembangan pendidikan di hadapan seluruh pengurus Yayasan Hati Suci, dengan makalah berjudul Mengubah Guru: Tantangan dan Kendala, Hotel Millenium Jakarta, 22 Oktober 2010.



14.  Menjadi pembicara seminar ”Membaca Membentuk Karakter Bangsa” bagi guru-guru se-Jakarta Timur, di Kantor Walikota Jakarta Timur, 30 Oktober 2010.



15.  Menjadi narasumber untuk Seminar Nasional Pendidikan Karakter yang diadakan oleh Lembaga Pengkajian Pengembangan Mutu Pendidikan (LPPM) bekerja sama dengan Universitas Negeri Medan (Unimed), di Medan, 7 November 2010, dengan makalah berjudul Pendidikan Karakter sebagai Basis Penyelenggaraan Pendidikan kita Dewasa Ini (strategi dan Impementasi).



16.  Menjadi narasumber dalam Seminar dan Konferensi Guru Nasional yang diadakan oleh Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, 27 November 2010, dengan makalah berjudul ”Pendidikan Karakter dan Budaya Akademik di Sekolah”.



17.  Menjadi Narasumber untuk seminar Metodologi Belajar dan Pembentukan Karakter di Universitas Media Nusantara (UMN) Jakarta, 15 Desember 2010, dengan makalah berjudul, Cara Belajar di Universitas dan Pembentukan Karakter.



18.  Menjadi narasumber bagi Kluster Pendidikan pada International Summit Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4), Jakarta, 16-18 Desember 2010, dengan makalah berjudul Mengembangkan Pendidikan Nasional Bervisi Transformasi Sosial.


2009

1.      Mengubah Paradigma UN (KOMPAS, 14 Januari 2009)
2.      Siswa (Cerdas), Milik Siapa? (KOMPAS, 17 Februari 2009)
3.      UN, Doa Bersama dan Ikrar Kejujuran (KOMPAS, 20 April 2009)
4.      Ujian Nasional Ulang (KOMPAS, 15 Juni 2009)
5.      Guru sebagai Pelaku Transformasi Sosial (Simposium SMA 6, 15 Juni 2009)
6.      Melahirkan Generasi Peneliti (KOMPAS, 20 Agustus 2009)
7.      Driyarkara: Transformasi Sosial Pendidikan (BASIS, No 09-10, Tahun Ke-58,September-
8.      Oktober 2009)
9.      Desain Besar Pendidikan (KOMPAS, 1 Desember 2009)
10.  Api itu Tetap Harus Menyala – Mengenang Almarhum Bpk. L. Doewe (tulisan untuk buku kenangan pelopor pendidikan di Jawa Barat) (http://doewecileduk.blogspot.com/)

Penerbitan Buku
Albertus, Doni Koesoema, 2009, Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku perubahan dan Pendidik Karakter, Jakarta: Grasindo, 215 hlm.
Lokakarya dan Seminar

1.      Full Day Workshop on Character Education entitled “Introduction to Character Education – From experience to a more comprehensive understanding of Character Education,” at  Sekolah Harapan Bangsa – Bumi Modern Tangerang, Aprile 4, 2009.



2.      Pembicara pada Lokakarya Sehari dengan tema Pendidik Berkarakter yang diadakan oleh KOMPAS dan Grasindo, 20 Mei 2009, dengan presentasi makalah berjudul, “Memahami Pendidikan Karakter secara Lebih Komprehensif”, “Guru sebagai Pendidik Karakter” dan “Pembinaan Diri Pendidik Berkarakter”.



3.      Pembicara pada Seminar, Workshop Nasional dan Ziarah yang diadakan oleh Majelis Nasional Pendidikan Katolik, di Villa Taman Eden, Kaliurang, Jogjakarta, 27-30 Mei 2009 dengan makalah berjudul, “Apa dan Bagaimana Pendidikan Karakter?”,Tiga Basis dan Rationale bagi Pendidikan Karakter di Sekolah”, dan “Latihan Mendisain Program Pendidikan Karakter di Sekolah”.



4.      Pembicara pada Simposium “Peran dan Kedudukan Guru dalam Politik Pendidikan di Indonesia” yang diadakan oleh Musyawarah Pendidikan Guru Sejarah dan Institut Sejarah Indonesia, di SMAN 6 pada 15 Juni 2009, dengan makalah berjudul “Guru sebagai Pelaku Transformasi Sosial



5.      Pembicara pada Rapat Kerja Guru-Guru SMU Gonzaga, Jakarta, di Megemendung Puncak, 17 Juni 2009, dengan makalah berjudul, “Guru sebagai Pendidik Karakter”.



6.      Pembicara pada Lokakarya di SMU Kolese De Britto Jogjakarta, 31 July – 1 Agustus 2009, dengan Memahami Pendidikan Karakter secara lebih Utuh dan Menyeluruh, dan Membentuk Diri sebagai Pendidik Karakter.



7.      Pembicara pada pertemuan guru dan karyawan SMP Kanisius, Jakarta, di Wisma Cibulan, 20-21 November 2009, dengan makalah berjudul Pendidik Karakter sebagai Pelaku Perubahan.


2008
Artikel

1.      Drama Anggaran Pendidikan (KOMPAS, 23 Januari 2008)
2.      Pengangguran Intelektual (KOMPAS, 15 Februari 2008)
3.      Di Balik Pemetaan Pendidikan (KOMPAS, 27 Maret 2008)
4.      UN Harus Dihentikan (KOMPAS, 30 April 2008)
5.      Sepuluh Kesesatan UN (MEDIA INDONESIA, 6 Mei 2008)
6.      Momentum Pasca UN (KOMPAS, 21 Juni 2008)
7.      Miopi Kebijakan Pendidikan (KOMPAS, 29 Juli 2008)
8.      Guru:Agent of change (BASIS, Juli-Agustus 2008)
9.      Guru Swasta Guru Tiri (KOMPAS, 11 September 2008)
10.  Mengurai Masalah Guru (Swasta) (KOMPAS, 19 November 2008)
11.  Kurikulum Lipstik (KOMPAS, 17 Desember 2008)

2007



Lokakarya dan Seminar



1.      Moderator seminar sehari, “Aku ingin dimengerti,” dengan pembicara utama Novita Angie dan DR. Rose Mini A.P., M.Psi yang diselenggarakan oleh Putra Gembala Iman Anak Paroki Santa Maria Tangerang tanggal 21 Januari 2007.



2.      Pembicara dalam Seminar Nasional, dengan makalah berjudul “Menghormati Perbedaan sebagai Dasar Etis Kerukunan Hidup Antarumat Beragama di Indonesia”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dan Dialog Publik dengan tema, “Kerukunan antarumat beragama di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Departemen dalam Negeri dan Yayasan Yusufi Beledung Tangerang, tanggal 6 Februari 2007 di Gedung Serbaguna Base Camp Departemen perhubungan-Jurumudi Lama.



Penerbitan Buku



1.      Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Grasindo, Jakarta, September, 2007, 320 hlm.



Antologi/Bunga Rampai



1.      Rencanaku bukan rencanaMu” (Cahaya Kebangkitan) (cerpen),  Viva Vox edisi 61 Th.

XXXI Juli – Desember 1991, Diterbitkan oleh Elex Media Computindo Jakarta dalam 

kumpulan cerpen Viva Vox Tak Hanya Satu Jalan, 2007.

2.      Penilaian Pendidikan”, dalam Menggugat Ujian Nasional (antologi), Mizan, Bandung,

2007.



Artikel



1.      Menggadaikan Etika Profesi (KOMPAS, Rabu, 14 Maret 2007)

2.      Pendidikan dan Kekerasan (KOMPAS, Rabu 11 April 2007)

3.      Sekolah Mahal, Tanya Kenapa? (GATRA, No.23 Tahun XIII, 18-25 April 2007, hlm.86)

4.      Kanon Moral Komenský dan UN (KOMPAS, Kamis, 26 April 2007)

5.      Telikung Konstitusi (KOMPAS, Rabu, 23 Mei 2007)

6.      Air Mata (Guru) Bangsa (KOMPAS, Jumat, 8 Juni 2007)

7.      Kultur Sekolah (HIDUP, Juni 2007)

8.      Ke Sekolah Katolik, Mengapa Tidak? (Majalah TERANG Juni 2007)

9.      Ironi pendidikan dari Trunyan (KOMPAS, Rabu, 18 Juli 2007)

10.  Berpeluh di tengah Profesi (KOMPAS, Jumat, 24 Agustus 2007)

11.  Tiga Matra Pendidikan Karakter (BASIS, edisi Agustus-September 2007)

12.  Metafora Pendidikan (KOMPAS, Rabu, 19 September 2007)

13.  Membuka Ruang Kebebasan (KOMPAS, Rabu 24 Oktober 2007)

14.  Batas Tanggungjawab Pendidik (MEDIA INDONESIA, Kamis 22 November 2007)

15.  Ketidakadilan dalam Pendidikan (KOMPAS, 29 November 2007)



2006



Artikel



1.      Pendidikan Karakter (KOMPAS, Jumat, 3 Februari 2006)

2.      Politik Guru (KOMPAS, Selasa, 23 Mei 2006)

3.      Penilaian Pendidikan (KOMPAS, Kamis, 8 Juni 2006)

4.      Generasi Penjual Rujak (KOMPAS, Selasa, 27 Juni 2006)

5.      Pendidikan Anak : Bukan Mesin Reproduksi Kultur Sosial (BASIS, Nomor 07-08, Tahun 

6.      ke- 55, Juli-Agustus 2006, hlm 62-68)

7.      Otonomi (Pungutan) Pendidikan (KOMPAS, Kamis, 10 Agustus 2006)

8.      Reformasi Kurikulum (KOMPAS, Jumat, 01 September 2006)

9.      Kurikulum Berubah lagi? (KOMPAS, Jumat, 29 September 2006)

10.  Menjelang PP tentang Guru (KOMPAS, Kamis, 09 November 2006)



2005


Artikel

1.      Pendidikan darurat pasca-bencana (KOMPAS, Jumat, 7 Januari 2005)
2.      Demokrasi dan peran cendekia (KOMPAS, Kamis,17 Maret 2005)
3.      Paus, lembaga kepausan dan dunia (KOMPAS, Selasa, 5 April 2005)
4.      Gereja dan Demokrasi (KOMPAS, Selasa,19 April 2005)
5.      Kemartiran sebagai Pedagogi Rohani (KOMPAS, Senin, 10 oktober 2005)                 
6.   Cendekia, Politisi dan Krisis Solidaritas (KOMPAS, Selasa, 1 november 2005)
7.   Pahlawan Tanpa Tanda Jasa : Legenda yang Telah Tiada (BASIS, No. 07-08,
Tahun ke-54, Juli-Agustus 2005, 59-62)
8.      Konser Armata Russa untuk Paus (HIDUP,24 Oktober 2005)
9.      Papa est Mortuus (HIDUP, 10 April 2005)
10.  Setelah Pemakaman Paus (HIDUP, 17 April 2005)

Laporan Jurnalistik
Di situs resmi Konferensi Waligereja Indonesia ( mirifica.net)

1.      Paus Yohanes Paulus II kembali masuk rumah sakit (25 Februari 2005)
2.      Paus menjalani operasi laring (26 Februari 2005)
3.      "Setiap bentuk penderitaan manusiawi mencerminkan janji keselamatan dan
4.      kegembiraan illahi," ujar Paus Yohanes Paulus II (28 Februari 2005)
5.      Laporan dari Roma seputar passio Bapa Suci (02 April 2005)
6.      Ular naga antrian penghormatan terakhir bagi YP II (04 April 2005)
7.      Paus, Lembaga Kepausan dan Dunia (05 April 2005)
8.      Masyarakat mulai antri memberikan penghormatan terakhir kepada Bapa Suci YP II
(06 April 2005)
9.      Salut buat petugas keamanan Italia (9 april 2005)
10.  Angka-angka fantastis pemakaman Paus (10 April 2005)
11.  Asap dari Kapel Sistina akan mengepul sekitar pukul 12 dan 19 (16 April 2005)
12.  Gereja dan Demokrasi (19 April 2005)
13.  Teater terbuka cerobong kapel Sistina (19 April 2005)
14.  Cerobong kapel Sistina semakin bikin gregetan (19 April 2005)
15.  Paus Panzer itu menggetarkan banyak orang (20 April 2005)
16.  Kirim Email ke Paus Benedektus XVI (23 April 2005)

Penerbitan lain

1. “Pendidikan Darurat Pasca-Bencana” dalam buku Bencana gempa dan Tsunami, Penerbit
     Buku KOMPAS, 2005, hlm 486-489. (Bunga Rampai)


2004 
 

Artikel



1.      Pendidikan dalam Perjumpaan (KOMPAS, Jum’at, 16 Januari 2004)

2.      Guru Itu Kembali ke Jalan (KOMPAS, Jumat, 20 Februari 2004)
3.      Aplaus Palsu Teater Pendidikan Nasional (KOMPAS, Sabtu, 19 Juni 2004)
4.      Anak-anak Tanpa Identitas  (KOMPAS, Kamis, 05 Agustus 2004)
5.      Krisis Universitas  (KOMPAS, Selasa, 07 September 2004)
6.      "Quo Vadis" Pendidikan di Indonesia?”  (KOMPAS, Selasa, 26 Oktober 2004)
7.      Nurlaila, siapa pembelamu kini? (KOMPAS, Selasa, 23 November 2004)
8.      Ketegangan mewarnai Paskah di Vatikan (HIDUP, 25 April 2004)

Penerbitan lain

1. “Pendidikan Manusia versus Kebutuhan Pasar” (artikel dalam buku Pendidikan  Manusia 
    Indonesia, Penerbit buku KOMPAS, 2004)

Penerbitan dalam bahasa asing

1. Riforme Ombre e Speranza sulla Nuova Democrazia Indonesiana  (Mensile internazionale della Compagnia di Gesù, Popoli, Novembre 2004) (Bahasa Italia)




2003 
 

Artikel



1.      Bangsa yang Mendidik Dirinya Sendiri (KOMPAS, Sabtu, 15 November 2003)

2.      Pendidikan Keluarga dan Salus Publica (KOMPAS, Senin, 22 Desember 2003)



Laporan Jurnalistik mirifica.net

Di situs resmi Konferensi Waligereja Indonesia ( mirifica.net)
1.      Laporan Khusus audiensi delegasi Indonesia dengan Bapa Suci Yohanes Paulus II. Paus Yohanes Paulus II, "Jangan  biarkan politik menjadi sumber perpecahan agama-agama." (21 Februari 2003)
2.      Vatikan : KWI akhiri kunjungan ad limina di Roma. Paus Yohanes Paulus II, "Agama yang autentik tidak  mendukung  terorisme dan kekerasan." (29 maret 2003)
3.      Laporan beatifikasi Ibu Theresa (23 Oktober 2003)
4.      Paus Yohanes Paulus II dalam misa beatifikasi (15 November 2003)



2002


Laporan Jurnalistik di Mirifica.net

1.        Roma :Pesan Damai super kongres kaum muda lintas agama  (26 mei 2002)  
2.        Roma: Pertemuan presiden Megawati dengan Masyarakat Indonesia  (11 Juni 2002)
3.        Roma : Lautan manusia membanjiri kanonisasi Padre Pio dari Pietrelcina  (19 Juni 2002)
4.        Roma : Liturgi adalah mulut Gereja, bukan hanya lipstiknya (23 Juni 200)
5.     La Dichiarazione della Conferenza Episcopale Indonesiana sull scoppio della bomba in Bali 15 Oktober 2002  (dalam bahasa Italia)
6.        Beatifikasi 6 orang kudus (21 oktober 2002)
7.        Roma : Kardinal Julius Darmaatmadja SJ, "Hukum, kebenaran dan keadilan harus 
ditegakkan" (22 november 2002)


2001 
 

1.      Tan Malaka : Menuju Indonesia yang Merdeka dan Sosialis (BASIS, No. 01-02, Tahun ke-50, Januari-Februari 2001, hlm 59-71)

2.      Berhenti Mengutuk Gulita, Nyalakan Pelita Harapan (ROHANI, No 05, Tahun ke-48,

Mei 2001, hlm 17-21)

3.      Romo kok berpolitik! (ROHANI, No 08, Tahun ke-48, Agustus 2001, hlm 13-16)

4.      Kebahagiaan Keluarga Kepala Desa (HIDUP, 17 Juni 2001)



2000 
 

1.      Bius Desi Ratnarkotikasari (Majalah AQUILA, No. 2 Th. LXX Maret – Juni 2000, hlm.

10 –13)

2.      Pastor Ars (ROHANI, No 07, Tahun ke-47, Juli 2000, hlm 40)

3.      Ilalang (ROHANI, No 08, Tahun ke-47, Agustus 2000, hlm 40)

4.      Orang tak Beriman (ROHANI, No 09, Tahun ke-47, September 2000, hlm 40)

5.      Ugahari (ROHANI, No 10, Tahun ke-47, Oktober 2000, hlm 40)

6.      Memoria (ROHANI, No 11, Tahun ke-47, November 2000, hlm 40)

7.      Karoling (ROHANI, No 12, Tahun ke-47, Desember 2000, hlm 40)

8.      Mati Sunyi Seorang Guru (BERNAS, Jumat Wage, 28 April 2000)



1999 
 

1.      Dr. Amin Rais, “Lebih cepat dari kesiapan kita...” (HIDUP, 21 Februari 1999)

2.      Tukar Senjata dengan Kedamaian (ROHANI, Juli 1999, hlm 285-294)

3.      Tuhan sudah Mati? (ROHANI, Desember 1999, hlm 518-523)



1998



1.      “Mencari “Kelinci” di Seminari Garum” dalam buku Membuka Topeng Seminari(S)

Catatan perjalanan di Seminari Garum 1987-1995, Epilog Y.B. Mangunwijaja, 1998, hal

5-12.

2.      Analisis Kultural Munculnya Demokrasi (BASIS, Nomor 09-10, Tahun ke-47, September-Oktober 1998, hlm45-47)



1997



1. Ahmad Wahib : Sekam yang Terus Menyala (Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XXIII, no

    2 hlm 24-31)



1996 
 

1.      Slamet Raharjo (HIDUP, 28 Januari 1996)

2.      Okky Asokawati (HIDUP, 18 Februari 1996)

3.      Penerima Anugerah Yap Thiam Hien 1995, Ny. Ade Rostina Sitompoel, “Ini Panggilan

Saya...” (HIDUP, 25 Februari 1996)

4.      Keahlian Berkotbah Bukan Bakat (HIDUP, 10 Maret 1996)

5.      Prof. Dr. Daoed Joesoef (HIDUP, 10 Maret 1996)

6.      Pastoran St. Agustinus TNI-AU: “Cockpit pun bisa jadi Gereja...” (HIDUP, 31 Maret

1996)

7.      Ilen Surianegara (HIDUP, 7 April 1996)

8.      Antara Teritorial dan Kategorial (HIDUP, 7 April 1996)

9.      Menuju Paskah Abadi (HIDUP, 14 April 1996)

10.  Teguh Karya (HIDUP, 28 April 1996)

11.  Tidak Boleh Menyangkal Iman (HIDUP, 23 Juni 1996)

12.  “Pait ya Pait, Legi...” (HIDUP, 28 Juli 1996)

13.  Pastor Joannes Reijnders SJ (HIDUP, 25 Agustus 1996)

14.  Gereja St. Paskhalis : Menghindarkan Umat dari Sakit (HIDUP, 1 September 1996)

15.  Ekaristi tak bisa lepas dari Ibadat Sabda (HIDUP, 15 September 1996)

16.  Spiritualitas Balas Dendam dalam Film Silat Cina (KOMPAS, Minggu, 15 September

1996)

17.  Paquita Widjaja (HIDUP, 22 September 1996)

18.  Simbol Kekalahan Orang-Orang Kecil (HIDUP, 14 Januari 1996)

19.  Kembalinya Firdaus yang Hilang (HIDUP, 3 Maret 1996)

20.  Oedipus Mencari Kebenaran (HIDUP, 24 Maret 1996)

21.  Berita Keselamatan Lewat Wayang (HIDUP, 5 Mei 1996)

22.  Cinta Manusia-Manusia Licik (HIDUP , 21 Juli 1996)

23.  Memperkaya Musik Gereja dengan Post-Romantik (HIDUP, 30 Juli 1995)



1995 
 

1.      Kucing, Homeros, dan Pasal 510 KUHP (HIDUP, 12 Februari 1995)

2.      Kembalikan Supremasi Hukum (HIDUP, 21 Mei 1995)

3.      Jika Kelompok Kategorial Rayakan Paska (HIDUP, 21 Mei 1995, hlm 20-21)

4.      Frans Magnis-Suseno SY (HIDUP, 21 Mei 1995)

5.      Gereja Kita adalah Rumah Allah (HIDUP, 4 Juni 1995)

6.      Magdalena Group : Mencari Anak yang Hilang (HIDUP, 4 Juni 1995)

7.      Ayo..!! Seminari Wacana Bhakti (HIDUP, 11 Juni 1995)

8.      Xanana Gusmao : Saya Tidak Punya Bapa Rohani (HIDUP, 25 Juni 1995)

9.      Kala Teater Putri Beraksi (HIDUP, data?)

10.  Mutiara Iman yang terpendam di Kampung Sawah (HIDUP, 23 Juli 1995)

11.  Bagai Benih di Semak Duri (HIDUP, 23 Juli 1995)

12.  Upacara ala Mahasiswa (HIDUP, 27 Agustus 1995)

13.  Refleksi Berujung debat Kusir (HIDUP, 24 September 1995)

14.  Mencerdaskan Bangsa lewat Otak (HIDUP, 24 September 1995)

15.  Ratna Sarumpaet (HIDUP, 1 Oktober 1995)

16.  Menterjemahkan Iman Katolok dalam Profesi (HIDUP, 8 Oktober 1995)

17.  Ardy Bernardus Wiranata (HIDUP, 15 Oktober 1995)

18.  Soedjati Djiwandono : Membenahi diri (HIDUP, 15 Oktober 1995)

19.  Keterlibatas sebagai Ragi (HIDUP, 22 Oktober 1995)

20.  Ketika Suara Malaikat Bergema Kembali (HIDUP, 29 Oktober 1995)

21.  Temu Hati Lewat Dialog Kemanusiaan (HIDUP, 22 Oktober 1995)

22.  Menilik Bisnis di Luar Sidang (HIDUP, 19 November 1995)

23.  Frederika Sandra Wati (HIDUP, 19 November 1995)

24.  Marrieta Sylvie Bolang (HIDUP, 19 November 1995)

25.  Disediakan Sembilan Bus Ber-AC (HIDUP, 19 November 1995)

26.  Mereka Kooperatif (HIDUP, 19 November 1995)

27.  Evangelisasi Lewat Lagu Tradisional (HIDUP, 26 November 1995)

28.  Katekismus Baru: Depositum Fidei (HIDUP, 3 Desember 1995)

29.  Thomas Paulus Oei Tjoe Tat (HIDUP, 24/31 Desember 1995)

30.  Memahami Penampakan Tidak Lebih (HIDUP, 24/31 Desember 1995)

31.  Sebuah Pusaran bagi Martabat Manusia (HIDUP, 28 Mei 1995)

32.  Cinta di Antara Semak Duri (HIDUP, 9 Juli 1995)

33.  Jangan Curi Kebahagiaan Anak Cucu Kita (HIDUP, 6 Agustus 1995)

34.  Meluruskan Sejarah Lewat Puisi (HIDUP, 3 September 1995)

35.  Ilmu Air dari Syekh Burdah (HIDUP, 17 September 1995)

36.  Pelarangan Buku Memoar Oei Tjoe Tat, Minggirnya Kritik Sastra di Indonesia

37.  (HIDUP, 15 Oktober 1995)

38.  Demi si Jabang Bayi (HIDUP, 29 Oktober 1995)

39.  Menyibak Keterlibatan Umat (HIDUP, 19 November 1995)

40.  Hidup Askesis :Perjalanan Mistik Penemuan Jati Diri Manusia (ROHANI, April 1995)



1989-1992

1.      La Carlota (cerpen), Majalah Viva Vox edisi...

2.      Cahaya Kebangkitan (cerpen),  Viva Vox edisi 61 Th. XXXI Juli – Desember 1991,

Diterbitkan oleh Elex Media Computindo, Jakarta, dalam kumpulan cerpen Viva Vox Tak  

Hanya Satu Jalan, 2007.

 

Pendidikan Keagamaan