Wednesday 2 September 2009

Guru: Agent of Change

Oleh Doni Koesoema A


Di tengah berbagai macam kebijakan pendidikan yang memangkas kreatifitas dan profesionalitas guru, ada dua cara yang serentak mesti dilakukan oleh guru agar tetap bisa bertahan dalam kinerja profesionalnya. Pertama, bersikap kritis atas berbagai macam kebiijakan pendidikan pemerintah yang menindas otonomi dan profesionalitasnya. Kedua, bersikap kritis terhadap diri sendiri agar tidak semakin diperalat sebagai kepanjangan tangan birokrat, melainkan menemukan kembali kebebasan dan otonominya sebagai pelaku perubahan (agent of change). Ketika berbagai kritik atas kebijakan pendidikan telah mental sebab mental politik otoritarian itu lebih berkuasa dan adu kekuatan itu semakin meminggirkan guru, ada satu daya kekuatan lain yang tersisa yang bisa menjadi daya tawar kekuatan guru, yaitu, meraih kembali kebebasan dan menghayati identitas diri sebagai pelaku perubahan.

Masyarakat berubah, identitas guru juga berubah. Pepatah latin mengatakan, tempora mutantur et nos mutamur in illis (waktu berubah dan kitapun berubah karenanya). Ungkapan bijak ini berlaku bagi perjalanan hidup setiap individu, terlebih lagi bagi mereka yang menghayati panggilannya sebagai guru yang sesungguhnya adalah pelaku perubahan. Memiliki visi sebagai pelaku perubahan merupakan conditio sine qua non bagi pembaharuan dalam dunia pendidikan. Lebih dari itu, guru bisa berperanan lebih aktif dalam membangun tatanan baru masyarakat yang lebih adil dan manusiawi melalui kinerja pendidikan mereka.

Guru adalah pelaku perubahan. Itulah sebenarnya hakekat terdalam keberadaan seorang guru. Dengan kegiatannya mengajar, ia membentuk identitas keguruannya. Melalui identitas inilah ia mengukuhkan dirinya sebagai pelaku perubahan. Kegiatan mengajar yang dilakukan guru di kelas akan memberikan perubahan dalam diri siswanya yang akan berguna bagi hidupnya mengatasi batas-batas kelas. Sebagai pelaku perubahan, guru menngubah siswa menjadi lebih baik, lebih pandai, lebih memiliki ketrampilan yang berguna bagi pengembangan profesi mereka dalam masyarakat. Guru membuat siswa memahami persoalan dengan lebih jernih sehingga mampu membuat keputusan dan bertindak secara tepat dan bertanggungjawab dalam hidup mereka. Guru yang baik membuat siswa siap terjun secara aktif dalam masyarakat sehingga mampu membangun dan menciptakan tatanan masyarakat yang lebih baik dari yang sekarang ini mereka alami.

Berbagai Tarikan Kepentingan

Tantangan pertama yang mesti dihadapi guru dalam mengukuhkan identitas dirinya sebagai pelaku perubahan adalah menyadari berbagai macam tarikan kepentingan kekuasaan yang menggelayuti profesi mereka sebagai guru. Guru selalu berada dalam tegangan kelompok kepentingan yang berpotensi mengerdilkan ciri konstruktif dan liberatif yang mereka miliki. Guru bisa menjadi pelanggeng status quo atau pembangun tatanan baru. Guru mampu terlibat dalam proses pencerahan, pemberdayaan, dan partisipasi dalam masyarakat. Namun guru juga bisa terjebak pada kelompok kepentingan tertentu yang menjadikan mereka sekedar alat-alat kepentingan ideologis kelompok mapan. Yang pertama berbicara tentang fungsi liberatif guru, yang kedua fungsi konservatif.

Cara kita memandang dua fungsi guru tergantung dari bagaimana masyarakat memandang lembaga pendidikan. Pandangan konvensional mengatakan bahwa bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah sebagai mekanisme pemerataan kesempatan belajar bagi semua. Pendidikan akan mengidentifikasi dan menyeleksi individu yang memiliki kemampuan intelektual, bakat-bakat, dan motivasi yang kuat, tidak perduli mereka berasal dari kalangan mana, entah kaya maupun miskin. Untuk itu, pengalaman mengenyam bangku pendidikan akan membekali mereka dengan kemampuan, keterampilan dan pengetahuan yang membuat mereka dapat semakin hidup secara bermartabat dalam masyarakat. Jumlah pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh melalui pendidikan akan menjadi kriteria dan indikator untuk menentukan jenis pekerjaan dan penghargaan materi yang melekat dalam kepemilikan pengetahuan dan keterampilan tersebut (McNamee dan Miller, 2004, hlm. 14).

Pandangan ini menganggap bahwa lembaga pendidikan itu bersifat meritokrasi, yaitu, memberikan kesempatan bagi mereka yang kurang beruntung agar dapat bersaing dan berlomba dengan mereka yang telah mapan untuk menduduki posisi penting yang lebih bermartabat dalam masyarakat. Anak-anak keluarga miskin yang ulet, gigih dan mau belajar, akan dapat mengenyam pendidikan tinggi yang memungkinkan mereka mengalami mobilitas sosial. Tanpa ada jaminan dan persamaan kesempatan dalam mengenyam pendidikan, anak-anak orang miskin dan mereka yang secara sosial terpinggirkan tidak dapat bangkit dari keterpurukannya. Tanpa adanya akses pada pendidikan, mereka akan tetap berkubang dalam kemiskinan dan kemelaratan tanpa ada jalan terbuka untuk membebaskan diri dari situasi sosial yang meminggirkannya. Bagi mereka pendidikan menjadi salah satu sarana mobilitas sosial dalam masyarakat.

Pendidikan membantu mengangkat harkat mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat menjadi setara dengan mereka yang memiliki previlese, entah karena status sosial maupun warisan kekayaan turun temurun yang memungkinkan anak-anak orang kaya menikmati keistimewaan dalam kehidupan sosial mereka. Dalam konteks ini, guru memiliki fungsi liberatif, yaitu, membebaskan mereka dari belenggu kemiskinan dan membuat anak-anak orang miskin mengalami mobilitas sosial dalam masyarakat.

Namun, selain pandangan bahwa pendidikan memberikan persamaan kesempatan belajar pada setiap orang yang memungkinkan terjadinya mobilitas sosial, terdapat juga pandangan lain yang lebih radikal. Alih-alih sebagai lembaga yang membebaskan, pada kenyataannya sekolah hanya melestarikan status quo dan mereproduksi struktur sosial dan ketimpangan dalam masyarakat. Sekolah memiliki fungsi konservatif, yaitu melanggengkan ketimpangan dan semakin memperlebar jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin. Sekolah bukannya membawa si miskin pada mobilitas sosial lebih tinggi melainkan malah membuatnya terpinggir dan tersisih.

Pengikut aliran ini tidak percaya peranan sekolah sebagai lembaga yang mempromosikan persamaan dan kesempatan di mana sekolah dapat menjadi alat mobilitas sosial bagi kaum miskin. Sebaliknya, mekanisme pendidikan sesungguhnya mengotak-ngotakkan individu berdasarkan kelas sosial. Pendidikan hanya mendaur ulang (reproduction) sistem kelas dalam masyarakat. Sistem, struktur, dan kultur di sekolah tidak lain adalah cerminan dari realitas sosial di dalam masyarakat di mana yang kaya akan semakin maju, dan yang miskin akan semakin terpinggirkan. Model kurikulum, cara pengajaran dan evaluasi belajar, misalnya, lebih menguntungkan mereka yang kaya, memiliki sarana dan fasilitas yang baik serta tradisi pendidikan dalam keluarga yang kuat. Anak-anak orang kaya ini memiliki modal sosial dan kultural yang lebih dibandingkan anak-anak orang miskin yang secara faktual hidup dalam kubangan kemiskinan yang membuatnya abai terhadap pendidikan.

Dalam situasi ketimpangan ini, proses penilaian hasil belajar (evaluasi) di sekolah juga berat sebelah. Sekolah memberikan nilai-nilai yang baik pada mereka yang memiliki keistimewaan (bakat, talenta, kepandaian, kecerdasan, dll) yang umumnya telah dimiliki oleh anak-anak orang kaya. Sistem pendidikan lebih menguntungan anak-anak orang kaya daripada daripada orang miskin yang dari sononya memiliki defisit modal budaya. Anak-anak orang kaya yang lebih cerdas mampu menguasai dan menyelaraskan diri dalam sistem pendidikan yang ada. Mereka inilah yang akan mendapatkan ijasah dan sertifikat serta mampu meneruskan ke perguruan tinggi bermutu sehingga status sosial mereka tetap akan berada di kisaran atas dalam tatanan sosial masyarakat.

Sebaliknya, sekolah memberikan hukuman kepada anak-anak orang miskin yang kesulitan belajar. Tidak adanya sarana yang memadai (buku pelajaran, dll), lingkungan belajar yang kondusif untuk memperdalam ilmu, menumbuhkan disiplin, dll, membuat anak-anak orang miskin ini senantiasa terpuruk. Merekalah yang selalu menjadi langganan ketidaklulusan dan drop out dari sekolah.

Tidak jarang sekolah sudah membuat semacam penggolongan dan seleksi (tracking) sejak awal di mana anak-anak orang miskin sering diarahkan untuk mengenyam pendidikan yang dapat langsung membuat mereka bekerja, seperti, mengarahkan mereka untuk memilih jalur SMK. Pendekatan seperti ini, meski sekilas tampaknya baik, namun sesungguhnya semakin menjauhkan mereka dari akuisisi modal budaya yang lebih tinggi yang memungkinkan mereka mengalami mobilitas sosial. Anak-anak ini tetap akan terpuruk dalam lapis bawah hirarki tenaga kerja dalam dunia industri. Ketimpangan seperti ini didaurulang terus dari generasi satu ke generasi yang lain sehingga sekolah bukannya menjadi alat yang memberikan persamaan belajar sehingga setiap siswa memiliki akses pada pengetahuan universal, melainkan pendidikan semakin memperlebar jurang perbedaan dan melanggengkan ketimpangan dalam masyarakat berdasarkan kelas sosial.

Guru, dalam artian tertentu, seperti diindikasikan oleh Harris (1982), memang bisa terjerumus menjadi antek dan kaki tangan pemilik modal (agents of capital) yang melayani kepentingan ideologis kapitalisme global dengan cara menanamankan kesadaran dalam diri anak didiknya untuk menjaga, mempertahankan dan mendaurulang corak hubungan sosial kapital dalam masyarakat yang telah ada. Guru pun yakin bahwa anak-anak orang miskin ini pun tidak akan memiliki harapan di masa depan. Paling tinggi mereka hanya bisa sekolah di sekolah kejuruan. Keyakinan guru yang seperti ini semakin mempercepat self-fulfiling prophecy bagi anak-anak orang miskin. Ketika anak-anak orang miskin juga yakin bahwa paling tinggi mereka bisa sekolah hanyalah sampai SMK, semakin lengkaplah reproduksi tatanan sosial dalam masyarakat terbentuk. Sekolah bukan lagi menawarkan harapan bagi pertumbuhan yang lebih penuh, sebaliknya, menjadi tempat untuk melestarikan dan memertahankan kemiskinan dan keterpurukan.

Contoh kebijakan pendidikan yang menyuburkan self-fulfilling propechy dan menutup harapan anak-anak miskin untuk mengalami mobilitas sosial adalah gagasan Mendiknas Bambang Sudibyo untuk menurunkan rasio pendidikan SMA dan SMK dengan lebih menekankan peningkatan pada pendidikan SMK. Pendekatan pendidikan seperti ini asumsi dasarnya adalah sekolah sebagai perpanjangan tangan dunia industri yang menjadi penyedia tenaga kerja bagi pemilik modal. Kebijakan ini hanya akan melanggengkan ketimpangan dan melestarikan status quo, karena mereka yang melanjutkan ke perguruan tinggi tetap akan menduduki jabatan tinggi, sedangkan lulusan SMK tetap menjadi pekerja kelas bawah yang tidak memiliki kemungkinan mobilitas sosial selain menjadi kaki tangan yang siap diekslpoitasi oleh kepentingan pemilik modal.

Di jaman persaingan ekonomi bebas seperti ini, memperbanyak sekolah SMK hanya akan memosisikan anak-anak Indonesia menjadi pekerja kasar pada jabatan paling bawah dalam hirarki industri. Mengarahkan anak didik hanya ke SMK hanya akan menghalangi anak-anak kita akses anak-anak terhadap pengetahuan universal. Yang dibutuhkan adalah akses masuk ke akademi teknik yang setara dengan perguruan tinggi sehingga meningkatnya kualitas pendidikan memberi para siswa daya tawar lebih yang memungkinkan terjadinya mobilitas sosial. Memperbanyak SMK tanpa menyediakan keterbukaan akses untuk memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi tetap akan memosisikan anak-anak orang miskin pada posisi marginal. Di balik semua ini, lembaga pendidikan sesungguhnya memosisikan guru sebagai tukang, teknisi dan kaki tangan pemilik modal. Sekolah menjadi sebuah lembaga yang mempertahankan hubungan sosial dan modal dalam masyarakat. Karena itu, guru menjadi sekedar perpanjangan tangan ideologi kapitalis.

Akan selalu ada tegangan antara kepentingan negara, kepentingan masyarakat (termasuk di dalamnya kepentingan bisnis dan kekuatan media), serta kepentingan individu guru dalam mewujudkan identitas dirinya sebagai pekerja budaya. Sebagai pekerja budaya, guru bisa menjadi perpanjangan tangan kultur kapital yang mempertahankan status quo, namun tidak menyentuh persoalan ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Namun guru juga memiliki potensi sebaliknya. Mereka dapat menjadi pelaku aktif pemberdayaan siswa dan masyarakat melalui pendidikan. Dalam konteks perdebatan inilah kiranya pengembangan visi guru sebagai pelaku perubahan mesti diletakkan.

Guru sebagai intelektual transformatif

Lembaga pendidikan memang bisa diredusir fungsi dan peranannya menjadi sekedar kaki tangan pemilik modal untuk melanggengkan kepentingannya. Namun demikian, lembaga pendidikan juga bisa memiliki peranan strategis lain yang berbeda dengan kepentingan pemiliki modal. Giroux dan McLaren (1989) berpendapat bahwa cara kita mendefinisikan peranan guru dalam masyarakat menentukan cara di mana kita mengonstruksi tatanan masyarakat. “Alih-alih mendefinisikan guru sebagai petugas administratif (clerk) atau teknisi, kita mesti memahami kembali peranan para guru sebagai intelektual transformatif dan terlibat (engaged and transformative intellectuals). Guru semestinya bersikap kritis dan mampu merefleksikan prinsip-prinsip ideologis yang menjadi panduan bagi praksis mereka. Mereka mestinya juga mampu menghubungkan teori pedagogi dengan persoalan sosial yang lebih luas sehingga mampu menguasai dan mengarahkan kinerja mereka secara lebih aktif dan transformatif. Dengan cara ini, guru mengembangkan visi pembangunan tata masyarakat baru, yaitu, sebuah visi tentang kehidupan yang lebih baik dan manusiawi melalui pendidikan dan pengajaran yang mereka berikan. Guru mesti lebih menghayati keberadaan dan peranan dirinya sebagai pelaku perubahan dalam masyarakat.

Melalui kinerja profesionalnya, guru bisa berperanan lebih aktif dalam mengembangkan kesadaran kritis yang lebih produktif dalam diri para siswa. Untuk itu, guru mesti meninggalkan inspirasi konservatif dan mulai memeluk inspirasi demokratis. Jika pendidikan merupakan sebuah sarana pembebasan yang memungkinkan setiap orang berpartisipasi aktif dalam membentuk tatanan sosial dalam masyarakat, inspirasi demokratis merupakan jiwa yang menghidupi kinerja guru sebagai pelaku perubahan.

Untuk menjadi pelaku perubahan, guru tidak dapat melestarikan pandangan dan paradigma pendidikan yang sifatnya daur ulang dan sekedar menjadi kaki tangan kapitalisme global. Untuk itu guru mesti mengembangkan paradigma baru yang inspirasi dasarnya adalah nilai-nilai demokratis yang mengutamakan partisipasi tiap individu dalam pengaturan tata kehidupan masyarakat. Hanya melalui inspirasi demokratis inilah terdapat jaminan bahwa setiap warga masyarakat memiliki hak dan persamaan dalam menata hubungan sosial, politik, dan ekonomi antar mereka. Keterlibatan dan partisipasi aktif dalam berdemokrasi memungkinkan terwujudnya keadilan, dilindunginya hak-hak kelompok minoritas dan jaminan bagi mereka yang kurang beruntung, agar mereka dapat tetap terlibat aktif dalam kehidupan masyarakat. Tanpa ada keadilan dan persamaan dalam mengenyam pendidikan, lembaga pendidikan hanya akan melestarikan ketimpangan dan mengelompokkan orang-orang miskin menjadi bagian pasif dan beban bagi masyarakat.

Gagasan dasar inspirasi demokrasi dalam pendidikan adalah kepercayaan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam pembangunan masyarakat. Individu bersama komunitas membangun diskursus dan praksis dalam kehidupan bersama yang saling menumbuhkan, bukan saling menindas atau mendominasi satu sama lain. Ada keseimbangan dan keadilan dalam memaknai peranan masing-masing dalam kebersamaan yang sifatnya konstruktif dan penuh rasa hormat.

Dalam konteks inilah guru memiliki peranan sangat sentral dalam menanamkan inspirasi demokratis ini pada setiap siswa agar kelak ketika mereka terjun dalam masyarakat, mereka dapat terlibat secara aktif dan produktif. Dengan demikian mereka dapat menyumbangkan potensi pembentukan masyarakat baru yang lebih manusiawi, adil dan memberikan rasa aman dan damai bagi anggota masyarakat tersebut. Guru mesti menghayati identitasnya sebagai intelektual transformatif yang melalui kinerjanya menyumbangkan pembangunan tata masyarakat baru.

Dialektis dan simultan

Namun memandang peranan guru dalam dua binari, yaitu, konservatif dan radikal, kiranya terlalu menyederhanakan persoalan perubahan yang terjadi dalam lembaga pendidikan. Jejaring yang saling kait mengait dalam profesi guru tidak dapat dipahami secara utuh jika dilihat hanya dari sudut pandang struktural atau pun individual. Pada kenyataannya, dua hal ini bersifat dialektis, simultan dan saling tergantung satu sama lain. Struktur adalah konstelasi internal yang membuat keberadaan individu bermakna. Ketidakseimbangan pembagian kekuasaan dalam sebuah struktur pendidikan bisa menimbulkan sebuah relasi yang sifatnya dominatif. Struktur bisa menindas individu. Namun demikian, individu pun juga bisa memiliki kewenangan absolut dan otoriter yang mengatasi keberadaan struktur. Untuk itu memahami dinamika kinerja guru sebagai pelaku perubahan tidaklah mencukupi jika kita sekedar mengandalkan pendekatan biner.

Secara hakiki, guru memiliki preferensi individual yang bisa serentak bersifat politis. Kinerja guru tidak dapat terlepas dari jaringan relasi kekuasaan yang mereka miliki. Karena setiap relasi kekuasaan hanya bisa hadir dalam sebuah lembaga, dan ketika kita berbicara tentang lembaga mau tidak mau kita mesti mempertimbangkan individu sebagai unsur konstitutif yang membentuknya, nilai-nilai, keyakinan dan praksis individu dalam lembaga pendidikan menjadi penting untuk dianalisis. Nilai, keyakinan dan praksis individu dengan demikian bisa bersifat politis atau apolitis, konservatif atau radikal.

Jika keyakinan dan praksis yang dimiliki guru itu cenderung mempertahankan status quo, apa yang terjadi dalam pengajaran bukanlah sesuatu yang produktif. Sebaliknya, jika praksis guru diyakini sebagai bagian dari kinerja pembangunan masyarakat, apa yang dilakukan guru di sekolah bisa bersifat transformatif, membebasakan, dan memberikan ruang bagi partisipasi individu dalam masyarakat demokratis.

Analisis struktural membantu kita bersikap kritis dalam mencermati ketimpangan dan ketidakadilan dalam sebuah sistem organisasi. Demikian juga menganalisis faktor-faktor individual yang membentuk sebuah sistem memungkinkan kita melihat alternatif baru bagi sebuah perubahan. Tanpa keyakinan bahwa individu mampu mengubah sistem dengan demikian mengubah corak relasional antar individu menjadi lebih adil, gagasan guru sebagai pelaku perubahan tidak relevan. Memiliki visi guru sebagai pelaku perubahan mengandaikan bahwa kinerja individual dapat mengubah stuktur dan tradisi yang menindas, yang menghalangi tiap individu mencapai kepenuhan dirinya sebagai pribadi.

Saya yakin, lembaga pendidikan bukan hanya mampu menjadi salah satu mekanisme bagi penyelaras perbedaan dalam masyarakat, pemberi kesempatan belajar terhadap semua saja tanpa kecuali sehingga terjadi mobilitas sosial. Lebih dari itu, guru sebagai pelaku perubahan diharapkan tidak lagi menjadi pendidik yang mendaur ulang tumpukan pengetahuan, atau sekedar mempersiapkan anak-anak didik agar dapat hidup aktif dalam masyarakat global, melainkan juga mampu membangun tatanan masyarakat baru yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih bermartabat.

Percaya bahwa individu mampu mengubah struktur dan membangun tatanan baru dalam lingkungannya mempersyaratkan kepemilikan keterampilan agar guru dapat memulai, mengembangkan dan mempertahankan inisiatif perubahan dalam dirinya. Setiap inisiatif perubahan yang terjadi dalam diri individu tanpa disertai keterampilan yang memungkinkannya secara efektif melaksanakan perubahan yang ingin diarah hanya akan membuat gagasan tentang perubahan itu tidak realistis dan karena itu apa yang telah dimulai bisa gagal di tengah jalan, atau tidak dapat berkelanjutan.

Menjadi pelaku perubahan mempersyaratkan agar guru memiliki kemampuan dan kompetensi dalam merealisasikan visi dan komitmen pribadinya. Guru mesti memiliki rasa penguasaan (personal mastery) diri dan hidupnya yang akan memberikan dalam dirinya semacam kontrol atas hidup, dan mampu memberikan penilaian bagi situasinya sendiri secara seimbang dan sehat (Senge, 1994). Guru dapat mengenali dinamika dan situasi hidupnya sendiri ketika berhadapan dengan tantangan di luar dirinya. Tanpa rasa penguasaan atas hidupnya sendiri guru hanya akan ikut arus ke sana ke mari tanpa memiliki otoritas dan kuasa atar dirinya sendiri. Salah satu cara agar guru tetap mampu menumbuhkan kemampuan dirinya sebagai pelaku perubahan adalah dengan menghayati visi pribadi.

Menghidupi visi dan inspirasi pribadi

Salah satu cara pengembangan keberadaan guru sebagai pelaku perubahan adalah kemampuannya dalam menghidupi visi dan inspirasi yang menjadi jiwa bagi kinerja profesional mereka. Tantangan berat guru sebagai pelaku perubahan dalam sebuah masyarakat yang ditandai dengan jungkir balik tatanan nilai adalah menghidupi visi dan inspirasi yang menjadi jiwa bagi kinerja lembaga pendidikan.

Dalam bahasa manajemen, visi dipahami sebagai gambaran mental tentang keadaan organisasi yang diinginkan di masa depan (Senge, 1990, hlm. 9). Lembaga pendidikan yang tidak memiliki visi seperti sebuah kerumunan orang tanpa tujuan yang bekerja sendiri-sendiri. Visi mengacu pada kenyataan (realism), kepercayaan (credibility) dan ketertarikan (attractiveness) (Nanus, 1992). Ada kondisi atau keadaan nyata yang ingin dicapai melalui visi tersebut. Keadaan yang akan dicapai itu merupakan sesuatu yang layak diperjuangkan karena ada nilai dan kebaikan yang menjadi daya penarik, pengikat, pendorong semangat yang memberikan tiap individu yang terlibat dorongan moral dan rasa memiliki tugas dan panggilan bagi kehidupan. Karena itu, mengembangkan visi bisa berarti menciptakan gambaran mental tentang situasi yang diinginkan di masa depan, seperti, dalam konteks pengajaran dan pembelajaran. Termasuk di dalamnya menumbuhkan lingkungan yang kondusif untuk mengajar dan belajar.

Visi menjadi panduan untuk menentukan isi dan proses tentang bagaimana sekolah dan guru dapat melaksanakan tugasnya dalam mendidik dan mengajar siswa. Tanpa memiliki visi ini, guru akan kehilangan inspirasi. Tanpa inspirasi seperti ini, guru hanya akan menjadi bulan-bulanan permainan jungkir balik nilai yang ada di dalam masyarakat, sebab pada kenyataannya tidak semua nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat menjadi gagasan baru yang senantiasa relevan bagi lembaga pendidikan pada umumnya, dan kinerja guru pada khususnya.

Gagasan baru seperti kecepatan, produktifitas, efektifitas dan efisiensi merupakan mantra yang telah menyerambah hampir ke semua bidang kehidupan. Inilah nilai-nilai baru yang menguasai dinamika kehidupan dalam masyarakat kita. Situasi ini jika tidak dicermati akan menggerus visi dan mematikan inspirasi guru.

Kecepatan membuat apa yang kita lewati kemarin menjadi barang lampau yang tidak relevan dibicarakan. Sementara laju perubahan ke depan belum dapat diperkirakan dan kembali ke masa lalu sudah tidak bisa lagi, guru bisa terjebak dalam sebuah sindrom yang oleh Lortie (1975) disebut dengan sindrom kekinian (presentism), yaitu, sibuk mengurusi tugas hari ini yang sifatnya jangka pendek, hasil bisa langsung dilihat dan dirasakan, seperti misalnya bekerja sekedar memenuhi tuntutan agar siswa lulus ujian. Yang penting membuat anak didik lulus Ujian Nasional, itu cukup. Yang lain dipikirkan belakangan. Pendidikan budi pekerti? Apalagi. Pendidikan moral? Apa itu? Kedisiplinan? Hm. jangan lagi bicara itu. Guru terpangkas kebebasan dan otonominya menjadi sekedar kaki tangan birokrat pendidikan yang tidak mengerti makna pembelajaran dan pengajaran. Guru tampaknya saja bekerja dan bahagia, padahal pelan-pelan kelelahan fisik dan psikologis sedang menyerang dan menggerogoti hidupnya.

Kegandrungan guru akan hari ini telah menggerus dan mematikan inspirasi, visi serta harapannya di masa depan. Jika guru telah kehilangan visi dan inspirasi yang menjadi pandu bagi pencarian makna pekerjaannya hari ini dan di masa depan, kehampaan dan kesia-siaanlah yang akan ia rasakan ketika seluruh tubuhnya sudah tidak mampu lagi bekerja sebagai guru. Masa senja lantas berubah wajah menjadi saat-saat yang menakutkan. Padahal menjadi tua dan kehilangan tenaga itu sudah merupakan kodrat manusia. Guru tentu juga mengerti bahwa tidak selamanya ia akan menjadi guru. Ada saatnya ia mesti berhenti dan menikmati jerih payah pengabdian di senja usianya. Namun karena telah lama terjebak dalam sindrom kekinian, masa pensiun lantas datang seperti teror. Ia tidak mampu memetik makna dari pengabdiannya selama ini. Bukan hanya itu, ia akan menjadi frustasi saat tidak dapat bekerja lagi, sebab sebagaimana ia percaya bahwa pekerjaan hanya bermakna hari ini, ketika tubuhnya rapuh dan tak mampu lagi bekerja, ia akan merasa eksistensinya juga hilang seiring menurunnya kemampuan fisiknya.

Visi dan inspirasi yang memotivasi para guru dalam bekerja selalu terbentang di depan dan menjadi horison yang samar-samar ingin digapai. Tanpa kekuatan menatap ke depan seorang guru bisa kehilangan tempat di mana ia berpijak. Ia bisa kehilangan roh yang mempersatukan pengalamannya di masa lalu, sekarang dan masa depan. Sayangnya, dinamika masyarakat telah memangkas ikatan masa lalu ini dengan logika kecepatan yang diusungnya dan menjerumuskan guru pada dinamika kekinian yang membuatnya sibuk, aktif, namun kering dan miskin akan visi dan inspirasi atas apa yang sedang dikerjakannya.

Logika kecepatan juga bertentangan dengan dinamika sebuah lembaga pendidikan yang menghargai proses. Pertumbuhan individu tidak dapat dipaksakan. Ia berkembang selaras dengan bertambahnya usia. Anak didik tidak dapat dikarbit dan dipaksa matang sebelum waktunya. Selain itu, ada hal-hal dalam hidup yang tidak dapat ditera melalui nilai efisiensi dan efektititas. Jika kita kaitkan dengan perkembangan kepribadian individu akan semakin kelihatan bahwa untuk menjadi dewasa membutuhkan waktu. Kedewasaan tidak dapat dipercepat. Memahami makna sebuah proses merupakan bagian integral dari sebuah kinerja pendidikan.

Produktifitas adalah nilai-nilai baru yang menjadi jargon kehidupan modern. Sekedar menerima gagasan ini tanpa mengkritisinya membuat sekolah kita berubah wujud menjadi pabrik yang memproduksi anak-anak pinter sementara mereka yang kurang mampu akan ditinggalkan dan disingkirkan. Anak-anak yang tidak produktif, memiliki kebutuhan khusus, lambat belajar, akan tersingkir dari sekolah-sekolah kita karena mereka tidak produktif dan kehadiran mereka tidak memungkinkan sekolah bersaing dalam mengejar rangking dan prestasi dengan sekolah lain. Logika produktifitas yang diterapkan dalam dunia pendidikan bisa berubah menjadi praktik diskriminasi yang menyingkirkan anak-anak yang lemah dan memiliki kebutuhan khusus. Padahal pendidikan adalah hak bagi semua warga negara, tidak perduli mereka itu sehat, ataupun memiliki kelemahan, baik itu fisik, maupun mental.

Produktifitas di satu sisi jika dipahami dengan lebih baik dalam konteks pendidikan akan membantu guru menanamkan nilai-nilai pembaharuan dan inovasi yang membantu perkembangan dan pertumbuhan masyarakat. Banyak kritik terhadap sekolah sebagai sebuah lembaga yang tidak produktif, melainkan sekedar mendaur ulang, mereproduksi pengetahuan dari tahun ke tahun yang bukannya malah mempercerdas siswa, melainkan memperbodoh.

Dunia dan masyarakat menawarkan nilai-nilai baru yang bisa selaras dengan cita-cita pendidikan, namun bisa juga bertentangan dengan logika yang berlaku dalam dunia pendidikan. Guru dapat menjadi pelaku perubahan jika memiliki sikap terbuka dan kritis serta kemauan untuk menemukan dan menegaskan kembali nilai-nilai yang diyakininya selama ini. Pencarian makna di tengah dinamika perubahan merupakan sikap dasar yang tidak boleh hilang dalam horisan kehidupan seorang guru. Terjebak antara masa depan dan masa lalu, guru semestinya menghayati makna pekerjaanya di masa kini dengan tetap merawat visi dan inspirasi yang menjadi roh dan jiwa bagi kinerjanya sekarang tanpa terjebak dalam logika kecepatan, efisiensi dan efektifitas yang menjerumuskannya dalam sindrom kekinian.

Pemimpin adalah pelaku perubahan

Guru sebagai pelaku perubahan tidak lain adalah menjadi pemimpin (leader) bagi diri sendiri dan bagi orang lain sehingga mereka secara bersama-sama mampu membangun sebuah tatanan baru sesuai dengan cita-cita dan harapan mereka. Pandangan ini mengandaikan bahwa dalam diri individu ada potensi untuk berkembang. Kalau kita tidak memiliki kepercayaan bahwa dalam diri individu terdapat potensi kebaikan dan pertumbuhan, gagasan tentang perubahan radikal yang ingin kita kembangkan dalam diri guru tidak relevan. Percaya bahwa dalam diri setiap individu ada kebaikan, potensi, dan pertumbuhan adalah syarat mutlak pengembangan diri guru sebagai pelaku perubahan.

Menjadi pelaku perubahan hanya bisa mungkin jika ada keyakinan bahwa dalam diri individu ada protensi pertumbuhan untuk berubah menjadi lebih baik dan berkembang menjadi lebih sempurna. Untuk itu setiap individu guru memiliki potensi untuk menjadi pemimpin. Guru merupakan pemimpin (leader) dan pelaku perubahan pendidikan karena tanpa keterlibatan guru setiap usaha untuk memperbaharui dunia pendidikan akan gagal. Dalam setiap pembaharuan sekolah, inisiatif perubahan yang tidak menyentuh kehidupan guru tidak akan mengubah banyak hal. Guru adalah garda depan dan pelaku perubahan dalam dunia pendidikan. Berbagai macam peraturan, kebijakan, dan perubahan manajemen, dll, meskipun baik, namun jika tidak sampai mengubah praksis guru di dalam kelas hanya akan tinggal sebagai macan kertas perubahan.

Pemahaman kepemimpinan yang eksklusif sudah tidak jamannya lagi. Kepemimpinan model ini menganggap bahwa tidak semua orang terlahir menjadi pemimpin. Hanya individu yang terbentuk dengan kualitas dan kemampuan khusus, ambisi, visi, kharisma dan pengalaman tertentu yang dapat menjadi pemimpin. Pemimpin heroik adalah mereka yang mampu menyelamatkan seluruh lembaga dan anggota-anggotan dari jurang kehancuran. Mereka percaya bahwa individu itu dapat menjadi pemimpin besar karena ia terlahir untuk itu. Pandangan demikian ini sesungguhnya mitos belaka.

Sebaliknya adalah benar bahwa setiap orang terlahir dengan potensi menjadi pemimpin. Individu terlahir untuk menjadi pelaku perubahan dalam hidupnya dan pembangun bagi masyarakatnya. Sebuah lembaga bisa saja maju dengan kehadiran para pemimpin istimewa ini. Mereka bisa saja menghasilkan perubahan, namun perubahan terjadi hanya dalam jangka pendek dan gagal bertahan untuk seterusnya.

Masih banyak guru memiliki pandangan bahwa diri mereka bukanlah pemimpin. Pemimpin dalam benak mereka adalah kepala sekolah, direksi, dan jabatan struktural lain. Tidak mengherankan jika inisiatif perubahan dari bawah jarang muncul. Guru lebih suka menyesuaikan diri dengan keinginan atasan daripada melaksanakan visi dan inspirasinya sebagai pendidik. Secara struktural-formal kepala sekolah adalah pemimpin pendidikan. Namun guru sesungguhnya guru adalah pemimpin pendidikan yang sesungguhnya sebab ia mengelola kelas dan berjumpa langsung dengan siswa. Kemampuan guru sebagai pemimpin benar-benar diuji dalam perjumpaan dengan para murid.

Tidak mudah mengubah konsep dasar yang kita miliki tentang kepemimpinan. Menimpakan kesalahan dan ketidakberesan yang terjadi dalam lembaga pendidikan pada pimpinan memang tindakan paling mudah yang bisa dilakukan oleh guru. Kultur sekolah yang mengutamakan pendekatan “asal pimpinan senang” bisa menghambat perubahan dalam lembaga pendidikan karena mereka yang terlibat di dalam lembaga pendidikan merasa tidak enak dan rikuh jika mesti menyampaikan data-data permasalahan yang sesungguhnya dihadapi di sekolah atau dirasakan sebagai persoalan oleh anggota komunitas sekolah tersebut.

Guru pada dasarnya adalah pemimpin bagi hidupnya sendiri dan dengan itu ia bersama-sama membangun sebuah idealisme dan cita-cita bersama. Kepemimpinan (leadership) merupakan sebuah kapasitas manusiawi untuk bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik dan mampu mempertahankan proses perubahan yang terus berjalan (Senge, 1999). Perubahan ini pada gilirannya menumbuhkan dan mengukuhkan identitas individu sebagai pelaku perubahan. Setiap individu yang bekerja dalam lembaga pendidikan adalah pelaku perubahan sebab mereka merancang masa depan pertumbuhannya sendiri dalam kebersamaan dengan orang lain.

Guru merupakan profesi dan panggilan hidup yang diperuntukkan untuk mengubah hidup orang lain dan dengan demikian mengubah hidupnya sendiri dan masyarakat. Lembaga pendidikan melalui kinerjanya sesungguhnya dapat membantu menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang lebih baik dari yang sekarang ini ada kalau guru benar-benar dapat merealisasikan peranannya sebagai pelaku perubahan. Namun, apakah para guru mau menyadarinya dan sedia membentuk diri menjadi pelaku perubahan?

Doni Koesoema A Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.

Daftar pustaka

Giroux, H., & McLaren, P. (1989). Introduction: Schooling, cultural, politic, and the struggle for democracy, dalam Giroux, H., & McLaren, P. (Eds). Critical pedagogy, the state, and cultural struggle. Albany, NY: SUNY Press.

Harris, K. (1982). Teacher and classes: a Marxis analysis. London: Routledge & Paul Kegan.

Lortie, D.C. (1975). Schoolteacher. A Sociological study. Chicago, IL : University of Chicago Press.

McNamee, S.J. & Miller Jr, R. K. (2004). The Meritocracy Myth. New York, NY: Rowman & Littlefield.

Nanus, B. (1992). Visionary Leadership. San Fransisco: Jossey-Bass.

Senge, P.M. (1990). The Fifth Discipline. New York: Doubleday

Senge, P.M., Kleiner, A., Roberts, C., Ross, R., & Smith, B (Eds.). (1994). The fifth discipline fieldbook: Strategies for building a learning organization. New York: Doubleday.

Senge, P., et al. (1999). The dance of change. The challenge of sustaining momentum in learning organization. New York: Doubleday.


My Philosphy of Education

I believe that education is human activities intended to help youngsters growing more mature and integral in all dimensions of their life (intellectual, religious, moral, personal, social, cultural, temporal, institutional, relational, physic, psychology, etc). It is an on going formation to make sense their personal life history, to be true to their selves in trustful communion with others in the world. In this trustful communion with others, they confirm their existence, affirm their freedom and express their creativity and productivity.

For the realization of their creativity and productivity they transform the existing society into a better one, more just, satisfying, democratic, egalitarian and more humane. Education for social reconstruction would be the line for developing my curriculum philosophy.

In that philosophy, I believe that schooling is to develop the intellectual dimension of the students in a way that through this knowledge they could understand and perceived better who they are and their society so that the students might participate to construct it actively.

Further, schooling is to stimulate various kinds of students’ skills so that they could be more active and creative member of the society. Schooling means preparing students to become more active and creative members of the society. In this sense schooling means to grow students’ awareness that as human being, they are actor of their own life and of the society by developing their strong moral character. To be agent of his own history (individual and social) is the purpose of schooling.

Knowledge is socially constructed, culturally mediated, and historically situated out of social interaction for social, political, economic and cultural purposes. The worth knowledge is the trustful one. It makes human being understand better their life as individual and social person, and giving them power to create and reconstruct the better world through it. Knowledge is socially constructed, but individual creates and constructs it personally to make it sense and intelligible for him or her. In this personal reconstruction, individual contributes his or her agency for the benefits of the society.

Learning is always an act of construction, simultaneously individually and socially. Thus, it is constructivist in perspective. To have the constructivist learning, students would be more capable of reconstructing their world, because what is realities is what we construct it. Thus, giving them the freedom to construct their own knowledge in the community, they would prepare their selves as agent for their life.

Child learns actively through assimilation and accommodation of experience to construct meaning based on what one already knows (from direct or indirect experiences). By this, he or she participates in construction of their world. By this I believe that learning is a natural process. We can not foster it better for their growth with a kind of acceleration program for talented students. Learning is a natural process but we should pay attention to the personal needs, because every one steps on learning is difference.

Learning is intrapersonal and interpersonal (social act), an interaction between individual with their environment, to make their life (personal history, nature, and culture) more intelligible and meaningful. Further, learning should be creative, enjoying and stimulating all children’s potentials, especially stimulating their brain to be more intelligent, their body to be more skillful, and their heart to be more sensitive to the need of others.

Child is an integrated unique person, capable of meaning maker, and potential actor in the history. To help them grow in their whole dimension of their life is a necessary condition of a good and health education. Child creates knowledge and understanding based on their personal and social experience. He or she can produce and reproduce knowledge. When it is authentic, their learning will be a productive and creative one. Education should bring their student to become an authentic learner who creates the meaningful knowledge for their life.

However, child needs others persons to guide him or her to understand their world (its heredity and achievements), their self (life history) and their society (culture) so that they could become active member of the society. Child will learn faster when there are mature and competence person who accompany them in their learning activities.

Indeed, he or she is capable to educate their selves by exercising their freedom through their creativity, in action and thoughts. Childs experiences are various. By this background, their accommodation and acquisition of knowledge is difference with each other. Giving the freedom they will grow better.

Teaching is to help students to form and educate themselves through learning relevance knowledge and skills so that they can contribute to the reconstruction of society. Knowledge means understanding the richness of cultural heredity of science. Skills means practical competency to be human in the social life. It is not only a reproductive skill but productive one. The knowledge is not only repetition, remembering, but more that this, is creative and contextual knowledge. Thus teaching them to be creative learner and competency person should animate my teaching.

Teaching means stimulating them to find the method and critical thinking to perceive and interpreting personal and social event so that they can envision the better society. It is a promotion of a personal engagement to individual life, so that through his or her personal experience he or she has the better ideal for the social living in the society. Critical thinking is very important to be developed as the contextual methods for analyzing our society.

Teaching is a trustful cooperation between individuals to grow their awareness as social agent and creator of human history. If you have no trust to your students, there would not be teaching and learning activities. The same thing happens when your students have no trust in you. Because learning is cooperative acts, thus trust each other is the key success for teaching and learning activities as teacher.

My preferred instructional practices is group discussion on actual problems in the society to get insight of what they perceived about the problems, how the people perceived it, and how they could find a better understanding and interpretation of the topic. Thus it is contextual learning that will help the student to understand better their selves as a member of the society.

The best methods are experience method, learning by experience through exposure,laboratory work, live in, or direct observation in a real social living, so that they could find the proper actions to improve or participate in the life of the society; deep critical thinking about the case study or a topic, group discussion and personal studies to make sense their learning.

It is also a creative learning by constructing meaning from individual experience on social concern. Teacher guides the students to develop their social sensibility as individuals who are also member of the society. By creative learning my students will develop their and create their knowledge which is relevance and meaningful to their life.

An authentic learning accommodates diverse learners. I will encourage the students to get involved one another so that the advance could have challenges to improve their capacity to help his of her underachievement classmates. It means that I will support my student to have responsibility to their fellow classmates in their learning. Diverse learner in the classroom is a natural setting of learning. Through these differences, then each student would be enriched.

Teaching and learning is not only transmission of knowledge. Moreover it is an active personal engagement of individual with the material in their relation with other. By these all students could gain benefits in reconstructing their own knowledge through the community. Learning together is better than learning privately. Especially where there are diverse learners, because in learning together in a group we are more enriched by the presence of others.

Every student is stimulated to help and learn each other, because by learning together, regardless of their differences they really experience of how to construct a respectful community in which every one felt that his of her dignity is respected.

Teaching and learning are always related to the knowledge that is socially constructed, historically situated. Thus they could oppress individual and do injustice. Thus, social injustice could happen in the classroom context. To be critical to the way we teach, to the material we present to the students is very important for promoting more just education.

But it is also true, because teaching, learning and constructing knowledge are located in history, they are amendable. Thus, teaching, learning and constructing knowledge could be the means for criticizing injustice and promoting social justice in the society. In this view I believe that school has great chance to promote the social justice. By doing so, education contributes to the development of the society and human civilization that is more humane.

Creating social justice in the educational context is the calling for every authentic educator. Every educator has the challenge to promote the social justice. Especially in the society that disrespect human rights and dignity, educator could contribute more grounded formation, giving them the internal capacity to select what is just and deign for human being. By considering the dimension of social justice in our teaching and learning, we will make our world better, more humane, in which every member of its society enjoy their fullness growth as human being.

By considering the dimension of social justice in our teaching and learning, we will make our our world better, more humane, in which every member of its society enjoy their fullness growth as human being. One of the great contributions of school is to realize the value of social justice in the society.

I will implement all these ideas in my works. Particularly, because my work in the future would be in school administration, I need to communicate and disseminate my philosophy to teachers who work with me in my school. Promoting the curriculum philosophy which has it main purpose to reconstruct our society to be better, more just than the existed one, is still very rare in my country. So I think, the firs implementation of my curriculum philosophy would be its dissemination and then together with the teacher I will develop the curriculum and practices that will help us to arrive at this purpose.

My Profile

Born in 1973 in Klaten, Jawa Tengah province. I studied at St. Vincent de Paul High School, Garum, Blitar, East Java (1989-1992). Earning the baccalaureate degree in philosophy (Indonesian Literature Department) at Driyarkara School of Philosophy, Jakarta (1994-1998), writing thesis entitled Keadilan dari Sudut Pandang Liberalisme Politis Menurut John Rawls (Political Liberalism according to John Rawls) under the supervision of Prof. Dr. Frans-Magnis Suseno, SJ dan Dr. I Wibowo, SJ. The baccalaureate degree on theology is obtained from the Gregorian University, Rome, Italy (2002-2005). Participating in a year course on Pedagogy and Professional Development in the Department of Science of Education at the Pontifical Salessian University, Rome, Italy (2005-2006). Joint with the Department of Curriculum and Instruction, and taking my Master degree in Education at Boston College Lynch School of Education, Boston, US (2009).

Educational experience:
Taching Latin and Religious Instruction at the St. Peter Canisius, Mertoyudan, in Magelang, Central Java, Indonesia (1998-2000); The dean of student discipline and teaching religous instruction at John De Britto High School, In Jogjakarta, Central Java, Indonesia (2000-2001). Assistance Principal for Student Affair and Extracurricular Activities and English Teacher at Gonzaga High School, In Jakarta, Indonesia (2006-2007). Working as Journalist (Wapimred) for Children News Paper BERANI (2009-now)

Professional works:
Education Consultant and Character Education trainer at pendidikankarakter.org
Speaker at various workshops and seminar on Character Education and Teacher's Professional Development.

Honor
Receiving the honorary title from Indonesian Minister of Education as the Most Productive Article Writer on Media on Education 2008-2009.

Books:
1
. Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter - Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: Grasindo, 2007.
2. Doni Koesoema A, Pendidik Karakter di Zaman Keblinger - Mengembangkan visi guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik Karakter, Jakarta : Grasindo, 2009.

Articles published with various authors (anthology):

Newest :
Mencari Format Pendidikan Karakter dalam Konteks Keindonesiaan. Article on the Education for Change (Buku kenangan HUT BPK Penabur Jakarta, 2010)

1.
Pendidikan Manusia vs Kebutuhan Pasar (human education vs market challenge) (2004) with Tonny, D. W (Ed.) in Pendidikan Manusia Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas dan Toyota.
2. Pendidikan Darurat Pasca Bencana (Emergency education after Aceh Tsunami), in Bencana Gempa dan Tsunami (2004);
3. Penilaian Pendidikan (Education Evaluation) in Menggugat Ujian Nasional. Memperbaiki Kualitas Pendidikan (2007).

Wednesday 29 April 2009

UN, Doa Bersama dan Ikrar Kejujuran

Kompas, 20 April 2009
Doni Koesoema A

Gelar doa bersama, pelatihan mental, sampai Ikrar Kejujuran digelar diberbagai sekolah, baik swasta maupun negeri mewarnai fase-fase akhir menjelang detik-detik UN (Kompas, 17/4). Fenomena ini menunjukkan betapa dunia pendidikan telah dikelola dengan visi pendidikan dangkal dan spiritualitas terpecah, lebih suka mencari jalan pintas dan latah dengan gerakan massa yang dipolitisir seperti layaknya ikrar kampanye damai partai politik menjelang Pemilu.

Mengelola dunia pendidikan tidak sama dengan mengelola organsisasi massa yang di tangan para politisi sekedar sebagai alat pemenangan untuk memenangkan kepentingan sesaat. Secara natural kekuatan massa gampang dimanipulasi karena tangan dan kaki lebih banyak jumlahnya daripada otak yang berpikir. Padahal, pendidikan merupakan kinerja harian rutin, bukan momental, yang mesti memperlakukan individu siswa sebagai pribadi, bukan sebagai kerumunan massa, di mana sistem yang dibangun mestinya mampu menjadi dasar bertindak dalam praksis harian sehingga kultur edukatif itu benar-benar hadir dan menjiwai seluruh proses pendidikan.

Visi dangkal

Mengandalkan doa bersama, pelatihan mental mendadak, serta Ikrar Kejujuran menjelang UN juga menunjukkan kedangkalan visi para pengelola lembaga pendidikan. Pembenaran perilaku ini sering ditambahi dengan argumen bahwa merekapun sudah membuat persiapan intensif dengan mengadakan pelatihan soal-soal, dan bahkan kalau perlu mengundang masuk lembaga bimbingan belajar masuk ke sekolah. Inilah metode jalan pintas yang paling sering dilakukan dalam sekolah kita. Kedangkalan itu terjadi karena pendidikan semata-mata mengutamakan target akhir lulus UN, memperalat siswa demi kepentingan dan nama baik sekolah dengan cara membuat siswa belajar secara intensif menjelang UN saja, sementara dalam praksis harian di sekolah selama 3 tahun, siswa tidak pernah diajarkan apa artinya bertekun dan belajar secara serius. Menumbuhkan kesungguhan, daya tahan, dan motivasi internal dalam belajar sering terlewatkan pada fase ini karena para pendidik dan siswa berpikir bahwa Ujian masih jauh.

Dunia pendidikan bukan dunia tukang sulap yang bisa membuat hal-hal aneh dalam sekejap. Belajar membutuhkan ketekunan, konsistensi dan keseriusan dari para pendidik dan siswa. Kesungguhan ini semakin terbantu dengan menciptakan sebuah iklim harian dan kultur sekolah yang mendukung siswa gemar belajar tanpa dipaksa atau diancam dengan perolehan nilai. Visi pendidikan itu mestinya bersifat konsisten, konkret dan mengembangkan pendampingan individu siswa secara intensif semenjak mereka memasuki tahun ajaran baru sampai menghadapi UN.

Mentalitas jalan pintas bukanlah sebuah visi pendidikan yang adekuat yang mampu mempersiapkan generasi muda kita menjadi individu yang konsisten, tahan banting dan mengerti makna pembelajaran bagi hidupnya sendiri dan bagi perkembangan masyarakat. Lebih lagi, model jalan pintas bertentangan dengan logika dalam dunia pendidikan, karena untuk berubah membutuhkan waktu. Pendidikan kita akan hancur jika diisi dengan kehadiran para pendidik yang memiliki visi dangkal yang seringkali tidak sabar, dan cenderung ingin melihat hasil akhir secara instan.

Spiritualitas terpecah

Model gelar doa bersama menjelang UN, meskipun baik, tetap menunjukkan sebuah kerohanian dangkal yang coba diajarkan kepada para murid, seolah doa-doa itu baru dibutuhkan ketika mau menghadapi UN semata. Kita mulai berbisnis dengan Tuhan.

Tentu, tidak ada yang salah dengan mohon doa resti dari Tuhan agar dapat melaksanakan UN dengan baik. Namun, kerohanian sejati dalam pendidikan mestinya berakar pada kultur sekolah yang mampu menghormati keyakinan iman individu lain sebagai pilihan bebas, menghormati keragamanan. Lebih penting dari itu, lingkungan sekolah mestinya mampu membangun sebuah kultur yang menghormati keyakinan individu karena individu itu adalah ciptaan yang bernilai, berharga dan bermartabat dihadapan Sang Pencipta.

Kebencian terhadap penganut agama lain yang menonjol dalam masyarakat kita bisa jadi karena sekolah lebih mengajarkan permusuhan, menekankan perbedaan sebagai batas daripada sebagai lahan untuk bekerja sama dalam membangun masyarakat. Lebih parah dari itu, kerohanian dalam pendidikan bisa diredusir sekedar sebagai ritualisme ibadah dan tata cara berdoa yang tidak menjangkau keluar merengkuh persoalan lebih mendalam dalam konteks komunikasi antar individu yang berbeda agama dalam masyarakat. Dengan demikian, perilaku ibadah yang sebenarnya bersifat membangun masyarakat malah menyemai ketidakadilan, permusuhan dan perpecahan, daripada menyumbangkan penghormatan dan perdamaian.

Latahisme kacangan

Membuat Ikrar Kejujuran juga menunjukkan gejala latahisme kacangan dalam dunia pendidikan kita. Kita benar-benar menganggap dunia pendidikan seperti panggung politik, di mana konflik, perseteruan dan persoalan yang ada akan segera bisa diatasi dengan jalan membuat ikrar bersama. Latahisme demikian ini sesungguhnya memalukan. Para pendidik mesti segera menyadari bahwa model ikrar seperti ini tidak akan mengubah banyak hal jika praksis harian dalam sekolah dan kultur sekolah yang kita bangun tidak memiliki visi pembentukan karakter yang kokoh di mana praksis kejujuran itu dapat dilihat dalam ritme hidup harian di lingkungan sekolah.

Ikrar Kejujuran tidak akan otomatis menghilangkan kultur kebohongan, ketidakjujuran dan penyelewengan yang telah meracuni dunia pendidikan kita. Para pendidik semestinya kembali berpaling pada hati nurani mereka dan lebih baik segera bersama-sama mulai membongkar kultur dalam dunia pendidikan kita yang tidak adil dan tidak jujur dengan segera mengevaluasi kembali kinerja harian di sekolah kita dengan melihat apakah tata peraturan dan sistem yang kita buat untuk menanamkan nilai kejujuran dan keadilan ini telah hadir dalam lembaga pendidikan kita.

Sebagai pendidik yang bertanggungjawab terhadap nasib bangsa ini di masa depan, cara-cara pengambilan jalan pintas, promosi spiritualitas terpecah, dan semangat menghidupi visi dangkal ini mesti segera dijauhkan dari lembaga pendidikan kita. Demikian juga mencontoh pola perilaku politisi yang memanfaatkan massa demi kepentingan politiknya dengan membuat semacam ikrar bersama mesti segera dihilangkan dalam lembaga pendidikan kita, karena itu hanya akan menjadi kertas kosong yang tidak bermakna apa-apa bagi siswa dan pendidik jika kultur sekolah kita tetap terbangun melalui sebuah sistem pendidikan yang mempromosikan kegemaran mencontek, berbohong, tidak jujur, dan manipulatif.

Doni Koesoema A, alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston. Pemerhati pendidikan tinggal di Jakarta.

UN, Doa Bersama dan Ikrar Kejujuran

Kompas, 20 April 2009

Doni Koesoema A

Gelar doa bersama, pelatihan mental, sampai Ikrar Kejujuran digelar diberbagai sekolah, baik swasta maupun negeri mewarnai fase-fase akhir menjelang detik-detik UN (Kompas, 17/4). Fenomena ini menunjukkan betapa dunia pendidikan telah dikelola dengan visi pendidikan dangkal dan spiritualitas terpecah, lebih suka mencari jalan pintas dan latah dengan gerakan massa yang dipolitisir seperti layaknya ikrar kampanye damai partai politik menjelang Pemilu.

Mengelola dunia pendidikan tidak sama dengan mengelola organsisasi massa yang di tangan para politisi sekedar sebagai alat pemenangan untuk memenangkan kepentingan sesaat. Secara natural kekuatan massa gampang dimanipulasi karena tangan dan kaki lebih banyak jumlahnya daripada otak yang berpikir. Padahal, pendidikan merupakan kinerja harian rutin, bukan momental, yang mesti memperlakukan individu siswa sebagai pribadi, bukan sebagai kerumunan massa, di mana sistem yang dibangun mestinya mampu menjadi dasar bertindak dalam praksis harian sehingga kultur edukatif itu benar-benar hadir dan menjiwai seluruh proses pendidikan.

Visi dangkal

Mengandalkan doa bersama, pelatihan mental mendadak, serta Ikrar Kejujuran menjelang UN juga menunjukkan kedangkalan visi para pengelola lembaga pendidikan. Pembenaran perilaku ini sering ditambahi dengan argumen bahwa merekapun sudah membuat persiapan intensif dengan mengadakan pelatihan soal-soal, dan bahkan kalau perlu mengundang masuk lembaga bimbingan belajar masuk ke sekolah. Inilah metode jalan pintas yang paling sering dilakukan dalam sekolah kita. Kedangkalan itu terjadi karena pendidikan semata-mata mengutamakan target akhir lulus UN, memperalat siswa demi kepentingan dan nama baik sekolah dengan cara membuat siswa belajar secara intensif menjelang UN saja, sementara dalam praksis harian di sekolah selama 3 tahun, siswa tidak pernah diajarkan apa artinya bertekun dan belajar secara serius. Menumbuhkan kesungguhan, daya tahan, dan motivasi internal dalam belajar sering terlewatkan pada fase ini karena para pendidik dan siswa berpikir bahwa Ujian masih jauh.

Dunia pendidikan bukan dunia tukang sulap yang bisa membuat hal-hal aneh dalam sekejap. Belajar membutuhkan ketekunan, konsistensi dan keseriusan dari para pendidik dan siswa. Kesungguhan ini semakin terbantu dengan menciptakan sebuah iklim harian dan kultur sekolah yang mendukung siswa gemar belajar tanpa dipaksa atau diancam dengan perolehan nilai. Visi pendidikan itu mestinya bersifat konsisten, konkret dan mengembangkan pendampingan individu siswa secara intensif semenjak mereka memasuki tahun ajaran baru sampai menghadapi UN.

Mentalitas jalan pintas bukanlah sebuah visi pendidikan yang adekuat yang mampu mempersiapkan generasi muda kita menjadi individu yang konsisten, tahan banting dan mengerti makna pembelajaran bagi hidupnya sendiri dan bagi perkembangan masyarakat. Lebih lagi, model jalan pintas bertentangan dengan logika dalam dunia pendidikan, karena untuk berubah membutuhkan waktu. Pendidikan kita akan hancur jika diisi dengan kehadiran para pendidik yang memiliki visi dangkal yang seringkali tidak sabar, dan cenderung ingin melihat hasil akhir secara instan.

Spiritualitas terpecah

Model gelar doa bersama menjelang UN, meskipun baik, tetap menunjukkan sebuah kerohanian dangkal yang coba diajarkan kepada para murid, seolah doa-doa itu baru dibutuhkan ketika mau menghadapi UN semata. Kita mulai berbisnis dengan Tuhan.

Tentu, tidak ada yang salah dengan mohon doa resti dari Tuhan agar dapat melaksanakan UN dengan baik. Namun, kerohanian sejati dalam pendidikan mestinya berakar pada kultur sekolah yang mampu menghormati keyakinan iman individu lain sebagai pilihan bebas, menghormati keragamanan. Lebih penting dari itu, lingkungan sekolah mestinya mampu membangun sebuah kultur yang menghormati keyakinan individu karena individu itu adalah ciptaan yang bernilai, berharga dan bermartabat dihadapan Sang Pencipta.

Kebencian terhadap penganut agama lain yang menonjol dalam masyarakat kita bisa jadi karena sekolah lebih mengajarkan permusuhan, menekankan perbedaan sebagai batas daripada sebagai lahan untuk bekerja sama dalam membangun masyarakat. Lebih parah dari itu, kerohanian dalam pendidikan bisa diredusir sekedar sebagai ritualisme ibadah dan tata cara berdoa yang tidak menjangkau keluar merengkuh persoalan lebih mendalam dalam konteks komunikasi antar individu yang berbeda agama dalam masyarakat. Dengan demikian, perilaku ibadah yang sebenarnya bersifat membangun masyarakat malah menyemai ketidakadilan, permusuhan dan perpecahan, daripada menyumbangkan penghormatan dan perdamaian.

Latahisme kacangan

Membuat Ikrar Kejujuran juga menunjukkan gejala latahisme kacangan dalam dunia pendidikan kita. Kita benar-benar menganggap dunia pendidikan seperti panggung politik, di mana konflik, perseteruan dan persoalan yang ada akan segera bisa diatasi dengan jalan membuat ikrar bersama. Latahisme demikian ini sesungguhnya memalukan. Para pendidik mesti segera menyadari bahwa model ikrar seperti ini tidak akan mengubah banyak hal jika praksis harian dalam sekolah dan kultur sekolah yang kita bangun tidak memiliki visi pembentukan karakter yang kokoh di mana praksis kejujuran itu dapat dilihat dalam ritme hidup harian di lingkungan sekolah.

Ikrar Kejujuran tidak akan otomatis menghilangkan kultur kebohongan, ketidakjujuran dan penyelewengan yang telah meracuni dunia pendidikan kita. Para pendidik semestinya kembali berpaling pada hati nurani mereka dan lebih baik segera bersama-sama mulai membongkar kultur dalam dunia pendidikan kita yang tidak adil dan tidak jujur dengan segera mengevaluasi kembali kinerja harian di sekolah kita dengan melihat apakah tata peraturan dan sistem yang kita buat untuk menanamkan nilai kejujuran dan keadilan ini telah hadir dalam lembaga pendidikan kita.

Sebagai pendidik yang bertanggungjawab terhadap nasib bangsa ini di masa depan, cara-cara pengambilan jalan pintas, promosi spiritualitas terpecah, dan semangat menghidupi visi dangkal ini mesti segera dijauhkan dari lembaga pendidikan kita. Demikian juga mencontoh pola perilaku politisi yang memanfaatkan massa demi kepentingan politiknya dengan membuat semacam ikrar bersama mesti segera dihilangkan dalam lembaga pendidikan kita, karena itu hanya akan menjadi kertas kosong yang tidak bermakna apa-apa bagi siswa dan pendidik jika kultur sekolah kita tetap terbangun melalui sebuah sistem pendidikan yang mempromosikan kegemaran mencontek, berbohong, tidak jujur, dan manipulatif.

Doni Koesoema A, alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston. Pemerhati pendidikan tinggal di Jakarta.


Tuesday 24 February 2009

Siswa (Cerdas), Milik Siapa?

KOMPAS Selasa, 17 Februari 2009 | 23:54 WIB

Doni Koesoema A

Akhir-akhir ini wacana tentang keberadaan siswa cerdas dalam sistem pendidikan hangat dibicarakan. Diskusi tentangnya sering mengacu pada pertanyaan pengelolaan, pendampingan, status, dan manfaat bagi masyarakat dan bangsa.

Tanpa pemahaman jernih tentang antropologi pendidikan yang integral, pembahasan tentang anak-anak istimewa ini hanya akan memuaskan kepentingan kelompok tertentu dan menjadikan mereka korban instrumentalisasi pendidikan. Lebih dari itu, visi keadilan sosial dalam pendidikan terabaikan karena kebijakan pendidikan dikelola dengan pendekatan elitis.

Visi tentang manusia

Pertanyaan teknis dan programatis tentang pendidikan anak cerdas hanya akan berkutat pada masalah pinggiran saat pendidik dan pengambil kebijakan tidak memiliki visi mendalam tentang manusia yang dididik. Gagasannya, anak cerdas sudah seharusnya ”dijadikan milik negara” (Kompas, 2/2), jelas mendasarkan diri pada pemahaman sempit antropologi pendidikan. Di sini, yang diutamakan bukan pertumbuhan anak, tetapi lebih mengarah pada instrumentalisasi anak didik yang mengobyekkan mereka demi kepentingan lain selain demi pertumbuhan dan perkembangan anak didik itu sendiri.

Demikian juga program kelas akselerasi yang marak terjadi. Program ini jauh dari gagasan manusia sebagai individu unik. Manusia diredusir melulu pada kemampuan otak sehingga kapasitas ini perlu dikarbit pertumbuhannya melalui jalur khusus. Parahnya, kelas akselerasi sering menjadi kedok untuk mengeruk dana masyarakat dengan dalih ekselensi akademis. Faktanya, materi pembelajaran dipadatkan tanpa diferensiasi proses pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak.

Setali tiga uang. Model pendampingan pendidikan khusus dengan cara karantina demi persiapan olimpiade juga perlu dikritisi. Model pendidikan seperti ini lebih merupakan instrumentalisasi anak-anak cerdas demi prestise kepentingan kelompok tertentu, entah itu ”bangsa”, ”negara”, atau ”Departemen Pendidikan Nasional”.

Memang anak-anak cerdas itu perlu didampingi. Namun, pendampingan itu harus dilandasi dengan motivasi demi pertumbuhan dan perkembangan anak didik sebagai pribadi unik dan layak mendapat layanan pendidikan sesuai dengan dinamika perkembangan kepribadiannya. Selain itu, sebagai makhluk sosial, individu tidak akan tumbuh sehat jika model pendidikan lebih berupa pemisahan daripada integrasi dan interaksi aktif dengan rekan sebaya.
Selama ini, program pendampingan anak-anak cerdas lebih didasari asumsi manusia berharga karena otaknya. Karena itu, sebelum membuat program pendidikan bagi anak cerdas, pendidik dan pengambil kebijakan harus kritis bertanya tentang antropologi pendidikan yang ada di balik setiap perencanaan pendidikan.

Milik kemanusiaan

Tidak ada yang memiliki hak untuk mengklaim atas kepemilikan anak-anak cerdas itu selain sejarah kemanusiaan itu sendiri. Dalam perjalanan sejarah, kehadiran anak-anak cerdas ini telah memperkaya kemanusiaan yang membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik dan lebih bermartabat melalui olah pikir, olah hati, dan olah fisik yang mereka miliki.

Karena itu, mengklaim kehadiran anak-anak cerdas sebagai milik kelompok tertentu merupakan wacana yang sesat sebab mereka tidak milik siapa-siapa selain milik kemanusiaan itu sendiri.

Jika anak-anak cerdas itu menjadi milik kemanusiaan, maka melalui pengetahuan, bakat, dan kecerdasannya, mereka mampu menyumbangkan perbaikan bagi masyarakat. Kehadiran anak-anak cerdas juga perlu menjadi berkat bagi kemanusiaan yang lain dan tidak bisa diklaim atau dibatasi dalam membagi pengetahuan dan kekayaan kepada orang lain. Karena itu, segregasi, pemisahan, karantina jelas bertentangan dengan hakikat pendidikan dan keberadaan anak-anak cerdas itu sendiri.

Di sinilah visi keadilan sosial perlu ditumbuhkan di kalangan pendidik dan pengambil keputusan. Banyak teori pendidikan menunjukkan, pengetahuan yang dibagikan itu akan memperkaya kemanusiaan dan masyarakat daripada disimpan dan dimiliki seorang diri. Pada kenyataannya, ilmu pengetahuan itu terbentuk dan berkembang karena perjumpaan dengan orang lain. Dalam perjumpaan dengan orang lain inilah ilmu itu berkembang. Ilmu yang dibagikan tidak membuat si pemilik ilmu itu kian miskin, bahkan ia menjadi semakin kaya.

Menyesatkan

Dari sisi antropologi pendidikan, wacana ”anak cerdas” sebenarnya menyesatkan sebab paradigma ini membagi dua kelompok manusia, cerdas dan tidak cerdas. Padahal, istilah ”anak cerdas” ini pun sering hanya didasarkan pada satu kriteria, yaitu kemampuan akademis belaka.
Kini, kita kian tahu, ada banyak jenis kecerdasan. Maka, wacana ”anak cerdas” bisa mengecoh para pendidik dan pengambil keputusan untuk memprioritaskan yang satu melebihi yang lain. Faktanya, sebenarnya tidak ada yang disebut ”anak cerdas” sebab tiap anak memiliki kecerdasannya sendiri-sendiri.

Wacana tentang ”anak cerdas” muncul karena ada berbagai kepentingan yang ingin menjadikan mereka alat kepentingan sempit daripada mendasarkan diri pada keprihatinan asasi pendidikan yang menganggap tiap anak berhak mendapat layanan pendidikan prima sebab pada dasarnya tiap anak adalah anak-anak cerdas. Pemahaman sempit tentang antropologi pendidikan yang meredusir anak cerdas sekadar instrumentasi kepentingan dalam jangka panjang akan merugikan anak itu sendiri, bahkan merugikan masyarakat.

Layanan prima

Setiap anak memiliki potensi kecerdasan dan hak untuk mendapat layanan prima dalam pendidikan sehingga seluruh potensi kemanusiaan dan kepribadiannya bertumbuh secara integral dan utuh. Separasi, karantina, program akselerasi, dan pendewaan ide ”anak cerdas” sebagai lebih penting daripada keyakinan bahwa ”semua anak adalah cerdas” menunjukkan adanya cacat pemahaman terhadap antropologi pendidikan yang dianut pendidik dan pengambil kebijakan.

Instrumentalisasi anak-anak cerdas demi nafsu kelompok kepentingan tertentu harus dihentikan, diganti dengan program pendidikan yang lebih menghargai perkembangan dan pertumbuhan diri anak didik secara integral tanpa mencabut anak didik dari lingkungan sosialnya. Jika ini terjadi, kita akan memetik buah-buah kehadiran mereka bagi masyarakat sebab pada hakikatnya anak-anak itu adalah milik kemanusiaan, bukan milik segelintir orang yang memanfaatkan mereka demi prestise, harga diri, dan kepentingan sempit mereka sendiri.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Thursday 29 January 2009

Mengubah Paradigma UN

KOMPAS, Rabu 14 Januari 2009


Doni Koesoema A


Hasil Ujian Nasional (UN) akan diperhitungkan untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Kompas, (8/1). Wacana ini di satu sisi bisa meningkatkan gengsi UN yang selama ini banyak menuai kritik publik. Namun di lain sisi, perubahan kebijakan ini bisa salah sasaran jika tidak terjadi perubahan paradigma dalam memahami UN. Mengelola evaluasi pendidikan integral tidak semudah membalik tangan.


Masalahnya adalah bahwa sifat dan tujuan UN dan tes masuk PT secara kualitatif berbeda. Ujian Nasional bersifat sumatif, yang tujuannya adalah menilai prestasi individual siswa untuk menentukan apakah seorang individu itu telah memiliki kompetensi yang dipersyaratkan setelah melewati proses pendidikan dalam jangka waktu tertentu. Ambang kelulusan UN ditentukan melalui kriteria penguasaan materi (criterion-reference test) yang berakibat langsung pada nasib siswa (high stake testing). Siswa lulus atau tidak lulus.


Sedangkan sifat tes masuk PT adalah formatif untuk mendiskriminasi siswa berdasarkan kompetensi dan potensi akademik yang tujuannya menjaring calon yang memiliki kelayakan dan kemampuan untuk menyelesaikan beban tugas dan tuntutan di PT. Karena itu, tes masuk PT bersifat normatif (norm-reference testing), tidak semata-mata mendasarkan diri pada penguasaan materi, melainkan memeringkat siswa dan membatasinya sesuai jumlah kursi.


Penguasaan (proficiency) materi menjadi sekunder. Lebihd ari itu, item soal seringkali dibuat dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi sehingga menjadi selektif. Ini untuk menghindari menghindari efek langit-langit (ceiling effect) yang bisa terjadi akibat siswa telah terbiasa dengan soal UN sehingga siswa pintar dan cukupan tidak dapat dibedakan lagi karena mereka sama-sama meraih nilai maksimal.


Jernih memahami hakekat dua macam tes ini menjadi penting agar kebijakan pendidikan yang diambil benar-benar memiliki dasar rasional pedagogis dan psikometrik yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan sekedar berdasarkan pada politik kepentingan untuk menunjukkan bahwa UN yang selama ini menuai kritik berguna dan penting.


Wacana integrasi


Wacana integrasi UN dengan PT memang diperlukan agar apa yang dipelajari siswa di SMA menjadi dasar bagi pengembangan ilmu di PT. Namun integrasi ini tidak akan efektif jika dilakukan sekedar pada pelibatan PT dalam pengawasan pelaksanaan UN.


Mengajak PT menjadi rekanan pemerintah dalam menyelenggarakan UN untuk menjamin bahwa dalam pelaksanaannya UN tidak memiliki cacat dalam prosedur pelaksanaan adalah salah satu bagian teknis dari prosedur standar pelaksanaan tes. Kredibilitas pelaksanaan tes merupakan salah satu alat untuk mengukur validitas hasil UN. Namun lebih dari itu, peningkatan kualitas soal, penarikan kesimpulan hasil UN, reliabilitas item UN untuk benar-benar mengukur kompetensi yang dibutuhkan dalam proses seleksi masuk PT itulah yang pertama-tama perlu dibenahi.


Integrasi hasil UN sebagai penentu penerimaan mahasiswa baru di PTN mengandaikan bahwa hasil UN itu memiliki validitas (benar-benar mengukur apa yang ingin diukur), konsistensi hasil ketika diujikan pada banyak populasi (reliable), dan fair (memenuhi rasa keadilan, tidak adanya bias, perlakuan sama terhadap peserta tes, kesempatan belajar atas materi yang diujikan, dll).


Tiga tuntutan


Untuk membenahi ini ada tiga tuntutan yang mesti dipenuhi. Pertama, independensi desain soal untuk UN harus dijaga. Selama Badan Nasional Standardisasi Pendidikan (BNSP) dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertanggungjawab dalam mengelola desain UN, konflik kepentingan akan terjadi. Tanpa independensi, kongkalikong atau manipulasi nilai demi kepentingan tertentu akan terjadi di dalam lembaga penyelenggara UN, sebab mereka sendiri yang membuat soal, dan mereka sendirilah yang membuat laporan pertanggungjawaban kepada dirinya sendiri.


Kedua, independensi lembaga penyelenggara UN memungkinkan proses desain soal UN, pelaksanaan tes dan evaluasi atau penarikan kesimpulan atas skor UN lebih sahih dan dapat diandalkan karena lembaga tersebut mendisain test sesuai dengan tujuannya, yaitu, untuk menyeleksi siswa di tingkat PT. Kompetensi penyelenggara UN seperti ini mesti diserahkan pada konsorsium PT atau lembaga independan penyelenggara test yang mampu menyelenggarakannya secara objektif dan akuntabel kepada publik dan pemangku kepentingan.


Ketiga, perubahan penggunaan hasil UN pada gilirannya akan mengubah tujuan penggunaan hasil UN seperti selama ini terjadi, yaitu untuk menentukan kelulusan siswa. Harus ada perubahan paradigma atas tujuan penggunaan hasil UN. Jika hasil UN dipakai sebagai alat test seleksi PT, memakai hasil UN untuk meluluskan siswa jelas merupakan kebijakan evaluasi pendidikan yang salah sasaran sebab terjadi salah kaprah dalam penarikan kesimpulan berdasarkan data-data dari sebuah alat test.


Independensi


Yang dibutuhkan sekarang ini adalah akuntabilitas lembaga pendidikan di hadapan publik melalui independensi penyelenggara UN. Pendidikan di tingkat menengah hanya bisa akuntabel jika pelaksanaan UN mampu memberikan data-data valid, reliabel dan fair untuk menilai kompetensi seorang siswa. Meskipun BNSP merupakan lembaga independen, namun ketika mereka bekerja sama dengan Depdiknas menjadi penyelenggara, penilai, dan pelapor UN terhadap pemerintah, konflik kepentingan seperti ini membuat BNSP kehilangan kredibilitas. Apalagi ketika tidak ada laporan yang bisa diakses publik tentang pelaksanaan UN, terutama tingkat validitas, reliabilitas, dan fairnes soal-soal UN.


Independensi penyelenggara UN mesti diutamakan agar tidak terjadi konfik kepentingan jika hasil UN ingin dipakai sebagai seleksi mahasiswa baru di PT. Selain itu, penyelenggara UN mesti akuntabel dan bertanggungjawab bukan sekedar kepada pemerintah, melainkan kepada pemangku kepentingan yang lebih besar, yaitu perguruan tinggi dan masyarakat. Sistem seleksi mahasiswa baru harus fair dan memperhatikan kepentingan jangka panjang PT itu sendiri dengan cara menyeleksi siswa yang benar-benar kompeten dan memiliki potensi sukses secara akademis.


Memaksakan hasil UN sebagai syarat penerimaan mahasiswa PT bisa salah sasaran jika UN masih bersifat sumatif yang kriterianya adalah Standar Isi minimal ala kurikulum SMA untuk menentukan kelulusan siswa. Untuk itu diperlukan perubahan paradigma terhadap UN.


Doni Koesoema A. Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.

Pendidikan Keagamaan